NovelToon NovelToon

Cinta Kita Sama, Iman Kita Yang Berbeda

Mengenalmu bukan lah sebuah kesalahan

"Jadi berapa mba semuanya?" ,tanyaku pada kasir disebuah apotek.

"Seratus dua puluh lima ribu mvak.!" ucapnya. Lalu kuserahkan dua lembar uang berwarna pink padanya. Tak lupa kuucapkan terimakasih padanya.

Kuambil obat titipan bapak untuk kumasukkan kedalam tasku. Tapi , tiba-tiba seseoran menabrak ku. Obat yang memakai kemasan botol beling pun terjatuh dan pecah.

Prannnkkkm....

"Astagfirullahaladzim....", kataku kaget.

"Maaf mba saya nggak sengaja!", katanya sambil mencoba mengambil nya. Lalu diserahkan padaku.

"Saya ganti rugi ya mba obatnya yang pecah . Sebentar!", katanya berlalu menuju kasir.

Lalu kembali menghampiriku.

"Maaf mba, ternyata obat yang seperti mba beli tadi sudah habis. Tadi yang terakhir ya mba?", tanya nya padaku.

Aku menoleh menatap nya lekat.

Sebenernya harga obat itu memang tak seberapa, tapi sudah beberapa apotik ku datangi hanya disini obat ini tersedia.

Ya Allah...aku harus mencari kemana lagi.

"Emm...mba maaf, saya ganti uang saja ya mba. Sekali lagi saya minta maaf!"kata pria itu sambil memohon padaku.

"Ya sudah lah mas, sudah terjadi mau bagiamana lagi. Cukup ganti saja sesuai harga obatnya. 125ribu. Biar saya coba mencari ke apotik lain." kataku.

Pria itu membuka dompetnya lalu menyerahkan 5 lembar uang seratus an.

"Ambil ya mba. Sebagi permohonan maaf saya!" katanya.

Aku ambil selembar uang itu.

"Tidak terima kasih. Ini saja cukup.Permisi" kataku.

Aku meninggalkan apotik ini. Mencari-cari di ponselku, barangkali ada apotik lagi dekat sini yang menyediakan obat yang sama. Setidaknya dengan komposisi yang sama meski dengan merk yang berbeda.

Aku hampir putus asa. Sudah sejak pulang kerja tadi aku mencari-cari obat buat bapak. Karena stok obat bapak memang habis.

Ibu sudah meneleponku sejak tadi sore. Hari sudah mulai gelap. Untung saja aku sedang libur solat, jadi aku masih banyak kesempatan sekali mencari di apotek atau toko obat lain.

Aku berjalan menjauh dari apotik tadi. Capek? Tentu saja, pekerjaan kantor hari ini sungguh menyita tenaga dan pikiran ku. Sedangkan bapak dirumah sudah menunggu kepulangan ku.

"Mba....", ucap seseorang sambil menepuk pundakku.

Otomatis ku tarik tangan nya lalu kupelintir tangannya. Ga tau dia, kalau aku bisa bela diri.

"Aw...aw....ampun mba!",kata pria itu. Aku menatap wajah orang yang menepuk pundak ku.

"Mmmaaff....saya pikir....", kataku terhenti.

"Saya yang harusnya minta maaf. Sudah mengagetkan mba!"

Aku mengangguk pelan.

"Oh iya mba, obat yang mba cari ada di apotek Waras. Lumayan jauh dari sini. Sebagai permohonan maaf, biar saya antar kesana." dia menawarkan diri.

"Ngga usah, saya bisa kesana sendiri kok. Dimana alamatnya? Tunjukkan saja."

Lalu ia menunjukkan alamat itu dari ponselnya. Lumayan jauh dari sini rupanya. Mungkin naik ojol adalah pilihan yang tepat. Tapi....dijam sibuk begini, susah sekali mencari ojol yang masih standby. Ku otak- Atik ponselku. Dua aplikasi ojol pun tak ada satu pun yang menerima orderan ku.

"Mba, saya antar saja ya. Tolong jangan menolak nya. Anggap sebagai permohonan maaf saya."

"Ga usah mas. Terimakasih. Mas kan sudah mengganti dengan uang tadi."

"Tapi kan masih kurang mba. Masih utang 25rb. Gimana kalo sisanya tadi anggap aja mba ngojek ke saya?"

Aku mengernyitkan dahi. Orang ini kekeh amat sih.

"Baiklah. Sepeda motor mas dimana?"

Pria itu tersenyum.

"Maaf mba, saya bawa mobil....kantor. Sepeda motor saya lagi diservis. Ga papa kan mba?"

Aku berpikir sejenak, ya udah lah ya. Anggap saja ini pertolongan Allah melalu perantara mas itu.

"Oh iya, dari tadi ngobrol tapi belum kenalan. Nama saya Devara mba!" ,katanya.

"Saya Aluna."

Dia mengangguk-anggukan kepalanya.

"Ya sudah, bisa kita berangkat sekarang? Takut keburu macet."

"Iya."

Devara berjalan mendahului ku menuju mobilnya. Parkir nya tak terlalu jauh dari apotik tadi.

Dia membukakan pintu depan untuk ku.

Aku pun duduk disampingnya yang siap dibelakang kemudi. Mobil pun melaju perlahan membelah jalan yang kini mulai dipadati pengguna kendaraan lain.

"Mba...Aluna bekerja dimana?"

"Dikantor S***. Panggil saja saya Luna."

"Owh....!"

"Kalo mas sendiri?" tanyaku balik.

"Kalo saya ...emm...sales marketing di showroom Deket apotik tadi."

Aku mengangguk pelan.

"Mba....emm... maksudnya Aluna, bisa kita tukar nomor ponsel. Mungkin setelah ini kita bertemu lagi?"

Aku tersenyum. Tak apa lah , setidaknya menambah pertemanan lagi.

Ku sebut nomor ponselku. Tak berapa lama ponsel ku pun berdering.

"Di save ya Lun."

Sok akrab banget mas ini. Jujur, wajahnya bikin betah dipandang. Cukup tampan. kutaksir usianya beberapa tahun lebih tua dariku.

Astagfirullahaladzim....mata....tolong dijaga dong, ga bisa banget liat yang bening begini.

Ku tepuk pipiku dengan kedua tangan ku.

"Kenapa lun?" tnya Devara .

"Nggak....!", kataku tergagap.

Untuk menghindari kegrogianku, kupalingkan wajahku melihat keluar jendela.

Dari ekor mataku, kulihat devara pun sedang memperhatikan ku.

'Perempuan yang manis.' batin Devara.

"Emm...mas, ngomong-ngomong tadi ke apotik mau beli apa. Kenapa malah jadi ngurusin aku?"

"Oh...itu tadi...ngasih resep obat Eyang saya. Tapi biasanya, besok baru diambil. Karena obat itu memang indent. "

Aku hanya ber'oh' saja. Tak terasa mobil pun sampai di apotek Waras . Aku turu. terlebih dahulu.

Benar kata devara, obat itu tersedia disini. Stelah membayar nya, aku menghampiri Devara lagi .

"Obatnya ada mas. Terimakasih sudah memberitahu saya dan mengantar kan saya pula." Aku tersenyum tulus karena merasa sangat terbantu.

"Tidak usah sungkan. Mulai sekarang kita berteman kan?"

Aku menanggapi nya dengan senyuman.

"Ya sudah kalau begitu saya permisi dulu mas. Sekali lagi terimakasih sudah membantu saya."

Aku menjabat tangannya. Tapi dia menarik tanganku.

"Biar saya antar sekalian ya Lun?!"

"Nggak usah mas. Saya bisa sendiri kok...."

"Plis....saya antar ya?" katanya memohon.

Akhirnya ku mengiyakan saja. Disepanjang perjalanan, kami mengobrol banyak. Meskipun ini pertama kali kami bertemu, tapi entah kenapa kami nyambung. Kami satu frekuensi ternyata.

Mobil pun memasuki halaman rumahku.

"Saya nggak ikut turun ya Lun, cukup memastikan kamu sudah sampai kerumah dengan selamat."

"Iya. Makasih buat semuanya ya mas."

"Iya sama-sama. Nanti saya hubungi kamu lagi. Barangkali ,lain waktu kita bisa bertemu."

Aku mengangguk pelan. Mobil pun melaju kembali. Dan aku pun masuk kedalam rumah.

"Assalamualaikum ....",salamku.

"walaikumsalam , baru pulang nak."kata ibuku.

"Iya Bu, obat bapak baru Luna dapet diapotik waras Bu. Lumayan jauh kesananya. "

Ibu manggut-manggut tanda mengerti.

"Ya sudah mandi dulu sana, ibu siapin obat buat bapak dulu."

Aku pun berlalu dari ruang tamu menuju kamarku. Segera ku sambar handuk dibelakang pintu lalu beranjak ke kamar mandi.

Guyuran air dingin menyegarkan tubuhku yang penat ini.

***

Makan malam bersama kedua orang tuaku pun usai. Aku beranjak menuju kamarku . Merebahkan diri sesaat sebelum datang masa kantukku.

Kuraih benda pipih di atas nakas. Tampak ada notifikasi pesan hijau.

Kusunggingkan senyum. Chat dari Devara.

[Hai, Lun]

Pesan itu dikirm sekitar satu jam yang lalu saat aku makan malam.

[Y mas, ada apa ]

Begitu ku kirim, centang biru seketika. Lagi onlen rupanya.

[Gpp. Blm tdr kan?Ganggu g?]

[Belom. Abis mkn terus ngobrol sama ibu bapak]

[Ohhh...besok pagi blh q jmpt k rmh?]

Hah? Mas deva mau jemput? Yang bener aja. Halooo diriku yang pernah patah hati, jangan keGRan dulu. Kamu baru kenal tadi sore. Masa mau main hayo wae. Mahalan dikit Napa!

Luna...Luna...kenapa sih ga coba move on aja? Semua sudah masa lalu. Ga ada istilah kapok kalo urusan sama hati.

Hatiku berperang sendiri. Aduh...gimana ya?

[Lun, tidur ???]

[G kq mas.]

[Maaf kalo q g sopan. Y udh klo aq g boleh jmpt km gpp. ]

[Maaf mas, jgn slh phm. Aq cuma g mau ngrepotin km aj]

[Kan aq yg mau jmpt kamu, dimana ngrepotin ny?]

[Ok deh]

[Sip. Jam brp q jmpt?]

[7.30 mas]

[oke. y udh met istrht. smpe ktmu bsk]

Kubalas dengan emoticon jempol dan senyum.

Mas deva...

Ya Allah, apa ini yang disebut jatuh cinta pandangan pertama?

Aku sendiri sudah lupa bagaimana rasanya jatuh cinta. Cintaku pupus sejak...'dia' memutuskan untuk menikah dengan mba Hanum. Kakakku sendiri.

Akhirnya kantukku mendera, mataku tak lagi dapat kutahan sampai akhirnya ku tertidur pulas.

Tak kenal maka kenalan

Pagi-pagi buta ibu sudah berkutat di dapur. Menyiapkan sarapan untuk kami serumah.

Bapak pun sudah duduk manis di meja makan dengan segelas teh tawar panas. Iya bagaimana tidak, bapak menderita darah tinggi dan diabetes. Jadi, tak bisa terlalu banyak makan dan minum manis.

"Sarapan dulu Lun!", pinta ibu.

"Iya Bu, Luna jemur pakaian dulu."

Setiap pagi aku memang bertugas mencuci pakaian. Ini kemauan ku sendiri. Aku kasihan melihat ibu yang sudah lelah dengan pekerjaan rumah. Setidaknya, dengan ku mencuci beban pekerjaannya berkurang. Meskipun beliau bukan ibu kandung ku, tapi beliau tulis menyayangi dan merawat ku dari kecil. Bapak cuma pensiunan guru SD. Gajinya tak banyak. Tapi beliau sanggup menamatkan pendidikan kami sampai bangku kuliah, aku dan almh mba Hanum.

Meski mba Hanum bukan anak kandung bapak, kasih sayang bapak sama kami rasakan.

Sampai akhirnya...aku harus mengalah demi mba Hanum. Menyerahkan lelaki yang saat itu bersamaku. Dengan berat hati, aku melepaskan nya untuk kebahagiaan kakakku.

Lamunan ku hilang seketika saat ibu menepuk bahuku.

"Sarapan dulu Na, sudah mau jam 7 ini. Nanti buru-buru berangkat ke kantor nya." kata ibu.

"Eh...iya Bu. ini sedikit lagi selesai koq."

"Ya udah , ibu bapak tunggu di meja makan ya."

Aku mengangguk an kepala ku.

Usai menjemur pakaian, aku pun gegas ke ruang makan.

Sudah ada bapak disana, bapak makan beras merah dan tempe rebus.

Kalau ku tanya apakah beliau bosan dengan menu itu, jawabannya selalu 'tidak'. Katanya belaiu sudah merasakan makanan enak dari dulu. Hehehe bapakku....

Beliau pensiunan guru SD, wajarlah kalo mengikuti perkembangan jaman.

"Kemarin siapa yang antar kamu nak? kayanya bukan taxi ?"tnya bapak padaku.

"Emmm....itu teman Luna pak." jawab ku.

Bapak manggut-manggut.

Sarapan pun berlangsung. Tak ada obrolan apa-apa lagi setelah bapak menanyakan perihal orang yang mengantarku.

"Bu ..pak, Luna ke kamar dulu. Mau siap-siap." pamitku.

"Iya!", jawab mereka kompak.

Jam sudah menunjukkan pukul 7.25.

Tapi belum ada tanda-tanda bahwa Mas Devara menjemput ku. bolak balik kulihat benda pipihku. Tak ada satupun chat darinya.

Plis...Aluna....jangan keburu geer gitu lah. Ya udah sih kalo ga bisa jemput, naik ojol kan bisa kaya biasanya. Jangan berharap lebih. Apalagi sama yang baru kenal. Sama yang kenal bertahun-tahun saja kamu dikecewakan koq.

Begitulah aku, suka ngomng sendiri didalam batin. Pakaian ku sudah rapi. Ku periksa barang bawaan ku, memastikan tak ada yang ketinggalan. Aku keluar dari kamar. baru saja akan menutup pintu, seorang bocah laki-laki kecil menghambur ke arahku.

"Tante Alunnn....", panggil Zyan. Keponakan ku.

"Zyan....", pekikku lalu ku gendong.

"Kapan Dateng sayang...?", tnyaku.

"Balusan", jawabnya singkat.

"Zyan, Tante Alun mau berangkat kerja. Sini sama nenek." pinta ibuku.

Kucium gemas pipi gembilnya. Lalu ibu meraih Zyan dari gendongan ku.

"Sudah sana berangkat, nanti telat kalo macet dijalan." seru ibu. Aku mengangguk setuju.

"Lun!", panggil seseorang. Mas Ilham, kakak iparku sekaligus mantanku.

Aku menengok ke arahnya. Sedikit menujukan senyuman ku.

"Kalau mau berangkat, sekalian mas antar. Zyan lagi kangen sama nenek dan kakeknya. Makanya pagi-pagi sudah minta kemari." jelas mas Ilham.

"Ga usah mas. Trimaksih. Aku....", belum selesai bicara ponselku berdering. Dari mas Deva.

"Ya Mas?", kataku.

"Aku di depan rumah lun."

Hah? Aku terkejut. Dia benar-benar sudah ada dihalaman dan sedang berdiri di amabng teras.

"Mas Deva udah lama?" tanyaku. Karena aku keluar, ibu bapak dan juga mas Ilham turut keluar.

Mas Deva menganggukkan kepalanya kepada kedua orang tua ku.

Lalu ia pun berjalan menghampiri beliau berdua lalu bersalaman .

"Pagi om...Tante, saya Deva. Teman nya Aluna", katanya memperkenalkan diri.

Bapak menyambut jabatan tangannya.

Tapi tidak dengan mas Ilham.

Lalu mas Deva pun urung menyalami mas Ilham.

"Mas Ilham ini kakak ipar ku mas." jelasku. Mas Deva pun mengiyakan.

"Ya udah mas kita langsung berangkat ya. Pak, Bu, mas Ilham aku berangkat dulu ya. Dah Zyan sayang....", pamitku.

"Kami permisi om...Tante....", pamit mas Deva juga. Lalu kami berjalan beriringan. Mas Deva memarkirkan mobilnya di luar gerbang.

Mobilnya beda lagi? Mentang-mentang sales mobil kali . Tapi perasaan tetangga sebelah yang sales mobil ga pernah tuh bawa mobil dagangannya . Ya sudahlah, bukan urusanku. Mungkin sudah rejeki ku hari ini, naik mobil mewah.

Perlahan-lahan mobil meninggalkan komplek kampung ku. Dalam perjalanan mas Deva membuat candaan yang membuat ku tertawa. Kami baru saling mengenal tapi seolah-olah kami ini teman lama. Bersyukur lah Luna, semua yang terjadi sudah menjadi takdir Nya.

"Lun, tadi itu kakak iparmu, lalu kakak mu dimana? Tadi ga keliatan?", tanyanya ,mulai kepo dengan keluarga ku.

"Mba Hanum sudah almarhum mas. Dia meninggal setaun yang lalu."

"Maaf y lun. aku....", ucapannya terhenti.

"Gapapa mas."

"Dia masih tinggal disitu?", tanyanya lagi.

Aku menggeleng.

"Sejak mba Hanum nggak ada, mas Ilham menempati rumah lamanya."jawabku.

"Kayanya....dari yang kulihat ya Lun, kakak ipar mu itu naruh hati deh ke kamu." katanya dengan yakin.

"Apaan sih mas. Sok tau deh. Kenal aja baru tadi."

Dia terkekeh sendiri. Mungkin membenarkan ucapan ku.

"Aku kan laki-laki Lun. Makanya aku tau gelagat orang yang suka ke orang lain."

"Sok tau kamu mas."

Senyuman manisnya menghiasi wajah tampannya yang bersih itu.

"Oh iya, emang kamu masuk kerja jam berapa mas? masih sempet anterin aku?",tanyaku.

"Jam...jam berapa ya? Namanya juga sales Lun."jawabnya.

Aku mengangguk saja.

"Besok Sabtu libur kan, ketemuan yuk."

"Ngapain nunggu besok mas, ini juga udah ketemu."

"Ya beda lah. Maksudnya jalan kemana gitu, makan kek atau nonton gitu?", ajaknya.

Aku memalingkan wajahku padanya.

"Secepat ini mas? Kita baru kenal 2 hari lho."

"Hehehehe ya....itu juga kalo kamu ga keberatan." katanya sambil menggaruk tengkuknya yang sepertinya tidak gatal. Hanya untuk menutupi kegrogiannya.

"Lihat besok saja ya mas. Aku ga bisa janji."

"Oke lah kalo gitu."

Kami kembali terdiam. Mungkin tenggelam dalam pikiran kami masing-masing.

Tak lama kemudian, ponsel Mas Deva berdering.

"Iya eyang....", jawabnya pertama kali saat mengangkat telpon.

Aku tak mendengar obrolan diseberang sana. Yang kulihat mas Dev menjadi pendengar yang baik. Sampai akhirnya panggilan diputuskan,mas Deva terdiam.

"Sudah sampe mas!", kataku.

Lalu mas Deva menepikan mobilnya.

"Trimaksih atas tumpangan nya ya." kataku tulus.

Lalu Deva mengacungkan jempol nya.

"Emm...mas, kalo boleh ku bilangin sebagai teman nih ya. Tapi mas Deva jangan tersinggung."

"Apa sih Lun? bilang aja gapapa."

"Ini mobil showroom kan? Alangkah baiknya jangan dipake urusan pribadi mas. Kalau ada kerusakan gimana. Kan kamu suruh ngeganti.

Apalagi mobil kaya gini kan mahal."

Aku mengatakan nya dengan takut-takut. Takut dia tersinggung.

Bukannya tersinggung dia malah tertawa.

"Lho...kok malah ketawa mas?", tanyaku.

"Terus aku harus gimana? Marah gitu sama kamu?", tanya nya balik.

"Ya...kali aja kamu tersinggung mas. Siapakah aku, berani nasehatin kamu."

"Iya iya.... kalau aku ga boleh pake mobil showroom lagi gapapa. Tapi aku ada syarat buat kamu."

"Kok syaratnya ke aku sih?"

"Iya lah."

"Emang apa syarat nya?"

"Aku tetap nganter jemput kamu. Ya...kalo ga pake mobil bisa dong pake motor?" katanya sambil tersenyum.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku.

"Iya deh. Ya udah aku masuk dulu ya." pamitku.

"Lun, tunggu....!", panggil nya . Aku yang akan membuka pintu mobil pun batal.

"Terimakasih."

Entah apa maksud ucapan terimakasih nya. Padahal aku yang sudah membuatnya repot.

Aku pun turun dari mobil, menutup nya kembali. Kulambaikan tanganku padanya. Mobil pun melaju setelah nya.

Komitmen

#Devara

Sejak perkenalan ku dengan Aluna, pertemuan ku dengannya pun semakin intens. Aluna gadis yang manis. Tidak matre seperti kebanyakan mantanku, apalagi tunangan ku. Perempuan yang sama sekali tak kucintai. Tapi eyang memaksaku untuk menikahi nya .

Tuhan mempertemukan ku dengan Aluna. Hanya saja....sebuah perbedaan yang menjadi kendala diantara kami. Apakah Aluna akan menerima perbedaan itu?

Hampir dua bulan lamanya ku dekat dengan Aluna, iya....Aluna nada Adzani. Nama yang cantik, secantik orang nya. Secantik tingkah lakunya.

Hari ini , aku bertekad untuk menyatakan perasaan ku padanya. Semoga saja dia bisa menerima ku. Tentang perbedaan itu...kurasa nanti bisa kami bicarakan.

[Lun, aku sudah didepan]

Langsung centang biru. Tanpa membalasnya, mungkin dia langsung menuju ke depan pintu masuk kantor.

Aku duduk di motor gede ku. Menunggu bidadari ku keluar. Beberapa saat kemudian, perempuan cantik itu sudah berada dibelakangku.

"Sudah lama nunggunya mas?"

"Belum."

Kuberikan helm itu padanya. Lalu dia pun membonceng dibelakang ku.

Kulakukan motorku pelan.

"Kita mau kemana mas?", tanya Luna.

Tak kujawab. Kubiarkan penasaran menguasai nya. Tapi itu tak berlangsung lama. Aku hentikan motor ku tepat di pinggir halte yang tak terlalu ramai.

Aluna pun turun. Mungkin dia penasaran, untuk apa turun disini.

"Kita ngapain disini mas?",

Kukeluarkan sebuah kotak kecil dari sakuku.

"Mungkin ini terlalu cepat Lun, tapi aku sudah ga sanggup kalo harus menahan diri untuk ....tidak jatuh cinta sama kamu Lun."

Dia mengernyitkan dahinya.

"Aku mau kalo kita....", belom selesai ku bicara sudah dipotong olehnya.

"Iya mas."

"Bener Lun? Kamu terima aku?" tanyaku memastikan. Dia mengangguk untuk meyakinkan ku.

Kuberikan kotak kecil itu.

"Buka dirumah ya!?", pintaku. Diapun mengangguk. Aku pun mengantarkannya pulang. Biarlah untuk beberapa waktu, hubungan kami tak perlu dipublish apalagi sampai ke orang tua. Sampai saatnya nanti sudah siap segala sesuatunya.

Setelah memastikan Aluna masuk kedalam rumah, aku pun gegas menuju rumahku.

Kuparkir kan kendaraan roda duaku digarasi. Kulihat mobil papi terparkir juga disana.

Tanpa ku ketuk pintu ruang tamu, aku pun masuk kedalam rumah.

"Mami ...papi...kapan datang?", tanyaku sambil menyalami nya. Mereka tertegun melihat sikapku. Ada yang salah?

"Tadi sore Dev. Em...sejak kapan kamu cium tangan ketemu mami papi?", tanya mami. Beliau berdua tinggal di Surabaya. Setelah 6bulan aku disini, mereka baru datang berkunjung.

"Sejak sekarang dan seterusnya lah Mih. Apa nya yang salah?" justru aku yang tanya.

"Salah sih nggak ,cuma bukan kebiasaan mu saja."jawab mamih. Papi ku hanya diam ,duduk di sofa. Selang beberapa lama Eyang pun bergabung dengan kami.

"Marta, anakmu ini susah sekali mama bilangin. Datang ke kantor semau-maunya dia. Sudah tau kalau dia itu calon Dirut di perusahaan kita. Tapi lihat kelakuan nya. Kaya masih ABG saja."ucap Eyang mengadu.

"Kenapa begitu Dev?", tanya mami.

"Kan Deva bilang mih, Dev ga mau kerja terikat seperti itu. Lagi pula , Dev juga punya usaha sendiri. Kalian semua kan tau....", belaku.

"Kalau bukan kamu, lalu siapa nak? kamu anak mami satu-satunya. Cucu Eyang satu-satunya. Mau buat siapa kalo bukan buat kamu?", cerca mami.

"Mami... Eyang....apa kalian ga lihat? Papi ku juga berkompeten kok. Bahkan selama ini, papi lah yang berkontribusi besar menjalankan bisnis keluarga kita."

"Tapi , papi mu cuma menantu di keluarga kita Dev!", kata Eyang.

"Maaf Eyang kalau Dev lancang. Eyang bilang cuma menantu? Lalu Dev apa? Dev cuma cucu. Kalau tidak ada papi, apakah Dev ada disini?"

"Jaga bicaramu Dev!", bentak mami.

"Mami, sebagai seorang istri apa mami pernah menghargai papi?Dan papi, kenapa papi selama ini cuma bisa diam dan diam diperlakukan seperti ini? Sebegitu cintanya papi ke mami?", aku tak mau kalah adu mulut dengan mereka.

"Cukup Dev. bicaralah yang sopan dihadapan mami dan eyang mu!", kata papi.

"Pi, sampai kapan papi begini. Papi itu papi ku. Orang yang aku hormati. Panutan ku. Tapi kenapa papi masih bertahan di kekang dalam keluarga yang kaya raya ini!",aku pun pergi meninggalkan mereka menuju ke kamarku.

sayup-sayup masih terdengar obrolan mereka.

"Dengar kamu mas, itu...itu...tuh didikan kamu. Deva jadi melawan sama kita."

Aku yakin papi tak membalas apa pun . Karena aku tahu, papi hanya bisa diam mendapatkan perlakuan mami dan eyang. Entah apa yang sebenarnya papi simpan selama ini.

Harus nya hari ini hari bahagia ku, karena Aluna menerima cintaku. Tapi ternyata sampai dirumah, kudapati kenyataan seperti ini.

Kurebahkan diriku di atas ranjang ku. Meraih ponsel disaku celanaku.

Aluna mengrimkan gambar. Gambar tangan dengan gelang canti berinisial ANA. Aluna Nada Adzani.

[Makasih mas. Aq pakai ya. Cantik sekali.]

[Iya. Mas harap km pake terus ya.]

[Siap Ndan.(emot senyum dan jempol)]

[Ya sudah, km istrht. Mas mau mandi dulu.]

[Ya mas]

Aluna, wajahmu selalu menghiasi pelupuk mataku. Apakah kebahagiaan ini akan berlanjut jika dia mengetahui perbedaan ini?

Apakah reaksinya esok?

Bagaimana dengan keluarga ku dan keluarga nya?

Tuhan....ijinkan kami bersatu. Pintaku.Semoga Tuhan mendengar bisikku.

****

Aluna

Hari ini, mas Deva menembakku. Dan kami memutuskan untuk berkomitmen. Enam bulan saling mengenal, ternyata kami memiliki rasa yang sama. Aku penasaran dengan isi kotak kecil yang dia berikan. Biarlah ku buka nanti saat suadah senggang.

kulihat mobil mas Ilham parkir di halaman. Sejak mba Hanum meninggal, dia memang sudah tak tinggal disini. Tapi setiap weekend dia selalu membawa Zayn untuk bertemu kakek dan nenek nya.

"Assalamualaikum....", aku mengucapkan salam saat memasuki ruang tamu.

"Walaikumsalam...", jawab mereka kompak. Seperti biasa, Zayn lari menghampiri ku.

"Tante Aluna...",panggilnya.

"Iya sayangnya Tante...Zyan udah lama Dateng ya? Maaf...Tante baru pulang kantor nih. Masih bau acem.",katakau sambil sesekali meciumi pipi gembilnya. Zyan pun hanya tertawa riang. Kasihan sekali bocah berumur 3 tahun ini. Diusianya yang masih terlalu muda, harus merasakan kehilangan ibunya.

"Yang ditunggu-tunggu sudah datang. Kemari nak!", pinta bapak sambil menepuk sofa disampingnya. aku pun menuruti titah beliau.

"Serius amat kayanya. Pada tegang semua mukanya." candaku.

"Begini nak....kamu tau kan, nak Ilham ini sudah kami anggap seperti anak sendiri. Sudah 2 tahun pula mbak mu meninggal, dan dia masih bertahan dengan status nya."bapak mulai menjelaskan.

"Iya, lalu?", tanyaku.

"Apa...kamu bersedia kalau...kamu menikah dengan mas Ilham?", tanya ibu.

"Apa? Menikah?", tanyaku. Jujur aku terkejut mendengar ini.

"Aluna, bapak tahu...dulu pernah ada yang spesial diantara kalian. Tapi...kamu mengalah, memilih mundur demi mba mu kan?", tanya bapak.

Jadi, bapak tahu masa lalu ku dengan mas Ilham? Tapi.... sayangnya aku sudah mengubur dalam-dalam perasaan itu semenjak aku mengikhlaskan dia memilih mba Hanum.

Ku lirik mas Ilham yang duduk di hadapan kami. Wajahnya yang kebapakan terlihat gelisah. Kenapa dia melakukan ini?

"Jadi.... maksud kedatangan mas Ilham kesini....", ucapan ku terhenti saat tiba-tiba Zyan duduk ke pangkuan ku. Memeluk ku erat. Seperti pelukan seorang anak terhadap ibunya. Zyan.... keponakan tante yang sangat Tante sayangi.

"Kamu lihat kan nak, betapa Zyan merindukan sosok seorang ibu. Dan kamu tantenya, sudah ia anggap ibunya sendiri." kata ibuku.

Aku menarik nafas dalam-dalam, mengusap lembut rambut Zyan yang hitam pekat. Kupandang wajah mungilnya, persis sekali dengan mba Hanum.

"Maaf....tolong berikan Luna waktu untuk berpikir. Tolong jangan terburu-buru meminta jawaban dariku." kataku tegas meskipun dengan nada pelan.

"Luna permisi ke belakang!", ucapku seraya meninggalkan mereka.

Aku masuk kamar dan meletakkan tasku. Aku jadi teringat dengan kotak kecil pemberian mas Dev tadi. Karena penasaran, akhirnya ku buka.

Sebuah gelang cantik berinisial ANA. Singkatan nama ku. Lalu ku pakai, ku foto dengan benda pipihku. Ku kirimkan gambar nya kepada mas Dev.

[ Makasih mas. Aq pakai ya. Cantik sekali.]

[Iya. Mas harap km pake terus y]

[Siap Ndan.(emot senyum dan jempol)]

[Ya sudah. km istrht. Mas mau mandi dulu]

[Ya mas]

Usai menjawab pesan nya, aku pun beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Mas Ilham, kenapa kamu harus hadir lagi disaat aku dan mas Dev sudah berkomitmen. Kenapa tidak dari dulu? Apakah kamu baru bisa melupakan mba Hanum? Ya Allah, aku hanya berharap semoga Kau berikan yang terbaik untuk ku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!