Azlina membuka mata tatkala suara bising di luar kamar terdengar mengusik tidur lelapnya. Dia mengerjapkan mata beberapa kali untuk mengais kesadaran yang sebelumnya menghilang. Namun, dia terkesiap setelah menyadari sesuatu aneh yang berada di depan matanya.
Seorang pria terlihat tidur terlelap dengan posisi memeluknya. Azlina meneguk ludah, memikirkan apa yang telah terjadi. Pakaiannya masih utuh, tetapi pria itu justru bertelanjang dada. Seketika pikiran buruk menyerang ke kepala Azlina.
"Aaaargggh!" Dia berteriak kencang seraya mendorong dada lelaki yang telah memeluknya. Lelaki itu terkejut, lalu membelalakkan mata lantaran tercengang dengan sosok gadis yang berada satu ranjang dengannya.
Bagaimana bisa?
Belum sempat pikiran sadarnya menyimpulkan serta mengumpulkan informasi, beberapa orang menerobos masuk ke dalam ruangan itu.
"Azlina!" teriak seorang laki-laki berperawakan tinggi besar dengan sorot mata menikam tajam yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu.
Azlina ternganga, tak sanggup mengatakan apa-apa. Dia sendiri bingung dengan apa yang terjadi, pun lelaki yang masih duduk mematung berselimut dengan selimut yang sama. Pria itu juga tampak tak mengerti apa-apa.
"Anak tidak tahu diri!" Seorang pria paruh baya datang tergopoh-gopoh ke arah ranjang, lalu menempeleng pria yang meniduri Azlina.
"Papa, ini tidak seperti yang Papa pikirkan!" Pria itu mencoba menjelaskan, tetapi tidak tahu harus menjelaskan apa.
"Lalu seperti apa, hah?! Papa tidak mau tahu, sekarang nikahi dia!"
"Apa? Menikah!" teriak pria itu dan Azlina secara bersamaan.
...***...
Pagi itu di sebuah rumah mewah dan besar bertuliskan nomor 13-15 C yang terpasang di depan gerbang.
"Alvaro ...!" Suara teriakan itu terdengar berulang-ulang, diiringi suara gedoran di pintu kamar yang sedang dikunci dari dalam.
Lelaki itu buru-buru mencari tambang untuk diikatkan di pagar terali balkon kamarnya yang ada di lantai tiga.
Gedoran itu kian nyaring dan tak sabar, menuntut untuk segera dibukakan. Namun, si pemilik kamar sepertinya enggan menuruti.
"Alvaro, buka!"
Tiada suara yang menjawab perintah itu, membuat laki-laki yang sudah mengenakan pakaian rapi dengan rambut memutih sebagian itu kesal.
"Alvaro, jangan main-main! Kau sudah ditunggu oleh keluarga Liora!"
Suara itu terdengar semakin keras, sesuai dengan bunyi gedoran di pintu yang makin menggebu.
Sementara lelaki yang saat ini dipanggil itu tampak mengikat tubuhnya dengan tambang, berusaha turun dari kamarnya menggunakan tambang itu. Kepiawaiannya dalam melakukan atraksi ketika di sekolah dulu membuatnya mudah jika hanya turun dari lantai tiga rumahnya.
Hanya butuh beberapa menit saja lelaki yang dipanggil dengan nama Alvaro itu berhasil mendarat sempurna di atas kerikil-kerikil kecil taman belakang rumah. Susah payah dia membuka tambang tersebut dari tubuhnya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri memantau keadaan. Setelah dirasa tiada yang mengawasi, dia berlari menuju gerbang.
"Pak, buka pintunya!" teriak Alvaro kepada security di rumahnya.
"Mau ke mana, Tuan? Bukannya Tuan ada acara hari ini bersama Tuan besar?" Tak memedulikan pertanyaan Alvaro, Pak Security itu justru bertanya balik.
"Sudah, Pak, buka buruan!" Alvaro berkata dengan terburu-buru sembari menoleh ke belakang, takut jika pria paruh baya itu menemukan dirinya.
Gerbang itu pun akhirnya dibuka dengan lebar, mempersilakan Alvaro untuk keluar dari rumah besar tersebut. Buru-buru lelaki itu berlari, lalu merangsek keluar tak memedulikan tatapan aneh Pak Security rumahnya.
Rumah besar Alvaro berada di dekat jalan raya, bukan di komplek perumahan elite, melainkan tepat di jalan raya umum yang mana kanan dan kirinya telah dibangun pertokoan dan tempat usaha. Hanya rumah Alvarolah yang dibangun sebagai rumah pribadi dengan luas tanah dua hektar di dekat jalan raya, sementara tetangganya menggunakan tanah itu sebagai tempat usaha.
Sesaat Alvaro mencari taksi, tetapi tidak juga menjumpainya. Kepalang tanggung, takut jika dirinya ketahuan papanya, dia segera menghadang seorang gadis berseragam pramuka yang sedang mengendarai motor matic dan kebetulan melintas di depannya.
Cit!
Motor itu berhenti secara paksa, dengan disambut wajah kesal si pemiliknya.
"Om, sudah gila apa?!" teriak gadis itu seraya membuka kaca helm yang menutupi wajah.
Tanpa tahu malu, lelaki itu mencabut kunci motor dan menyembunyikannya di saku celana.
"Hei, Om. Mau diapakan motor saya? Om maling motor?"
"Dasar! Aku ini orang kaya, mana mau sama motor buntut seperti ini. Sudah mundur sana! Aku mau ke suatu tempat!" teriak Alvaro tak mau kalah.
"Tidak, tidak! Enak saja! Om katanya orang kaya. Cari taksi sana! Masak orang kaya mau nebeng anak sekolahan?"
Mengabaikan perkataan gadis tersebut, Alvaro menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia mulai panik, takut jika papanya bisa menemukan dirinya masih di depan rumah.
"Cerewet kau, ya. Mundur!"
"Hai, Om!" Tak ayal, gadis itu mundur juga, dengan Alvaro sudah duduk di depannya. Dia memukul-mukul punggung Alvaro, tetapi tampaknya lelaki itu tidak peka dan tetap menyita motor matic miliknya.
Alvaro segera menyalakan motor matic itu, lalu bergegas meninggalkan rumah besarnya.
"Om, saya mau dibawa ke mana?" Om pedofil, ya? Aku teriak ini?" Gadis itu masih mengoceh. Dia akan mengikuti ekstra kulikuler pramuka di sekolah, tetapi malah bertemu dengan pria dewasa yang tampaknya agak gila itu.
"Bisa diam, tidak! Kalau kau tidak diam, aku bisa memerkosamu di sini!" Alvaro terpaksa mengatakan hal itu, berniat membungkam mulut gadis itu dengan sebuah ancaman.
"Tuh, kan! Om ternyata penjahat! Dasar sudah tua tidak tahu diri!"
"Hei, diam!" Alvaro meninggikan suaranya, lalu menaikkan kecepatan motor itu, membuat gadis di belakangnya segera mengecangkan pegangan di pinggang Alvaro. Antara takut jatuh dan kesal, tetap saja gadis itu masih sayang nyawanya.
"Om! Jangan macam-macam sama saya. Kakak ipar saya orangnya galak. Om bisa saja dimasukkan ke penjara."
Alvaro tidak peduli, dia masih saja mengendarai motor itu dengan cepat sembari berpikir akan kabur ke mana dia.
Ya, hotel! Dia akan ke hotel.
Senyum itu terbit di bibir Alvaro, mengabaikan teriakan-teriakan gadis di belakangnya itu. Dia memacu cepat motornya, menerobos jalan raya yang tampak lebih lenggang lantaran hari ini hari Minggu. Sampai ketika sebuah hotel berbintang telah berada di depan mata, Alvaro segera membelokkan motor itu untuk memasuki area hotel.
Gadis berseragam itu terkejut, ketika menyadari ke mana Alvaro membawanya pergi. Dia bergidik ngeri membayangkan akan hal yang mungkin akan terjadi.
Tidak, dia sedang dalam bahaya.
Sinyal alarm di kepalanya berbunyi, menandakan hal darurat yang mungkin akan terjadi. Dia kembali memukul punggung Alvaro dengan tangannya berkali-kali.
"Om Mesum, turunkan saya! Dasar mesum! Om mau cabul, kan, sama saya!"
"Dasar cerewet! Ini juga mau turun!"
Alvaro memarkirkan motornya di parkiran khusus roda dua. Sebelum gadis itu mengambil alih kunci motornya, Alvaro segera mengambil kunci itu terlebih dulu.
"Om, bukannya sudah sampai? Saya harus pergi. Kembalikan kunci motor saya!"
"Iya, bawel. Ikut aku! Setelah aku mendapatkan kamar, kau boleh membawa motor buntut itu pergi."
Tidak ada pilihan lain selain menuruti. Gadis itu dengan wajah cemberut melepaskan helmnya, lalu berjalan di belakang Alvaro, menuruti ke mana lelaki itu pergi. "Jangan macam-macam, ya, Om! Saya bisa lapor ke polisi jika Om hanya menjebak saya," ancam gadis itu kepada Alvaro.
"Cih, enggak bakal. Gak selera aku sama kamu!"
Mereka berjalan dengan Alvaro mendahului. Tepat ketika Alvaro sudah memasuki area lobby dan disambut oleh petugas, dia terkesiap saat melihat keluarga Liora telah datang ke hotel yang sama.
Sial! Alvaro terlupa mencari informasi di mana keluarganya akan bertemu dengan keluarga Liora.
Seketika Alvaro menarik tangan gadis SMA itu, mengajaknya bersembunyi. Dia membawa gadis itu di sisi dinding yang tak terlihat dari lobby, menghindari pertemuannya dengan keluarga Liora.
Alvaro memerangkap tubuh mungil gadis itu, di antara tubuhnya dengan dinding berlapis keramik corak dengan dominasi warna putih. Gadis itu membulatkan matanya, hendak memberontak dengan sikap Alvaro yang semena-mena. Namun, sebelum gadis itu berteriak, Alvaro sudah membungkam mulutnya dengan tangan. "Diam, aku akan melepaskanmu setelah ini!"
Gadis itu diam, menurut. Tidak ingin terjadi apa-apa dengan dirinya, dia memilih menuruti permainan lelaki gila di depannya itu. Dia bisa melihat lelaki itu tampak tegang dengan menatap ke arah lobby, seolah-olah ada suatu hal yang ingin dihindari. Akan tetapi, tepat di saat Alvaro beralih menatap ke arahnya, sebuah suara keras mengagetkan mereka.
"Azlina, apa yang kau lakukan di sini!"
Gadis itu segera mendorong tubuh Alvaro sekuat tenaga. Wajahnya pasi dengan bibir bergetar ketakutan.
Alvaro ikut mengalihkan perhatiannya ke arah lelaki yang telah memanggil gadis itu. Dia menelan ludah, tak menyangka jika dunia sesempit itu. Seseorang yang ingin dia hindari justru sekarang berada di depannya sedang memergokinya memerangkap seorang gadis yang masih sekolah.
"Om Sean!" Gadis itu berucap lirih.
Seketika Alvaro ternganga, mendengar sebutan gadis itu kepada sosok lelaki di depannya. Lelaki yang dimaksudkan itu adalah Sean Paderson, seorang pengusaha berdarah Kanada yang merupakan rekan bisnis ayahnya, juga suami wanita yang pernah disukai oleh Alvaro.
"Kau mengenalnya?" tanya Alvaro terkejut.
"Tentu saja. Dia adik iparku, Azlina. Katakan kepadaku, apa yang kalian lakukan di hotel seperti ini!" Lelaki dengan panggilan Sean itu menyela, menginterupsi perkataan Alvaro. Wajahnya tampak berang, merah padam menahan marah, menatap secara bergantian antara Alvaro dan Azlina.
...***...
Hai-hai, apa kabar?
Semoga dalam keadaan sehat serta selalu dalam lindunganNya.
Ketemu lagi dengan karya Author yang ke-5. Semoga tidak pada bosen baca corat-coret Author yang penuh akan typo dan kehaluan. Selamat membaca, semoga betah! 🤗🤗🤗
Alvaro segera membebaskan cengkeraman tangannya yang sedari tadi tak mau terlepas dari tangan gadis itu. Tatapannya bingung, terlampau tergemap dengan apa yang baru saja terjadi. Sebelum kesadaran itu berhasil menguraikan kebingungannya, suara lain mengejutkannya.
"Alvaro!"
Pemilik suara seksi itu mengalihkan perhatian semua orang, termasuk Sean dan Azlina.
Itu adalah suara Liora. Alvaro segera menoleh ke arah perempuan itu, perempuan yang akan dijodohkan dengannya.
Entah apa yang mendorong Alvaro melakukan tindakan aneh yang membuat semua orang berdecak kesal dengan kelakuannya. Secara implusif, lelaki itu menarik kembali tangan Azlina, mengajak gadis itu pergi dari kerumunan orang-orang yang sedang memandanginya.
Semua orang tercengang melihat kelakuan lelaki itu, begitu juga dengan seorang Sean Paderson.
Liora yang melihat calon tunangannya kabur dengan seorang gadis berseragam sekolah berteriak memanggil-manggil nama Alvaro, tetapi lelaki itu seolah-olah mengabaikannya. Alvaro terus saja berlari sembari menarik tangan Azlina hingga keluar dari area lobby.
"Om, mau dibawa ke mana saya?!" Azlina menarik tangannya paksa, tetapi lelaki itu sama sekali tak menanggapinya. Dia masih saja menarik tangan Azlina hingga berada di parkiran motornya.
"Om, sakit! Anda menyakiti saya."
Azlina tampak ingin menangis, wajahnya merona dengan bulir air mata mulai merembes di wajah cantiknya.
Alvaro yang menyadari itu, melonggarkan tarikan tangannya. Dia berhenti ketika berada tepat di belakang motor matic milik Azlina terparkir. Dia menoleh kemudian, memperhatikan wajah kemerahan Azlina yang sedang berusaha menahan tangis. Seketika rasa bersalah melingkupi hati lelaki itu.
"Maaf, naiklah! Aku antar kamu ke sekolah."
Suara lembut Alvaro membuat Azlina sedikit tenang. Dia mengangguk menanggapi. Ya, sepertinya lebih baik jika dia diantarkan saja, karena saat ini tubuhnya masih gemetar dengan apa yang baru saja terjadi.
"Beneran, ya, Om. Anterin ke sekolah. Jangan dibawa kabur lagi sayanya!" ucap Azlina seraya mengusap sudut matanya yang hampir meloloskan cairan bening.
"Enggak akan. Bawa bocil kayak kamu, adanya aku yang kerepotan."
Alvaro memundurkan motor itu, menaikinya, lalu menghidupkan mesinnya. Dia menoleh ke arah Azlina agar gadis itu segera naik. Bukannya segera menuruti perintah Alvaro, gadis itu justru mengangsurkan helm berwarna pink dengan stiker hello kitty kepada Alvaro.
"Om, pakai helmnya."
Lelaki itu mengerutkan kening. Buru-buru dia menggeleng. "Ogah, kamu pakai saja sendiri."
Azlina hanya bisa mengerucutkan bibirnya. Segera dikenakannya helm itu, lalu mengaitkan talinya dengan benar.
Sedikit ragu dia menaikkan kakinya untuk kemudian duduk dengan posisi menjauh dari tubuh Alvaro. Bagaimanapun juga dia tidak akan percaya begitu saja dengan lelaki di depannya itu. Ingin segera terbebas, Azlina menepuk bahu Alvaro agar segera melajukan motornya.
"Ayo, Om!"
Tanpa menjawab perkataan Azlina, Alvaro segera melaju keluar dari area hotel itu. Dia tampak mengebut, mengabaikan wajah pasi Azlina di belakangnya. Sejenak dia melirik ke arah kaca spion yang langsung tertuju pada wajah gadis di belakangnya. Azlina tampak membuka kaca helmnya, menatap lurus ke depan untuk fokus ke jalanan.
Gadis itu tanpa sengaja menatap ke arah spion yang sama, pandangannya bersirobok dengan wajah Alvaro. Dia segera memalingkan muka, tak lagi menatap ke kaca spion itu, memilih melihat gedung-gedung tinggi di kanan dan kiri jalan.
Lelaki itu tampak tersenyum. Sangat aneh memang, dia terjebak situasi di mana harus mengantar seorang bocah ingusan ke sekolah. Parahnya, bocah itu adalah adik dari wanita yang sempat dicintainya dulu. Cinta yang tak tersampaikan karena wanita itu telah lebih dulu menikah dengan seseorang yang jauh lebih berkuasa daripada dirinya.
Ya, itu hanya masa lalu yang tidak layak untuk dikenang. Karena penyesalan Alvaro yang teramat sangat setelah mengetahui kebenaran tentang wanita yang dicintainya dulu, dia sempat terpuruk dalam waktu lama. Akan tetapi, setelah menjalani beberapa kali terapi dan berusaha menerima kenyataan yang ada, membuat hatinya lebih tenang dan mampu melanjutkan kehidupannya dengan baik.
Sampailah ketika motor itu berada di depan gerbang SMA Negeri 20, Alvaro menghentikan motornya tepat di depan gerbang itu. Azlina segera turun dari jok motor, lalu menengadahkan tangannya untuk meminta kunci motor miliknya kembali.
Bukannya segera memberikan kunci motor itu kepada Azlina, Alvaro justru melemparkan pertanyaan kepada gadis itu. "Pulang jam berapa? Biar aku jemput."
"Ah, enggak-enggak. Apa-apaan sih, Om. Kayak orang pacaran aja. Kembalikan saja motor saya." Azlina masih bertahan dengan pendapatnya. "Om mau maling, ya? Atau Om sebenarnya suka sama saya. Ish, Om, cari yang seumuran, saya tidak suka dengan orang tua."
Alvaro ternganga dengan penuturan Azlina. Harga dirinya sebagai seorang dewasa terasa tercabik-cabik.
"Apa kau bilang tadi? Siapa yang kau maksud tua?"
Tepat ketika Azlina ingin menjawab pertanyaan Alvaro, ponsel gadis itu berdering, membuatnya harus menghentikan perdebatan antara dirinya dan Alvaro. Dia merogoh tas pinggangnya, lalu menggeser ikon hijau yang ada di layar Smartphone itu.
"Apa? Diliburkan? Kamu enggak ngasih tahu dari kemarin. Aku sudah ada di depan sekolah ini. Tahu gitu lebih baik nonton drakor seharian daripada bolak-balik ke sekolah." Bibirnya mengerucut lesu. Mematikan panggilan, Azlina memasukkan Smartphone-nya kembali ke dalam tas. Dia beralih menatap Alvaro, lalu mengembuskan napasnya kasar.
"Om, balikin motor saya. Eskul diliburkan hari ini. Saya mau pulang."
Terdengar tawa kecil dari bibir lelaki itu. Rugi dia mengebut tadi, takut jika gadis itu terlambat mengikuti kegiatan di sekolah karena dirinya. "Naiklah! Aku mau nyari rumah makan, perutku lapar."
"Enggak. Om modus, kan? Suka cari perhatian dengan gadis muda dan cantik seperti saya."
"Apa? Cari perhatian, sama kamu?" Alvaro menggeleng, lalu berdecih ringan. "Eh, Bocil! Aku belum sarapan, jadi aku mau minjem motor kamu untuk ke rumah makan terdekat. Nanti kamu bisa ambil balik motor buntut ini."
"Nyari taksi deh, Om. Masak orang kaya enggak bisa pesen taksi. Saya takut ketahuan sama Kakak Ipar lagi. Takut salah paham, nanti dikira saya ada main lagi sama Om. Idiih, amit-amit."
"Kamu makin lama makin ngeselin, ya? Padahal kakakmu anggun dan pendiem, adiknya malah kebalikannya."
Azlina tampak tak setuju dengan ucapan Alvaro. Dia ingin memprotes perkataan itu, tetapi pikirannya sedikit tersadar, bagaimana lelaki di depannya ini bisa mengenal kakaknya?
"Om kenal Mbak Salwa? Bagaimana bisa?" tanyanya dengan kening berkerut.
"Yaa, bukan hanya dengan Salwa, tetapi suaminya juga. Jadi, sekarang kau tidak perlu berpikir macam-macam denganku." Alavaro mengarahkan pandangannya ke arah belakang, mengintruksi Azlina agar segera bergegas menaiki boncengan motor itu.
"Cepat naik! Perutku sudah lapar."
Azlina tampak sedikit ragu, tetapi tak ayal dia menurut juga. "Ingat, ya, Om. Jangan macam-macam!" ucapnya seraya menaiki jok belakang motornya.
Alvaro menepati perkataannya. Dia berhenti tepat di salah satu rumah makan cepat saji. Dia memarkirkan motor itu, lalu menoleh ke belakang. "Ayo turun!"
"Enggak usah, Om. Saya pulang saja." Azlina menolak dengan sopan. Bukannya apa, tak baik menerima makanan dari orang yang tak dikenal. Apalagi orang itu baru pertama kali ditemuinya. Bagaimana jika Azlina dijebak seperti yang ada di dalam cerita novel itu. Diberi obat mantap-mantap, lalu diperkosa tanpa sadar. Membayangkannya saja dia sudah bergidik ngeri.
Azlina menggelengkan kepala setelah berusaha mengusir pikiran buruknya tentang itu. Namun, perkataan Alvaro selanjutnya membuat pikiran Azlina berubah.
"Udah, turun saja. Anggap aja aku gantiin biaya sewa motor kamu."
Azlina tampak berpikir lagi, lalu mengangguk. Benar juga, dia sudah teramat rugi karena mengantar Om aneh itu ke mana-mana. Anggap saja ini sebuah imbalan karena dia sudah dilibatkan dalam situasi yang tidak mengenakkan.
Tak ada alasan lain bagi Azlina untuk menolak. Akan tetapi, hatinya masih waswas. Pertemuan tak terduga dengan kakak iparnya di hotel tadi pagi membuat pikiran Azlina tidak tenang. Bagaimana jika kakak iparnya menceritakan kejadian di hotel itu kepada kedua orang tuanya? Ah, sungguh perasaan Azlina menjadi gelisah.
Hingga kakinya sudah memasuki area rumah makan cepat saji, dia duduk di salah satu kursi kosong yang berada dekat jendela kaca.
"Kamu pesan apa?" tanya Alvaro setelah ikut duduk di meja yang sama.
"Ayam goreng ...." Azlina belum sempat menyelesaikan perkataannya, tetapi Alvaro segera menyelanya.
"Ayam goreng satu, lalu?"
"Ayam goreng paha lima, kentang goreng lima, burger yang big lima. Jangan lupa dengan cola lima!" ucap Azlina tak memedulikan raut wajah Alvaro yang tampak terkejut.
"Selera makanmu seperti kuli, ya?"
Azlina meringis menanggapi. Dia menggeleng kemudian. "Buat oleh-oleh," ucapnya dengan sedikit malu.
...***...
"Terima kasih, Om. Lain kali traktir lagi, ya?"
Alvaro hanya memutar bola mata malas. Tidak menyangka niat baiknya malah dimanfaatkan gadis itu dengan memesan banyak makanan. Akan tetapi, itu tidak jadi soalan, karena berkat Azlina, dia bisa melarikan diri dari perjodohan itu.
Azlina menaiki motor, mengenakan helm kesayangannya, lalu membuka kaca depannya. Dia mengangguk sopan kepada Alvaro. "Pulang dulu, Om. Assalamu'alaikum."
Tanpa menunggu jawaban dari Alvaro, Azlina bergegas melajukan motor itu, meninggalkan Alvaro di depan rumah makan cepat saji.
Alvaro menatap punggung Azlina yang sudah menghilang di balik kelokan. Dia merogoh saku celananya, mengambil Smartphone yang sedari tadi dia matikan.
Ujung ibu jarinya menekan tombol power pada Smartphone itu, dan sesaat benda pipih itu menyala, rentetan pesan masuk dan panggilan tidak terjawab membanjiri notifikasi.
Memilih abai, Alvaro segera menghubungi seseorang yang sejak tadi ingin ditemuinya. Ya, dia adalah wanita yang disukai oleh Alvaro. Wanita incaran yang belum bisa dia taklukkan, Almeera.
...***...
Hampir dua puluh menit berlalu, Azlina akhirnya sampai di depan rumah. Segera dia tepikan motor itu setelah masuk di pekarangan rumahnya yang tampak tidak terlalu luas. Dia melepaskan helmnya, merapikan poni yang panjangnya sebatas alis. Setelah dirasa sudah rapi, dia mengambil kantung makanan hasil rampokan dari Om aneh yang tanpa sengaja dia temui tadi pagi.
Lumayan berat barang bawaannya, hingga Azlina menopang beban itu menggunakan kedua tangannya. Sejenak dia berhenti ketika mencapai ambang pintu. Dilihatnya di dalam ruang tamu yang tidak terlalu luas itu sudah terdapat banyak orang duduk melingkar dengan raut muka serius.
Tubuh Azlina tiba-tiba merasa gemetar, menangkap wajah sang Kakak Ipar telah menatapnya dengan tajam. Dia menelan ludah, takut bercampur ngeri.
Di sana ada kedua orang tuanya, Mbak Salwa yang didampingi suami tercinta, Sean Paderson, juga kedua kakak laki-lakinya, Ahsan dan Alfatih. Ya, Azlina adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Dia tak menampik pemikiran bahwa, semua orang yang sedang memasang wajah serius itu telah menanti kedatangannya.
Apa yang terjadi? Mengapa semua orang berkumpul di sini?
Sampai ketika Azlina mengucapkan salam, semua orang beralih menatapnya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam warahmatullah," jawab mereka yang hampir bersamaan.
Azlina masuk dengan ragu. Dia menunduk, melewati semua orang begitu saja, ingin segera meletakkan makanan yang baru saja dibawanya dari rumah makan cepat saji pemberian Alvaro.
Tepat ketika dia ingin memasuki dapur, suara Ibu terdengar memanggilnya.
"Azlina!"
Dia menghentikan langkah, tanpa menoleh ke belakang, menunggu ucapan Ibu berikutnya.
"Dari mana kamu?"
Azlina tidak terkejut. Dia mengerti arah pembicaraan Ibu. Melihat Kakak Ipar telah menatapnya dengan tajam sudah membuat pertanyaannya terjawab dengan sendirinya.
Azlina meletakkan makanan itu di meja di sisi luar dapur, dia membalikkan tubuhnya, lalu melangkah kembali ke ruang tamu. Dia menunduk, memasang wajah takut, juga menyesal. Akan tetapi, dalam hatinya dia merasa tidak bersalah. Tidak ada yang perlu dia takutkan dan cemaskan. Langkah Azlina terhenti tepat berada di depan Ibu. Tangannya meremas jaket yang belum sempat terlepas dari tubuhnya.
"Apa yang kamu lakukan di hotel, Nak? Jangan membuat Ibuk dan Bapak malu." Ibu Darmini menanyai Azlina dengan disaksikan oleh banyak orang yang mana saat ini pandangan semua orang terpusat padamya.
"Saya tidak melakukan apa-apa, Buk. Semuanya hanya salah paham. Saya tidak mengenal Om itu."
"Tapi kalian kabur bersama. Semua orang menyaksikan itu." Kakak Ipar menyela perkataan Azlina. Sorot matanya menajam, menusuk secara langsung tepat di hati Azlina. Azlina takut dengan tatapan tajam yang seperti itu, hingga kakaknya, Salwa, menahan Kakak Ipar agar tidak terlalu larut dalam emosi.
"Saya tidak melakukan apa-apa, Om. Sungguh! Saya kebetulan lewat, lalu om itu tiba-tiba menghadang saya di depan rumahnya. Dia memaksa saya agar mengantarnya ke hotel. Hanya itu, tidak lebih." Azlina berganti menatap ke arah Ibu, lalu memegang tangan Ibu. "Ibu percaya, kan?"
Tampak Ibu Darmini mengangguk, mengusap wajah Azlina di bagian pipi. "Anda dengar sendiri, kan, Tuan. Putri saya tidak tahu apa-apa tentang kaburnya anak Tuan. Dia hanya dipaksa untuk mengantar ke suatu tempat. Tidak lebih."
Perkataan Ibu Darmini membuat Azlina terkesiap. Dia menoleh ke arah kursi di paling ujung. Dan terlihat sosok paruh baya yang mengenakan pakaian rapi telah duduk di antara mereka.
Siapa orang itu?
Sejak kapan dia ada di sini?
Lelaki paruh baya itu mengangguk menyetujui, tetapi tetap saja dia masih membutuhkan banyak informasi dari Azlina.
"Ke mana dia pergi?" tanya lelaki paruh baya itu yang ternyata ayah Alvaro.
Azlina menggeleng. Dia tidak tahu ke mana Om aneh itu berada, tetapi dia mengingat bahwa sebelum dia pergi, Alvaro tertinggal di rumah makan cepat saji.
"Saya meninggalkannya di salah satu rumah makan cepat saji di jalan Pahlawan, Om. Setelah itu, saya tidak tahu ke mana om itu pergi."
Ayah Alvaro tampak mendesah kasar. Dia menyugar rambutnya yang sebelumnya tertata rapi. Ya, anak semata wayangnya itu selalu membawa masalah hingga tumbuh dewasa. Entah sampai kapan Alvaro bisa berubah menjadi lelaki dewasa yang matang jika perilakunya masih saja seperti anak-anak.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!