❤Selamat Membaca❤
Airin Zakia Wijaya, adalah anak kedua dari pengusaha ternama nan kaya raya Bernama Wijaya Bratayuda, Airin bahkan menjadi primadona di kampusnya. Hampir di akhir pekan, selalu ada-ada saja pria yang mengungkapkan cinta kepadanya. Baik melalui pesan singkat dari media sosial miliknya, ataupun melalui selembar kertas, bahkan ada yang mengungkapkan cinta kepadanya di hadapan banyak orang.
"Rin," panggil Nino, dari dalam mobil.
"Hey," jawab Airin lalu segera masuk kedalam mobil milik pria muda tersebut.
Nino adalah pria yang hampir 4 tahun ini mengisi hari-hari si cantik, sejak SMA Airin dan Nino sudah menjalin cinta, bahkan pria muda itu mampu membuat Airin tak mau berpaling sedikit pun.
"Rin, nanti malam kita gagal makan malam berdua, ya," ujar Nino pelan.
"Kenapa?" Airin menatap heran.
"Aku ada urusan keluarga, jadi kapan-kapan saja ya," jawab Nino lalu tersenyum ke arah gadis yang begitu mencintainya.
"Oke," jawab Airin dengan tersenyum pula.
Meski kecewa karena Nino sering ingkar janji padanya, bahkan ini yang ke sekian kali, kekesihnya itu menggagalkan makan malam berdua, namun karena cinta yang teramat besar, membuat si cantik tak menaruh rasa curiga.
* * *
Malam pun tiba, dingin sang angin membelai tubuh Airin, yang kini sengaja keluar rumah dengan menggunakan kendaraan roda dua.
Braaaak!"
Si cantik tak sengaja menabrak pelan mobil seseorang yang kini tengah berada tepat di depan motor miliknya.
"Gak punya mata ya, mbak," sosok pria tampan, keluar dari dalam mobil yang tadi di tabrak oleh Airin.
"Gak usah marah dong mas! Aku kan tidak sengaja," kilahnya ketus.
"Pelankan nada bicaramu! Bukan minta maaf tapi malah marah-marah," emosi pria itu pula.
"Yeeee, biasa aja dong mas, gak usah nyolot juga, kali," ejek Airin kian menjadi.
"Namaku Alvian, bukan mas mas!" pria itu mengerutkan wajah tampanya.
"Ihh gak nanya," ejek si cantik lalu pergi dari hadapan pria yang bernama Alvian tersebut. "Cakep sih, tapi ganas," gumam Airin dalam hatinya dan semakin menjauhi keberadaan Alvian.
Sementara Alvian menggeleng pelan, ia tersenyum simpul namun berdecak heran. Sebab tak ia pungkiri, gadis yang baru saja menabrak mobilnya memang cantik luar biasa.
"Bisa-bisanya, mobil berhenti di tabrak, untung lecetnya tidak terlalu parah," grutu Alvian kemudian.
Benar saja, sebab Airin belum terlalu pandai mengendarai kendaraan roda dua, hingga hal yang tak di inginkan tadi pun terjadi.
"Huuh.... ," Airin membuang nafas lega, ia hampir saja mati konyol. "Untung tadi aku bawa nih motor pelan banget, kalau ngebut pasti sudah mampus, tadi," ucap Airin di dalam hati seraya mengelus pelan dadanya yang sejak tadi berdebar-debar tak jelas.
Gadis cantik itu menghentikan kendaranya di sebuah Cafe, Airin berencana pulang di jemput saja oleh sopir sang papa. Kejadian tadi membuat Airin tak berani mengendarai motor lagi.
Namun tiba-tiba saja, sorot mata si cantik menajam ke arah dua orang yang tengah tertawa begitu lepasnya dan terlihat sangat bahagia.
"Nino," ucapnya pelan, namun membuat Airin cukup terkejut. Sebab ia melihat sang ke kasih tengah bermesraan dengan seorang wanita dan terlihat sangat saling mencintai.
"Dini, 3 hari lagi, aku akan datang melamarmu," ucap Nino lalu mencium punggung tangan wanita yang kini tengah bersamanya.
"Kau serius?" tanya wanita bernama Dini itu.
"Serius, bahkan aku sangat serius, karena aku harus bertanggung jawab, atas hal yang telah kita lakukan," ujar Nino lagi.
"Lalu. Bagaimana dengan Airin? Apa kau sudah memutusknya?"
"Belum, karena aku masih butuh dia untuk menjadi ATM kita, sebab Airin selalu memberi apapun yang ku minta, lagi pula kau sudah hamil anakku, biarkan aku dan dia tetap berpacaran, sementara kita berdua menikah," ucap Nino dengan lugasnya, bahkan tak ada rasa bersalah sedikit pun.
Airin yang sejak tadi memang berada tak jauh dari keberadaan Nino, mendengar dengan sangat jelas, apa yang sudah di rencanakan oleh pria yang begitu di cintainya. Hancur perih dan sakit, tak bisa mengungkapkan betapa hancurnya batin Airin kini, sebab Nino adalah pria yang amat ia cintai bahkan rela memberi apapun yang pria itu minta darinya. Tapi kini, Airin melihat dan mendengar dengan sangat jelas pengkhianatan yang Nino lakukan.
"Ba ji ngan.... sialan!!" pekik Airin sekuat tenaga lalu menyiram wajah Nino dengan segelas air dingin yang berada di meja.
"Rin!" Nino pun terkejut saat melihat kehadiran Airin di antara ia dan Dini.
"Owh... ini yang kau bilang, ada urusan keluarga," Airin bedecak kesal lalu menunjuk wajah Dini yang juga menatap lekat ke arahnya.
"Rin, aku bisa jelaskan," Nino meraih tangan Airin dan berusaha meredamkan amarah gadis itu.
"Tidak perlu! Aku sudah mendengar dengan telingaku, semua pengkhianatanmu dan juga rencana busukmu. 4 tahun bersama, membuatku buta bahwa pria yang begitu ku cinta, hanyalah pria sialan yang licik cara pikirnya. Mulai hari ini, kita putus!!" ucap Airin dengan sangat emosi.
"Putus, tinggal putus. Lagi pula Nino memang tidak mencintaimu, dia hanya butuh uangmu untuk membahagiakanku," ejek Dini lalu mendorong tubuh Airin hingga terjatuh.
"Sialan, dasar murahan!!" umpat Airin semakin manjadi-jadi.
"Tidak masalah, kau mau menyebutku murahan, lagi pula wanita murahan inilah yang bisa membuat takluk pria yang begitu kau cintai," tambah Dini lagi, hingga membuat Airin semakin emosi.
"Diam......!!!" teriak Airin sekuat tenaga lalu memecahkan gelas yang sejak tadi ada di tanganya.
"Akan ku beritahu sesuatu padamu, bahwa aku sudah hamil 3 bulan anak dari kekasihmu, bahkan kami berencana menikah dalam waktu dekat." Ujar Dini kian menjadi, bahkan emosi Airin membuatnya semkin senang untuk mengungkap kisah cintanya bersama Nino.
"Kau....!"
Sorot mata Airin menajam ke aran Nino dan Dini, bahkan air matanya tumpah tanpa ia sadari. Sakit hatinya kini memang tak bisa ia tutupi, namun emosi dan air mata Airin membuat Dini tertawa lepas di hadapanya.
"Ayo kita pulang, sayang!" Dini menarik pelan tangan Nino dan pria itu memang lebih memilih pergi bersama Dini, dari pada menghapus air mata, di wajah gadis yang sudah 4 tahun ini bersamanya.
"Kalian......!!
Airin berlari dan melempar pecahan gelas yang ada di hadapanya, hingga pecahan tersebut mengenai tepat di bagian prut Dini.
Secara spontan, darah pun bercucuran dan Dini pun pingsan tak sadarkan diri.
"Rin... apa yang kau lakukan?"
Melihat Dini tak berdaya dengan darah yang keluar dari perutnya membuat Airin begitu kerakutan, ia berjalan pelan menjauhi keberadaan Nino dan selingkahnya yang sudah tak berdaya, akibat pecahan gelas kaca yang Airin hujamkan tanpa sengaja, sebab ia emosi luar biasa hingga tak sadar ulahnya tadi bisa membunuh Dini.
Malam itu Nino segera membawa wanita yang tengah mengandung anaknya dengan di bantu banyak pengunjung Cafe, yang juga menyaksikan pertengkaran di antara mereka bertiga. Dini yang seolah sudah tak bernyawa lagi, kini harus di larikan ke rumah sakit.
Sementara Airin berlari tak tau arah, akan kemana, hanya air mata yang menjadi saksi betapa lemah ia kini.
Airin berlari dan terus berlari, membawa langkahnya untuk pergi, tapi ia sendiri tak mengerti, harus lari kemana kini.
"Haaaaaah.......!"
Teriak Airin sekuat tenaga di malam buta, ia kini berada dalam ketakutan dan kehancuran, namun hanya air mata yang menjadi teman, sebab untuk menghubungi keluarganya ia tak berani, karena Airin takut jika kedua orang tuanya justru tak berpihak kepadanya, sebab selama ini, baik sang papa ataupun si mama, memang menentang keras hubunganya dengan Nino.
"Maafkan aku mah, pah! Harusnya aku mengdengarkan, semua ucapan kalian," lirihnya pelan, dengan linangan air mata yang kian deras bercucuran.
Kini Airin terus berjalan, pergi dan tak tau harus kemana.
"Aaaaaaaaaa...!"
Lagi-lagi Airin berteriak, namun kali ini ia terkejut, sebab ada sebuah mobil yang hampir saja menabraknya.
"Rin," sosok pria yang selama ini selalu ada saat Airin susah.
"Kak Rio," ucapnya pelan.
Benar saja, sebab yang kini ada di hadapan Airin adalah kakak kandungnya sendiri, yang akan pulang ke rumah setelah seharin hingga malam bekerja.
"Rin, kau kenapa?" si kakak menatap kasihan, Airin yang terlihat ketakutan.
"Kak,"
Spontan, Airin pun segera memeluk tubuh sang kakak, dengan air mata yang semakin deras saja. Gadis itu bahkan tak mampu berbicara, karena air mata yang tak mau reda.
"Ayo pulang! Ceritakan semuanya di rumah," ajak Rio kemudian.
Airin menggeleng pelan, ia sebenarnya tak mau pulang, tapi karena Rio terus membujuknya, akhirnya gadis itu mau juga untuk pulang ke rumah.
Di dalam mobil Airin tetap diam saja, tatapanya kosong, dan air mata yang masih menetes pelan di wajah cantiknya.
"Ceritalah! Apapun yang terjadi padamu, kakak akan mendengarkanya, Rin," ujar sang kakak pelan.
Dengan berat hati dan juga ketakutan, Airin pun menceritakan, semua petaka yang hari ini menimpanya. Mulai dari ia mendapati Nino selingkuh hingga petengkaranya dengan Dini, hingga tak sengaja ia menancapkan pecahan kaca tepat di perut selingkuhan kekasihnya,
"Astaga, Rin!!!"
Rio menghentikan laju mobilnya, ia benar-benar terkejut luar biasa. Sebab apa yang Airin lakukan, benar-benar di luar nalar.
"Apa yang kau lakukan? Wanita itu bisa mati, karena ulahmu, Rin," ucap Rio dengan nada meninggi, hingga tangis Airin pun menderas lagi.
"Aku, tak berniat membunuhnya kak. Dan aku sendiri tidak sadar, dengan hal gila yang ku lakulan," ungkap Airin sesenggukan.
"Mangkanya, Rin, jangan hadapi sesuatu dengan emosi! Lihatlah kini, kau justru terjebak dalam kehancuran."
"Kakak tidak berada di posisiku, kakak tak merasakan, hancurnya batinku," ucapnya lirih dengan perasaan yang sulit untuk di jelaskan.
Rio bukan tak paham, dengan sakit yang sang adik rasakan. Ia menarik Airin lalu membawa adik cantiknya itu dalam dekapan.
"Tenang ya! Kakak akan selalu ada untukmu, dan akan siap membantumu, jika hal buruk bisa saja menimpamu,"
Rio mendekap si cantik, hingga adiknya itu merasa sedikit tenang.
"Kita pulang ya!" ajak Rio lagi.
Airin mengangguk pelan, setidaknya kini ia merasa tenang, sebab sang kakak berusaha untuk menguatkanya.
Rio melajukan mobilnya, pikiranya melayang kemana-mana, ia takut masa depan sang adik akan hancur, karena hal yang sebenarnya tak sengaja Airin lakukan.
Chiiit!
Tibalah keduanya di rumah, Airin dan Rio pun turun dari mobil, namun mereka di kejutkan, dengan suasana rumah yang cukup ramai, terlebih lagi ada beberapa polisi kini berada di depan rumahnya.
"Mah, pah, ada apa?" tanya Rio yang berusaha tenang, sementara Airin menggenggam erat tangan kakaknya, sebab Airin tau apa tujuan polisi-polisi itu datang ke rumahnya.
"Itu Airin! Jika bukti sudah jelas, bawalah! Dan mulai detik ini, dia akan ku coret dari data keluarga," tukas si papa dengan nada meninggi, antara malu dan emosi, ia bahkan langsung masuk ke rumah tanpa mau mendengar penjelasan sang anak sama sekali, begitupun sang mama, yang juga mengikuti langkah sang papa untuk masuk ke dalam rumah.
Airin hanya menangis tak mengerti, ia benar-benar kecewa kedua orang tuanya tak mau membelanya sedikit pun.
"Selamat malam, mbak Airin. Kami dari pihak berwajib, ingin meminta anda untuk ikut bersama kami, untuk bertanggung jawab atas kelakuan tidak baik anda, yang hampir melenyapkan nyawa seseorang." Ucap salah satu polisi dengan suara lantangnya.
"Pak, adik saya tidak bersalah, dia tak sengaja melakukanya. Jadi bisakah kita bicarakan ini baik-baik?" tanya Rio penuh harap, ia berusaha melindungi sang adik dengan semua kemampuanya.
"Sebaiknya, jelaskan semua di kantor. Jika mbak Airin tidak bersedia, maka kami akan membawanya secara paksa," tegas si polisi lagi.
Airin hanya bisa menangis dalam dekapan si kakak, ia tak mampu lagi untuk berkata-kata.
"Bagaimana? Apa bisa kita berangkat sekarang?" tanya salah satu polisi yang baru saja datang, namun ia tak menggunakan baju kepolisian.
"Belum komandan, kami harus menjelakan dulu, kesalahan yang di lakukan mbak Airin." Jawabnya tegas.
Polisi tersebut segera mendekati keberadaan Airin yang masih menangis dalam dekapan Rio.
"Selamat malam, perkenalkan namaku Alvian, komandan dari pihak kepolisian yang ingin membawa saudari Airin, atas hal yang sudah ia lakukan, hingga membuat suadari Dini tak sadarkan diri," ucap Alvian selembut mungkin.
"Tapi aku tidak bersalah, aku tak sengaja melukainya," kini Airin buka suara dan melepaskan dekapan sang kakak.
Airin pun terkejut luar biasa, saat menatap seseorang yang berdiri tepat di hadapanya. Sama halnya dengan Alvian, sebab gadis yang akan ia bawa ke kantor polisi, adalah gadis yang menabrak mobilnya tadi.
"Kau," ucap Alvian lirih.
Sementara Airin hanya mampu tertunduk malu.
"Pulanglah kalian, ke kantor dulu! Biarkan dia menjadi urusanku," titah Alvian pada beberapa temanya dari pihak kepolisian.
"Siap komandan!"
Mereka pun pergi meninggalkan rumah Airin, sementara Alvian masih menatap lekat gadis cantik yang kini tertunduk di depanya.
"Pak polisi, tolong bebaskan adik saya! Dia tidak sengaja melakukanya," pinta Rio memohon.
"Mau sengaja ataupun tidak, ulahnya hampir melenyapkan nyawa orang lain, jadi Airin harus tetap bertanggung jawab," tegas Alvian lagi.
"Tapi pak," Rio mulai melemah, ia sudah tak memiliki cara untuk membantu adiknya.
"Sudahlah, kak! Aku menyerah," ujar Airin pasrah, ia menghapus air mata di wajah cantiknya. "Ayo, jika harus ke kantor polisi, benar kata anda tadi, apapun yang kulakukan, aku harus bertanggung jawab," tambahnya.
Airin pun berjalan pelan mendekati mobil si polisi, sementara Rio hanya mampu membisu, ia tak bisa menolong adiknya itu.
"Nanti kakak akan menyusulmu," ucap Rio berteriak.
Airin tersenyum, lalu masuk ke mobil tanpa di printah, oleh Alvian.
"Duduk di depan saja!" titah Alvian.
"Haaah,"
"Iya, tidak masalah. Ayo masuk!"
Alvian pun membuka pintu mobil miliknya dan Airin pun segera masuk. Kini kedunya sudah dalam perjalanan untuk menuju ke kantor polisi.
"Kau kedingingan?" tanya Alvian kemudian.
Airin menggeleng, meski sebenarnya ia memang kedingian. Sedangkan Alvian paham apa yang Airin rasa, tanpa gadis itu berbicara.
"Pakailah!" Alvian memberi sebuah jacket miliknya pada gadis cantik yang sedari tadi hanya diam saja.
Meski takut, Airin tetap mengambil jacket milik si polisi, lalu membalut tubuhnya yang memang kedingian dengan jacket tersebut.
"Terima kasih, pak," ucapnya gemetaran.
"Namaku Alvian, semua orang menanggilku Al, jadi jangan panggil aku bapak, ya!" ujar Alvian lembut.
Sikap manis polisi tampan yang kini bersama Airin, membuat gadis itu perlahan sedikit tenang, rasa takutnya yang luar biasa, kini sedikit sirna, sebab pak polisi yang kini ada di sampingnya, tak semengerikan polisi-polisi lain saat menangkap narapida lainya. Cara Alvian membuat Airin bernafas sedikit lega.
Di rumah sakit, Nino berlalu lalang, nampak sangat gelisah. Ia benar-benar takut jika hal buruk menimpa Dini.
"Gimana dok?" tanyanya tak sabar, setelah si dokter keluar dari ruang UGD.
"Kami bisa menyelamatkan mbak Dini, tapi tidak dengan kandunganya. Maaf mas, ini semua demi kebaikan mbak Dini," jelas si dokter tanpa basa basi.
Sementara Nino mampu bernafas lega, meski ia sedih, sebab anak yang di kandung Dini tak bisa di selamatkan. Tapi setidaknya sang ke kasih baik-baik saja sudah cukup baginya.
"Bolehkah saya menjenguk?'
"Boleh silahkan! Tapi tolong beri tahu orang tua Dini, untuk menemiku di ruang kerja!" titah sang dokter lalu pergi dari hadapan Nino.
Nino mengangguk paham, dan segera pergi menemui Dini setelah ia memastikan, jika dokter tadi sudah masuk ke ruanganya.
Sama halnya dengan Nino. Dini pun cukup sedih karena bayi yang ia kandung tak bisa di selamatkan. Hal itu semakin menimbulkan kebencian dan dendam bagi Airin.
"Pastikan dia mendekam dalam penjara," ujar Dini dengan mata berkaca-kaca.
"Sudah, aku sudah lapor polisi, dan malam ini juga mereka segera menindak lanjuti. Tenang Din! Dia pasti akan di tangkap polisi.
Dini tersenyum penuh arti, tapi dia tak puas jika belum melihat dengan matanya sendiri.
"Setelah keluar dari sini, aku akan ke sana dan memastikan dia sudah berada di dalam penjara," ujarnya kepada Nino.
Nino pun mengangguk setujuh, seraya tersenyum kelu. Hatinya menderu pilu sedih dan sendu menjadi satu, bagaimana tidak, ia memang kini menyukai Dini, tapi setidaknya nama Airin pernah mengisi hari-harinya.
* * *
Jam menunjukan pukul delapan pagi, Airin sudah berada di sebuah meja, ia duduk tengah menunggu seseorang datang untuk menemuinya.
Pagi itu, benar saja menjadi pagi yang amat menyakitkan bagi Airin, ia di vonis bersalah dan di jatuhkan hukuman 1 tahun lamanya. Bukan itu saja yang membuat batinya luka, tapi di saat ia butuh dukungan, tapi tak ada siapa pun yang mendapinginya.
"Semudah itu, hukuman di jatuhkan ke setiap orang, tanpa mempertimbangkan apa penyebab dan masalahnya," gumam Airin lirih, yang kini sudah berada di ruang pesakitan.
Tak ada yang bisa ia lakukan, kecuali menikmati dan menjalani hari-hari di dalam jeruji besi. Tapi, setelah ia jalani beberapa hari, Airin merasakan kehiduapan di dalam penjara tak terlalu mengerikan, seperti apa yang ia bayangkan.
......
"Rin, kau kenapa tidak makan? Makanlah ini, tadi mamaku mengirim nasi goreng buatanya untukku," seseorang memberi sepiring nasi untuk si cantik.
"Terima kasih, tapi aku tidak lapar," jawabnya lirih.
Sedih bukan main, kini semakin mendekap batinya, Airin benar-benar tak di perdulikan sedikipun oleh keluarganya. Jangankan teman-teman satu kampus, kedua orang tuanya saja, tak mau perduli sama sekali.
"Mbak Airin, mari keluar sebentar! Ada yang mau bertemu denganmu," panggil seorang polisi dengan sangat ramah.
"Siapa?" batinya penuh tanya.
Senyum kini mengembang di wajah cantik Airin, ia berharap sang kakak yang datang untuk menjenguknya. Dan, seketika senyum itu sirna setelah mengetahui siapa yang datang dan menunggunya kini.
"Kau," lirih Airin lalu mendudukan tubuhnya di kursi.
"Selamat pagi, nona Airin," sapa pria itu dengan senyumnya yang sangat menawan.
"Bukankah kau polisi di sini? Kenapa menemuiku? Apa kau mau menertawakanku," Airin justru nampak sangat emosi.
Sebab yang ada di hadapanya kini, bukan keluarga yang ia harapkan, tapi seorang pemuda yang mobilnya ia tabrak beberapa waktu lalu, dan menyedihkanya, jika pemuda tersebut adalah polisi di mana Airin di tahan.
"Jangan berburuk sangka dulu dong! Aku kesini baik-baik, bahkan tak ada niat untuk menertawakanmu," ucap Alvian santai.
"Hiih... lalu, apa tujuanmu menemuiku?"
"Aku sebenarnya kasihan denganmu, karena sudah hampir 10 hari kau di sini, tak ada siapapun untuk datang menemuimu," jelasnya iba.
"Aku tidak butuh belas kasihan anda!" cetus Airin kemudian, hatinya teriris setelah mendengar ucapan Alvian.
"Baiklah, jika kau tidak butuh di kasihani, kalau bagitu aku permisi!"
Alvian mengangkat tubuhnya dan berniat meninggalkan keberadaan Airin, namun belum sempat ia melangkah, gadis itu menarik tanganya.
"Tolong aku!" ucapnya sendu, Airin menundukan wajahnya karena merasa begitu malu, tapi saat ini ia memang sedang butuh bantuan.
"Katanya tadi, tidak mau di kasihani," ujar Alvian sedikit tertawa lalu mendudukan kembali tubuhnya yang gagah.
Sedangkan Airin kini, hanya mampu tertunduk malu.
"Hei, tegakkan wajahmu! Ada yang ingin ku tanyakan," titah Alvian kemudian.
"Ba_baik," si cantik benar-benar gugup saat ini.
"Rin, aku ingin membantumu, tapi sebelum itu, kau harus ceritakan semuanya padaku secara keseluruhan, jangan berbohong!" titah Alvin lagi.
"Haah, tapi apa benar, anda akan membantuku?" gugup Airin.
"Aku polisi, dan aku membenci kebohongan. Jadi, aku tak mungkin berbohong apa lagi menipumu."
Sejujurnya Alvian tau, apa masalah yang di hadapi Airin saat ini, tapi ia ingin penjelasan itu ia dengar dari bibir si cantik sendiri.
"Ceritakan Rin!"
"Tapi pak," Airin semakin tertunduk.
"Panggil aku Al, jangan pak!"
"Baik,"
Airin pun semakin gugup dan gemetaran, sikap Alvian membuatnya nyaman tapi tetap saja malu. Namun akhirnya ia pun menceritakan semua musibah yang terjadi, hingga membuatnya mendekam dalam jeruji besi, tak ada yang Airin lewatkan, ia mengungkapkan semua secara terbuka.
Alvian terdiam sejenak, lalu membuang nafas kasar setelah mendengar cerita Airin.
"Hmm, dari apa yang kau hadapi, membuatku sedikit mengerti, jika kebersamaan yang sedemikin dekatnya, tak menjamin rasa tulus itu semakin tumbuh?" jujur Alvian dengan raut wajah yang semakin kasihan.
"Benar, 4 tahun kebersamaanku dengan Nino, bukan menjadikan cinta semakin ada, tapi dia justru menduakanku bahkan berniat menikahi wanita itu, padahal selama 4 tahun lamanya, aku selalu memberi apapun yang dia minta," ungkap Airin dengan tetasan air mata yang jatuh membasahi wajah.
"Apapun?" selidik Alvian dengan tatapan yang semakin menajam.
"Iya apapun, yang dia minta,"
"Termasuk!" Alvian menunjuk ke arah sesitif gadis cantik yang kini berada di hadapanya.
"Maksudmu?" Airin menatap kesal.
"Iya, katamu tadi semua. Apakah termasuk harga dirimu?"
"Hiih... sialan! Aku masih original belum tersentuh sedikitpun," ungkap Airin dengan nada meninggi.
"Masa?" tatapan Alvian kian liar.
"Apa anda mau mencobanya?" tantang Airin lalu berbisik pelan di telinga si tampan.
"Ihh gila! Kau kira aku pria murahan," jawabnya polos.
Airin mengerutkan wajah cantiknya, baru kali ini ia bertemu dengan polisi sepolos dia. Sama halnya dengan Alvian, ia pun menggeleng heran, sebab baru kali ini juga, ia bertemu gadis seberani Airin.
"Bagaimana? Apa anda masih mau membuktikan aku masih gadis atau tidak?" tantangnya lagi.
"Aaah,"
Alvian di buat salah tingkah oleh narapidana cantik yang kini bersamanya. Saking gugupnya ia bahkan tak mampu berkata-kata.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!