Bruk...
Tangannya terasa lemas, bahkan napasnya tercekat. Air mata sudah jatuh tak tertahankan mengaliri pipi mulus milik seorang wanita berumur 23 tahun tersebut.
Lututnya perlahan terbentur ke lantai, kepalanya bersimpuh di samping sebuah tempat yang diatasnya sudah terdapat seseorang dengan kain yang menutupi kaki hingga kepalanya.
Perlahan ia mengangkat kepalanya, tangannya terulur untuk menyibakkan kain yang menutupi tubuh yang sudah tak bernyawa itu. Sungguh, itu adalah sebuah patah hati yang sangat dalam ketika wajah tua itu terlihat pucat dengan tiadanya napas yang berhembus lagi.
"Ayah!" Wanita itu memeluk jasad sang ayah, diiringi tangis yang meraung-raung. Beberapa orang mencoba menghentikan tangisnya.
"Amira, sudah! Ayahmu sudah meninggal!"
Ya, Amira sangat terkejut ketika ibu tirinya meneleponnya dan menyuruhnya untuk cepat-cepat pulang. Tak ia duga bahwa kepulangannya adalah untuk menemui ayahnya untuk terakhir kalinya.
Rasanya masih tak percaya, bahwa kini Amira tak memiliki siapapun lagi di dunia ini. Ia sudah kehilangan ibunya sejak saat masih kecil, kini saat Mira-Panggilan kesayangan ayahnya- masih belum mewujudkan mimpi sang ayah, malah ia harus menyaksikan ayahnya berpulang lebih dulu untuk selamanya.
"Jika sudah tidak ada yang ditunggu lagi, boleh kami memulai proses pemakamannya?" Tanya seorang pria yang dikenal sebagai pengurus pemakaman jenazah.
"Ya, lagipula Mira sudah datang." Wanita yang mengelus punggung Mira merangkulnya, membawa putri dari pria yang akan di makamkan itu ke dalam kamar.
Namun Mira menolak, ia kembali berlari ke arah jenazah ayahnya yang baru akan di angkat oleh beberapa pria.
"Tunggu!" Mira menepis semua tangan yang akan mengangkat tubuh sang ayah.
"Aku tidak akan biarkan kalian membawa ayahku! Dia masih hidup! Dia hanya sedang tidur!" Lagi, ia menepis tangan yang berusaha membawa tubuh sang ayah.
"Mira, biarkan mereka mengurus ayahmu! Sekarang kamu ikut ibu!"
Mira akhirnya luluh, menuruti dan mengikuti kemana ibu tirinya membawanya. Hingga ia sampai di kamar, dia menghidupkan lampu kamar karena penerangan yang kurang di kamar tersebut.
"Sekarang kamu ganti baju, Mir! Setelah itu kita harus bicara hal penting." Perintah Andia-Ibu Tiri Mira- sambil tersenyum hangat pada Mira.
Pekaman berlangsung begitu cepat, sesuai dengan perintah dari Susan, ibu tiri Mira.
Sebelum meninggalkan pemakaman, Mira menatap pusara makam ayahnya dengan mata yang sembab dan wajah sendu. Ia masih belum percaya bahwa ayahnya sudah tiada dan kini ia sendiri di dunia ini.
Mengapa ayah meninggalkanku seperti ini? Bahkan mimpiku masih belum tercapai! Bahkan aku masih butuh ayah dalam hidupku!
Setelah itu, semua berkumpul di ruang keluarga. Tak lupa telah hadir dua orang pria berpakaian formal, keduanya duduk dengan masing-masing memegang sebuah berkas.
"Amira Putri, disini tertulis bahwa anda mendapatkan 70% saham perusahaan dan berhak atas rumah juga uang senilai 7 milyar rupiah. Tapi," pria yang Mira kenali sebagai pengacara itu tak melanjutkan ucapannya. Matanya malah melirik kesana kemari, pandangannya tertuju pada Bu Susan. Mira mengikuti arah pandang pengacara tersebut.
"Tapi apa?"
Semua menatap pengacara dengan mimik wajah penasaran.
"Nona Amira harus menandatangani ini dulu sebagai bukti bahwa anda menerima warisan dari ayah anda Nona." Ucap pengacara itu sambil memberikan sebuah kertas kosong.
Mira mengerutkan dahinya, apa yang harus ia tanda tangani?
Seolah mengerti dengan kebingungan Mira, pengacara itu kembali membuka suara.
"Begini, Nona, saya belum sempat menulis apa yang seharusnya tertulis di kertas itu. Jadi setelah anda tanda tangani saya akan menulisnya."
Mira mengangguk, kemudian menandatangani kertas kosong itu.
Pengacara lainnya menatap pengacara itu dengan tatapan bingung. Lalu membuka berkas yang tadi di pegangnya dan membacakannya.
"Menurut apa yang ditulis oleh mendiang tuan Hadi, Bu Susan dan anak Bu Susan berhak atas sisa dari yang diberikan pada putri kandungnya, Nona Amira. Berhak juga menempati rumah yang diberikan selama Nona Amira belum berkeluarga."
Sebuah senyum kecut terulas di bibir Susan, begitu juga dengan Namika, putrinya dari suami terdahulunya.
"Warisan itu akan diberikan dengan syarat Bu Susan harus mengurus Nona Amira dengan baik, serta bersikap baik padanya." Sambung pengacara itu, menambah senyum kecut di wajah Susan dan Namika.
Setelah pembacaan hak warisan selesai, Susan mengantarkan kedua pengacara itu keluar. Salah satunya tidak langsung pergi, melainkan berbicara dengannya terlebih dahulu.
"Tenang saja, semua akan menjadi milikmu!" Ucap pengacara itu sambil menunjukan senyum meyakinkan pada Susan.
Empat hari telah berlalu semenjak kepergian ayahnya Mira, hari ini Mira berencana untuk pergi keluar. Tentunya ia meminta izin terlebih dahulu pada Susan, mengingat bahwa ibu sambungnya itu memiliki jasa padanya.
"Ma, aku mau pergi keluar, boleh kan?" Susan yang sedang duduk santai di sofa ruang keluarga menoleh sekilas, hingga pandangannga lurus kembali pada televisi yang sejak tadi menjadi tontonannya.
"Ya, Mira. Jangan pulang terlalu malam!"
Mira bergegas pergi setelah mendapat izin dari ibu sambungnya tersebut dengan perasaan yang hangat.
Dalam perjalanan keluar yang tujuannya belum pasti, Mira membuka ponselnya dan bermaksud menghubungi seseorang.
"Ah, lebih baik aku memberikan kejutan!" Ia mengurungkan niatnya, kembali memasukan dompetnya pada tas kecil yang dibawanya.
Mobil berhenti di depan sebuah gedung bertingkat tinggi yang lebih dikenal dengan nama apartemen, Mira melangkahkan kakinya masuk ke gedung itu. Menaiki lift dan mengeluarkan sebuah kunci dari dalam tasnya.
Hingga ia berhenti tepat di lantai paling ujung gedung apartemen itu.
Di depan sebuah pintu, Mira sedikit ragu untuk membuka pintu itu. Ia malah sedikit terkejut ketika memasukan anak kunci itu karena pintu tidak terkunci.
"Eh, apa dia tidak ke kantor?" Tanyanya pada dirinya sendiri diliputi kebingungan kecil.
Tangannya gemetar ketika menutup pintu utama apartemen tersebut. Kakinya tiba-tiba terasa lemas untuk melangkah di ruangan yang gelap gulita tersebut.
Mira melangkah menuju arah jendela, ia terlihat sudah hapal dengan arah-arah ruangan itu. Tirai jendela terbuka, membuat ruangan itu tak lagi gelap.
"Pintunya tidak terkunci, tapi kenapa tidak ada siapapun disini? Bahkan jendelanya ditutup." Gumam Mira sambil melangkahkan kaki menuju sebuah meja dengan buku yang berserakan diatasnya.
Ia membereskannya, tak menemukan keanehan.
"Apa dia tidur?" Mira terus bergumam, dengan kali ini melangkahkan kaki menuju ke sebuah pintu berwarna coklat muda yang tertutup rapat.
Sebelum membukanya, Mira menempelkan telinganya ke pintu itu. Hingga ia terkekeh sendiri.
"Mira, Mira! Kamar ini kan kedap suara!" Ujarnya sambil menepuk keningnya.
Tangannya terulur meraih gagang pintu, lalu memutarnya perlahan agar tidak membuat suara yang dapat memicu perhatian orang didalamnya.
Krek
Pintu sedikit demi sedikit terbuka, menampilkan ruang kamar yang gelap gulita, persis seperti ruangan utama saat Mira memasukinya tadi.
Namun bedanya kali ini Mira mendengar sebuah suara yang sangat mengganggu telinganya, bahkan Mira mengenali kedua suara itu. Ia menghidupkan lampu, tak butuh waktu lama untuk menemukannya.
"Josh, kamu selingkuh?!"
-
-
-
-
-
"Josh, kamu selingkuh?!" Ucap Mira dengan napas tercekat, bersamaan dengan hidupnya lampu.
"Mira?!" Sahut dua orang bersamaan. Lelaki yang di panggil dengan sebutan Josh tersebut membelalakan matanya, tidak dengan wanita yang berada di bawah kungkungannya, wajahnya berubah santai, bahkan tersenyum puas.
"Aku bisa jelasin, Mir!" Josh meraih sebuah handuk untuk menutupi pinggang hingga lututnya.
"Jelasin? Apa yang kamu mau jelasin? Kamu selingkuh sama Namika apa maksudnya?" Mira membalikkan tubuhnya, hendak melangkahkan kaki keluar dari apartemen itu.
"Tunggu, Mira!"
"Sudah, Josh! Biarkan saja dia pergi! Bukannya kamu sudah tidak mencintainya?" Namika menarik tangan Josh, kemudian bergegas memakai pakaiannya yang berceceran di lantai.
Dengan segera mungkin ia menyusul Mira yang baru sampai di depan lift untuk turun.
"Mira, aku bisa jelasin!"
Mira tak menghiraukan Josh yang terus meneriakinya, ia buru-buru memasuki lift. Josh ikut masuk ke dalam lift dan segera menutupnya sebelum ada orang lain yang ikut masuk.
"Mir," Ucap Josh sambil menggapai lengan Mira. Namun tangannya ditepis dengan kasar.
"Aku khilaf, Mir." Ucap Josh lagi sambil bersimpuh di kaki Mira.
"Khilaf?!" Ulang Mira dengan tatapan mata nyalang ke arah Josh, seketika membuat pria dengan sosok idaman para wanita itu langsung menunduk. "Sudah berapa lama kalian seperti tadi? Apa jangan-jangan.... Sejak aku pergi kalian sudah berhubungan?"
Josh semakin menunduk, ia tak berani menjawab pertanyaan Mira.
"Kita putus!" Ucap Mira tegas sambil melangkahkan kakinya keluar dari lift. Meninggalkan Josh yang masih tercekat di dalam lift, hingga pintu lift tertutup kembali.
Langkah kaki Mira begitu sangat cepat, hingga ia telah berada di depan sebuah halte bus terdekat apartemen. Ia duduk di tempat itu, bukan untuk menunggu bus, melainkan memikirkan siapa yang bisa ia ajak mencurahkan isi hati serta keluh kesahnya. Hingga ia telah mengetahui siapa tujuannya.
Mira membuka ponselnya, menghubungi kontak dengan nama Hui.
"Hallo? Kamu di rumah kan, Ze? Aku kesana ya? Mau curhat, masih boleh kan?" Tanyanya pada seseorang di seberang telepon itu dengan nada suara sedikit bergurau. Setelah menutup teleponnya, datanglah sebuah bus yang kebetulan satu tujuan dengan Mira.
Mira menaiki bus itu, duduk di kursi paling belakang. Sebelum duduk disana, ia sedikit terkejut karena di sebelah kursi yang akan didudukinya terdapat seorang pria dengan wajah yang mirip dengan Josh.
"Aku tahu aku tampan, tapi bisakah kamu tidak menatapku seperti itu?" Pria itu nyatanya mengetahui bahwa Mira menatapnya.
Mira memalingkan wajahnya, membatalkan niatnya untuk duduk disebelah pria itu. Hal itu membuat laki-laki pemilik wajah tampan itu mencebik.
"Bilang saja ingin dekat tapi tidak berani!" Gerutunya sambil tersenyum menggoda pada Mira.
Mira memalingkan wajahnya ke arah lain, matanya menyusuri setiap baris kursi di dalam bus itu. Hatinya mencelos saat tak menemukan kursi kosong lainnya selain di samping pria yang membuatnya memiliki kesan menyebalkan dalam benak Mira.
Tiba-tiba pria itu mengulurkan tangannya, menyentuh tangan Mira dan menariknya hingga gadis bertubuh langsing itu terjatuh hingga terduduk di kursi kosong itu.
"Setidaknya sayangi kakimu agar tidak terasa pegal." Ucap pria itu sambil tersenyum manis dengan memperlihatkan deretan giginya yang rapi, tak lupa mengedipkan sebelah matanya.
"Menjijik*n!" Umpat Mira sambil mendongakan kepalanya.
Sepanjang perjalanan Mira merasa sangat kesal pada pria disampingnya yang tak henti-hentinya menatapnya sambil tersenyum manis. Sesekali bahkan tangannya selalu berusaha menyentuh tangan Mira.
Hingga ia merasa tidak kuat lagi dan langsung turun saat bus berhenti tepat di halte bus dekat komplek perumahan besar. Mira tak menyadari tas tangannya tertinggal di atas kursi bus.
"Hei, Nona!" Pria itu terus memanggil Mira, namun tak dipedulikan oleh Mira yang sudah sangat merasa kesal padanya.
Pria itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terkekeh.
"Cara yang sangat bagus untuk membuatku seolah berusaha menemuimu untuk mengembalikan ini!" Gumamnya sambil memasukan dompet Mira ke dalam saku jaketnya.
...****************...
"Jadi, Josh selingkuh?!"
Keterkejutan sangat jelas terpampang di wajah seorang gadis yang tengah duduk di atas tempat tidur berukuran king size. Ditemani seorang lagi yang kini tengah telungkup dengan wajah menimpa bantal.
Punggung dan bahunya berguncang-guncang menandakan bahwa ia sedang menangis.
Gadis itu menghentikan tangisnya untuk mengangguk, hingga sekejap kemudian kembali telungkup dan menangis lagi.
"Huft," gadis yang tengah duduk itu menghela napas gusar, kemudian menarik tangan gadis yang sedang menangis dan mengguncang-guncangkan tubuhnya.
"Stop! Jangan menangis, lakukan hal yang Josh inginkan dari kamu bersama laki-laki lain! Buat dia menyesal!" Usul wanita berambut pirang sebahu tersebut sambil menjentikan jempol dan jari manisnya.
Mira, gadis yang sejak tadi menangis langsung menghentikan tangisnya dan menegakkan tubuhnya. Tak lupa, matanya membulat sempurna.
"Maksud kamu? Aku harus..."
"Ya!"
"Gila!" Mira mengumpat sambil melemparkan sebuah bantal pada sahabatnya tersebut hinggal terjungkal.
"Gaul Mir!"
"Vika!" Mira kembali melemparkan sebuah bantal pada Vika, sahabatnya.
Kali ini Vika bisa menangkap lemparan bantal dari Mira dan balas memukul Mira dengan bantal.
"Jangan beneran!" Usul Vika yang membuat Mira makin bingung.
"Maksudnya, buat seolah kamu tidur dengan laki-laki lain," Vika menjelaskan maksudnya yang langsung membuat Mira memikirkan usulnya.
Mira sedikit ragu, namun akhirnya setuju. Kebingungannya tidak berhenti disitu, ia bahkan tidak tahu siapa yang harus di ajaknya untuk melakukan usulan cara dari Vika.
"Tapi... Sama siapa aku harus melakukan itu?" Vika mengerutkan dahinya, ia sendiri bingung untuk hal itu.
Hingga Vika tersenyum bangga dan membisikan sesuatu ke telinga Mira.
"Oke!" Mira mengacungkan jempolnya, lalu memeluk Vika.
"Makasih ya, Vik! Kamu selalu bisa dan siap membantuku!"
...****************...
"Kamu yakin, Vik?" Mira menatap setiap sudut ruangan, dimana terdapat banyak meja yang diatasnya dipenuhi berbagai botol minuman yang bisa membuat seseorang hilang kesadaran.
Usul dari Vika sangat meyakinkan, akan tetapi tempat untuk mencari kebutuhan dalam usul itu cukup mengerikan bagi Mira.
Ini pertama kalinya, ia menjejakan kaki ke dalam sebuah bangunan yang setiap malamnya ramai di kunjungi banyak orang, utamanya laki-laki yang mencari hiburan disana.
Musik yang keras dan asing cukup membuat telinga Mira sakit, bau minuman dimana-mana membuat mual, lampu kerlap-kerlip membuatnya pusing.
Rasanya jika tidak bersama Vika, mungkin Mira sudah ingin membalikan tubuhnya dan kembali ke rumah.
"Vik, kamu yakin? Kita cari di tempat lain aja!" Ajak Mira sambil memperhatikan wanita-wanita yang sedang menari dengan para pria, dengan pakaian yang sangat minim.
"Mir, cuma disini kita bisa menemukan laki-laki seperti itu!" Vika menarik tangan Mira untuk ke ujung ruangan, dimana seorang pria tengah duduk sambil menyesap rokoknya dan tangan lainnya memainkan gadgetnya.
"Kalian datang juga!" Pria itu mematikan rokoknya, meletakannya di asbak dan memperhatikan Mira dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Jadi, apa yang harus aku lakukan?"
"Cuma pura-pura tidur dengan Mira, kami bayar lebih mahal dari bayaran yang kamu minta, Mike!"
Pria itu kembali memperhatikan Mira.
"Jika wanitanya seperti ini, tanpa dibayarpun aku rela." Lelaki bernama Mike itu tersenyum penuh arti pada Mira.
Mira mencubit tangan Vika.
"Jangan membuat sahabatku takut! Jadi, kamu mau atau tidak?"
Mike mengangguk cepat, kemudian meraih gelas berisi air putih tidak biasa dan meneguknya.
"Waktu dan tempat akan aku kabari!"
...****************...
"Siapa gadis yang tadi duduk dengan kamu di bus?!"
-
-
-
-
-
Bersambung...
"Siapa gadis yang tadi duduk dengan kamu di bus?!" Pertanyaan menyebalkan terlontar dari mulut seorang wanita berparas cantik dengan perawakan tinggi semampai, dianugerahi tubuh yang sintal nan indah.
Di depannya seorang pria yang baru saja akan menginjakan kakinya masuk ke dalam rumah. Namun ia merasa kesal karena malah disambut dengan pertanyaan seperti itu.
"Bisakah kamu menyambutku dengan cara yang romantis? Aku baru saja pulang dari kantor, tapi kamu malah mencurigai aku!" Pria itu tak menjawab pertanyaan wanita yang sudah hampir 5 tahun ini menyandang status sebagai istrinya tersebut.
"Adrian, aku tahu kamu bukan dari kantor! Buktinya kamu pulang menaiki bus dan duduk berpegangan tangan dengan wanita itu! Cukup! Jangan menyangkalnya, aku punya buktinya!" Bentak wanita itu sambil melemparkan beberapa lembar foto pada Adrian.
Adrian menatap foto yang berserakan di lantai itu dengan tersenyum kecut.
Dari arah tangga seorang wanita lagi mulai menjejakan kakinya untuk menuruni tangga. Tatapan matanya cukup membuat siapapun yang ditatapnya menunduk takut, tak terkecuali istri dari Adrian tersebut.
Namun saat ini ia masih belum menyadarinya.
"Hentikan ini! Tasya, ini sudah larut malam! Biarkan Adrian istirahat. Memang benar Adrian itu suka main wanita, tapi kamu tidak harus setiap malam mencurigainya jika kamu sudah tahu sifatnya Adrian!" Tasya langsung membalikan tubuhnya dan menundukan kepalanya ketika menangkap sosok dari pemilik suara tersebut.
"Dan kamu Adrian! Sudah berapa kali Ibu bilang, kamu itu sudah punya istri! Berhenti main wanita, cepat berikan aku cucu untuk penerus keluarga kita!"
"Ck, Ibu berkata seperti itu padaku? Ibu minta cucu padaku? Aku selalu berusaha, tapi..." Adrian melirik Tasya, lalu berlalu tanpa meneruskan kata-katanya.
Ibu ikut melirik Tasya, lalu menghampirinya dan menatapnya tajam.
"Sudah 5 tahun, sebaiknya lakukan apa yang aku katakan! Besok kamu harus ikut denganku!" Nada suara Ibu yang tegas semakin membuat Tasya menunduk.
Anggota tertua dari rumah tersebut berlalu kembali ke atas, dimana kamarnya terletak disana.
Tasya menggigit bibirnya dengan sangat keras, ia bukan bersedih akan tetapi menatap kesal hingga sang Ibu mertua menutup pintu kamarnya.
"Dasar tua! Aku tidak akan sudi melahirkan cucu untukmu, bahkan aku tidak sudi menikah dengan anak casanovamu itu jika bukan karena kalian kaya!" Tasya menggerutu pelan, lalu melangkahkan kakinya menuju kamar tempatnya tidur bersama Adrian.
-
-
-
Di kamar hotel nomor 113, sebuah adegan tengah dilakukan oleh Mira dengan Mike, dengan Vika yang kini tengah sibuk memotret keduanya.
Di sela-sela pemotretan itu, Mike selalu membuat Mira merasa kesal dan risih. Tangannya selalu mencoba menyentuh area sensitif Mira.
"Hentikan!" Mira turun dari ranjang dengan menutupi tubuhnya memakai sprei karena pakaiannya saat ini begitu terbuka mengingat misinya untuk membuat Josh, mantan kekasihnya menyesal.
"Vik, apa sudah dapat yang bagus fotonya? Aku tidak mau lagi berdekatan dengannya!" Mira menunjuk Mike yang masih terlentang di atas ranjang dengan senyuman khasnya. Senyuman yang mampu menghanyutkan para wanita mana saja, kecuali Mira.
Vika memberikan ponsel Mira yang dipakai memotret, memperlihatkan hasil fotonya.
"Sudah cukup, aku mau pulang!" Mira memasukan ponselnya ke dalam tas tangannya, kemudian berpamitan pulang pada Vika.
Setelah Mira pergi, Vika menghampiri Mike dan memasang wajah kesal padanya.
"Kau keterlaluan! Sudah aku bilang jangan coba-coba menyentuhnya!" Ucap Vika sambil melemparkan sejumlah uang pada Mike.
-
-
-
Di rumah
"Ini surat yang anda minta, Nyonya." Pengacara memberikan selembar surat pada Susan.
Susan menerima surat itu dengan wajah penuh kebahagiaan.
"Akhirnya, kita bisa memiliki semua ini tanpa harus mengurus anak itu!" Serunya pada Namika sambil tersenyum puas.
Di tengah kebahagiaan itu, ponsel Namika berbunyi singkat. Namika segera membuka pesan di ponselnya dengan wajah terkejut.
"Ma!" Namika memperlihatkan isi pesan itu pada Susan, membuat Susan semakin tersenyum bahkan tertawa puas.
"Ini bagian untukmu, Pak Pengacara!" Susan memberikan sejumlah uang pada pengacara itu.
Setelah pengacara pergi, kini Susan dan Namika berada di kamar milik Mira. Keduanya memasukan pakaian serta barang-barang Mira pada sebuah koper dan tas jinjing.
Setelah selesai keduanya membawa tas dan koper menuju pintu utama, dimana saat itu juga Mira baru saja sampai di gerbang rumahnya.
"Pulang juga kamu, Mira!" Seru Susan dengan nada sinis.
"Masih berani kamu pulang, Mir?! Enak sekali ya, setelah ayahmu meninggal kamu jadi bebas dan jadi.... J*l*ng!" Namika dan Susan tertawa puas.
Sementara Mira mengerutkan dahinya kebingungan.
"Apa maksud Mama? Apa maksud kamu Namika?"
"Wah, mau menyimpan bangkai ya? Lihat ini!" Namika memperlihatkan gambar kiriman dari sebuah kontak bernama Mike, hal itu langsung membuat Mira membelalakan matanya.
Ia merasa menyesal telah melakukan hal itu, utamanya ia seharusnya tidak setuju pada pria pilihan Vika.
Bruk
Koper dan tas di lempar ke arah Mira.
"Sebaiknya kamu pergi, j*l*ng!" Teriak Namika seiring lemparan koper itu.
Mira tentunya tidak terima, karena ia pemilik dari rumah tersebut.
"Pergi? Ini rumahku!"
"Rumah kami!" Susan menunjukan sebuah kertas dengan tanda tangan Mira. "Kamu sudah setuju bahwa rumah ini milik kami!"
Napas Mira tercekat, ia tak menyangka semua ini akan terjadi dalam beberapa hari saja setelah kepergian ayahnya.
"Tunggu apalagi? Pergi! Atau sebaiknya kita seret saja dia keluar, Ma?"
"Tidak, tunggu! Kita harus membuatnya mempermalukan dirinya sendiri dulu sebelum keluar dari gerbang rumah kita ini!"
Susan melangkahkan kaki menuju sebuah kolam yang terdapat di halaman rumah itu, mengambil sebuah ember dan mengisinya dengan air kolam yang kotor.
"Pegang dia, Namika!" Perintah Susan yang langsung dituruti Namika.
Byur...
Seluruh tubuh Mira basah, tangis sesenggukan keluar dari bibir tipis Mira. Tak hanya itu, bahkan ia terlihat seperti gelandangan sekarang.
"Teganya kalian melakukan ini!" Lirih Mira.
Susan dan Namika tersenyum puas.
"Ayo, seret dia Ma!"
Namika menjinjing tas Mira dan menyeret kopernya. Sedangkan Susan meraih tangan Mira dan menyeretnya keluar gerbang.
"Enyah kamu, j*l*ng!"
Tubuh Mira terjatuh ke tanah dengan sangat keras akibat dorongan Susan. Tas dilemparkan ke tubuh Mira.
"Pergi dari sini secepat mungkin! Aku tidak sudi bahkan gerbang rumahku ini disentuh oleh j*l*ng sepertimu!"
Namika dan Susan memasuki gerbang, kemudian menutupnya rapat. Bahkan menguncinya.
Mira tertunduk lesu. Kemana ia harus pergi sekarang? Dengan keadaan yang mengenaskan seperti ini? Pakaian dan tubuhnya kotor.
Vika!
Satu nama terlintas di pikirannya. Ia berdiri meraih tas dan koper, lalu berniat untuk melangkah. Hingga ia merasa lemas dan terjatuh.
Mira melihat kakinya, terluka, akibat diseret Susan.
Disaat bersamaan, hujan turun bersama tangisan lirihnya.
"Ayah, bagaimana bisa semua ini terjadi? Bahkan kamu belum lama pergi!" Mira memeluk lututnya, meredam rasa dingin yang menerpanya.
-
-
-
-
-
-
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!