Sepekan telah berlalu sejak Auri memberanikan diri mengucap Syahadat. Kini dia telah menjadi seorang muslimah. Dia terusir dari keluarganya. Ayahnya bahkan menghapus namanya dari daftar keluarga.
"Neng Auri yang kuat ya!" Hibur Memei, pembina santri wati di Pesantren tempat Auri tinggal usai menjadi mu'alaf.
"Aku takut, mbak. Aku tidak punya keluarga lagi." Ungkap Auri sambil menangis.
"Tenang saja, Neng. Keluarga Kiai Ahmad akan memperlakukan Neng Auri layaknya wanita terhormat. Toh tinggal beberapa jam tersisa menjelang Neng Auri menjadi mantu mereka."
Memei kembali mencoba menenangkan kegundahan hati Auristela Azzahra. Ya, Azzahra adalah nama pemberian seseorang terhadapnya jauh sebelum Auri mengenal Islam.
"Jujur, aku masih ragu dengan semua ini, mbak. Semuanya tiba tiba begitu saja. Aku belum yakin dengan hatiku sendiri."
Mendengar ucapan Auri seperti itu membuat Memei sedikit bingung dengan gadis cantik bermata sipit itu.
"Kalau belum yakin, kenapa Neng Auri berani mengucap Syahadat." Tegas Memei dengan nada sedikit membentak.
"Tidak ada paksaan untuk memeluk Islam. Dan sangat disayangkan, jika ternyata Neng Auri memeluk Islam secara terpaksa dan hanya karena ingin hidup bersama dengan denmas Kelvin." Sambungnya dengan suara gemetar menahan rasa kecewanya.
Auri hanya diam. Dia tahu apa yang dirasakan Memei. Dia sebenarnya sangat bahagia menjadi mu'alaf.
'Aku ragu akan ketulusan Kelvin. Aku takut Kelvin hanya ingin menjadikan aku lambang keperkasaan dan kehebatannya saja. Aku takut Kelvin ingin mendengar pujian dari teman temannya tentang dirinya yang berhasil memiliki gadis keturunan Negeri Gingseng sepertiku.' Ungkapnya dalam hati.
Kekhawatiran Auri bukan tidak beralasan. Pertemuan singkatnya dengan Kelvin sekitar dua bulan lalu, membuat dirinya jatuh hati pada Kelvin yang sangat menghargai wanita. Lalu, entah bagaimana dia bisa begitu dekat dengan Kelvin, hingga jatuh hati pada agamanya.
Tapi anehnya setelah tinggal di Pesantren, Auri melihat sisi lain dari Kelvin yang sibuk membanggakan diri dengan berhasil mendapatkan Auri dengan mudahnya. Bukannya merasa bahagia, Auri malah merasa hanya dijadikan pameran kesombangan seorang Kelvin Ahmad.
Dan sebenarnya Kelvin tidak pernah mengajarkan Islam padanya, Auri mencari tahu sendiri tentang Islam dan wanita muslimah. Hingga saat dia mulai belajar memakai jilbab, Kelvin datang menyatakan rasa sukanya pada Auri.
"Auri, sebenarnya aku sangat mencintaimu. Jika kamu bersedia ikut bersamaku, memeluk agamaku, aku akan langsung menikahimu." Ucap Kelvin merayu Auri yang memang sudah jatuh sejatuh jatuhnya pada dirinya.
"Aku takut, Vin."
"Apa yang membuatmu takut, Auri?"
Sejenak Auri diam, dia menarik napas beberapa kali sambil menundukkan kepalanya.
"Jika aku diusir oleh keluargaku, apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Auri ragu ragu.
"Aku akan melindungimu. Aku akan menghalalkan kamu Auri. Percayalah, aku akan menjagamu hingga akhir hayatmu." Janji Kelvin padanya sambil menggenggam tangan Auri.
Mendengar ucapan Kelvin, membuat Auri terharu sekaligus bertambah yakin untuk hidup bersama Kelvin.
Namun, disaat akad sebentar lagi di ikrarkan, Auri malah menjadi ragu dengan keputusannya yang tadinya sudah sangat diyakini sepenuh hati.
'Ya Allah, engkau yang Maha segala galanya. Tidak ada yang mustahil bagimu. Tetapkan hati untuk mencintaimu, meski saat ini aku ragu untuk hidup bersama Kelvin.' Lirihnya dalam hati.
"Neng Auri, sebentar lagi denmas Kelvin akan mengikrarkan akad nikah, dan sebentar lagi Neng Auri akan menjadi istri sah denmas Kelvin." Ujar Memei yang menyadarkannya dari lamunan.
"Apa aku terlihat cantik, mbak Mei?" Tanya Auri sambil menoleh pada Memei.
Senyum tulus terlihat diwajah Memei. Dia menghampiri Auri, dan menggenggam erat tangan wanita cantik itu. "Neng Auri sangat cantik. Dan mbak harap, neng Auri akan istiqomah dan menjadi istri yang terbaik untuk denmas Kelvin." Ucapnya.
Auri pun tersenyum mendengar doa dan harapan dari wanita yang sudah dianggapnya seperti kakaknya sendiri meski baru bersama sepekan terakhir.
Lima bulan telah berlalu. Kini Auri bahagia menjalani hari harinya di Pesantren. Dia membantu Kelvin yang sudah di angkat sebagai pimpinan Pensantren. Disamping itu, Auri juga belajar tentang Islam lebih dalam lagi melalui Al-Qur'an. Dia juga mulai belajar membaca, menghafal dan memahami Kalam Allah dengan penuh kesungguhan.
"Sayang, bangun. Tahajud yuk!" Ajak Kelvin yang dengan lembut mengelus pipi istrinya yang masih tertidur lelap.
Yang dielus pipinya hanya sedikit bergerak, namun tidak membuka matanya. Kelvin paham, sepertinya Auri masih mengantuk sehingga dia melanjutkan tahajud sendirian.
Disujud terakhir tahajud Kelvin, Auri diam diam terbangun dan melangkah perlahan menuju kamar mandi untuk berwudu.
Brrraaakkk gdbuggghr...
Suara itu berasal dari kamar mandi. Auri terpeleset hingga tubuhnya tersungkur dilantai yang licin itu. Kelvin yang mendengar itu pun segera berlari menuju kamar mandi.
"Sayang, kamu kenapa?" Teriaknya panik dan langsung membantu Auri untuk duduk.
"Abang, sakittt…" rintih Auri sambil memegangi perutnya.
"Perut kamu sakit?" Auri mengangguk. Lalu, Kelvin segera mengangkat tubuh Auri dan membawanya ke tempat tidur.
Sangking paniknya, Kelvin tidak menyadari ada banyak darah yang menetes dilantai dan juga sudah mengenai lengan kemeja putihnya.
"Sayang tahan bentar, Abang panggil Umi dulu." Kelvin berlari keluar rumah menuju rumah Uminya yang berada di belakang Asrama santri putri.
Sementara Auri terbaring lemah dikasurnya. Darah terus mengalir hingga ke ujung betisnya. Aliran darah itu dirasakan keluar dengan deras oleh Auri. Dia ingin berteriak meminta tolong untuk menyelamatkan janinnya yang baru berusia lima minggu itu. Sayangnya dia terlalu lemah, hingga akhirnya kehilangn kesadaran.
Dan Kelvin, baru saja sampai di rumah Umi. Dia berteriak sampai lupa mengucap salam. Umi dan Abi yang saat itu baru selesai tahajud pun langsung menghampiri Kelvin.
"Ada apa Nak?" Tanya Umi sedikit berteriak.
"Umi, tolong…" Kelvin terengah engah dan kebingunngan akan apa yang ingin disampikannya pada Umi.
"Tenanglah dulu, Istighfar." Sahut Abi yang ikut mendekati Kelvin.
Kelvinpun mencoba menenangkan dirinya. Lalu, barulah dia mulai menceritakan apa yang terjadi pada Auri.
"Kamu tinggalkan dia sendiri?" Tanya Umi yang langsung melangkah cepat menuju kediaman Kelvin dan Auri.
Umi sudah mulai menerka apa yang akan terjadi pada menantunya itu saat melihat darah di lengan kemeja Kelvin.
"Auri, nak. Sayang." Umi menghampiri Auri yang sudah tidak sadarkan diri dengan banyak darah di rok dan sprei tempat dia berbaring.
"Allah, Auri kasihan kamu nak." Umi memeluk erat tubuh Auri.
"Kelvin, cepat panggil ambulan." Saran Abi.
Kelvin pun segera mengambil Hp dan langsung menelpon. Sementara Umi meminta Abi memanggilkan Ani yang bekerja di klinik lingkungan pesantren.
Keributan dan kepanikan itu membangunkan semua penghuni Pesantren. Mereka saling bertanya dan penasaran. Beruntungnya setiap pengasuh mereka mencoba menenangkan dan menjelaskan apa yang sedang terjadi.
"Umi, Auri kenapa?" Tanya Ani yang datang terburu buru. Dia bahkan tidak sempat membenahi jilbabnya hingga terlihat sedikit rambut bagian depannya.
"Ani tolong anak saya." Ucap Umi yang tidak berhenti memeluk erat tubuh Auri yang terlihat pucat dengan suhu tubuh yang mulai menjadi dingin.
Ani segera memeriksa Auri. Lalu dia segera mengeluarkan infus dan segera memberi pertolongan melalui infus.
"Umi, sebaiknya kita segera membawa Auri ke rumah sakit. Dia mengalami pendarahan hebat." Sarannya.
"Umi, ambulannya sudah sampai." Teriak Kelvin.
"Syukurlah. Segera bawa Auri ke ambulan." Pinta Ani.
Kelvin menggendong tubuh lemah Auri menuju ambulan, sedangkan Ani ikut sambil memegangi botol infus yang tersambung pada tubuh Auri.
"Kak, apa kandungan Auri baik baik saja?" Tanya Kelvin saat sudah berada di ambulan.
Ani menatap sendu wajah Kelvin. Lalu dia menggeleng.
"Allah…" Ucap Kelvin tertahan. Dia mengusap wajahnya dan menahan air matanya yang hendak tumpah.
Tangannya yang tadi menggenggam erat tangan jemari Auri pun dilepasnya. Dia bahkan memalingkan wajahnya dari wajah pucat tak sadarkan diri itu.
Awalnya Ani mengira Kelvin menyalahkan dirinya karena tidak mampu menjaga istri dan calon bayinya. Karena itulah Kelvin berpaling dan melepas jemari Auri.
"Ini akibatnya karena tidak patuh pada suami." Lirihnya tertahan.
Ani terdiam mendengar ucapan itu. Dia tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Kelvin. Setahunya, Auri adalah istri yang sangat patuh pada suaminya.
"Harusnya sebagai wanita, kamu itu tidak perlu bekerja dan keluar rumah. Terlebih saat kamu mengandung anakku." Menatap tajam wajah Auri.
Ani hanya diam, dia tidak ingin ikut campur.
"Aku tidak akan pernah memaafkan kamu, Auri." Ucapnya sambil merapatkan giginya. Suaranya serak tertahan penuh penekanan karena menahan amarah yang meluap.
Kiai Ahmad, istrinya, Ani dan Kelvin berkumpul diruangan tempat Auri dirawat. Semuanya diam saat mengetahui Auri kehilangan bayinya.
"Maafkan Aku Umi, Abi." Ucapnya terisak.
"Tidak, sayang. Semua bukan salahmu. Kamu tidak perlu meminta maaf." Memeluk Auri dengan erat dan ikut menangis.
Abi hanya tertunduk sedih. Dia menjaga wibawanya sebagai seorang yang lebih dewasa dan sebagai pemimpin. Sementara Kelvin terlihat kesal dan hampir memukul tembok, tapi ditahannya karena ada Abi.
Dan Ani, diam diam melihat mata Auri yang mencoba bersembunyi dari tatapan Kelvin. Dia seperti ketakutan.
'Apa yang sebenarnya terjadi dengan pasangan ini. Bukankah mereka sangat bahagia, saling mencintai selama ini. Lalu kenapa Auri seperti takut pada Kelvin? Dan mengapa Kelvin bersikap aneh terhadap Auri?' Batin Ani yang mulai menerka nerka keanehan yang disaksikan sendiri olehnya.
Waktu terus berlalu, Abi, Umi dan Ani sudah kembali kepesantren usai sholat subuh tadi. Dan kini tinggallah Kelvin yang menjaga Auri.
"Maaf ya mbak, saya periksa sebentar ya!" Seru seorang perawat yang mulai memeriksa Auri.
Sementara Kelvin duduk diam di sofa ruangan itu. Dia enggan menatap Auri. Dia juga tidak mengucapkan apa apa. Hanya diam dengan raut wajah kesal dan kecewa.
"Kondisi mbak Auri sudah mulai membaik. Darah mbak Auri juga sudah hampir normal. Jadi untuk sementara mbak Auri jangan banyak bergerak dulu. Kalau mau minum minta tolong saja sama suaminya." Jelas perawat itu dengan ramah.
Auri hanya mengangguk pelan dengan sedikit senyum. Lalu perawat itu pun segera meninggalkan ruangan itu.
Suasana kembali mencekam. Rasa haus mulai dirasakan Auri. Namun sayang Kelvin sama sekali tidak memperdulikannya. Auri pun akhirnya mencoba meraih gelas kosong di meja samping. Gelas berhasil dipegangnya, tapi airnya sedikit jauh dari jangkuan. Auri pun terpaksa menggeser tubuhnya agar tangannya dapat meraih tempat air itu.
Auri kesusahan, saat mencoba menggerakkan tubuhnya dia merasakan sakit dan nyilu pada perutnya. Sehingga dia menyerah dan menahan rasa hausnya sejenak.
"Abang… Aku haus." Ucap Auri pelan.
Kelvin menoleh dengan tatapan tajam matanya. Dia mendekat pada Auri.
"Aku tidak tahu mengapa. Aku sudah berusaha untuk mencintai kamu Auri. Cintaku hampir tumbuh saat darah dagingku ada dalam perutmu. Tapi, kamu membunuhnya. Membunuh cintaku yang hampir tumbuh." Tegasnya beberbisik ditelinga Auri.
Air mata Auri menetes tidak tertahankan. Rasanya jauh lebih sakit mendengar ucapan Kelvin padanya.
"Aku tidak pernah memaksa abang untuk mencintaiku. Abang yang ingin menikahiku..." Ujar Auri sambil menangis.
"Ya, semua memang salahku. Salahku tertarik dengan paras cantikmu. Salahku memintamu pindah pada agamaku. Ku kira aku bisa melupakan kekasihku setelah aku mendapatkan kamu. Ternyata, sampai saat ini kamu tidak pernah bisa memiliki hatiku Auri."
"Istighfar, bang. Cukup abang menyakitiku dengan semua ucapan menyakitkan itu. Jika memang abang sudah tidak menginginkan aku lagi, lepaskan aku. Pergilah, kejar kekasih abang yang sangat abang cintai itu." Auri mengucapkan semua kata kata itu dengan lancar meski ditemani air mata.
Kelvin berpaling dari wajah Auri. Dia melangkah sedikit menjauh. Lalu, Kelvin mengusap wajahnya pelan sambil mengucapkan Asma Allah.
"Maafkan aku Auri. Sepertinya kita cukup berteman saja. Aku akan menjelaskan semuanya pada Abi dan Umi. Aku akan memberikan kamu uang untuk biaya rumah sakit, dan juga biaya untuk mengurus perceraian kita. Kamu yang harus menggugat cerai. Aku tidak mau Abi menyalahkan aku. Kamu pahamkan. Aku pimpinan pesantren saat ini. Jadilah istri yang baik untuk terakhir kalinya. Jaga nama baikku dihadapan ratusan santriku."
"Seperti itukah yang abang inginkan?" Menggenggam erat selimut untuk menahan rasa yang tidak bisa dijelaskan.
"Jika perlu, setelah kamu membaik, pergilah secara diam diam. Aku tidak akan menjelekkan kamu dihadapan Abi dan Umi. Tapi, kalau kamu memaksa untuk menemui mereka, maka terpaksa, aku memojokkan kamu. Ingat itu Auri."
"Baik. Akan aku lakukan. Tapi izinkan aku bertanya satu hal!"
Kelvin menatap kembali wajah Auri dengan tatapan dingin. Lalu kemudian dia mengangguk, mengizinkan Auri bertanya.
"Kenapa Mas Kelvin sangat membenciku?"
Sejenak Kelvin mengatur napasnya. Lalu dia mendekat pada Auri dan kemudian mendekatkan kepalanya kearah telinga Auri.
"Aku tidak membencimu. Hanya saja, selama aku bersamamu, aku membayangkan kamu adalah mantan kekasihku. Dua minggu yang lalu, aku berjumpa dengannya. Dia saat ini membutuhkan aku, akupun sadar ternyata aku sangat membutuhkannya. Aku berjanji untuk menikahinya segera."
Auri tersenyum getir mendengar jawaban Kelvin. Betapa rapuhnya dia saat ini. Rasanya ingin berteriak, namun kekuatannya seakan menghilang. Rasa sakit usai kehilangan calon bayinya bahkan masih terlalu sakit. Apa yang kini dirasanya bak terjatuh tertimpa tangga pula.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!