"Saya terima nikah dan kawinnya Jingga Adelia Putri binti Marwan dengan mas kawin uang tunai sebesar seratus ribu rupiah dibayar tunai "ucap Aris mantap dengan satu helaan nafas.
"Sah??"
"Sah!!"
Jingga menangis sejadi - jadinya, bukan karena pria yang mengucapkan ijab itu tidak dicintainya. Sama sekali bukan, Jingga sangat mencintai Aris. Mereka sudah menjalin hubungan sejak dua tahun terakhir.
Pernikahan yang jauh dari impian Jingga. Setidaknya Jingga mendambakan pernikahan out door yang minimal bisa diselenggarakan di kafe miliknya sendiri. Tamu undangan berderet rapi menyambutnya berjalan melewati karpet merah bertabur bunga dengan tatapan iri sekaligus kagum.
Impiannya menggunakan lagu Nothing's Gonna change my love for you sebagai lagu pengiring wedding entrance pupus. Nyatanya tangisan kesedihanlah yang mengiringi pernikahannya sekarang.
Hari ini Jingga menikah di depan Ibunya yang sudah terbujur kaku tak bernyawa. Pakaian hitam dan putih mendominasi para undangan yang menyaksikan pernikahannya. Sebenarnya mereka lebih tepat disebut pentakziah, karena sejatinya mereka datang untuk mengucapkan bela sungkawa.
"Ngga, sudah! khlaskan ibu. Kematian yang dialami Ibu adalah kematian yang diharapkan semua orang." Aris mengucapkan itu seraya memegang pundak Jingga. Perempuan yang kini bisa disebut sebagai istrinya .
Aris benar, bu Laras meninggal dalam kondisi tidur. Tidak sedang sakit, bahkan beliau baru saja menjalankan sholat subuh bersama Jingga.
"Aku hanya mau menumpahkan kesedihan ku sebentar mas. Setelah ini aku janji tidak akan ada lagi tangisan untuk ibu. Jika aku merindukan ibu, cukup aku gelar sajadah, menengadahkan tanganku membaca basmalah memohon kemurahan hati Allah," ucap Jingga, menyeka air mata dengan tisu di genggamannya.
Setelah itu mereka semua langsung mengantarkan jenasah ibu Laras ke peristirahatan terakhirnya .
Jingga duduk bersimpuh menghadap gundukan tanah basah tertutup bunga mawar putih. Pikirannya menerawang saat ibunya secara tiba - tiba meminta Aris menikahinya dua hari yang lalu.
Flashback On
"Ris, ibuk itu kok ya pengen ngeliat Jingga itu menikah terus punya anak yang banyak ya," ucap bu Laras pada Aris tiba - tiba.
"Wajar lah bu, nanti kalau sudah waktunya pasti Jingga bakalan nikah bu. Sama Aris tentunya" jawab Aris, akrab tapi tetap sopan. Kalau boleh jujur Aris juga ingin menikahi Jingga segera. Mereka sudah sama - sama dewasa. Secara ekonomi, Aris bahkan tergolong lebih dari cukup. Aris mempunyai pabrik barecore dan plywood di daerah jawa timur. Hanya saja, orangtuanya tidak setuju hubungannya dengan Jingga.
"Kalau sampai ibu tutup umur kalian belum menikah, Aris mau kan menikahi Jingga sebelum jenazah ibu di kubur? kasihan Jingga di sini tidak ada saudara. Ya karena ibu anak tunggal, ayahnya anak tunggal. Jingga jadi sendiri. Makanya ibu pengen kalau kalian menikah, punya anak yang banyak," pinta bu Laras.
"Ibuk ini ngomong apa sih," sahut Jingga merasa tidak suka dengan obrolan ibunya.
"Aris janji bu. Tapi ibu harus panjang umur, biar nikahnya gak di depan jenazah. Ibu ini aneh - aneh saja, terus malam pertamanya di mana bu kalau nikahnya saja di depan jenazah?" Aris malah balik menanyai bu Laras dengan nada becanda.
"Yang pasti di kamar Ris. Kalau mau aman di kamar ibu," kikik bu Laras.
Flasback off
"Ngga, sudah mau hujan. Kita pulang yuk!" ajak Aris.
"Iya mas" jawab Jingga datar.
Hanya karena tidak ada tangisan mengiris hati, bukan berarti Jingga tidak merasa sedih dan kehilangan ibunya. Jingga hanya bersikap realitis. Jika dengan meronta - ronta membuat ibunya kembali, Jingga dengan senang hati akan melakukannya.
Rumah Jingga tampak lengang, hanya ada satu asisten rumah tangga beserta suami dan anaknya yang juga tinggal di sana. Lingkungan tempat tinggal Jingga cukup tertutup. Mereka memang sudah terbiasa hidup masing - masing. Berinteraksi seperlunya seperti tadi.
Meskipun bukan dari kalangan sangat berada seperti Aris, kehidupan Jingga bisa dikatakan layak. Almarhum Ayah Jingga adalah seorang pensiunan petinggi salah satu perusahaan BUMN.
"Mbak Sri tolong siapin makan siang buat mas Aris sama temennya ya mbak, aku mau mandi sebentar" ucap Jingga pada asisten rumah tangganya.
"Iya mbak... Mbak Jingga juga harus makan, nanti kalau sakit mbak sendiri yang repot" ucap Sri, yang sudah seperti kakak sendiri bagi Jingga.
"Mbak tolong bilang ke mas Wandi ya, setelah ini Jingga minta tolong antar uang sama air mineral ke panti. Di sana mau ada pengajian buat Ibu selama tujuh hari l" pinta Jingga.
Jingga melewati Aris yang sedang mengobrol bersama Evan di ruang tengah. Evan dengan setia menemani Aris dari tadi jam lima pagi begitu dikabari Jingga. Evan juga belum menikah, diantara tiga bersahabat, hanya satu yang sudah menikah dan berada di luar negeri .
"Akhirnya nikah juga. Ngerasain juga yang namanya darah perawan" goda Evan.
"Nggak sekarang lah bro, aku juga ngerti situasi," jawab Aris masih dengan memainkan ponselnya.
"Terus gimana? mami papi gak di kasih tau?" tanya Evan.
"Belum lah, biar jadi rahasia kita dulu" jawab Aris, mengambil nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Dua tahun menjalin hubungan dengan Jingga, tapi belum mendapatkan restu dari kedua orangtuanya.
"Masalah mami papi apa sih bro? Jingga tuh baik, mandiri, pekerja keras dan gak rewel juga. Soal materi? Memang mau sekaya apa lagi kalian? mau menyatukan dua kekayaan keluarga ? Siapa yang mau nikmatin? prestige (gengsi)? Jingga jelas juga orangtuanya, jelas juga gak pernah morotin kamu. Malah kita yang sering dapat gratisan di kafenya" cerocos Evan membuat Aris sedikit pusing.
"Sampai segede ini, aku belum ada nyali buat nentang mami papi. Apalagi mami ngancem bakal hancurin kafe Jingga kalau aku nekat" ucap Aris, kekhawatiran kini jelas nampak di wajahnya. Seharusnya dihari pertama pernikahan wajah kedua mempelai berseri - seri, tapi tidak dengan Jingga dan Aris yang sama - sama menyimpan kesedihan.
"Aku harus balik ngambil beberapa baju, temenin ya! Aku gak mau, mami papi curiga " pinta Aris .
"Iya aku temenin" jawab Evan.
Jingga menuruni anak tangga, terlihat segar dengan dress terusan selutut warna mustard bermotif floral, rambutnya diikat tinggi seperti ekor kuda memperlihatkan leher jenjangnya yang mulus, tangannya membawa amplop coklat yang kemungkinan besar berisi uang setebal 10 cm.
"Mas Aris, mas Evan kita makan siang dulu yuk!" ajak Jingga.
"Iya Ngga!" jawab Aris dan Evan kompak .
"Kalian nih dua tahun pacaran tapi kaku banget kayak kanebo kering. Ada panggilan sayang kek biar beda dari yang lain. Jangan - jangan selama ini kalian pacaran cuman sampai pipi doang," tebak Evan dengan suara berbisik. Evan tau betul Jingga adalah cinta pertama Aris dan Aris sangat tidak romantis, pernyataan cintanya saja tidak basa basi. Tidak ada bunga, coklat apalagi cincin. Gratisan pula di kafe Jingga.
"Enggak salah. Tuh bibir masih perawan," jawab Aris suaranya sangat pelan.
Begitulah Aris susah terbuka dengan orang lain kecuali Evan dan satu sahabat mereka lainnya yang masih berada di luar negeri.
Sampai di meja makan ,ponsel Aris berdering beberapa kali. Awalnya ingin mengabaikan tapi akhirnya diterima juga.
"Halo iya mi," sapa Aris setelah menggeser tombol berwarna hijau di layar ponselnya .
"....................................... "
Aris tampak berfikir sejenak .Wajahnya terlihat sangat bingung. Sekilas matanya melirik ke arah Jingga. Lalu pandangannya beralih ke Evan.
"Haruskah aku meminta tolong Evan?" batin Aris dalam hati.
" ...................................... "omelan suara di seberang mengejutkan lamunan Aris.
"Iya mi ... iya." Aris menjawab dengan tidak bersemangat. Sesaat kemudian dia memutus sambungan telponnya.
"Ada apa mas?" Jingga menanyakan apa yang terjadi dengan suaminya yang mendadak terlihat letih.
Evan melihat gelagat aneh sahabatnya, sementara Jingga masih sibuk mengambilkan nasi beserta lauk pauk ke dalam piring untuk Aris.Setelah pertanyaannya tidak dijawab oleh Aris, Jingga enggan bertanya lagi.
"Di makan dulu mas," ucap Jingga tidak terlalu lembut tapi sangat pas di dengar di telinga Aris dan Evan.
Sepanjang menghabiskan makanan di atas piring, tidak ada satu obrolan pun yang keluar dari mulut ketiganya. Aris terkesan buru - buru menghabiskan makanannya, karena ponselnya terus berbunyi. Aris menyambar segelas air putih di depannya, meneguknya hingga habis tak bersisa. Jingga mengambil piring dan gelas kotor di depan Aris.
"Ngga, aku harus pulang. Sepertinya malam ini aku tidak bisa menginap di sini. Mamiku minta di antar ke suatu tempat. Katanya penting Ngga," kata Aris hati - hati.
Evan menggelengkan kepalanya, bagaimana bisa sahabatnya itu meninggalkan istrinya di hari pertama pernikahannya dan yang paling penting di saat istrinya sedang berduka karena baru saja kehilangan ibunya.
"Ngga!!" panggil Aris membuyarkan lamunan Jingga.
"Terserah mas saja," jawab Jingga apatis.
Sudah dua tahun Jingga berusaha mengejar restu, hasilnya tetap sia - sia. Jingga tidak aneh dengan kondisi saat ini, sudah banyak rencana yang tiba - tiba gagal karena telepon mendadak dari maminya Aris. Tapi Jingga merasa kali ini sikap Aris tidak adil padanya. Sedang malas berdebat, membuat Jingga memilih kata terserah sebagai jawabannya.
"Aku pulang dulu ya," pamit Aris, mengulurkan tangannya. Jingga menyambut tangan kanan Aris, mencium punggung tangan aris lembut.
"Hati - hati!" ucap Jingga terkesan hanya formalitas saja. Aris mengecup kening Jingga sebentar lalu berjalan keluar ke arah pintu menuju garasi rumah Jingga.
Semua yang dilakukan Aris tak luput dari perhatian Evan, terlalu lempeng dan tidak ada kehangatan di sana. Itulah kesimpulan Evan sementara. Aris memang bukan tipe laki - laki romantis. Aris adalah laki - laki setia yang cenderung pendiam dan kaku. Tapi kali ini Evan tak segan menyelipkan kata tidak peka, tak berperasaan dan kejam pada Aris. Tidakkah Aris melihat mata sedih dan kecewa Jingga.
"Bro, Kamu di sini dulu ya, tolong temani Jingga sebentar. Habis maghrib kamu pulang gpp," ucap Aris sambil menyalakan mesin mobilnya.
Evan kembali menggeleng - gelengkan kepalanya saat melihat mobil Aris benar - benar meninggalkan rumah Jingga.
"Mas Evan nggak pulang juga? eh .... maksudnya bukan ngusir mas. Cuman takutnya mas ada keperluan, tapi mas gak enak sama aku," ucap Jingga takut menyinggung Evan .
"Enggak kok, santai aja. Sama Aris suruh pulang habis maghrib." Evan menjawab dengan tenang.
Jingga dan Evan duduk di ruang tamu tanpa meja kursi yang belum di tata kembali. Mereka berdua duduk lesehan di atas hamparan karpet turki berbulu halus.
Rasa canggung menghampiri Jingga dan Evan sesaat. Meskipun mereka sering nongkrong bareng di kafe Jingga, nyatanya saat berdua begini masih ada rasa risihnya. Apalagi sekarang Jingga menyandang status istri siri Aris.
"Mbak maaf mengganggu sebentar, mas Wandi masih di kafe ngambil nasi kotak buat pengajian di panti. Karena mobil box kafe lagi di pakai catering di acara pernikahan. Kalau nanti malam saja gpp kan mbak nganternya?" tanya mbak Sri.
"Gpp mbak, besok pagi juga gpp kok. Jangan lupa mas Wandi suruh bawa air mineralnya sekalian. Ambil di catering saja air mineralnya. Makasih ya mbak sri bilangin makasih juga ke mas Wandi." Jingga berkata dengan tulus.
Evan melihat Jingga dengan seksama, baru kali ini Evan mempunyai kesempatan memperhatikan Jingga dari jarak sedekat ini dengan lebih intens. Kalau ada Aris bisa - bisa dicolok ini mata.
Makin dilihat Evan semakin merasa aneh jika mami papinya Aris tidak menyukai Jingga. Perempuan berusia 23 tahunan ini selain cantik juga baik attitude nya, ramah dan juga mandiri. Meskipun tidak glamour, jelas dia bukan perempuan yang biasa. Dandanannya pas, tidak berlebihan dan natural tanpa make up.
"Mas Evan mau minum lagi mungkin?" tawar Jingga.
"Gak usah Ngga, aku lebih seneng air putih" tolak Evan.
"Kok kamu gak iku pengajian ke panti Ngga?" tanya Evan mencari bahan pembicaraan.
"Enggak mas, nanti aku ngaji di rumah saja sama mbak Sri." jawab Jingga lirih.
"Hari ini aku ikut ya Ngga, mumpung gak ada acara," ucap Evan.
"Silahkan mas, aku malah seneng." mata Jingga berbinar senang mendengar ucapan Evan.
"Panti asuhan itu umum atau milik keluarga Ngga?" tanya Evan lagi.
"Keluarga mas. Punya mbah kakung. Karena semua anak tunggal, jadi biar ramai dan berasa punya saudara sekaligus bermanfaat bagi yang membutuhkan uluran tangan, lalu diturunkan ke ayah. Mudah - mudahan aku bisa juga nerusin. Kita gak mau nerima sumbangan karena takutnya gak amanah. Lagian mereka juga dikit - dikit menghasilkan mas. Cateringku pakai jasa mereka untuk bantu - bantuin juga. Jadi biar punya uang saku sendiri," jelas Jingga, membuat Evan semakin tertarik mengenal Jingga.
"Mas Evan boleh aku tanya sesuatu sama mas Evan?" ucap Jingga tiba - tiba.
"Boleh! tapi kalau aku gak mau jawab gpp ya." perasaan Evan tidak enak saat mengucapkannya. a
"Apa mas tahu kenapa papi mami mas Aris tidak menyetujui hubungan kami,?" tanya Jingga, serius dan tegas.
Benar feeling Evan. Jingga pasti tanpa basa basi akan menanyakan hal itu padanya. Mami papi Aris memang aneh, andai saja Evan kenalkan Jingga pada orangtuanya, pasti mereka langsung setuju.
"Jujur aku gak tau Ngga. Meskipun temen deket, aku gak pernah tanya atau mau tau. Kecuali Aris duluan yang cerita. Soal kamu dia mungkin banyak cerita, tapi soal orangtuanya aku tidak pernah mendengar apapun. Aku mengenal mereka. Aku kenal mami papinya, bisa dikatakan deket. Tapi mereka sama tertutupnya soal alasan mereka tidak setuju dengan hubungan kalian." jawab Evan jujur.
"Aku sebenarnya tidak menginginkan pernikahan ini mas. Sama sekali tidak. Kalau saja mas Aris gak janji sama Ibu. Aku lebih seneng hidup sendiri. Pernikahan itu sekali seumur hidup. Sejelek - jeleknya aku, setidak berharganya aku di mata orang, aku juga menginginkan pernikahan yang normal. Sah di depan agama dan juga negara. Yang paling penting direstui kedua orangtua." ucap Jingga, pandangannya menerawang jauh.
"Kamu bisa meminta Aris memperjuangkan restu orangtuanya Ngga, kamu perempuan yang pantas diperjuangkan," yakin Evan.
"Nyatanya mas Aris tidak berhasil meyakinkan kedua orangtuanya mas. Memang status ekonomi kami jauh berbeda. Tabungan kami mungkin hanyalah seujung kuku bunga deposito kalian, tapi setidaknya kami tidak mengandalkan siapapun untuk bisa makan dan bertahan hidup," ucap Jingga kali ini sedikit ada emosi di dalamnya.
Pembicaraan mereka terhenti, karena ada beberapa pentaziah yang datang dari kampung.
"Sudah mas di sini saja, ikutan ngobrol biar tau obrolan kampung. Jingga ambil manisan dulu," ucap Jingga saat melihat Evan akan meninggalkan ruang tamu karena merasa bukan siapa - siapa di sana. Evan pun menuruti permintaan Jingga.
Obrolan ringan, sederhana dan hangat membuat waktu berlalu dengan cepat. Keberadaan Evan di rumah Jingga pun harus diakhiri seiring dengan usainya pembacaan doa untuk bu Laras.
"Terimakasih mas Evan atas waktunya." ucap Jingga tulus seraya mengantar Evan hanya sampai di depan pintu.
"Sama - sama Ngga. Aku pamit ya, besok kalau Aris ada aku datang lagi." kata Evan, dijawab hanya dengan anggukan ringan oleh Jingga.
Seminggu tepat kematian bu Laras, seminggu pula tidak ada kabar dari Aris untuk Jingga. Jangankan menelpon, mengirim pesanpun tidak. Sekali, dua kali, tiga kali Jingga mengirim pesan dan mencoba menghubungi, tidak ada respon sama sekali karena ponsel Aris tidak aktif.
Sore ini, akhirnya Aris kembali muncul di hadapan Jingga. Wajahnya tidak bersemangat dan terlihat sangat lelah. Lingkar hitam di bawah matanya menegaskan sang empunya sedang tidak dalam kondisi baik - baik saja.
"Ngga, maafin aku." ucap Aris, matanya memelas menatap Jingga yang sedang meredam marahnya.
"Apa yang perlu dimaafin mas? Siapa aku boleh kecewa dan marah sama mas," sindir Jingga ketus.
"Ngga aku tau aku salah, tapi aku gak bisa menolak keinginan mami Ngga. Aku di ajak menjemput temen mami dan anaknya. Tempatnya di pedalaman banget Ngga, daerah pegunungan terpencil pula. Tidak ada signal di sana," jelas Aris.
"Setidaknya sebelum berangkat mas bisa kan telpon dulu. Buat apa kita menikah kalau sama saja seperti ini mas. Aku minta mas ceraikan aku sekarang. Lebih baik aku menjadi janda daripada menjadi istri hanya status, itupun siri," ucap Jingga tegas tapi tanpa ekspresi.
"Tidak !! Aku tidak akan pernah menceraikanmu. Sekalipun kamu memohon sampai berlutut, aku tidak akan melepaskanmu. Apa yang sudah menjadi milik Aris Gunawan tetap akan menjadi milik Aris Gunawan sampai maut menjemput," ucap Aris, tangannya memutar kunci ruang kerja Jingga di kafe.
"Mas egois!!" bentak Jingga.
Aris berjalan maju mendekati Jingga yang semakin memundurkan langkah kakinya hingga tubuhnya tepat terhempas di atas sofa panjang di sudut ruangan .
"Jangan membentakku Ngga, aku suamimu. Berbicaralah dengan lembut. Tolong mengerti aku sekali ini saja. Aku akan berusaha lebih lagi untuk meyakinkan mami. Tolong, tidak akan ada perceraian di antara kita. Kita akan membuat ikatan di antara kita lebih kuat lagi " ucap Aris lembut. Tubuhnya sudah mengunci tubuh Jingga di bawah tubuhnya.
"Mas ...." ucap Jingga tertahan karena bibir Aris mulai menjamah bibirnya. Meski ini yang pertama kali Aris mencium bibirnya, bukan berarti Jingga tidak bisa membalas ciuman itu. Jingga sering melihatnya di film - film bahkan Jingga pernah membaca artikel kissing di salah satu web online. Belajar teori sebelum praktek nyata.
"Berikan hak ku sekarang Ngga!" bisik Aris dengan nafas yang sudah memburu.
"Kewajibanmu saja belum kamu lakukan mas. Jangan menuntut hakmu dulu," kilah Jingga.
Aris yang sudah tidak sabar, memilih mengabaikan jawaban Jingga. Tangannya mulai membuka kancing kemeja yang dikenakan istrinya, bibir keduanya saling menaut meskipun Jingga masih memilih mode bertahan.
"Ngga, please!" ucap Aris memelas dengan suara yang agaj serak.
Aris kembali menautkan bibirnya ,kali ini lebih lembut. Lagu favorite Jingga yang sedang mengalun lembut di seluruh sudut kafe terdengar sayup - sayup di ruangan Jingga. Lagu itu cukup membangkitkan perasaan cinta kepada Aris kembali. Perlahan Jingga membuka bibirnya, memberikan celah pada lidah Aris untuk melilit dan mengabsen setiap inci rongga mulutnya.
Mendapat signal kuat dari Jingga, Aris pun semakin agresif. Kancing kemeja yang sudah terbuka sempurna memudahkan tangan Aris menyusup ke dalam kain penutup dua gundukan kenyal di dada Jingga.
"Massss.." desah Jingga, merasakan sensasi pertama pucuk hitamnya dipelintir pelan oleh Aris.
"Sayang .... Mas buat kamu basah dulu ya, biar gak terlalu sakit," bisik Aris dengan suara yang sangat parau.
Jingga mengangguk pasrah, naluri menuntun tangannya meremas bokong sintal milik Aris. Membuat semangat Aris pun semakin membara.
"Massss...geli mas, Arghhh....uhhhhhh.... " Jingga meracau penuh desah**, tubuhnya mengeliat naik turun mengikuti irama jari telunjuk Aris yang sudah berada di celah sempit antara dua paha miliknya.
Desah** dan rintihan keenakan bersahutan mengisi ruangan Jingga yang biasanya hening. Untung saja ruangan itu terletak paling ujung, sehingga tidak ada orang yang perlu mendengar suara - suara ajaib yang bisa menaikkan hasrat siapapun yang ikut mendengarnya.
Jemari Jingga menyusup di dalam baju merangkak naik ke dada bidang Aris, memainkan pucuk hitam di sananya. Pucuk hitam itu menegang, Aris ikut melenguh. Selama ini Aris hanya melihat dari video, ini juga kali pertama bagi Aris. Hubungan ranjang memang misteri, tidak perlu belajar, tidak perlu menunggu pengalaman dulu untuk membuat S** menjadi nikmat. Yang terpenting adalah mengikuti apa kata hati dan yang paling penying harus sama - sama menikmati.
Entah bagaimana dan siapa yang memulai melepas helaian kain di tubuh, keduanya kini sudah dalam keadaan polos tak berpakaian.
"Sayang ..... Ahhhhhh ..... mas sudah gak tahan sayang .... Mas masuk ya?" tanya Aris, sebentar dia menghentikan keliaran di bawah sana yang sudah menegangkan perut Jingga sampai mengeluarkan sebuah cairan yang membasahi jemari Aris.
"Arghhhhhh ....." teriak Jingga, begitu benda keras tumpul menerobos masuk di tengah sana. Tangan Jingga mencengkram kuat punggung suaminya menahan nyeri. Masih sedikit kepala yang masuk di sana, belum sepenuhnya.
"Enak sayang ? Mas pelan - pelan kok. Uhhhhhh.... Sayang ,,jangan dijepit sayang ...uhhhh ....sayanggg .....Ahhhhh....Ahhh." racauan Aris pun mengakhiri pergumulan singkat mereka .Jingga belum sampai di titik kenikmatan, baru saja beradaptasi dengan sensasi nyeri yang dialami, Aris sudah mengeluarkan cairan putih kental di dalam.
"Maafin mas Ya, belum bisa nahan." bisik Aris, mendadak lembut dan romantis.
Jingga beranjak berlari ke kamar mandi, karena masih rikuh tidak memakai apapun di depan Aris. Jingga membersihkan darah di sela - sela pangkal pahanya lalu mengguyur tubuhnya.
Jingga keluar hanya menggunakan bathrobe, membuka lemari kecil mengambil sepaket baju ganti untuknya. Sementara Aris hanya mengenakan celananya saja, kaos yang dia kenakan tertindih tubuh Jingga tepat di area inti pergulatan cinta yang melebur menyatu dengan nafsu merobek selaput tipis pertanda kepera****** Jingga masih terjaga.
"Sayang..... satu kali lagi ya ?" pinta Aris, ternyata belah perawan membuat Aris sedikit romantis. Setidaknya dia memanggil Jingga sudah tidak hanya nama saja.
"Nanti ya mas, masih gak nyaman. Nanti malam di rumah, aku rendeman air hangat dulu nanti," tolak Jingga.
"Mas pengen lagi sayang, ternyata enak. Nyesel mas gak langsung nikahin kamu." Aris berucap konyol.
"Jangan ingat enaknya saja mas, Pernikahan itu bukan melulu soal se*. Hubungan badan itu hanya bumbu. Biar pernikahan menjadi sedap. berwarna dan bergelora. Selebihnya waktu, perhatian dan kehadiran pasangan dalam setiap kondisi itu penting. Mendukung dan memberi pasangan semangat saat salah satu sedang jatuh, menghibur pasangan saat salah satu sedang sedih. Pasangan itu ibarat sandal, semahal apapun sandal kalau salah satu hilang atau rusak sudah tidak ada harganya," ucap Jingga panjang lebar seolah ingin menyindir Aris.
"Mas paham sayang. Mas sudah minta maaf! please jangan diulang - ulang," ucap Aris.
"Akan selalu aku ingat mas, mudah untuk memaafkan tapi tidak segampang itu melupakan." Jingga mengatakan dengan tegas dan penuh penekanan.
Aris hanya terdiam, di hadapannya bukan perempuan lemah yang mudah di atur atau nurut - nurut saja apa kata suami. Jingga terlatih mandiri dan tegar, bisa membuatnya sedikit manja saja Aris sudah merasa beruntung.
Belum sempat Aris menjawab ucapan istrinya, ponselnya bergetar berkali - kali.
"Ya Halo ..... "
"Mas .... Irma sudah selesai." suara di seberang membuat Aris menarik nafas dalam
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!