"Riana nggak mau jadi istri kedua. Pokoknya Riana nggak mau, titik!" bantah gadis cantik itu ketika sang ayah mendesak dan memintanya untuk menerima lamaran tersebut. Gadis cantik ini menangis sesegukan di atas sofa tempatnya duduk saat ini. Beberapa kali ia juga terlihat menghapus air mata dengan ujung bajunya.
"Ayah nggak mau tahu! Pokoknya kamu harus menerima lamaran itu!” Pria paruh baya itu mulai meninggikan suaranya. Sedangkan Riana hanya diam dan sibuk mengatur napas.
“Ingat Riana, kamu sekolah yang biayain siapa? Mereka. Ibumu sakit, siapa yang bantu biayain? Mereka. Dan sekarang kamu lihat, adikmu yang bantu kita nyekolahin, siapa? Ya mereka. Belum lagi kalo adikmu kumat sesaknya, siapa pula yang repot? Mereka. Mau ditaruh di mana muka Ayah kalo kamu nggak mau bantu mereka sekarang?" ungkit Pak Bayan menggebu-gebu, seakan sudah kehilangan akal untuk menghadapi penolakkan sang putri.
"Terserah Ayah, pokoknya Riana nggak akan pernah mau dijodohin. Apa lagi jadi istri kedua! Riana nggak mau, Yah! Pokoknya nggak mau!" tolak gadis cantik ini lagi.
Sayangnya Pak Bayan memiliki watak yang keras. Sehingga ia pun tak mau menyerah. Pria paruh baya ini kembali menekan sang Putri dengan berbagai cara. Termasuk mengingatkan apa yang pernah majikannya berikan kepada keluarganya.
"Coba kamu ingat lagi Riana, Ayah kerja di sana sudah lima belas tahun. Apapun yang kita butuhkan, mereka selalu mencukupi. Masak giliran mereka minta tolong, begini balasan kita! Astaga Riana! Hati dan pikiran kamu di mana? Lagian kamu dengar sendiri apa yang mereka bilang kemarin kan? Mereka bakal mecat Ayah, dan minta utang kita dibayar segera. Belum lagi mereka juga bilang, bakalan nyetop uang sekolah adik kamu, biaya pengobatannya. Kalo sudah begitu, kita mesti gimana Riana? Astaga! " desak Bayan lagi seperti frustasi.
"Iya, tapi membantu kan nggak harus menikah, Yah. Kalo mereka mau aku jadi pengasuh cucu mereka, oke Riana mau. Atau merawat menantunya yang sakit, ya nggak pa-pa, Riana mau. Tapi nggak kalo jadi istri kedua, nggak Yah! Pokoknya enggak! Riana nggak mau. " Tangis gadis ini pecah. Karena, ia mulai lelah menghadapi desakan sang ayah.
"Mereka maunya kamu nglayanin putra mereka. Bukan menantu atau cucu mereka. Menantu mereka udah ada susternya. Cucu mereka juga udah ada babysitternya. Nggak perlu kamu lagi buat ngurus. Intinya kamu ngurus tuan muda, sudah begitu. Astaga Riana! Mau berapa kali Ayah jelasin ke kamu! Hah!" Bayan terlihat ngos-ngosan. Ternyata menghadapi penolakkan Riana tak kalah melelahkan. Sepertinya jantungnya terpacu lebih kencang. Riana memang sukses membuat emosi pria ini melesat kuat.
Riana melirik kasal pada pria paruh baya yang sama sekali tidak bisa mengerti perasaannya ini. Rasanya ingin sekali ia berteriak, jika perlu mengusir pria itu dari hadapannya. Namun, Riana masih memiliki batasan. Mau bagaimanapun Bayan adalah ayahnya. Pria yang membesarkan dan merawatnya, setelah Risa, sang ibunda, menghadap Illahi. Bukan hanya itu yang membuat Riana kesal dan benci pada pria paruh baya yang ada di hadapannya ini. Bayan sepertinya lupa, bahwa Riana memiliki komitmen dengan seorang pria. Yang tak lain adalah temannya sejak SMA.
"Sudah jangan nangis lagi! Dia kan orang kaya Riana. Hidup kamu bakalan terjamin. Percayalah !" rayu pak Bayan lagi. Kali ini dengan suara yang sedikit lembut. Bermaksud menyentuh hati sang putri.
"Ayah pikir Riana wanita apaan? Soal rezeki Allah sudah menjaminnya untuk kita, Yah. Lagian, mas Yuan juga kaya kok. Dokter lagi. Kenapa nggak nikahkan Riana sama dia aja?" Balas Riana sengit.
Spontan Bayan pun naik pitam. "Siapa yang kamu sebut, Yuan? Pria tak punya niat menikahimu itu? Buktinya sampai saat ini, dia juga belum pernah menemui Ayah! Seperti itu pria yang kamu bangga-banggakan?" Bayan tersenyum sinis, meremehkan.
"Dia bukan nggak niat, Yah. Mas Yuan mau selesain kontrak PTTnya dulu. Ayah aja yang nggak sabar!" jawab Riana kesal.
"Terus keluarganya bakalan nerima kamu jadi menantunya? Jangan mimpi Riana! Kita ini keluarga tidak punya. Sudah gitu banyak utang pula. Ingat, biaya pengobatan ibumu mahal, sehingga membuat kita masih tinggal di kontrakan sampai saat ini. Belum lagi adikmu! Dia juga butuh biaya sekolah sekaligus ngobatin asmanya. Ini adalah kesempatan untuk kita memperbaiki ekonomi keluarga kita, Riana. Ya Tuhan! Ayah mesti gimana lagi jelasin keadaan kita ini ke kamu!" jawab Bayan mulai putus asa. Rasanya ingin sekali ia memukul anak gadisnya yang selalu membantahnya ini.
Sedangkan Riana juga tak kalah kesal pada sang ayah. Apa lagi pada keluarga yang bersedia membantunya, tetapi berpamrih itu. Ingin rasanya Riana marah pada mereka. ingin rasanya gadis cantik ini memaki mereka, andai berani. Ingin rasanya Riana mengucapkan segala sumpah serapahnya, andai bisa. Inikah balasan yang mereka minta dari seluruh bantuan yang mereka berikan pada keluarganya. Ya Tuhan, kejam sekali mereka.
"Bersiap-siaplah! Malam perwakilan keluarga mereka akan datang melihatmu. Cuci mukamu, Ayah nggak mau mereka melihatmu dengan keadaan seperti ini!" ucap Pak Bayan lagi sembari melangkah meninggalkan kamar sang putri.
Riana tak menjawab sepatah katapun perintah itu. Sebab ia benci ini. Dia benci dengan keadaan ini. Riana belum ingin menikah, apa lagi menikah dengan pria beristri. Angan itu sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya. Itu bukan cita-citanya.
Riana ingin menikah dengan pria pilihan hatinya. Kekasihnya. Dan yang jelas harus saling mencintai. Tidak seperti ini, dijodohkan, dipaksa, terlebih menjadi istri kedua. Sungguh, Riana merasa harga dirinya hancur. Karena, baginya menjadi yang kedua tetaplah penyakit bagi rumah tangga orang lain. Mau semanis apapun itu. Posisinya tetap akan menyakiti hati wanita lain. Mau seikhlas apapun itu. Pasti akan ada titik di mana istri pertama merasa tersakiti. Dan Riana tidak mau begitu. Tidak mau berada dalam posisi seperti itu. Gadis ini kembali menangis menjadi-jadi. Membayangkan kenyataan yang ada dihadapannya. Ternyata dirinya hanyalah sebuah duri di dalam rumah tangga orang lain.
Namun, ia juga tak mampu menolak. Ancaman keluarga tersebut terhadap keluarganya juga tidak bisa dianggap remeh. Bagaimana jika ternyata mereka memecat sang ayah dan menghentikan pengobatan dan biaya sekolah sang adik? Sedangkan dirinya hanyalah guru honorer di salah satu Sekolah Taman Kanak-kanak yang ada di dekat rumahnya.
Jangankan untuk membayar hutang yang bernilai puluhan juta itu. Untuk ongkos dirinya berangkat mengajar saja, sering tekor. Itu sebabnya, selain mengajar, Riana juga membuka toko online untuk mencukupi kebutuhan pribadinya. Otak gadis ini serasa ingin meledak jika memikirkan kenyataan ini.
***
Di sisi lain, seorang pria tampan, juga sedang berada dalam dilema. Dia adalah Damar Langit. Pria dengan segala kesempurnaannya itu, sudah berkali-kali menolak usul kedua orang tuanya untuk menikah lagi. Dengan alasan tak ingin menduakan Yuta. Tak ingin melukai hati sang istri.
Namun, desakan dan ancaman kedua orang tuanya tak kalah membuatnya merasa goncang. Bagaimana tidak? Mereka mengancam akan menghentikan pengobatan Yuta, jika seandainya Langit tidak menuruti keinginan mereka.
"Kami menyuruhmu menikah lagi bukan tanpa alasan Langit. Lihat istrimu, mengangkat tangannya saja tidak bisa. Bagaimana mungkin dia bisa melayanimu?" desak Dayat, yang tak lain adalah ayah pria tampan ini. Pria paruh baya ini terlihat kesal karena sang putra, tidak mau mengerti apa maksud dan tujuannya memintanya untuk menikah lagi. Ini semata untuk kebaikan putra semata wayangnya itu.
"Mengertilah, Pa. Aku nggak mau menyakiti perasaan istriku. Fisiknya sudah sakit, Pa. Harusnya Langit membuatnya tenang, membuatnya bahagia. Bukan malah menyakitinya," jawab Langit. Masih berusaha menolak.
"Kamu yang tidak mengerti. Yuta sendiri menyetujui kok kalo kamu menikah lagi. Coba tanya saja kalo kamu nggak percaya? Dia juga ingin kamu ada yang ngurus, Langit. Ada yang melayani, baik lahir maupun batin. Zahra, putri kalian juga butuh ibu yang sehat. Yang mau menjaga, merawat dan mendidiknya. Bukan ibu yang sakit-sakitan begini!" ucap Dayat lagi.
Bagai tertusuk sembilu hati Langit. Orang tuanya seakan tidak memikirkan perasaannya. Begitu juga dengan perasaan Yuta, yang saat ini hanya diam, berbaring lemah, sembari menatapnya. Beberapa kali wanita itu terlihat menghapus air mata dengan jari-jari pucatnya.
Langit menatap sang istri. Ingin sekali ia memeluk wanita itu dan menenangkannya. Tetapi tatapan sang ayah seakan menghalanginya untuk melakukan itu.
"Sudahlah, Ma. Malas Papa ngadepin drama nggak bermutu ini. Mari kita pergi!" ajak Dayat seraya beranjak dari sofa.
"Pa, Langit mohon!" ucap Langit masih berusaha meminta belas kasihan kedua orang tuanya.
"Pokoknya kamu sudah tahu konsekuensi yang akan kamu terima. Terserah kamu mau pilih yang mana?" jawab Dayat perihal permohonan Langit. Pria paruh baya itu kembali menatap tajam ke arah Langit dan juga Yuta. Seakan mengisyaratkan, bahwa apa yang pernah ia sampaikan, bukanlah isapan jempol belaka.
Langit dan Yuta hanya bisa menelan ludah mereka. Karena mereka berdua sangat paham dengan maksud perkataan Dayat. Perihal konsekuensi yang akan mereka terima jika sampai menolak pernikahan ini. Sebab, Langit sendiri juga masih bekerja di bawah naungan perusahaan milik Dayat.
Bersambung....
Semoga suka, jangan lupa like komen n votenya ya...🥰
Semalam suntuk Riana tak bisa tidur. Gadis ini menghawatirkan nasibnya mulai besok. Sebab besok malam adalah hari pertunangannya dengan pria itu, pria yang tidak ia kehendaki. Perwakilan keluarga tersebut telah menemuinya. Tak ada alasan lagi baginya untuk mundur. Meskipun jujur, hatinya terasa amat sangat sakit karena masalah ini.
Namun, rasa balas budi tiba-tiba menghantuinya. Bagaimana tidak? Sang ayah begitu fasih mengungkit baris demi baris kebaikan majikannya. Pria paruh baya itu juga sering memohon, agar diri Riana mau membantu meringankan beban yang kini ada di pundaknya. Hutang materi itu sering membuat sang ayah kurang nyaman bekerja. Sehingga Riana pun tak tenang.
Sama, Kedua orang tua calon suaminya juga mengungkit kebaikan itu sendiri ketika menemuinya untuk pertama kali. Bahkan, meminta balasan atas semua bantuan yang telah mereka keluarkan untuk keluarganya. Jika sudah begini, tak ada lagi yang bisa Riana lakukan, selain menerima perjodohan ini. Riana sendiri juga tak mau berhutang budi terlalu banyak terhadap mereka.
Selepas merenungkan keinginan sang ayah, Riana pun memberanikan diri mengutarakan keputusannya pada Pak Bayan, yang saat ini sedang menikmati sarapan di meja makan.
“Pagi, yah!” sapa Riana sedikit takut. Bayan tak menghiraukan sapaannya. Pria ini hanya diam dan mengunyah nasi goreng yang ia buat sendiri untuk sarapan.
“Baik, Yah, jika ini yang terbaik untuk keluarga kita, Riana akan coba ikhlas,” ucap Riana pelan. Karena saat ini ia menahan sesak di dadanya agar air matanya tidak keluar ketika membicarakan perihal yang sangat menyakitkan ini, baginya.
Bayan menghentikan kunyahannya dan menatap girang pada sang putri. “Benarkah? Kamu yakin?” tanya Bayan tak percaya.
“Iya, Yah. Insya Allah.” Riana memaksa bibirnya tersenyum. Padahal hatinya menangis perih.
“Terima kasih, Putriku. Ayah yakin ini adalah pilihan yang tepat. Cepat kamu bersihin rumah kita, rapikan, pel, pokoknya bikin sewangi mungkin. Kamu tahu kan kalo majikan Ayah suka yang bersih-bersih, ha! Ayah bahagia sekali sayang. Pokoknya setelah sampai di sana, ayah akan langsung kasih tahu mereka. Kalo kamu mau menikah dengan tuan muda, ya,” ucap Bayan. Pria ini terlihat begitu senang dan bersemangat. Membuat Riana tak tega jika memotek kebahagiaan sang ayah dengan menolak pernikahan ini.
“Iya, Yah. Kasih tahu saja. Nanti Riana siap-siap,” jawab Riana, masih setia dengan senyum yang ia paksakan itu.
“Terima kasih, Sayang, terima kasih. Kamu memang putri Ayah yang bisa Ayah andalkan. Oke kalo begitu Ayah berangkat dulu. Kamu jangan lupa sarapan ya.” Bayan langsung meminum teh manis yang telah ia siapkan sendiri itu.
“Iya, Yah,” jawab Riana singkat.
“Oiya jangan lupa masak yang enak, daaa.....” ucap Bayan sembari memakai helmnya. Sedangkan Riana hanya tersenyum, pertanda ia menyetujui permintaan sang ayah.
Perbincangan singkat itu pun berakhir. Kini tinggallah Riana seorang diri. Merenungi dan memikirkan keputusannya. Semoga keputusan yang ia ambil tidak salah. Semoga keputusannya ini bisa membuat orang-orang yang mengharapkan ini terjadi, bahagia. Terutama sang ayah, karena niatnya memang membantu meringankan beban sang ayah. Jika pernikahan ini memang bisa, kenapa tidak?
***
Malam yang Riana takutkan pun akhirnya tiba. Rombongan keluarga calon mempelai pria yang hendak menikahinya pun datang. Hati Riana kembali teriris perih, ketika melihat seorang wanita dengan wajah pucat duduk di atas kursi roda. Sesekali wanita itu tersenyum dengan pria tampan yang ada di sebelahnya. *Mungkinkah itu adalah tuan muda yang hendak menikahiku? Dan itu* *adalah nyonya muda, istrinya*? tanya Riana dalam hati. *Jika benar itu adalah mereka, betapa jahatnya aku, Tuhan, tambah* gadis ayu ini.
Berkali-kali Riana terlihat menghela napas dalam–dalam, berusaha menetralkan perasannya. Berusaha mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ini adalah pilihan terbaik untuknya, untuk keluarganya dan untuk .... Ah Riana tidak yakin, jika kehadirannya di tengah-tengah Langit dan Yuta adalah keputusan terbaik. Riana yakin, jika saat ini istri dari pria itu pasti sakit hati karenanya.
Acara pertunangan pun dimulai. Semua yang ada di ruangan tersebut menjadi saksi bahwa mulai malam ini, Riana telah sah menjadi tunangan Langit. Selepas acara inti tersebut, Dayat mulai membahas dan mengatur bagaimana nantinya pernikahan ini berlangsung. Sedangkan pihak Riana hanya menurut. Karena mau bagaimanapun posisi mereka saat ini berada di bawa kendali pria itu. Riana sendiri pun tak diberi berhak meminta apa pun. Kecuali mahar. Riana boleh menuliskan mahar yang dia inginkan. Dengan tangan gemetar, Riana pun menuliskan nominal itu.
Dayat tersenyum setelah membaca tulisan tangan Riana. Tanpa berdebat pria ini pun menyetujui apa yang ditulis gadis tersebut. “Ini sudah cukup, Riana?” tanya Dayat.
“Insya Allah, Pak,” jawab Riana.
Dayat memberikan selembar kertas itu kepada orang kepercayaannya yang ikut menyaksikan lamaran ini. Pria itu pun langsung menyimpan kertas tersebut. Tak lupa untuk melengkapi syarat-syarat pernikahan, pria itu juga meminta biodata, KTP, akte, KK dan juga beberapa lembar foto Riana untuk mengurus pernikahan ini.
Tak ada pembahasan lagi, seluruh keluarga sudah sepakat dan menyetujui pernikahan ini. Termasuk kedua mempelai itu sendiri. Riana tidak menolak serumah dengan istri pertama, pun dengan Yuta. Dia pun tidak menolak Riana seatap dengannya.
“Tapi kamu harus pindah kamar, Langit. Biar Riana nggak canggung kalo mau ngurus kamu!” ucap Dayat memperingatkan. Langit dan Yuta saling menatap. Tentu saja mereka shock dengan peraturan baru ini. Namun, biaya pengobatan Yuta jauh lebih penting dari apa pun. Mereka tak punya pilihan lain selain menjawab ‘iya’.
Tak ada lagi yang harus di bahas karena semua sudah jelas. Semua sudah menyetujui pernikahan ini, termasuk Yuta sendiri. Di depan semua saksi, wanita itu juga menandatangani surat persetujuan yang menyatakan dirinya mengizinkan sang suami menikah lagi. Dengan alasan dia tidak bisa melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri.
Besok Riana dan Langit diharuskan untuk fitting baju yang akan mereka kenakan di acara akad nikah mereka. Tak ada resepsi karena Riana tidak menginginkannya. Ia tak ingin semakin menyakiti wanita yang duduk di kursi roda itu. Tadi, pas langit menyematkan cincin di jari manisnya, tak sengaja Riana melihat Yuta meneteskan air mata. Dan itu membuat hati Riana kembali tertampar. Karena pada kenyataannya, apa yang ia lakukan saat ini benar-benar nyata menyakiti hati wanita lain. Riana hanya bisa meminta maaf, beribu-ribu maaf untuk Yuta.
Sebagai penutup acara, Riana pun mempersilakan tamunya untuk makan. Di sela-sela acara makan tersebut, Yuta mendekati Riana. Mengajak gadis cantik itu untuk berbincang.
Yuta menatapnya dengan tatapan tidak menyukainya. Riana bisa merasakan aura permusuhan itu. Sebab Yuta tak tersenyum. Dia langsung mencengkeram kasar tangan Riana.
“Mbak, kenapa? Ada apa?” tanya Riana bingung.
“Nggak usah sok polos kamu, aku tahu apa tujuanmu menikahi suamiku. Asal kamu tahu ya, sampai kapan pun aku tak akan pernah mengikhlaskan suamiku untuk wanita murahan sepertimu. Bagiku, kamu dan pelacur yang ada di luaran sana, sama. Tak ada bedanya,” ucap Yuta ketus.
“Aku bukan wanita seperti itu, Mbak,” jawab Riana berusaha membela diri.
“Bukan wanita seperti itu? Kamu mau bohong sama siapa? Seorang wanita yang mau menikah demi uang, apa namanya kalo bukan pelacur. Dasar benalu!” umpat Yuta lagi. Riana tak sanggup menimpali ucapan Yuta, karena pada kenyataannya dia memang seperti itu.
“Ingat baik-baik wanita murahan, selama aku masih bernapas, tak akan kubiarkan mas Langit mendekatimu, apa lagi sampai jatuh cinta padamu. Akan aku buat hidupnya seperti di neraka. Ingat itu baik-baik!” ancam Yuta, kali ini Yuta tak ingin kalah dengan cintanya. Dia boleh kalah dengan keadaannya tetapi tidak untuk posisinya di hati Langit.
Sedangkan Riana hanya, diam membisu. Tak tahu harus berucap apa. Karena pada kenyatannya ia sendiri juga tak menginginkan ini, tetapi di salahkan atas kondisi ini.
Bersambung.....
Jangan lupa like komen n share ya🥰
Riana menyadari tak ada seorang wanita pun yang ingin diduakan. Termasuk Yuta. Apa lagi beliau dalam keadaan sakit seperti itu. Tetapi mau bagaimana lagi? Ia sudah menyepakati berbagai hal dengan kedua calon mertuanya. Riana tidak bisa main-main soal itu. Sebab ini menyangkut masa depan keluarganya. Masa depan adiknya dan juga kesembuhan bocah tersebut.
Dalam hati Riana berjanji akan menjaga batasannya untuk menjaga fisik dan juga perasaan Yuta sebagai istri tua. Ia juga berusaha memaafkan apa yang Yuta katakan waktu itu. Riana tahu jika itu adalah bentuk sakit hati yang wanita itu rasakan terhadap keadaan yang tidak ia inginkan.
Di sudut ruang yang gelap, kembali Riana merenungkan apa yang terjadi di rumahnya hari ini. Detik demi detik masa yang telah ia lewati kembali terlintas di dalam pikirannya. Bukan hanya masa yang ia lewati yang terlintas. Ketakutan akan janji yang pernah ia ucapkan pada sang kekasih untuk setia, terpaksa harus ia ingkari karena keadaan yang menghimpitnya. Riana terpaksa melukai hati-hati yang seharusnya ia jaga. Tetapi sekali lagi, ini bukan inginnya. Ini bukan kehendaknya. Hanya ucapan maaf dan maaf yang bisa ia ucapkan untuk hati-hati yang saat ini terluka karenanya.
Malam semakin larut, namun mata gadis ini masih belum mau terpejam. Pikirannya masih setia berputar ke sana ke mari. Mengganggunya. Menggerogoti relung-relung hatinya. Sehingga menghadirkan dilema yang luar biasa.
Riana menatap intens pada rembulan yang kini menemani malamnya. Berharap sosok itu akan mengerti isi hatinya. Berharap rembulan yang kini menatapnya, mau mengerti keadaannya. Paham akan pilihannya. Gadis ini menangis dalam diam, nyata hatinya masih bertolak belakang dengan pilihannya saat ini.
***
Keesokan harinya...
Sebuah mobil CR-V berwarna putih telah parkir manis di depan rumahnya. Riana tahu jika mobil tersebut hendak menjemputnya. Sebab hari ini, dia dijadwalkan fitting baju pengantin bersama sang calon suami.
Di dalam mobil tersebut sudah ada Langit dengan wajah kesal. Riana tahu jika pria itu pasti kesal padanya.
“Selamat siang, Mas!” sapa Riana.
Langit diam, tak menjawab sepatah kata pun sapaan gadis itu. Bukan hanya itu, langit juga tak melirik sedikit pun gadis cantik yang ada di sebelahnya. Ia langsung menginjak pedal gasnya dan melajukan kendaraannya di tempat tujuan.
“Maaf, Mas! Saya tidak bermaksud untuk...” belum sempat Riana menyelesaikan ucapannya, Langit sudah memberikan tatapan yang siap menelannya.
“Berapa keluargaku membayarmu untuk menjadi istriku?” tanya Langit langsung pada pokok permasalahan yang kini membuatnya ingin melempar gadis yang ada di sebelahnya ini.
Riana diam. Sebab, pada kenyataannya dia memang dibayar. Di dalam surat perjalanan yang ia tanda tangani bersama kedua orang tua Langit, di sana ia menulis, Dia siap menikah dengan putra mereka apa bila sang ayah dibebaskan dari segala hutang piutang yang ayahnya tanggung.
“Maaf, bolehkan kita membahas perihal yang lain! Misalnya.... “ Riana menatap Langit. Sedangkan Langit malah tersenyum sinis kepadanya. Membuat Riana langsung menundukkan kepalanya karena malu.
“Aku sudah tahu berapa nominal yang kamu minta pada orang tuaku. Kamu pasang tarif juga ya ternyata!” ucap Langit lagi. Bermaksud meremehkan.
Riana kembali diam, sebab ia tahu, bahwa pria yang ada di sebelahnya hanya ingin merendahkannya. Ia pun tahu diri. Karena sebenarnya dia memang dibayar untuk ini.
“Jaman sudah edan, apa pun akan dilakukan untuk mencapai tujuan. Hah, baiklah terserah kamu saja. Yang penting kamu tahu diri saja. Jangan pernah berteriak tentang hakmu padaku! Karena kamu sudah mendapatkannya sebelum kita menikah. Dan satu lagi, jangan pernah bermimpi aku akan menghargaimu sebagai istri, karena aku tak pernah menganggap dirimu adalah bagian dari hidupku. Ada atau tidaknya dirimu di rumahku itu sama sekali tak berpengaruh buatku, buat istriku, apa lagi untuk putriku. Mengerti!” ucap Langit, santai namun bagi Riana, ucapan itu sangat menyakitkan. Karena mengandung beberapa jarum dan kini jarum tersebut telah sukses menusuk ke jantung hatinya.
Riana masih diam, masih menundukkan kepalanya. Gadis cantik ini tidak tahu bagaimana caranya ia membela diri di depan Langit. Ia juga tak tahu, bagaimana menjelaskan masalah yang sedang ia hadapi pada pria ini. Agar sang calon suami mengerti, bahwa sebenarnya ini juga tak mudah untuknya.
Tiga puluh menit berlalu, akhirnya mereka pun sampai di sebuah butik yang sangat mewah. Riana terheran-heran. Apakah tidak salah, Langit membawanya ke tempat semewah ini. Bukankah di dalam surat perjanjian mereka pernikahan ini hanya akan ada akad nikah. Bukan resepsi mewah.
“Mas, apakah benar ini tempatnya?” tanya Riana, takut salah.
“Kenapa? Kamu senang ya, akhirnya dapat suami kaya raya?” ledek Langit, kembali bermaksud menghina Riana.
“Bukan itu maksud, Ria. Bukankah pernikahan kita hanya akad, jadi nggak perlu baju sebagus itu kan?” tanya Riana lugu.
“Heh, dasar wanita ular. Pandai sekali kamu bersandiwara di hadapanmu. Bukankah ini yang kamu inginkan!” Langit tersenyum sinis.
“Demi Tuhan, Mas. Dia juga nggak ingin ini terjadi. Percayalah!” ucap Riana sungguh-sungguh.
Langit malah tertawa. “Kamu mau berbohong sama siapa? Nyatanya kamu langsung mau begitu orang tuaku menawarimu sejumlah uang. Penjilat tetap saja penjilat. Di mataku, pelacur di luaran sana jauh lebih berharga dibandingkan denganmu. Jadi jangan banyak membela dirimu sendiri, semakin kamu membela, aku semakin muak dan jijik. Sebaiknya kamu turun dan coba baju yang sudah ibuku siapkan untukmu. Pulang naik taksi saja, aku bukan sopirmu!” ucap Langit sengit. Tak ingin banyak bicara, Langit pun segera turun dan berjalan memutar serta membuka paksa pintu mobil di mana Riana berada. Dengan kasar pria ini pun menarik tangan Riana dan mendorong kasar wanita ini.
Seakan tak melakukan apa pun, Langit pun langsung kembali masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Riana sendirian di depan butik, di mana seharusnya ia melakukan fitting baju.
Riana tak bisa mencegah Langit, sebab sejatinya ia pun takut pada pria itu. Kata-katanya begitu kejam. Sangat menyakitkan. Apa lagi saat Langit mengatakan, bahwa pelacur lebih berharga dibandingkan dirinya. Rasanya, kata yang Langit ucapkan itu seperti belati yang kini menantap tajam di dalam sanubarinya.
Lagi-lagi, Riana hanya bisa pasrah. Hanya bisa diam menerima perlakuan orang-orang yang tak Mei mengerti tentangnya. Yang hanya menatapnya sebelah mata. Namun, sekali lagi, ini adalah pilihannya. Mau tak mau ia harus tetap menjalaninya. Apa pun itu, Riana harus tetap melangkah. Demi orang tuanya, demi orang-orang yang bisa menyelamatkan sang ayah dari hutang-hutang itu. Dan Riana iklhas, karena ia yakin, apa pun yang terjadi padanya saat ini semua pasti kehendak Illahi. Riana yakin itu.
Bersambung....
Ditunggu like dan komen kalian ya🥰🥰🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!