Hari yang tenang, kicau burung terdengar di mana-mana beserta angin yang berhembus pelan beserta para petani sedang bekerja di ladang mereka. Begitu juga dengan orang yang punya pekerjaannya sendiri, mereka sibuk dengan kesibukan mereka masing-masing dan seluruhnya begitu sibuk.
Di salah satu desa terdapat anak kecil yang sedang di gendong ayahnya, mereka berjalan melewati sawah besar nan luas. Anak kecil di punggungnya membuka kelopak matanya, mendapati pemandangan indah memanjakan mata siapapun yang melihatnya bak sihir dapat menyihir mata siapapun yang melihatnya.
Sebuah kampung, kebanyakan warganya memiliki pekerjaan sebagai petani dan buruh sawah. Namun, hal tersebut mulai berubah semenjak datangnya benda aneh di tengah-tengah sawah milik kepala desa. Seperti sebuah pintu, pintu besar berwarna hitam pekat tercipta membuat semua orang heran dan kebingungan.
Kemunculannya ialah dua hari yang lalu, mereka mendengar suara retak seperti kaca retak dan pecah pada malam hari. Bunyi nyaring itu didengar oleh semua orang, bahkan suaranya mencapai ibu kota negara yang jaraknya sangat jauh. Besoknya mereka melihat benda itu berdiri tegak, tentu pemerintah begitu mendengar berita tersebut langsung mengirim orang.
"Wah, ada apa ini ?" Tanya warga. Satu polisi menghembuskan napas, ia menatap pintu raksasa di hadapannya terlihat begitu besar dan ada beberapa hal yang aneh terjadi jika mereka membawa barang seperti emas ke dekat gerbang. Saat logam mulia berwarna kuning tersebut menyentuh benda itu pintunya terlihat bergetar, seperti akan terbuka dengan sendirinya membuat semua orang heran.
Tentunya itu tidak wajar, bagi para ilmuan mereka mengetahui apa penyebabnya namun tidak bisa menjelaskannya dengan pasti. Terlebih lagi itu hanya teori atau yang dibuat tanpa kepastian atau hanya dugaan semata.
Dan bersamaan, benda ini muncul di berbagai penjuru dunia akan tetapi benda tersebut mengeluarkan monster. Hanya di beberapa negara saja yang pintunya terbuka, dan pemetintah tahu kalau benda itu berbahaya bagi mereka. Saat mencoba dihancurkan benda itu tidak bisa hancur sama sekali, lalu berhari-hari bahkan berminggu-minggu seluruh negara di dunia mengambil keputusan untuk memasuki pintu itu.
Dan setelahnya, kejadian itu terjadi mengakibatkan pintu rusak dan banyak monster bisa berkeliaran keluar dari pintu. Tentara yang masuk ke sana berhasil bertahan hidup, namun mereka melihat kalau tempat mereka dipenuhi dengan mahkluk yang diluar nalar akal manusia. Seperti naga, iblis, zombi, dan semacamnya.
Lalu, banyak anak kecil di umur 10 sampai 20 tahun memiliki kekuatan aneh dan unik, kemudian ada ukiran di setiap gerbang seperti meminta mereka untuk membasmi monster dengan bahasa yang mereka tidak ketahui. Akan tetapi setelah seminggu para ilmuan selesai mengartikan kalimat yang ada di batu.
"Kalian telah diberikan kekuatan, maka dari itu.. habisi semua mahkluk yang ada di dalam gerbang maupun di luar. Terima-kasih!" Begitulah kata-kata yang tercantum di batu, semua negara mau tidak mau mendirikan sekolah khusus dan membawa anak-anak yang memiliki kemampuan khusus untuk membunuh semua monster yang ada.
***
"Ah,.. kak Tedy, kenapa aku harus ikut ?" Tanya seorang remaja lelaki berambut biru gelap berpakaian baju abu putih. Seorang remaja lelaki juga agak tinggi darinya sedang berjalan pelan memakai pakaian yang sama dengannya, sambil mengunyah permen karet ia menjelaskan tujuannya.
"Apa kau tidak ingin melihat mereka, Ji ?!"
"Tidak,.. Mengintip juga bisa masuk penjara, loh."
"Enggak asik ah!" Senyumannya lebar seakan tidak pernah hilang dari wajahnya. Namun, begitu marah senyumannya itu sangat penting untuk tidak dilihat atau membuatnya marah. Bagi Satriaji sendiri itu cukup merepotkan kalau itu sering terjadi.
Mereka berjalan cukup lama menyusuri jalan, hendak tersenyum lega sampai di tempat tujuan mereka suara mendeham datang dari belakang. Keduanya langsung merinding dan berkeringat dingin, keduanya menoleh ke belakang langsung lega setelah melihat siapa yang datang.
Teman sekelas mereka yang sudah akrab dari semenjak SMP, ketiganya melempar tali ke atas dahan pohon tapi Fauzan tidak ikut dan hanya duduk diam di bawah naungan pohon. Melihat kedua teman bodohnya naik ke atas membuatnya bingung, ia pada akhirnya membuka buku dan membaca novel sambil menunggu kepulangan mereka.
Selang beberapa saat kemudian, ia melihat keduanya turun dari atas pohon membawa sebuah kotak kecil sebesar kotak pensil. Wajah kak Tedy kelihatan senang, namun teman sekelasnya berekspresi sebaliknya bahkan terlihat sangat kesal.
Keduanya turun dan Fauzan bertanya, "bagaimana ? Apa kalian melihat atau mendapatkannya ?"
"D-Dia..! A-Artha! mencuri pisau!"
"Ha ?.. apa ?" Satriaji berkeringat. Begitu juga dengan Vlad teman sekelasnya, Artha terlihat senang terus membuka kotak kayu di telapak tangan dan menatap barang dalam kotak dengan mata berkaca-kaca. Sangat senang malahan sampai terlihat ingin meneteskan air matanya.
"Woahhh! Akhirnya, aku dapatkan pisau dari Singapura! Lihatlah ukiran yang ada di bila--- ap--!" Perkataannya terhenti setelah memandangi pisau di tangannya. Vlad mundur beberapa langkah ke belakang, dikuti Satriaji yang sama-sama mundur perlahan-lahan. Seperti yang diperkirakan oleh keduanya, Artha mencengkram pisau erat dan menghancurkannya.
Mata merahnya menyala di kegelapan malam, ia menoleh ke belakang kalau seorang gadis cantik berambut merah muda memegang benda yang asli. Keduanya saling tersenyum, tapi semua orang tahu kalau senyuman itu bukan hanya senyuman biasa.
"Hei! Kalian yang ada di sana!" Teriak penjaga. Serentak ketiganya kabur dari belakang asrama perempuan, tapi penjaga mengetahui ada yang lari segera mengejar mereka. Kecepatannya terlihat tidak biasa, jadi pasti dia juga seorang mantan pemburu. Walaupun begitu Vlad berlari lebih cepat dari yang lain.
Setelah beberapa menit penjaga mengejarnya, ia kehilangan jejak ketiga orang yang kabur dan mereka berhasil melarikan diri. Berada di depan pintu asrama laki-laki, ketiganya masuk ke dalam dan Artha berjalan ke kamarnya bersama Satriaji sedangkan Vlad pergi ke kamarnya. Sebelum berpisah mereka pamitan terlebih dahulu.
"Kak Tedy, apa kamu sudah mencuci bajumu ?" Tanya Satriaji tersenyum kecil. Orang yang ditanya masih terlihat kesal, ia menjawab tanpa nada yang berarti dan mereka sampai di depan kamar mereka. Satriaji membuka pintu dan keduanya masuk, mendapati beberapa anak sedang mengobrak-abrik kamar mereka berdua. Dua kasur terbalik, lemari hancur, dan barang-barang mereka acak-acakan.
Salah satu orang menoleh ke belakang dan melihat mereka sedang berdiri lalu dia menepuk pundak temannya. "... Zrak! Mereka kembali!"
"Oh,.. baguslah kalian kembali nah sekarang berikan surat itu padaku."
"Sialan, kau ingin merasakan bagaimana kematian ha ?" Artha berjalan mendekat penuh amarah. Tangannya mengepal kuat, dan teman dekatnya menarik tangan Adly menghentikan langkahnya. Dan dia berjalan ke tong sampah, mencari-cari sebuah kertas lalu memberikannya pada orang-orang yang mengacak-acak kamarnya.
Mereka menerimanya dengan wajah kesal, tak lama kemudian satu orang memukul Satriaji cukup keras hingga dia terlempar ke dinding. Orang itu mengepalkan tangannya lagi, asap kuning mengelilingi kepalan tinjunya dan saat ingin mendekat Artha menarik pedangnya. Semua orang yang ada di sini mual lalu muntah darah, kecuali Satriaji yang tengah duduk.
Dan besoknya, dengan tuduhan menggunakan sembarang kekuatan khusus keduanya dihukum untuk berdiri di lapangan saat upacara bendera sampai sore hari.
Rambut putihnya terlihat lebih bersih dari sebelumnya dan seorang gadis memperhatikannya dari kejauhan, di tengah lapangan depan tiang bendera mereka berdiri. Sampai sore hari mereka mesti harus diam di sana, kalaupun pingsan sekalipun mereka takkan dibiarkan untuk istirahat. Itulah hukuman untuk mereka.
Artha terlihat kelelahan karena darahnya terkuras habis setelah menggunakan kekuatan khususnya, ia bisa membuat senjata dari darahnya tapi karena dia masih belum menguasai kekuatan sepenuhnya ia kelelahan. Kekurangan darah.
Artha menoleh ke samping, "Makan malam hari ini apa ?"
"Tahu dan sayur bayam, bukannya kamu yang biasanya memasak kenapa malah bertanya."
"Apa kau suka daun singkong ? Katanya itu bisa menambah darah, katanya."
"Kurasa aku akan mencobanya.. itupun kalau kau bisa memasaknya," balasnya sambil tersenyum dan penuh keringat. Keduanya mulai memasuki batas, matahari begitu panas sampai tingkat dimana telur sekalipun bisa matang. Sekarang mereka dijemur di panas terik matahari yang luar biasa panasnya.
Kaki mereka terlihat gemetaran lemas, tak lama Satriaji mulai roboh lalu bertekuk lutut tidak bisa menahan panasnya terik matahari. Seseorang datang berjalan dengan pelan, keduanya mengangkat wajah melihat kepala sekolah sedang berjalan menuju mereka berdua.
Dia berdiri di depan wajah Satriaji sambil mengelap kacamatanya. Lalu berkata, "mengapa kau melakukan hal semacam itu ? Padahal aku mengharapkan kalau kau orang yang paling kuat di sekolah ini."
"Saya merasa.." lirihnya pelan kembali tertunduk.
"Saya yang mengeluarkan kekuatan,.. dia sama sekali tidak melakukan hal yang salah. Kenapa bapak tidak membiarkannya pergi ke kelas saja ?" Tanya Artha memotong perkataan temannya. Pria tinggi agak gemuk menaruh kacamatanya dalam kotak, ia mengangguk dan membawa Satriaji ke kelasnya meninggalkannya sendirian.
Sambil ditarik kepala sekolah Satriaji sesekali menoleh ke belakang, akibat karena dia orang paling kuat di sini mendapatkan perlakukan khusus. Berbeda dengan Artha yang hanya kekuatan normal saja, tapi dikategorikan sebagai yang terlemah karena kekuatannya itu membentuk darah menjadi senjata yang diinginkan.
Walau dia punya kekuatan besar sekalipun, selama beberapa tahun ini ia hanya berada di belakang punggungnya dan berlindung saja. Tak pernah sekalipun ia melihat Artha mundur, kecuali kalau benar-benar keadaan terburuk.
"Seperti ****** ******** yang masuk ke dalam oven," ujarnya dalam hati. Sambil merasa letih ia meninggalkan temannya penuh dengan perasaan bersalah, sedangkan Artha jauh di belakang mengigit jarinya menghisap darahnya sendiri. Tak lama kemudian tubuhnya mengeluarkan asap dan asap itu berubah jadi dirinya.
Mengambil kesempatan untuk pergi, ia digantikan oleh bayangan dirinya yang pastinya hanya akan bertahan dua jam saja. Dia berjalan di halaman sekolah terhuyung-huyung, mengetahui kalau sinar matahari takkan sepanas itu dia yakin kalau ada yang melakukannya sengaja.
Dia duduk di bawah pohon merasakan pusing, tanpa disadarinya ia mulai terpejam dan tertidur...
***
Jam pulang sekolah berdering cukup keras semua guru pun keluar dari kelas begitu juga dengan para murid, ketika Satriaji bergegas untuk menjemput Artha ada banyak murid datang padanya. Mereka berbisik dekat daun telinganya.
"Jangan berteman dengannya, kau berada di kelas A jangan sampai lupakan itu."
"Ya itu benar... Kita tidak selemah dia."
"Apa yang kalian katakan, aku tidak peduli, permisi! Tolong minggir!" Ujarnya menyingkirkan mereka. Salah satu orang memegang tangannya menghentikan langkah kakinya, semua teman sekelasnya mulai membicarakan betapa buruknya kelakukan semua murid di kelas C termasuk menjelek-jelekkan nama Artha di depan mukanya.
Sorot mata Satriaji mengeras, terarah pada mereka semua yang bicara langsung membatu tidak mengatakan apapun. Hendak ingin membuka mulutnya seorang lelaki mendatanginya, tangannya hampir meraih pundaknya namun Satriaji jongkok menghindarinya dan cepat berdiri untuk menyundul dagunya.
"Sial! Apa maksudmu ha ?!" Teriaknya. Tangannya mencengkram kerah baju, Satriaji yang mulai emosi dan menggenggam kedua tangannya menaikan kekuatannya perlahan. Orang ini jelas segera menjauh, akan tetapi tangannya berkata lain tanpa ampun tangannya berdarah dan tidak bisa digerakkan sama sekali.
Seakan-akan tulangnya itu sekarang hanya sebuah kain, orang ini kaget dengan apa yang terjadi pada kedua tangannya. Menggerakan jari kelingking saja dia tidak bisa.
Tanpa mempedulikan kata-katanya Satriaji berlari keluar dari kelas, melihat para guru menghalangi jalan ia melemparkan pena keluar dari gerbang sekolah. Tubuhnya menghilang sekejap mata, berada di depan gerbang dia berpindah tempat dan segera mengambil pena miliknya. Dia bergegas lagi menuju asrama laki-laki.
"Di lapangan dia tidak ada,.. aku rasa harusnya dia sudah pulang." Dalam hati ia berkata.
Setelah lama akhirnya berlari, ia sampai di depan pintu kamarnya lalu membuka pintu tidak melihat siapapun di sini. Merasa kalau dia ada di dapur Satriaji pergi ke dapur, tidak melihat siapapun dan hanya ada piring di atas meja dengan sebuah kertas di atasnya seperti sebuah surat.
Menghela napas lega karena orang yang ada dalam pikirannya baik-baik saja, dia duduk di meja makan menatap piring berisi makanan. Masih merasa bersalah tentang sebelumnya, ia tidak mengatakan apapun dan pergi meninggalkannya begitu saja.
Suara decak jam memecahkan keheningan dalam ruangan, baginya tinggal di asrama tidaklah buruk namun itu berbeda jika tidak ada orang bodoh di sampingnya. Merasa sendirian karena teman-temannya tidak ada, Satriaji berpikir untuk ikut ke salah satu klub atau apapun itu agar punya kegiatan.
"Aku tidak pandai dalam berbagai hal.." keluhnya mengeluh. Tangannya sibuk mengetuk-ngetuk meja, mendengarkan suara langkah kaki yang berisik dari luar dan suara bising mereka yang sedang tertawa terbahak-bahak.
Pada bibirnya terdapat gambar pahitnya hidup dan kepedaran hati secara bersamaan, jelas sekali kalau ia sedang menahan rasa sedih yang amat dalam. Segalanya dimiliki olehnya, tapi karena itulah dia kehilangan semuanya. Kini, ia berdiri beranjak dari tempat duduknya keluar dari kamarnya.
Mencari-cari Adly sepanjang hari, namun masih belum menemukannya di sekitaran sekolah tidak ada keberadaannya sekalipun. Sampai ia menghabiskan setengah energinya, tetap, dia tidak menemukan teman sekamarnya membuat dirinya takut terjadi apa-apa padanya.
"Perkebunan.. mungkin saja, dia di sana!" Ujarnya dalam hati. Ia bergegas, memakai Teleport terus menerus hingga sampai di depan perkebunan melihat kalau seorang pria tua sedang memetik daun-daun singkong muda. Dan tidak ada seorangpun di sini terkecuali dirinya.
Menyerah untuk mencarinya Fauzan berjalan kembali ke asrama dengan perasaan cemas, saat berjalan beberapa langkah ponselnya bergetar dalam saku celananya. Dia meraih ponselnya, melihat Vlad menelepon nomornya dan dua mengangkatnya.
"Halo.."
"Ya, ada apa ?"
"Artha, dia ada di sini.. tapi ada yang aneh."
"Aneh ? .. dimana dia sekarang ?"
"Di gudang sekolah, dia sedang menggigit tangan seorang gadis meminum darahnya. Seperti vampir,.. padahal aku sering diejek vampir olehnya sekarang dia yang seperti vampir, ironi sekali."
"Aku akan ke sana!" Katanya terdengar cemas. Sambil memikirkan gudang. Tubuhnya memudar, meninggalkan cahaya biru dan partikel putih berterbangan di area sekitar. Langsung dalam sekejap, ia sampai di dekat gudang melihat Vlad yang tengah mengintip dari jendela.
Satriaji menghampirinya, namun tidak mengatakan apapun ketika melihat kalau apa yang dikatakan Vlad sebelumnya adalah kenyataan. Dan gadis yang sedang duduk bersama Artha, orang yang mempermainkannya pagi hari yaitu saat keduanya ingin mencuri pisau tapi mendapatkan yang palsu.
Besoknya, mereka berdua tidak mengatakan apapun karena Artha pulang tanpa mengatakan apapun dan bersikap seperti biasanya. Mereka bingung mengapa harus meminum darah, sempat ingin bertanya akan tetapi keduanya seperti enggan untuk bertanya pada orang yang bersangkutan.
"Katanya, ada monster keluar dari pintu loh."
"Benarkah ? Hmm.. Ji, apa kelasmu akan menghadapinya ?" Tanya Vlad merespon perkataan Artha barusan. Orang yang ditanya terdiam memikirkan tentang bagaimana cara agar mereka tidak perlu menghadapi ancaman semacam itu, mau bagaimanapun juga semua yang ada di sekolah ini hanya remaja berumur 17 tahunan. Hanya sekumpulan remaja penuh kesombongan, hal itu saja yang terlintas di pikirannya.
Terlebih lagi bentuk musuh mereka sangatlah aneh, terlebih lagi zombi yang menyelinap masuk ke dunia dengan tubuh seperti manusia biasa. Penampilan mereka saja yang kelihatan aneh, harusnya mayat hidup tidak nyata dan mahkluk itu tidak bisa bertahan selama beberapa jam kalau ada matahari. Bahkan panasnya begitu panas, pasti daging mereka akan membusuk begitu juga dengan para lalat yang mengerumuni mereka harusnya menghancurkan daging mereka.
Sangat tidak wajar baginya, namun Fauzan tahu kalau semua ini nyata bukanlah mimpi belaka dan entah mengapa dia membenci kekuatan yang ada di dalam dirinya. Kalaupun memang benar dia bisa menyelamatkan banyak orang, akan tetapi dia merasa tidak terima dengan apa yang ada di dalam dirinya sendiri.
Bel berbunyi, namun terdengar agak keras dan aneh tidak seperti biasanya..
"Pengumuman! Kelas 3-A, kelas 3-B, kelas 3-C, kalian diharapkan untuk pergi ke lapangan segera! Cepat!" Suara dari speaker. Semua orang di kelas mendengar, kelas tiga yang dipanggil segera bergegas menuju lapangan begitu juga mereka bertiga yang tengah duduk di bawah pohon. Karena jaraknya dekat mereka sampai duluan datang.
Kepala sekolah duduk di depan, dia sedang melihat layar ponselnya dengan tatapan tajam penuh keseriusan. Beberapa saat setelahnya semua yang dipanggil datang, mereka berbaris sesuai barisan kelas mereka masing-masing kecuali kelas C yang masih tidak teratur dan hanya Artha yang berbaris seorang diri.
Kepsek menghembuskan napasnya lalu ia berdiri, melihat pria di depan ingin berteriak Artha mendekat ke teman sekelasnya.
"Kalian semua cepat berbaris!" Teriaknya. Semua teman sekelasnya mendengar, begitu mendengar suara Artha semuanya kini berbaris dengan rapi tidak seperti sebelumnya. Kepala sekolah sekarang lega melihat semuanya sudah berbaris, karena lelaki itu kelas C bisa diatur. Tanpa dirinya satu kelas itu akan dipenuhi orang tidak benar saja.
Satu kelas memiliki 20 murid, diantara 10 laki-laki dan sisanya perempuan. Totalnya di sini ada 60 orang membuat kepsek merasa mereka tidak bisa menanggung semuanya sendirian, tapi ia merasa kalau semua murid yang ada di sini terlihat sudah siap secara fisik bukan mental kecuali beberapa orang di kelas C yang terlihat sudah siap segalanya.
Kepala sekolah menjelaskan semuanya dengan judul "ujian kelulusan", semua orang yang mendengar kabar tersebut kelihatan ketakutan termasuk guru yang ada di sana. Beberapa murid memejamkan mata, ketakutan tampak jelas di raut wajah hampir seluruh murid yang ada di lapangan. Tegapnya berdiri mereka hanya sementara.
Tidak terlalu bagus untuk memgirim remaja, akan tetapi hal aneh semacam ini terlalu menarik perhatian banyak orang apalagi masyarakat yang meminta perlindungan. Hanya itu tidak memungkinkan mengirim para tentara, mungkin wajar untuk menghadapi naga, mayat hidup, dan mahkluk lainnya yang ada di balik Pintu itu.
"Kami akan memberikan kalian senjata sesuai kemampuan kalian," ujar kepala sekolah melirik satu guru di sampingnya. Guru ini mengangguk. Dia pergi ke belakang, membisikan sesuatu pada beberapa orang segera setelahnya mereka pergi seusai berbisik-bisik dengannya dan selang beberapa menit berlalu, mereka kembali membawa sekumpulan kotak penuh dengan senjata.
"Kalian yang di panggil maju ke depan dan ambil senjata kalian!" Teriak guru pada semua murid. Dan memerlukan satu jam untuk membagikan senjata, Satriaji sendiri mendapatkan senapan serta sebuah pistol tanpa peluru dan nantinya bisa diisi oleh tenaga hidup. Tenaga hidup sendiri digambarkan seperti energi sihir dalam game, Satriaji tahu akan hal itu tapi tak menyangka bisa menggunakannya dengan telapak tangan sendiri.
"Lihatlah, ada seseorang yang tidak memilki senjata sama sekali.." bisik seseorang gadis pada temannya di samping Satriaji. Lelaki ini tak heran lagi, ia hanya bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada mereka bila meremehkan ataupun melakukan hal ceroboh nantinya seperti berjalan sendiri-sendiri, seraya memikirkan hal tersebut seorang gadis lewat di hadapannya.
"Kelas Khusus ?!" Ucapnya dalam hati. Gadis ini melangkah menuju Artha, mereka saling memandang dengan tatapan yang saling mengenal akan tetapi dia tidak tahu hubungan apa yang dimiliki oleh gadis ini dengan teman sekamar sekaligus teman masa kecilnya. Awalnya keduanya tampak bermusuhan contohnya saat Artha mencuri sesuatu di asrama perempuan.
Terlebih lagi gadis ini yang baru saja lewat kelas Khusus, sebuah kelas dengan sejumlah orang-orang hebat yang memilki Fytal. Senjata dengan kemampuan tambahan, banyak hal yang bisa dilakukan oleh senjata tersebut semacam benda yang bisa mengeluarkan api dan semacamnya tanpa bantuan satupun teknologi.
"Sihir kah ?"
"Hey, Satriaji! Apa kau akan menjadikanku sebagai salah satu anggota kelompok ?!" Tanya teman sekelasnya bersuara keras. Satriaji menghembuskan napas, ia membuang napas panjang sebelum melanhkah mendekati teman sekamarnya melihat gadis ini memberikan tangannya pada Artha. Tanpa melihat wajahnya lelaki ini menolak Satriaji untuk satu kelompok dengannya.
"Eh ?" Satriaji membuka mulutnya menganga sebentar. Tak lama, Vlad bersama yang lain memintanya untuk satu kelompok bersamanya karena bus akan berangkat sebentar lagi. Mereka akan dikirim sesuai kemampuan kelompok masing-masing, terpaksa untuk membiarkannya bersama orang lain ia masuk ke kelompok lain.
***
Satu jam berlalu, gerbang besar seperti dua pintu masuk berdiri di hadapan mereka dengan ukuran yang sangat besar melebihi pesawat. Pintu ini terbuka. Sepasang mata memandang mereka, seluruh murid tampak waspada akan tetapi terdengar suara kaca pecah dan gemuruh badai bersamaan dari balik pintu.
"Satriaji, apa kau tidak menyadari ?" Tanya Vlad di sisinya.
"Menyadari apa ?" Tanya Satriaji. Remaja yang bertanya menoleh ke belakang, terlihat Artha tidak memiliki kelompok selain bersama gadis berambut merah muda itu dan mereka kelompok terakhir yang akan di kirimkan kalau terjadi sesuatu. Kelompok cadangan.
"Tanpa darah Artha takkan bisa hidup, bukan ? Lantas selama ini dia meminum darah siapa.. ya gadis itu."
"Eh ? Ah, ya tunggu bukannya.." perkataannya terhenti mendadak. Segerombolan mayat hidup keluar dari pintu, mereka terseok-seok berjalan menghampiri para murid yang tengah menggenggam senjata di tangan walau terlihat jelas ketakutan menyertai mereka semua yang ada di tempat ini. Hanya Satriaji yang tidak mengangkat senjata dan hanya terdiam membisu menatap sekumpulan mayat berjalan tersebut menuju arahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!