NovelToon NovelToon

Gadis-Gadis BPJS ( Budget Pas-Pasan Jiwa Sosialita)

Dia bilang aku pelit!?

[ Mas, Bagi duit, dong ]

Sebuah pesan masuk di aplikasi WhatsApp suamiku, rupanya dari adik ipar, adik perempuan lelaki yang baru seminggu sah menjadi imamku.

[ Sebentar sore ditransfer ya, Dek. kutambah emoji smile dan hug]

Balasku dengan menggunakan WhatsApp lelakiku yang sedang di kamar mandi. Mas Reza juga pasti setuju.

Aku tak keberatan memberi uang yang adik iparku minta, toh dia juga saudaraku. Tak perlu perhitungan padanya.

[ Asyiik, tapi jangan bilang - bilang sama istrimu, sepertinya dia pelit!] balasnya dengan emoji ngakak.

Mataku membulat sempurna melihat pesan masuk yang baru saja masuk. Dadaku menjadi sesak, geram membuat gerahamku mengeras dan wajahku terasa panas, memerah menahan amarah.

"Sabar - sabar, dia mungkin belum mengenalku jadi asal tebak saja," lirihku, sambil menghapus pesannya yang terakhir.

"Kamu kenapa?" tanya suami sambil mengeringkan rambutnya, sepertinya dia menangkap ekspresi wajahku yang hampir saja murka karena kelakuan adiknya.

"Nih, ada pesan dari Ratna," kusodorkan gawai ke tangan kanannya. Keningnya mengkerut melihat pesan yang baru saja dibaca.

"Minta duit lagi," gerutunya.

"Kok, dibalas sih," protes suamiku,

"Memang gak niat mau beri Ratna duit, kali ajah dia memang butuh. Kasih aja, mumpung kita lagi punya duit, itung - itung sedekah," sahutku sambil merapikan tempat tidur yang masih berantakan.

"Sekarang prioritas utama, ya keluarga kecil kita. Apalagi kalau sudah ada anak, pasti makin banyak kebutuhan jadi perlu ada tabungan," ucapnya sambil merangkul pinggangku dari belakang. Aliran darah terasa mengalir deras. Ada desir hangat yang merasuk di dada, apalagi saat dia mengecup rambutku dari belakang.

"Kasih seperlunya saja, terlanjur sudah aku balas," suamiku kembali membuka aplikasi WhatsAppnya, last chat tertulis nama Ratna my sister di situ.

[ Duit? Untuk apa?] pesan dari nomor suamiku terkirim. Centang biru tanda Ratna langsung menerima dan membacanya.

[ Bayar Arisan ] balas Ratna.

[ Arisan mulu! kalo gak punya duit, nda perlu ikut arisan lagi!]

[ Uangnya untuk ibu juga, kok! ] dalih Ratna.

[ Alasan! setiap minta duit pasti jual nama Ibu! ] rupanya begitu si Ratna, bukan kali ini saja meminta uang dengan alasan uang arisannya untuk Ibu mertuaku. Padahal Bapak mertua masih aktif bekerja.

[ Kenapa? istrimu gak setuju? Tuh kan, benar yang saya bilang, dia itu pelit bin medit! ] Balas perempuan lajang itu lagi.

Mas Reza, suamiku langsung mematikan gawainya, mungkin dia tak mau aku melihat pesan yang baru saja Ratna kirim. Namun sudah terlanjur kubaca, serba salah terlihat jelas di raut wajahnya.

"Gak usah dipikirkan kata si Ratna, orangnya memang gitu, asal ceplos. Kita jalan - jalan yuk!" hibur Mas Reza mengambil kunci motor di atas nakas.

***

Motor kami melaju di jalan raya menuju Mall terbesar di kota ini, pohon - pohon di pinggir jalan yang rindang dan cuaca cerah berawan begitu bersahabat siang ini.

Beberapa menit kemudian, kami menuju depan pintu masuk Mall setelah memarkir motor tentunya. Mas Reza menggandeng tanganku, dia semakin terlihat menawan dengan gaya kasual, celana jeans berwarna biru dipadukan dengan kaos putih lengan pendek membuat otot lengannya terlihat seksi ditambah perutnya yang rata hampir sixpack, sedangkan aku simpel memakai kulot berwarna abu basah, blus polos berwarna kuning muda senada dengan warna jilbabku.

Dari kejauhan samar - samar kulihat seseorang mirip Ratna memakai dress selutut berwarna merah turun dari sebuah taxi online depan lobby utama. Mata kami sempat saling bertemu, namun wanita itu segera mengalihkan pandangannya dan terburu - buru melangkah masuk ke dalam Mall.

"Aku pasti salah lihat, mungkin cuma mirip dengan adik iparku. Apalagi aku melihat dari kejauhan, Kalau itu Ratna mana mungkin tidak menyapaku dan Kakaknya," batinku.

***

Aroma roti yang tertata epik di etalase kaca menerobos masuk ke indra penciumanku saat baru saja kami melangkah masuk ke dalam bangunan megah ini. Semburan mesin pendinginan membuat rasa sejuk dan nyaman disetiap inci kulit. Kondisi ini membuat pengunjung betah berlama-lama nongkrong di Mall.

Kami tak ada rencana belanja, kebutuhan bulanan masih tersedia banyak dari sisa persediaan pesta resepsi. Untuk sementara kami masih tinggal di rumahku, tepatnya di rumah orang tuaku. Dalam waktu dekat ini kami berencana untuk mencari rumah kontrakan, agar bisa hidup mandiri.

Setelah puas berkeliling walau sekedar cuci mata, kami menuju toko buku terbesar, ini salah satu tujuan utamaku saat ke Mall. Sama seperti saat masih kuliah dulu, hobby membaca membuatku betah berlama-lama di sini. Sementara Mas Reza sibuk melihat peralatan olahraga yang sedang mengadakan pameran tepat di depan toko buku ini. Lelah berdiri sambil membaca, aku mengantri di kasir untuk membayar beberapa novel dari penulis favoritku.

Bell makan siang sudah berdentang riang dalam perut berkali-kali, aku dan Mas Reza mencoba mencari resto yang sesuai selera dan tentunya cocok di kantong.

Lalu langkah Mas Reza berhenti di salah satu resto terkenal, tatapannya tertuju pada seorang perempuan muda yang mengenakan dress berwarna merah dihiasi perhiasan di leher dan tangannya sedang tertawa haha hihi bersama dua kawannya.

"Mas yakin mau makan di sini?" meski aromanya menggoda selera tapi aku ragu karena pasti semua menu harganya di atas lima puluh ribu, sedangkan kami sudah sepakat untuk berhemat agar bisa segera memiliki rumah sendiri.

"Itu Ratna kan?" aku memicingkan mata, memastikan jika yang kulihat adalah adik iparku. Wanita yang sama di depan pintu Mall tadi. Mas Reza mengangguk membenarkan terkaanku. Lama kami menatapnya tapi Ratna seolah tak melihat kami.

"Bagaimana bisa dia mengabaikan Mas Reza, padahal baru beberapa jam yang lalu dia meminta uang," gumamku, kuyakin Ratna pasti melihat kami. Dia sempat melirik ketika Mas Reza beranjak dari situ.

***

Makanan cepat saji yang femes ini jadi pilihan kami bersantap siang. Dua potong ayam krispi yang masih hangat, nasi pulen dengan harum yang khas, air mineral dan minuman kesukaan rasa kopi dengan toping es krim.

Sejenak kami melupakan masalah tentang Ratna, adik Mas Reza. Dengan lahap menikmati hidangan yang sudah ada di hadapan kami, memang nikmat jika makan pas di saat lapar - laparnya. Apalagi ditemani suami tercinta, meski tak ada adegan suap-suapan tapi serasa dunia milik berdua yang lain cuma ngemper.

Kuseruput minuman moka float kesukaanku hingga hanya menyisakan es batu, tak sengaja mengeluarkan sedikit suara. Untungnya Mas Reza lagi cuci tangan di wastafel, jadi gak kedengeran bunyi nyaring nyeruput es batu tadi. Maklum pengantin baru, masih agak jaim.

Setelah makan kami berencana untuk pulang, tak lupa kubelikan sekotak donut yang juga femes untuk orang di rumah, tampilan dan harum donutnya memang menggoda, meronta ingin dibawa pulang.

Baru beberapa langkah keluar dari Mall menuju tempat parkir motor, lamat - lamat terdengar suara seseorang memanggil - manggil suamiku.

"Mas, Mas Reza - " Pekiknya tanpa mempedulikan orang di sekitarnya.

"Mas sepertinya ada yang manggil kamu deh," ucapku menghentikan langkah dan menoleh ke belakang.

"Ah, gak usah diliat!" Mas Reza mengapit lenganku dan mempercepat langkah kakinya, spontan kuikuti irama langkahnya.

"Mas Reza, Andine ! Mas , Mas Reza. Andine,!"

Suaranya makin nyaring menyebut namaku dan Mas Reza. Tapi suamiku pura-pura tak mendengar. Setengah berlari mengejar kami dengan memakai high heels tentu terasa berat, nafasnya ngos - ngosan tak beraturan, Ratna akhirnya bisa menyusul kami ke basement, tempat parkir motor.

"Mas kok dipanggil-panggil gak nyahut sih?" cercah wanita muda ini dengan mengatur nafasnya yang masih naik turun.

"Oh, maaf gak dengar," Sahut Mas Reza santai sambil memakai helm.

"Mas kenapa sih? Kok, jadi berubah gini?" nada manja keluar dari bibirnya yang berlipstik tebal, melirikku dengan tatapan yang sulit kutebak.

" Loh, bukannya kamu yang gak kenal kita, aku tahu kamu pura-pura tidak lihat Mas dan Andine saat di resto tadi waktu bersama teman-teman sosialitamu itu, memangnya kamu pikir kita bego? " hardik Mas Reza, baru kali ini aku melihatnya sedongkol itu.

"Maaf, Mas tapi tadi aku benar-benar gak tahu," lengan kanannya bergelayut manja di tangan kakaknya meminta permohonan maaf, sementara beberapa paper bag menggantung di lengan kirinya.

"Bisa shopping tapi gak bisa bayar arisan," batinku, aku berdiri di sisi belakang motor, helm di tangan yang sudah siap kupakai namun masih menyaksikan adegan kakak adik ini yang seperti sepasang kekasih yang lagi marahan.

"Mas, jadikan transfer duit buat arisan?" suaranya dibuat mendayu-dayu.

"Loh, kalo gak punya duit, kok bisa shopping?" cerca Mas Reza.

"Ini ditraktir teman loh! mana bisa aku beli barang mahal kayak gini."

"Mana ada orang baik macam itu zaman sekarang!"

"Tapi aku gak bohong, Mas!" rengeknya seperti anak TK minta permen.

"Sudah, pulang sana! Langsung pulang ke rumah ya, jangan keluyuran lagi!" tegas Mas Reza mulai menstater motor.

"Mas, kok gitu sih?" tampaknya Ratna merasa diabaikan, lirikan matanya ke arahku sungguh tidak bersahabat.

"Aku sudah mau jalan ini! Minggir," bentak Mas Reza, Ratna tetap tak bergeming. Masih berdiri di depan motor, tak sedikit pun dia menyapaku walau sekedar basa-basi.

"Dasar adik ipar gak ada akhlak!" gerutuku dalam hati. Andai dia bersikap baik, bisa saja aku sendiri yang memberikannya uang dari rekening pribadiku.

"Ah, sudahlah, forget it," gumamku.

"Mas, aku bawa pulang ini ya buat Ibu!" tiba-tiba saja mengambil sekotak donut yang kutaruh di bagasi depan motorku.

"Eh, itu punya andine," tegas Mas Reza.

"Gak pa - pa, bawa aja buat Ibu," selaku, membiarkan wanita ini mengambil donut itu, Ratna nyelonong pergi tanpa terima kasih.

Akhirnya motor melaju tanpa hambatan, hingga antri di tempat bayar parkir. Di sebelah sana, sebuah mobil jenis mini bus juga berhenti membayar parkir, terdengar suara cekikikan perempuan yang sedang bercanda ria sambil makan donut.

"Itu Abangmu yang ganteng kan?" tunjuk salah satu temannya ke arah Mas Reza. Ratna mengganguk, tak bisa menjawab. Mulutnya penuh dengan donut.

"Jadi itu Kakak iparmu?" temannya bertanya lagi, matanya memindaiku dari atas sampai bawa, sungguh matanya tak beradab.

"Ratna?" mata kami kembali bertemu. Buru - buru dia menutup kaca jendela mobilnya.

Ulang Tahun Adik Ipar

" Kita ke rumah ibu ya, Ratna besok ulang tahun," ujar Mas Reza sembari bersiap - siap.

"Sekarang, Mas?"

"Iya, tadi ibu nelpon minta dibantu, kita nginap di sana."

"Ya sudah aku siap - siap, dulu. Hah? nginap?" perasaanku mulai tak enak, tapi mau tak mau kuturuti apa katanya.

Tidak kusangka tabiat Ratna, adik iparku segitu tak berakhlaqnya. Meski sepertinya tak suka padaku setidaknya menaruh sedikit hormat sebagai istri kakaknya. "tapi, ah sudahlah, selama tak merugikan tak penting juga aku pikirkan, sabar saja!" batinku.

Aku tak menyangka jika nasibku seperti cerita - cerita yang beredar, punya ipar rese. Ekspektasiku tentang adik Mas Reza ternyata melenceng, aku pun punya dua kakak ipar perempuan, hubungan kami sangat akrab, aku bahkan lebih kangen pada istri abang - abangku itu dari pada saudaraku sendiri.

"Hiks, tuh kan aku jadi kangen Mbak Ulfa dan Mbak Luna," batinku nelangsa.

***

Di pondok mertua indah, Ibu mertua dan adik lelaki Mas Reza menyambut kami dengan hangat. Aku meraih tangan kanan ibu mertuaku, dan kucium punggung tangannya dengan khusyuk begitu juga dengan Mas Reza. Mas Reno tersenyum, aku menelungkupkan kedua tanganku, sepertinya dia paham untuk tidak bersalaman. Ratna tak kelihatan, mungkin lagi di kamarnya.

Baru seminggu menjadi bagian dari keluarga ini rasanya masih agak canggung, aku belum mengenal baik karakter mereka, kecuali Ratna tapi semoga saja dugaanku salah. Dia memang masih muda karena baru saja tamat SMA, jadi jiwanya masih labil dan belum dewasa. Hanya penampilannya saja yang membuat adik iparku itu lebih tua dari umurnya.

"Jadi, besok ulang tahun Ratna, Nak Andine bisa bantu masak?" Ibu mertuaku membuka percakapan.

"Kalau masak menu untuk hajatan saya kurang pengalaman, Mah. Tapi saya bisa, kok, bantu - bantu," ucapku jujur yang memang tak jago masak.

"Oh, gitu!" kedengerannya ibu mertuaku tak suka dengan jawabanku. Aku tersenyum hambar, lalu melirik ke Mas Reza.

"Oh, jadi gak bisa masak? Bisanya apa dong!" tiba - tiba Ratna muncul dari dalam kamarnya.

Lebih baik tak kutanggapi omongannya barusan. sementara tanganku menahan Mas Reza agar tak merespon adiknya.

"Memang mau bikin acara besar ya? Saya Pikir acara khusus keluarga inti saja," sela Mas Reza.

"Ratna sih, pengennya rayain di hotel, mah," nada suaranya berubah manja.

"Hah? Hotel?" kompak Mas Reza dan Mas Reno bersamaan, lalu keduanya terkekeh membuat bibir adik bungsunya jadi monyong lima senti lebih panjang.

"Sekalian aja bikin resepsi pernikahan, eh tapi calonnya gak ada, Ups!" ejek Reno, lalu menutup mulut dengan kedua tangannya sembari menahan tawa.

"Reno!" tegur Mama.

"Yang wajar saja, dong. Kita nikah aja cuma pasang tenda depan rumah, masa iya ulang tahun kamu di hotel?" Mas Reza menggeleng, Ratna makin merajuk.

"Ya, Mas sendiri yang mau cuma pasang tenda, lagian juga istri Mas kan juga kayak dari kampung, liat saja penampilannya, udik! jadi ngapain bikin resepsinya di hotel," lirikan matanya meremehkanku.

Ucapannya membuat dadaku panas, jika bukan karena menghormati mertua sudah kubalas dengan ucapan yang tak kalah tajam.

"Jaga ucapanmu, kalau bukan karena Andine saya ogah transfer uang arisan ke kamu." hardik suamiku.

"Hah, uang arisan? arisan yang mana?" Mama menoleh ke Ratna. Wanita itu pura - pura sibuk dengan gawainya. Ibu mertuaku menarik nafas dalam - dalam.

"Ulang tahunnya di rumah saja! biar hemat, nanti aku dekor biar cantik," Usul Reno, mengurai ketegangan. Mas Reza seperti sudah tak tertarik membahas rencana pesta ulang tahun adiknya.

"Bukannya kalo ulang tahun, biasanya pengajian di rumah ya?" aku mencoba memberi pendapat.

"Hah? Pengajian, emangnya lagi berkabung? Nyumpahin ya saya cepat mati!" ketus Ratna, mendengar ucapanku barusan Reno malah jadi tertawa.

"Oh, maaf. Bukan begitu maksud saya," sesalku sudah membuka mulut. Pengajian yang kumaksud adalah acara syukuran bukan yasinan, Adik iparku salah paham. Ingin rasanya menjelaskan tapi tertahan di kerongkongan, jangan sampai makin ruwet jika aku kembali bersuara.

"Benar kata Andine, bikin acara pengajian di rumah, undang Majelis Taklim dan Pak ustadz buat ceramah." Untunglah Mas Reza menangkap maksud ucapanku tadi.

"Ogah! gengsi dong! Ngomong apa teman - temanku nanti, bisa turun reputasiku." Pongah Ratna.

"Halah, kayak artis saja!" kilah Reno.

"Memang artis, kok!" Ratna menjulurkan lidah ke Reno, meledek seperti bocah ingusan.

"Sudah, ah. Jangan berantem, sudah pada gede masih ajah kayak bocah," gerutu Mama mertuaku sambil merangkul Ratna dengan manja.

"Mau ngundang siapa ajah? kira - kira berapa orang?" Reno meraih sebuah pulpen dan selembar kertas. Biar bisa diperhitungkan budget yang akan dikeluarkan.

"Reza, kamu bisa bantu berapa?" tanya Ibu mertua.

Mas Reza tak menggubris, dia sibuk berselancar di sosial medianya.

"Mas ditanyain, Mama tuh, kok diam saja." Kucolek bahu imamku, namun tak ada respon.

"Mas ... !" pekik Ratna.

"Gak ada!" singkatnya.

"Ayolah, Reza. Kasian adikmu, besok hari spesialnya. Jangan sampai terlewatkan," bujuk Ibu dengan nada memelas.

"Ngapain sih, rayain ulang tahun segala. Harusnya tuh, banyakin berdo'a biar makin tua makin baik, ini kok makin tua malah tambah ngerepotin," Mas Reza ngedumel, tak setuju jika acara ulang tahun adiknya benar-benar dirayain di hotel.

"Reza!" bentak Ibunya.

"Biar Reno yang bantu sepuluh juta, sudah gak usah ribut," pungkas adik lelaki Mas Reza, Ratna tersenyum sumringah.

"Reno, pikir lagi, itukan modal usaha yang kamu kumpulkan, gak sayang kalau habis begitu saja," protes Reza. Reno memang tidak tegaan, jika sudah ibunya yang meminta.

"Gak, pa pa, Mas. Nanti juga bisa dicari lagi,"Pasrah Reno.

"Ih, Mas Reza. Kok, kamu sih yang keberatan. Diam aja deh," Ratna mencebik.

"Tega kamu sama Reno, selama ini liat sendiri kan bagaimana Reno kerja serabutan siang malam mengumpulkan modal untuk usaha," geram suamiku.

Ratna membuang muka, Ibu mertua cuma terdiam, melihat perseturuan anak - anaknya hanya karena keinginan anak bungsunya merayakan pesta ulang tahun secara mewah.

***

"Mas apa sebaiknya kita bantu pesta ulang tahunnya Ratna? Kasian saja liat ibu bingung," usulku setelah Mas Reza baru saja pulang dari mesjid.

"Ibu sama Bapak itu terlalu memanjakan Ratna, ya akhirnya begini jika keinginannya tak terpenuhi, ngambeklah, tak mau tahu uangnya dari mana yang penting bisa bergaya. Eneg aku lihat gayanya yang mirip tante - tante," Mas Reza mengomel, sebisa mungkin aku menahan tawa.

"Hus, Mas nanti kedengeran Ratna."

"Biarin," cuek Mas Reza menghempaskan badannya ke kasur empuk.

"Jadi, Mas setuju gak mau bantuin Ratna?" Aku mengulang pertanyaanku tadi.

"Kamu tuh ya, masih mau bantuin Ratna padahal omongannya tadi itu sangat keterlaluan, terbuat dari apa sih hati kamu?"

"Gak usah gombal," berusaha terlihat biasa - biasa saja mendengar pujiannya padahal dalam hati berbinar - binar.

"Siapa yang gombal?" Mas Reza menarik hidungku, aku makin berbunga - bunga.

Pekerjaan Mas Reza sebagai karyawan swasta dengan gaji UMR membuat kami perlu berhemat, uang untuk mengontrak rumah kami tak pernah kurangi. Namun setelah Ibu mertua minta tolong, mungkin bisa kami pertimbangkan lagi.

"Jangan Andine! itu uang susah payah aku tabung untuk kita berdua, biar bisa ngontrak rumah. Sudah, Ratna tak perlu dipikirkan, sampe kapan dia akan terus - terusan bersikap kekanak-kanakan." Mas Reza menolak mentah - mentah usulanku, aku hanya bisa pasrah.

"Kalau begitu kita cari kado saja buat adikmu itu."

"Oke, tapi - "

"Tapi apa Mas?"

"Kadonya gak usah yang mahal, belum tentu juga dia senang," Keluhan Mas Reza, aku menarik nafas dalam - dalam.

***

Menjelang sore Ibu mertuaku sudah mulai sibuk di memasak, aku berniat membantunya. Saat melangkah menuju dapur, mataku tak sengaja tertuju pada Ratna yang sedang asyik bermain gawai di atas sofa dengan headset di telinganya, sementara mulutnya sibuk mengunyah cemilan.

"Lagi masak apa, Ma. Aku bantu ya?"

Ibu mertuaku meletakkan sekantong sayuran dan sebuah baskom ke atas meja dapur tanpa berkata apapun, ekspresinya sulit kutebak. merajukkah atau mungkin memang pembawaannya yang seperti itu?

Untuk masakan harian di rumah tentu saja aku bisa, tapi untuk masakan hajatan pastilah berbeda. Sayuran kubersihkan lalu memasaknya untuk hidangan makan malam. Setelah semua lauk matang Ibu mertua memanggil untuk makan bersama.

"Wangi banget, masakan siapa? Aromanya berbeda dari biasanya," ucap Bapak Mas Reza.

"Menantu baru Papa - lah," Puji Mas Reza menyendok makanan ke piringnya.

"Loh, katanya gak bisa masak!" sindir Ratna.

"Kalo masak buat hajatan, aku belum pernah. Biasanya pakai catering kalo acara di rumah," jawabku menatap isi piring Ratna yang membumbung tinggi."Gila, cantik - cantik makannya banyak amat kayak kuli bangunan," gumamku tertawa dalam hati.

"Sok kaya, pakai catering segala," decih adik iparku.

"Sayang, makan ya." kode Mas Reza untuk tak merespon ucapan Ratna lagi.

"Sudah aku reservasi nih Hotel Miranda untuk acara ulang tahun Ratna besok," Reno mengangkat gawainya, Ratna tersenyum bahagia penuh kemenangan, Mas Reza menggeleng.

"Hotel Miranda? Itukan Hotel bintang lima, pastinya mahal banget," Lirihku dalam hati.

Dibubarkan Paksa Oleh Security Hotel

Acara pesta ulang tahun Ratna pukul tujuh malam nanti, Reno dan Ibu sudah lebih dulu ke Hotel Miranda, kami menyusul setelah sholat ashar. Meski Mas Reza kekeh untuk tidak membantu secara finansial tapi setidaknya menyumbangkan tenaga untuk keperluan acara adiknya sebentar malam. Tak ada pengalaman sebelumnya mengadakan acara seperti ini di hotel bintang lima jadi kami belum tahu apa yang harus dilakukan di sana, pikirku semua sudah disediakan oleh pihak hotel.

Di Hotel yang terletak di pinggir pantai menambah kelas hotel ini memang berkelas, Reno tengah sibuk mengurus segala sesuatunya. Begitu juga Ibu mertua, mengawasi mereka yang sedang menata ruangan. Rautnya tampak acuh melihat kedatangan kami.

"Bantuin apa nih, Mah?" Mas Reza mendekati ibunya.

"Gak ada sudah beres semua," ucapnya tanpa menoleh ke arah kami.

"Ehm gitu, Ratna mana?" melihat sekeliling tak ada sosok Ratna yang biasa berpakaian modis sedikit seksi.

"Ke salon lah, buat persiapan acara sebentar malam,"

"Oh, gitu."

"Sebentar malam, suruh istrimu pakai baju yang bagus dan dandan yang benar biar gak malu - maluin di depan tamu. Teman-teman Ratna banyak dari kalangan kelas atas," bisik Ibu kepada Mas Reza, namun suaranya masih bisa kudengar. Pura - pura tak tahu, aku malas ribut dan bisa jadi membuat Mas Reza serba salah.

"Begini dajay sudah cantik, gak perlu dandan menor nanti manisnya bisa hilang," Mas Reza melirik mesra dan tersenyum mengembang kayak kebanyakan fermipan.

Aku membalas senyumnya tak kalah lebar, hingga semua gigiku hampir terlihat. Ibu mertua kelihatan ilfeel melihat kami yang lagi mesra - mesranya ala pengantin baru.

"Reno, antar mama ke salon, siap - siap buat entar malam. Di sini sudah beres semua, kok," Mama memanggil putra keduanya, sementara kami masih berdiri di tengah Ballroom yang mewah, desain ruangan yang elegan dan konsep standing party.

"Kebayang pegalnya betis dan kaki sebentar malam," gumamku.

***

Suara adzan maghrib sudah berkumandang, Ratna terlihat makin glowing dengan baju offshoulder menambah kesan seksi.

"Mama, Mas Reno berangkat yuk! jangan sampai telat nih. Juga jangan sampai keduluan tamu," ucap Ratna sambil memakai high heels 8 centi jenis stiletto berwarna pink pastel, membuatnya terlihat tinggi karena tinggi badan Ratna yang pendek untuk ukuran orang asia.

"Maghrib dulu," sahut Reno.

"Nanti telat, Kak Reno," suara manja Ratna keluar dari bibirnya yang memakai lipstik berwarna nude.

"Ya sudah buruan, nanti maghribnya di mushola Hotel saja," Reno mengambil kunci mobil, mama dan Ratna mengekor dibelakangnya.

Mobil melaju perlahan, sementara Mas Reza yang berjalan menuju mesjid untuk berjama'ah dikejutkan dengan bunyi klakson yang nyaring.

"Mas Reza, jangan sampai gak ke hotel ya? cepet loh, aku mau kenalin dengan teman - temanku," teriak Ratna dari dalam mobil.

Mendengar ucapan Ratna, perasaanku jadi tak karuan, "apa maksudnya memperkenalkan Mas Reza dengan teman - temannya, kalo temannya cowok sih wajar. Tapi bagaimana kalau teman yang dimaksud Ratna cewek - cewek cantik ala sosialita," batinku,

"Loh, Bapak, kok, di sini saja? Gak ke hotel?"

"Bapak di rumah saja," jawabnya sambil membuka kitab Al-Quran.

"Pa, biaya dari mana? Kok pesta ulang tahun Ratna bisa di hotel? Itukan mahal banget? kalau cuma mengandalkan uang dari Reno saya kira tak cukup," cakap Mas Reza.

Bapak menarik nafas panjang, di usianya yang hampir pensiun Bapak keliatan makin banyak rambut putih." Bapak terpaksa ambil kredit, biar adikmu itu senang. Bisa jadi ini jadi yang terakhir yang bisa saya berikan pada adikmu," ujar bapak menart nafas panjang.

"Bapak ngomong apa sih," kilah Mas Reza.

"Kalau ambil kredit bisa - bisa gaji Bapak habis dipotong untuk bayar kredit saja." tambah suamiku lagi.

" Jadi Bapak mertuaku bela - belain ambil pinjaman hanya untuk pesta ulang tahun Ratna?" gumamku, tak habis pikir dengan jalan pikiran keluarga ini kecuali Mas Reza yang masih berpikir realiastis.

Bapak mertuaku tak menjawab lagi, dia meneruskan bacaan Al-Qurannya.

Aku beranjak ke kamar untuk siap - siap ke pesta mewah ulang tahun adik iparku.

"Mas Reza, aku pakai baju apa?" ucapku sambil memilih - milih baju di lemari yang kira - kira cocok untuk sebuah pesta ulang tahun.

"Yang ada aja, gak usah bingung. Apapun yang kamu pakai pasti terlihat cantik," gombal Mas Reza.

"Ya sudah aku pakai daster saja," candaku.

"Boleh juga, biar jadi kejutan buat Ratna," tak kusangka jawabannya sebercanda itu.

"Ih, apaan sih, malu tahu jadi pusat perhatian." tandasku, dia hanya tertawa mendengar ucapanku.

\*\*\* ANH \*\*\*

Alunan musik menggema di Ballroom ini, persis seperti sebuah resepsi pernikahan bedanya di sini gak ada pelaminan.

Mas Reza menggandeng tanganku, lelakiku ini makin charming saja dengan setelan kemeja berwarna navy, lengan bajunya digulung sampai siku menambah kesan elegan. Rambut tipis di sekitar rahangnya menjadikannya terlihat seksi. Sementara aku menjadi insecure melihat teman - teman wanita Ratna yang wajahnya glowing dan kulitnya berkilau.

Saat kakiku melangkah masuk lebih dalam, acara inti sudah dimulai, suara MC terdengar jelas. Di depan sana, terlihat Ratna, Mama, Reno dan teman-teman karibnya sedang suap - suapan potongan kue tart berwarna putih pink. Sesekali mereka tertawa bahagia. Entah mereka melihatku dan Mas Reza, tapi kami lebih memilih berbaur dengan tamu lainnya.

Ratna terlihat menyapa tamu - tamu yang hadir, dari out fit yang dipakai tamu - tamunya, memang terlihat dari kelas atas, apalagi tamu wanita banyak yang memakai gaun mewah dan berlian menjadi aksesorisnya.

"Mas Reza, kok telat, sih. Potong kuenya sudah dari tadi," ucap Ratna bercupika - cupiki dengan suamiku, padahal barusan tadi di rumah ketemu.

"Selamat ulang tahun ya, Dik. Semoga nggak kelamaan jomblo," ledek Mas Reza, Ratna mencubit manja lengannya.

"Selamat ultah ya, Ratna," sambil kusodorkan paper bag, kado ulang tahunnya.

"Terima kasih, Kak andine," balasnya tersenyum, "tapi Kok, pake gamis sih, kayak mau ke pengajian?" tambahnya lagi dengan tertawa sedikit nyaring hingga banyak tamu menoleh ke arahku.

"Bajumu tuh yang kurang bahan, kayak manusia purba, meganthropus erectus," ledek Mas Reza, menarik tanganku menjauh dari Ratna.

"Kita makan dulu, yuk! omongan Ratna gak usah dipikirkan. Dimataku kamu yang paling cantik dan anggun malam ini,"

"Gombal lagi,"

"Tapi kenyataannya begitu," tangan Mas Reza makin erat menggandeng tanganku.

"Saya juga sudah kebal, kok, sama mulutnya Ratna,"

"Do'ain saja semoga berubah," harap suamiku.

Tak terasa satu jam sudah berlalu

"Mas Reza!" Panggil Ratna yang berjalan ke arah kami, diikuti dua sahabat karibnya. Mereka yang kulihat di Mall waktu itu.

"Mas Reza, ini kenalin sahabat - sahabat aku," Ratna menarik lengan suamiku, dengan niat menjauhkan kami. Namun suamiku tak mau melepaskan gandenganku darip tangannya, jadilah kami seperti medan magnet yang tarik menarik.

Ratna sengaja berdiri di depanku hingga aku tak terlihat oleh kedua sahabatnya.

"Mas kenalin, ini Sheila dan ini mirimar," tunjuk Ratna, ke masing-masing sahabatnya yang dari tadi melongo melihat paras tampan sang Kakak.

"Hai Sila," sapa suamiku. Sheila yang berniat berjabat tangan menarik kembali tangannya, karena Mas Reza mengatupkan kedua tangan di dada.

"She - i - la, bukan sila," Ratna mengulang nama sahabatnya yang disebut asal - asalan oleh sang Kakak. Aku menahan tawa, meski di dalam dada nyeri karena lagi - lagi diabaikan oleh perempuan menor ini.

"Oh, maaf, Hai syeilah," Mas Reza melambaikan tangannya ke arah Sheila, namun sahabat Ratna itu pasrah namanya salah eja, "what ever - lah," desis Sheila, memutar bola matanya ke atas.

"Hai, Memar!" Kali ini aku tak dapat menahan tawa, terlanjur keluar dari kerongkonganku mendengar ucapan Mas Reza barusan.

"Mi - ri - mar!" Ratna mengeja nama sahabatnya dengan dongkol, sementara Mirimar menjadi geram mendengarnya.

"Oh ya, Sila, Marimar, kenalkan ini istri aku," Menggeser posisi Ratna yang di depanku, hingga adiknya hampir terjungkal.

Dengan kesal Ratna menepis tangan Mas Reza.

Aku mengulurkan tangan ke mereka, dan menyebut namaku.

"Andine!"

Tak lama kemudian, seorang pria berseragam panitia datang menghampiri Ratna.

"Maaf, Mbak Ratna sesuai jadwal acaranya cuma sampai jam delapan tiga puluh, sekarang sudah jam sembilan. Jika acara belum bubar, maka akan dikenakan cas perjamnya," ucap pria klimis itu dengan santun.

"Loh, kok gitu sih?" protes Ratna, wajahnya menjadi pias mendengar penuturan staf hotel mewah itu.

Ratna berdebat dengan staff hotel itu, Reno tak terlihat sedangkan mama sibuk mengumpulkan kado. Dekor dilepas, musik dihentikan dan satu persatu lampu dimatikan padahal tamu masih banyak.

Wajah Ratna memerah menahan malu, saat satu persatu tamunya pulang dengan kesal, sebagian ada yang pamit namun ada juga yang menggerutu karena merasa diusir pihak hotel.

Aku dan Mas Reza menarik diri dari pesta mewah itu. Entah apa yang terjadi selanjutnya. Kami memilih pulang melanjutkan misi tiga puluh hari garis dua.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!