NovelToon NovelToon

Dangerous Woman Jesslyn

Pengenalan Kehidupan

...Sebelum membaca Jangan lupa untuk mampir ke Karya Rissa Audy yang lainnya. ...

...1. Dangerous Woman Jesslyn : Berkisah Tentang Mommy Jesslyn dan Daddy Nicholas ...

...2. Queen Of Casino: Berkisah tentang Jessica Light (Putri Jesslyn) dan Williams Scorpion....

...3. Istri Tawanan Tuan Arogan: Berkisah tentang Laura Orca dan Michael Bannerick. ...

...(kedua orang tua Nicholas)...

...Happy reading. ...

...Jangan lupa tinggalkan jejak like dan komentar di setiap babnya. Tapi jangan di spam ya!...

Jesslyn Light atau biasa dipanggil Jessi seorang gadis cantik di Pedesaan Negara X. Dia menikah dengan Brian Dominic saat berusia dua puluh lima tahun, sosok lelaki biasa di daerah tersebut juga.

Selama lima tahun pernikahannya tidak ada masalah yang berarti, kecuali perihal keturunan. Perekonomiannya pun membaik, Jessi mengajak Brian untuk membangun sebuah restoran di kawasan ini.

Mereka bersama-sama merintis usaha dari bawah, hingga kini menjadi restoran ter-elite di kawasan ini kemudian, mampu membangun beberapa cabang di luar daerah.

Hidup mereka sangat berkecukupan, Jessi berharap Brian selalu menyayanginya seperti awal mereka menikah. Sebenarnya saat remaja banyak lelaki kaya mendekati, tetapi wanita tersebut selalu menolak, sadar jika dirinya hanyalah seorang gadis desa yang hidup dengan neneknya saja. Dia tumbuh tanpa orang tua sejak kecil dan hanya memiliki Nenek Amber di sampingnya.

Jessi hanya ingin merawat sang nenek selama hidup ini, maka dari itu dia memilih Brian sebagai pendamping hidup karena sama-sama penduduk yang tinggal di kawasan pedesaan. Wanita itu berharap agar senantiasa disayangi dengan tulus tanpa memandang status dan asal usulnya.

Jam sudah menunjukkan pukul 23:00 malam.

Namun, Jessi masih menunggu Brian pulang sambil menonton televisi, beberapa minggu ini suaminya selalu saja pulang larut.

Hingga beberapa saat kemudian, mulai terdengar suara mobil di luar, diikuti langkah kaki orang berjalan. Jessi melihat ke arah pintu utama tampak Brian memasuki mansion, wanita itu lantas memberikan senyuman termanis untuk suaminya.

"Belum tidur?" tanya Brian sambil melangkah ke arah Jessi sambil mengecup keningnya sejenak.

"Aku menunggumu." Jessi memeluk Brian menghirup aroma maskulin bercampur keringat dan parfum di tubuh suaminya.

"Lain kali tak usah menungguku! Aku lumayan sibuk belakangan ini mengurus cabang baru restoran." Brian melepaskan jas di tubuhnya, lantas menyerahkan kepada istrinya, mereka hidup dengan romantis selama ini membuat siapa pun akan iri melihat perlakuan keduanya.

Jessi menerima jas itu, lalu melipatnya ke lengan tangan. "Tidak apa-apa, aku senang menunggumu. Apa ada masalah dengan cabang baru?"

"Tidak ada masalah, semuanya berjalan lancar." Brian memeluk Jessi sekejap, meluapkan rasa rindu setelah seharian tidak bertemu.

"Kamu mau makan atau mandi dulu, Bri?"

"Mandi saja aku sudah makan tadi di restoran. Kasihan kamu kalau harus menungguku makan malam, Sayang." Senyum indah merekah di wajah pria tampan tersebut, sambil mengusap kedua bahu istrinya.

"Baiklah, tunggu di sini sebentar! Akan aku siapkan air hangat untukmu." Jessi berjalan menaiki tangga menuju kamar mereka, meninggalkan suaminya yang masih berada di ruang keluarga.

Brian meletakkan bokongnya di sofa sambil menghela napas berulang kali, pandangannya melayang ke atas, menatap langit-langit rumah yang tinggi. Kedua ibu jarinya memijit pelipis yang terasa pusing. Dia begitu mencintai Jesslyn, tetapi apa yang terjadi saat ini. Bisakah istrinya menerima kenyataan?

Jesslyn yang berjalan menuruni tangga, melangkah mendekat hingga melihat Brian memijat kepalanya. "Apakah sangat sakit?" Dia mengambil alih, meletakkan jemari di pelipis suaminya dan memijat dengan penuh kelembutan.

"Tidak apa aku hanya sedikit pusing." Brian memejamkan mata, menikmati pijatan Jessi, lalu menarik lengan istinya dan mencium punggung tangan putih itu dengan kelembutan.

"Terima kasih, Sayang."

"Cepatlah mandi lalu istirahat!"

"Baiklah." Brian mengangguk patuh, lalu berjalan menaiki tangga, menuju kamar untuk membersihkan diri.

Setelah beberapa saat, Brian keluar dati kamar mandi dengan hanya mengenakan celana pendek. Tampak Jesslyn sudah terlelap dalam mimpi, mungkin istrinya terlalu lelah. Lagi pula malam sudah semakin larut.

Brian berjalan ke samping ranjang menyibakkan anak rambut Jessi ke belakang telinga, menatap lekat wajah cantik kesayangannya. Dia merasa sangat berdosa kali ini karena sudah mengkhianati kepercayaan sang istri.

Pria itu juga tidak ingin semua ini terjadi. Cintanya begitu besar kepada istrinya. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Apa yang terjadi tak akan bisa diulang lagi. Brian mendekat mengecup kening sang istri dengan penuh cinta sambil memejamkan matanya. "Maafkan aku, Sayang. Selamat malam." Dia berjalan ke arah balkon meninggalkan Jessi yang masih terlelap dalam tidurnya.

Dia sangat bingung kali ini. Bagaimana caranya menjelaskan kepada Jesslyn. Baginya, Jessi adalah dunianya, menerima di saat miskin maupun sakit. Wanita itu, tak pernah mengeluh atau merendahkannya sejak dari dulu. Meskipun Brian hanya di besarkan dari Panti Asuhan.

Mungkin dia adalah orang terbrengsek di dunia ini, sudah memiliki istri sempurna yang cantik, selalu menemani ketika Brian terjatuh, menyemangati selama usahanya belum berkembang. Namun, ketika karirnya berada di atas, pria itu malah mengkhianati kasih sayang dan ketulusan sang istri.

Brian berdiri menatap gelapnya malam, dia mengeluarkan cerutunya. Mengembuskan kemelut asap dari mulutnya.

Asap tebal mengepul ke atas membuat Brian mendongakkan kepala, pikirannya melayang jauh, membayangkan kekecewaan istrinya kelak.

Dulu, ketika dia hanyalah seorang anak yatim piatu yang miskin dari Panti Asuhan, semua orang menghina. Merendahkan statusnya yang berada di bawah, tidak ada satu pun wanita yang memandang.

Namun, kini ketika dia berada di atas banyak perempuan mencari perhatian, meskipun sudah tahu jika Brian sudah beristri tidak membuat mereka gentar. Apa lagi belum ada buah hati di antara pernikahannya.

Sementara Jesslyn yang tertidur di atas kasur meraba posisi di sebelahnya yang terasa kosong. Dia membuka matanya, melihat Brian tidak ada di sampingnya.

Kemana Brian? batinnya.

Jesslyn turun dari ranjang, berjalan mencari Brian. Dia melihat dari belakang, suaminya sedang berdiri di balkon kamar sambil menyesap cerutu. Terlihat begitu banyak beban di pikirannya dan Jessi tidak suka melihat hal itu.

Dia berjalan menghampiri Brian melingkarkan tangannya dari bekalang ke perut, memeluknya dengan lembut dan menghirup aroma maskulin dari tubuh suaminya "Apakah cabang baru begitu merepotkan hingga membuatmu banyak pikiran dan merokok lagi?"

"Tidak! Hanya ada beberapa masalah sebelum opening nanti." Brian memegang kedua tangan Jessi yang melingkar di perutnya.

"Jika melebarkan sayap membuatmu lelah, tak perlulah kita membuat cabang. Aku sudah cukup bahagia hidup seperti ini saja, rasanya tak menyenangkan melihatmu lelah setiap harinya!"

"Tidak apa-apa! Aku bisa melakukannya." Brian memutar tubuh hingga berhadapan dengan Jessi. Menatap kedua bola mata yang biru, begitu meneduhkan.

Jessi adalah orang yang tak pernah menuntut materi membuatnya bersyukur memilik sosok istri yang begitu mencintainya. Brian mengelus kedua pundak istrinya. "Kenapa kamu bangun, Sayang? Apa aku mengganggumu?"

Jessi menggeleng lembut, mengelus pipi Brian yang dingin tersapu angin malam. Menandakan bahwa suaminya telah lama berdiri di luar. "Aku hanya merasakan kamu tak ada di sampingku tadi. Jadi, aku bangun mencarimu."

"Maafkan aku! Mari lanjutkan tidurmu!" Brian mengecup punggung tangan Jessi, mematikan cerutu, dan berjalan menggandeng tangan sang istri ke tempat tidur.

"Tidurlah lagi!" Brian menyelimuti tubuh Jessi, meletakkan lengan tangan di bawah kepala istrinya dan memeluk dengan penuh kehangatan.

Jessi memejamkan mata di pelukan suaminya, sedangkan Brian menyibakkan anak rambut Jessi kebelakang telinga, lalu mengecup pucuk kepala istrinya. "Sayang, kau tahu aku sangat mencintaimu."

"Aku tahu." Jessie memejamkan mata, menenggelamkan wajah di dada suaminya. Mereka tertidur seperti biasa, layaknya malam-malam sebelumnya selama ini.

TBC.

Bonus Visual

Jesslyn Light

Brian Dominic

Visual hanya imajinasi outhor ya teman- teman, kalau tidak suka sama pilihan outhor bisa kalian bayangkan sendiri visual yang kalian inginkan.

Pelangi Sebelum Badai

Mentari pagi menyambut hari, angin berembus membuat tirai berkibar. Sinar hangat mentari menyinari ruangan, menandakan bahwa hari sudah berganti. Sepasang suami istri masih terlelap dalam tidurnya dengan masih berpelukan.

Brian mengerjapkan mata, menatap lekat wajah istrinya yang cantik laksana Dewi Yunani menyinari bumi.

"Sayang, bangun," ucapnya sembari mengecup bibir istrinya yang masih tidur.

"Sebentar lagi, Bri! Kepalaku masih sedikit pusing!" Jessi masih enggan membuka matanya, kepalanya terasa berdenyut-denyut pagi ini membuatnya malas untuk beranjak dari mimpi.

Brian membiarkan sang istri kembali tidur, dia lantas bangun, pergi membersihkan diri menuju ke kamar mandi. Setelah beberapa saat langkahnya mulai menyusuri walk in closet. Terlihat istrinya belum menyiapkan pakaian seperti biasa, membuat pria itu mengambil baju sendiri hari ini.

Setelah siap dan rapi dia keluar, tetapi istrinya masih belum bergeming dari posisinya.

"Apa kamu sakit, Sayang?" Brian yang khawatir mendekat ke arah Jessi, meletakkan punggung tangan di dahi istrinya.

"Tidak aku hanya sedikit pusing. Maafkan aku tak melayanimu pagi ini, Bri!" Suara Jessi terdengar begitu lemas, wajahnya yang cantik kini terlihat pucat dan tak bersemangat.

"Tidak apa-apa, Sayang! Kamu sedang tidak sehat hari ini. Haruskah kita periksa ke dokter, Sayang? Aku takut kamu kenapa-napa?" Raut wajah Brian terlihat begitu mengkhawatirkan kondisi sang istri karena Jessi sangat jarang sakit sebelumnya.

"Tak perlu, biarkan aku tidur sebentar lagi! Nanti siang juga sudah membaik." Jessi meletakkan kembali tangannya di bawah pipi dan membuka sedikit kelopak mata dan melihat saminya sudah rapi, serta siap untuk berangkat bekerja.

"Maaf, Bri. Hari ini kamu sarapan sendiri, ya! Aku terlalu malas untuk bangun."

"Bukan masalah! Nanti aku akan menyuruh pelayan membawakan bubur untukmu kemari!" Diciumnya kening Jessi dengan begitu lembut lantas mengusap kepala istrinya perlahan dengan dengan senyum mengembang.

"Aku pergi dulu, istirahatlah lagi, Sayang!" Brian menaikkan selimut sampai ke atas dada Jessi, dia ingin menemani istrinya. Namun, pekerjaan di restoran sudah menantinya.

"Hmm, hati-hati!" Jessi lantas kembali melanjutkan mimpi yang tertunda setelah kepergian sang suami.

Setelah keluar dari kamar, Brian turun menuju meja makan, sarapan seorang diri dengan sepotong roti dan kopi. Pria memanggil salah seorang pelayan yang biasa membantu Jessi mengurus mansion.

"Bi, nanti tolong antarkan bubur ke kamar! Biarkan Jessi tidur dulu! Jangan diganggu jika ada urusan yang tidak penting! Nanti kalau ada apa-apa kabari saya!" Brian memberi perintah pada pelayan setelah selesai dengan sarapan, lalu mengambil tas kerja di sampingnya.

"Baik, Tuan."

Pria itu langsung beranjak pergi berangkat bekerja. Brian memasuki mobil mewah Maserati Quattroporte Gts, dan membawanya melaju menyusuri sepanjang jalan raya.

Ada beberapa mobil sport di garasi milik istrinya, hadiah yang diberikan oleh Brian kepada Jessi di setiap kesempatan. Meskipun, wanita itu tidak pernah meminta hal tersebut. Namun, dia ingin memberikan yang terbaik untuk orang yang begitu dicintanya.-

Beberapa saat berlalu dalam kesendirian, hingga beberapa saat kemudian, terdengar suara ketukan pintu dari arah luar kamar Jessi.

"Masuk!"

"Nyonya, ini saya membawakan bubur putih." Seorang wanita melangkah memasuki kamar sambil membawa sebuah nampan berisikan makanan dan minuman untuk sang nyonya rumah.

"Letakkan dulu di meja! Tolong bantu aku duduk!"

Pelayan pun meletakkan nampannya di atas meja, lalu membantu sang nyonya rumah untuk duduk di ranjang, disandarkannya punggung Jessi di pinggir headbord. Lantas mengambilkan bubur yang sudah dia bawa tadi.

Jessi mengambil mangkuk, memasukkan sesuap bubur ke dalam mulutnya. Baru beberapa sendok makanan berhasil masuk, tetapi perutnya sudah terasa mual seperti diaduk-aduk. Wanita itu berlari menuju close set memuntahkan semua isi perut tanpa aba-aba.

Dia mengeluarkan seluruh isi perut melalui mulut, padahal baru sedikit bubur yang masuk ke dalam perutnya. Pelayan yang panik langsung menyusul ke kamar mandi, memijat tengkuk majikannya secara perlahan. Setelah dirasa lega Jessi terduduk sebentar, badannya terasa sangat lemas kali ini, kakinya seakan tak mampu lagi untuk melangkah kembali menuju ranjang.

"Nyonya, haruskah saya menghubungi Tuan? Tadi sebelum berangkat tuan berpesan, jika terjadi sesuatu dengan, Nyonya. Saya harus menghubunginya." Pelayan terlihat begitu mencemaskan kondisi Jessi karena hal seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Dia adalah sosok yang kuat di mata para pelayannya.

"Tak perlu! Aku tak ingin merepotkannya!" Jessi hendak berdiri, dengan segera pelayan itu memapah majikannya secara perlahan kembali ke ranjang.

"Tolong hubungi saja Jane! Suruh dia ke sini dan jangan katakan apapun pada Brian!"

"Baik, Nyonya." Pelayan itu lantas pergi keluar kamar untuk menghubungi Jane sesuai dengan permintaan Jessi.

Jessi tidak ingin merepotkan Brian yang sudah banyak pekerjaan, dia lebih memilih meminta tolong kepada Jane.

Jane adalah kakak angkat dari Jessi, ibunya meninggal ketika dia berumur sepuluh tahun, Jessi yang saat itu berumur tujuh tahun begitu dekat dengan Jane dan ibunya yang merupakan tetangganya.

Setelah kepergian ibunya yang terkena penyakit kanker Jane hidup sebatang kara, tidak memiliki saudara yang menemaninya. Nenek Amber dan Jessi lantas meminta wanita itu untuk ikut mereka menjadi satu keluarga yang saling menyayangi.

Hingga beberapa tahun yang lalu, sang adik menikah dengan Brian. Jane kemudian merawat Nenek Amber. Mereka hidup di sebuah rumah, tidak jauh dari tempat tinggal Jessi.

Beberapa saat kemudian terdengar suara Jane datang dan mendorong pintu dengan kencang saking paniknya.

"Hei! Apa yang terjadi padamu? Kenapa wajahmu pucat sekali? Apa suamimu tak memberimu makan? Akan ku tendang bokongnya nanti sudah berani membuatmu seperti ini?!" Cerocos Jane seperti kereta listrik tanpa jeda karena khawatir ketika melihat wajah pucat adiknya.

"Jane, Aku baik-baik saja. Entahlah aku hanya merasa hari ini badanku lemas sekali, semua makanan aku muntahkan. Karena itulah memintamu kemari, dan bukan untuk mendengarmu memarahiku!"

"Kau muntah dan lemas?" Jane menunjuk wajah Jessi dengan mengernyitkan sebelah alisnya. Wanita itu hanya mengangguk lemas.

"Kapan terakhir kali kau datang bulan?"

Mengingat hal itu membuat Jessi melebarkan matanya. "Aku lupa, seharusnya minggu-minggu ini!"

"Ayo! Kita cek ke rumah sakit!" Jane mengambilkan jaket untuk Jessi, memapahnya secara perlahan keluar kamar menuju mobil.

Meskipun, Jane adalah wanita yang kasar, tetapi dia sangat menyayangi adiknya. Baginya, Jessi dan Nenek Amber adalah dunia. Dia tidak butuh lelaki, hanya ingin merawat dua kesayangan ini seumur hidup.

Setelah beberapa saat, mereka tiba di rumah sakit, Jane menyuruh Jessi duduk di ruang tunggu. Sementara itu, kakaknya mendaftarkan dirinya terlebih dahulu.

Sekilas mata Jessi seperti melihat Brian. Namun, dengan cepat dia menggelengkan kepalanya. Tak mungkin Brian di rumah sakit, dia kan sedang bekerja! Lagi pula, bukankah pria tadi bersama seorang ibu hamil? Pasti orang lain! Dia berusaha untuk meyakinkan diri.

Jantung Jessi berdegup cepat, bukan hanya karena melihat itu. Namun, juga disebabkan dirinya sendiri. Benarkah saat ini di tengah mengandung? Dia tak ingin kecewa seperti yang lalu-lalu, membuatnya tidak ingin berharap lebih.

"Ayo!" Ajakan Jane membuyarkan lamunannya.

Jane memasuki ruangan dengan tegang, jantungnya berdegup cepat. Terlihat seorang dokter sedang duduk di kursinya dengan seorang perawat di sampingnya.

"Selamat siang, Nyonya. Silakan duduk!" Jane dan Jessi duduk di kursi di depan dokter tersebut.

"Apa keluhan Anda, Nyonya?"

"Saya mual dan muntah, Dok. Sejak pagi badan saya terasa lemas," keluh Jessi.

"Tanggal berapa anda terakhir kali datang bulan, Nyonya?"

"Saya lupa, Dok!"

"Baiklah kita bisa mencoba memeriksanya dengan USG, silahkan!" Dokter meminta Jessi untuk merebahkan dirinya di atas tempat tidur yang sudah disediakan.

Dibantu perawat yang menyibakkan baju di perut Jessi lalu mengolesi dengan gel. Dokter meletakkan Doppler USG di atas perut Jessi. Menekannya sambil diputar-putar ke arah lain.

"Ini adalah kantong kehamilan!" Dokter menunjuk ke arah lingkaran di layar monitor.

"Untuk usia kandungannya sudah berjalan tujuh minggu, Nyonya. Janin masih sebesar buah ceri, detak jantungnya belum terdengar. Silakan kembali lagi setelah kehamilan dua belas minggu! Saat itu, Nyonya bisa mendengar detak jantung janin."

Mendengar perkataan sang dokter membuat Jessi kehilangan kata-kata. Benarkah yang dia dengar ini? Ada kehidupan lain di dalam perutnya, sesuatu yang dia tunggu selama lima tahun ini. Jessi memanggil Jane dengan mata berkaca-kaca.

"Kakak, benarkah ini?"Jessi bergetar mendengar kehamilannya, rasa bahagia menyeruak dalam dirinya. Kehadiran sang buah hati yang telah ditunggu lima tahun lamanya, kini benar-benar tumbuh dalam rahimnya.

"Ya benar! Ada keponakan ku di dalam perutmu." Jane ikut menangis haru melihat apa yang selalu diharapkan adiknya kini terwujud. Dia berharap Jessi selalu bahagia bersama keluarga kecilnya.

To Be Continue..

Pelangi Dan Badai Bersamaan

Setelah memeriksakan kondisinya ke dokter Jessi dan Jane kembali ke mansion. "Jane, jangan katakan apapun dulu pada Brian! Aku ingin memberinya kejutan!"

Jane memapah Jessi menuju ranjangnya, meletakkan dengan pelan-pelan. "Itu urusanmu dengan suamimu! Aku hanya akan memberitahu nenek nanti! Dia pasti sangat senang mendengar kabar ini."

"Iya, dia pasti bahagia akan segera menimang cicit." Jessi mengelus perutnya yang masih rata dengan senyum mengembang di wajahnya.

"Apa kau juga tak ingin memberinya cicit, Jane?"

"Mau kupukul kau, ya? Aku tak perlu memberinya cicit, aku hanya ingin menjaga kalian, itu sudah cukup bagiku!"

"Kau tak pernah merasakan rasanya tongkat sakti, makanya bisa bicara seperti itu! Lain kali cobalah tongkat sakti! Aku jamin kau akan ketagihan. Mungkin lawanmu akan kewalahan sampai kau merasakan sim sala bim." Jessi menggoda Jane dengan senyum penuh kemenangan.

"Kau!" Mendengar apa yang di katakan Jessi membuat Jane mengerucutkan bibirnya. "Menjadi ibu hamil membuat mulutmu semakin beracun!"

"Istirahatlah! Lebih baik aku pulang dulu, dari pada mendengar ocehanmu yang berbisa itu!" Jane lantas menyelimuti Jessi hingga ke atas dadanya.

"Titip salamku pada nenek, besok aku akan ke sana!"

"Tidak harus besok! Tunggulah kondisimu membaik baru keluar! Jangan keluyuran! Jangan lupa minum obat dan vitaminmu!" Jane lalu pergi meninggalkan Jessi di kamar seorang diri, agar segera beristirahat.

Jessi mengelus perutnya. Terima kasih, Sayang. Sudah tumbuh dalam perut Mommy.

***

Sementara di lain tempat, setelah tiba di Restoran Utama Brian menerima panggilan dari Rossi selingkuhannya yang tengah mengandung empat bulan.

"Ya," ucap Brian setelah mengangkat ponselnya.

"Tunggu di sana sebentar, aku datang!" Brian terburu-buru pergi keluar ruangannya.

Rossi mengabari Brian bahwa rumahnya kerampokan karena tinggal sendiri di apartemen. Dulu Rossi adalah manager restoran milik Brian. Dia sangat mengagumi Brian dan begitu ingin memilikinya. Wanita tersebut iri dengan kehidupan Jessi yang bergelimang harta serta memiliki suami yang penyayang dan tampan.

Suatu hari saat Brian berada di puncak karir dan berencana memperlebar bisnis, dia mengadakan peranyaan makan dengan seluruh pegawai. Pria itu adalah orang yang tak kuat minum alkohol, tetapi karyawannya memaksa karena itulah menciptakan peluang bagi Rossi untuk memasuki hidupnya.

Setelah Brian mabuk, Rossi bukan mengantar pulang, tetapi malah membawa ke apartemen dengan alasan tidak tahu di mana rumah sang bos. Lantas terjadilah malam kelam yang tidak pernah diharapkan.

Awalnya, Brian hanya ingin memberi kompensasi yang setimpal dan meminta agar dia berhenti bekerja. Namun, beberapa minggu kemudian Rossi menyatakan kalau dirinya hamil milik Brian. Hal itu membuat Brian syok dan terkejut bukan main. Apa kini yang bisa di perbuat? Bisakah dia menjelaskannya pada Jessi?

Rossi adalah sosok yang lemah lembut, tidak mungkin dia menjebaknya untuk hal tersebut. Pria itu tidak bisa memaksa menggurkan bayi yg masih suci. Jadi, meminta Rossi untuk menjaga dan Brian akan menanggung segala kebutuhan hidup mereka.

Semenjak itu Brian hanya memberikan Rossi materi yang cukup, tidak pernah membiarkan wanita itu memasuki hatinya, dia datang hanya mengantarkan barang yang diinginkan ibu hamil lalu pergi.

Setibanya di apartemen Brian masuk melihat barang-barang di rumah berserakan. Dia memasuki kamar, terlihat Rossi sedang duduk di lantai sambil meringkuk menangis berpeluk lutut.

"Apa yang terjadi?" tanya Brian.

Rossi langsung memeluk tubuh Brian dengan menangis tersedu-sedu. "Tadi ada perampok, Bri. Aku sangat takut."

"Ssstt ... tenanglah! Ada aku di sini, sudah aman!" Brian menenangkan sambil mengelus punggung Rossi.

"Apa mereka melukaimu? Apa bayinya baik-baik saja?"

"Mereka memukulku, Bri. Jadi aku pingsan." dia memerlihatkan luka lebam yang membiru di sudut bibir Rossi.

"Ayo kita ke rumah sakit!" Brian dengan segera membawa Rossi keluar menuju rumah sakit.

Dalam hati Rossi dia bersorak ria, dia berharap setelah ini Brian akan membawanya pulang ke mansion. Dia selalu ingin bisa hidup berdampingan dengan pria pujaannya, dan menikmati segala kemewahan yang dimiliki. Setibanya di rumah sakit Brian memeriksakan kondisi Rossi ke bagian obgyn.

"Tidak apa, Tuan. Ini hanyalah luka luar, bayinya tak mengalami masalah," ucap dokter. Mendengar jawaban sang dokter membuat Brian bernapas lega. Namun, tidak dengan Rossi, dia memutar otaknya, berpikir bagaimana caranya agar sang dokter bisa membantunya memasuki mansion Brian.

"Apakah benar tidak apa-apa, Dokter? Kebetulan saya tinggal sendiri di apartemen dan baru saja kerampokan." Rossi mengiba, berharap dokter mengucapkan sesuatu yang melancarkan rencananya.

"Benarkah? Apakah suami Nyonya tidak ada di rumah? Apa Tuan ini saudara, Nyonya?" Melihat keduanya diam dan tidak menjawab pertanyaannya, membuat dokter paham, kalau mereka bukanlah sepasang suami istri.

"Jika, Tuan adalah saudara, Nyonya sebaiknya membawanya pulang saja agar ada yang merawat!" Dokter berbicara sambil menuliskan resep obat. "Ibu hamil tidak baik tinggal sendiri di rumah. Jika nanti terjadi hal buruk tidak akan ada yang menjaga karena biasanya kondisi Ibu dan bayi berubah-ubah." Mendengar jawaban dokter membuat Rossi tersenyum puas. Akhirnya, dia mendapatkan jawaban yang membuat Brian lebih dekat.

"Kalau begitu terima kasih, Dokter. Kami permisi dulu." Setelah menerima resep, Brian melangkah keluar dengan perasaan bimbang dalam dirinya.

Sepanjang perjalanan Brian berpikir, haruskah dia membawa Rossi pulang? Lalu bagaimana dengan Jessi? "Kita cari makan dulu! Kamu belum makan kan?"

"Iya."

Mereka tiba di sebuah restoran kecil di sekitar rumah sakit. Kemudian, memesan menu makan siang. "Kita pulang ke mansionku!" Brian mengatakan hal itu setelah banyak memikirkannya, dia tidak mungkin membiarkan terjadi hal yang tidak diinginkan pada bayinya nanti.

Dalam hati Rossi bersorak riang , akhirnya usahanya tak sia-sia. Namun, dia menahan senyum itu. Memperlihatkan sisi yang lain. "Apakah tidak apa-apa? Bagaimana dengan Jesslyn?"

"Nanti akan aku bicarakan dengannya, dia pasti mengerti!"

"Maafkan aku dan bayiku yang selalu menyusahkanmu." Rossi menundukkan kepala ketika menyucapkan hal itu, menunjukkan sisi lemah lembutnya.

"Bayi itu juga milikku, aku juga harus menjaganya."

"Terima kasih untuk segalanya." Rossi tersenyum penuh kemenangan mendengar perkataan Brian, ini adalah titik awal rencananya memasuki hidup mereka.

Beberapa saat kemudian pelayan datang mengantarkan makanan.

"Makanlah! Kau pasti belum makan sejak pagi. Terlambat makan tak baik untuk ibu hamil!" Brian menyodorkan makanan di depan Rossi.

"Iya." Rossi mengangguk memperlihatkan senyum semanis mungkin agar Brian melihatnya, tetapi pria itu malah membuang muka ke arah jalan raya.

Setelah selesai makan mereka melanjutkan perjalanan, pulang ke mansion. Rossi tidak membawa barang apapun, Brian yang akan mempersiapkannya. Setibanya di kediaman pria itu turun dari mobil, membantu ibu hamil untuk berjalan.

Sementara di dalam, mendengar suara mobil pulang Jessi langsung keluar kamar berlari menuruni tangga, membawa hasil pemeriksaan hari ini di saku bajunya. Namun, baru tiba di ujung tangga Jessi terkejut dengan apa yang dia lihat. Brian pulang merangkul seorang wanita yang tengah hamil, yang dikenalnya sebagai salah satu bawahan di restoran.

"Apa yang kau lakukan Brian? Bukankah dia Rossi?" Jessi bertanya dengan lantang, matanya membola dan kemarahan yang meluap, melihat Brian membawa pulang wanita lain.

"Iya ini Rossi! Aku membawanya kemari karena dia sedang mengandung anakku!"

Mendengar pernyataan suaminya membuat Jessi terasa bagaikan tersambar petir di telinga. Dia terhuyung ke belakang berpegangan pada ujung gagang tangga. Otaknya tak mampu mencerna apa yang didengarnya, hatinya sakit seperti di hujam benda tajam tepat di jantungnya.

TBC

Visual

Jesslyn Light

Brian Dominic

Rossi Chasney

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!