Felisia, seorang gadis yatim piatu berusia 23 tahun. Dia menikah dengan seorang CEO perusahaan ternama bernama Dafi Andhika.
"Kak Dafi, ayo sarapan" ajak Felisia kepada suaminya itu.
Dafi mengangguk.
Dafi duduk di kursi makan yang letaknya paling ujung.
Felisia, setelah menyendokkan nasi untuk Dafi langsung berdiri menjauh.
Selama ini Dafi tidak suka jika Felisia dekat dekat dengannya saat makan dan tidak suka juga makan satu meja dengan Felisia. Entah apa sebabnya.
"Kenapa malah menjauh? Tidak mau makan?" Tanya Dafi.
"Eh?" Felisia malah menjadi bingung.
"Duduklah," ucap Dafi memerintah.
Felisia tersenyum senang. Dia tidak salah dengar kan? Kak Dafi ingin makan bersamanya! Ini yang pertama kalinya Dafi memintanya makan bersama bukan karena ada orang. Bisakah Felisia menganggap ini permulaan untuk kemajuan hubungan mereka?
Felisia memilih duduk agak jauh dari Dafi. Jika dia kegeeran dan malah duduk di dekat Dafi, bisa bisa nanti Dafi malah marah.
"Kenapa kamu duduk disana? Kamu tidak melihat ada kursi kosong disampingku?" Tanya Dafi.
Felisia akhirnya pindah duduk di sebelah kanan Dafi.
"Mulai sekarang jika kita makan bersama, kamu duduklah disini" ucap Dafi yang langsung mendapat anggukan dari Felisia.
Setelah selesai makan, Dafi berangkat bekerja.
"Kak, apakah hubungan kalian ada peningkatan?" Tanya Nina yang adalah pekerja dirumah Dafi. Lebih tepatnya pembantu rumah tangga Dafi dan Felisia.
Felisia mengangguk dengan luar biasa bahagia.
"Kamu tahu Nina, tadi dia mengajakku makan bersama. Dan dia juga mengatakan bahwa mulai sekarang tempat dudukku dimeja makan adalah disamping kanannya," ucap Felisia girang.
"Syukurlah, aku bahagia mendengarnya" balas Nina.
"Nina, ayo sekarang kita menyelesaikan pekerjaan. Masih banyak yang harus diselesaikan," ucap Felisia menarik tangan Nina untuk masuk ke dalam rumah.
Nina pasrah ditarik oleh Felisia yang sudah dia anggap sebagai kakak sendiri.
Tiga jam kemudian.
Ting...
Suara bel rumah berbunyi.
"Nina, biar aku yang buka pintunya. Kamu lanjutkan saja tugasmu. Sebentar lagi Kak Dafi pasti pulang untuk makan siang," ucap Felisia.
"Baik Kak," balas Nina.
Felisia berjalan kearah pintu dan membuka pintu. Senyuman terukir indah dibibirnya saat melihat suaminya pulang.
"Kak Da..." Felisia langsung terdiam saat melihat seorang wanita dan seorang anak berusia tiga tahun berdiri dibelakang suaminya.
Dia tahu siapa wanita itu. Wilona Nasya, mantan model sekaligus mantan kekasih Dafi.
"Mulai sekarang Wilona dan anak kami akan tinggal disini," ucap Dafi.
"Anak?" Tanya Felisia sambil berpura pura tersenyum tegar.
Dafi mengangguk.
"Oh iya, gak papa. Silahkan masuk," ucap Felisia.
Dafi, Wilona, dan anak laki laki mereka masuk ke dalam rumah. Melangkah bersama menuju ruang tamu.
Untuk sesaat Felisia memegang dadanya. Sakit, dia merasa sakit!
Ternyata suaminya sudah memiliki anak. Sudah sebesar itu? Dan umurnya pasti tiga tahunan. Bukankah ini terlalu miris? Dia sudah menikah dengan Dafi selama tiga tahun. Tapi dia belum hamil. Karena selama ini Dafi selalu memakai pengaman.
Felisia menenangkan dirinya untuk masuk.
"Kalian tunggu disini. Aku akan buat minum," ucap Felisia kepada mereka bertiga.
"Terima kasih. Oh ya, untuk Devan buat jus saja ya. Jangan sirup" ucap Wilona.
Wilona tampak sedang duduk bersandar dengan Dafi. Mesra!
Bahkan aku belum pernah duduk sedekat itu dengan Kak Dafi.
Gumam Felisia dalam hati.
Felisia mengangguk dan langsung pergi ke dapur.
Melihat dari sikap Wilona mungkin wanita itu tidak tahu status Felisia. Atau mungkin dia sudah tahu dan sengaja menunjukkan kedekatannya dengan Dafi didepan Felisia.
Felisia mengunci pintu dapur dan menutup pintu dengan tirai.
"Kak Felis, kakak kenapa?" Tanya Nina kaget dengan tindakan Felisia yang tiba tiba.
"Tidak ada," jawab Felisia sambil tersenyum berusaha menyembunyikan kesedihannya.
"Serius?" Tanya Nina.
Felisia mengangguk sambil mulai membuat jus jeruk untuk Devan dan sirup untuk Dafi dan Wilona.
"Siapa yang datang kak?" Tanya Nina.
Gerakan Felisia langsung berhenti ketika mendengar pertanyaan itu.
"Kak Dafi, Kak Wilona, dan putra mereka, Devan" jawab Felisia sambil melanjutkan kembali aktivitas nya.
Tak...
Pisau ditangan Nina langsung jatuh. Dia kenal dengan Wilona. Karena dia sudah bekerja dengan kediaman Andhika sudah belasan tahun. Saat umurnya masih 8 tahun. Dan sekarang umurnya sudah 21 tahun.
"Kakak gak salah bicara? Anak?" Tanya Nina kaget.
"Iya anak. Anak kak Dafi dan kak Wilona," jawab Felisia tersenyum manis.
Wajah Nina terlihat sulit. Entah apa yang dipikirkan gadis itu.
"Kenapa dengan wajah itu? Bukankah bagus jika kak Dafi punya anak. Bukankah grandma sangat ingin memiliki cucu dari kak Dafi. Dan sekarang keinginannya terwujud. Mama kak Dafi juga pasti lebih bahagia jika tahu itu anak Kak Dafi dengan Kak Wilona," ucap Felisia.
Felisia mengambil sendok dan mengocok minuman yang dia buat agar air dan sirup tercampur sempurna.
"Cepatlah siapkan memasakmu. Anak mereka mungkin sudah lapar sekarang," ucap Felisia memperingati.
"Iya kak," balas Nina membungkuk untuk mengambil pisau dan mulai melanjutkan aktivitasnya.
Sekarang dia sudah tidak bersemangat memasak. Karena dia tahu untuk siapa dia memasak adalah orang yang pernah menghinanya dulu.
Setelah selesai membuat minuman, Felisia keluar dan mengantar minuman itu.
Felisia melihat, untuk pertama kalinya Dafi tertawa selepas itu bersama keluarga kecilnya.
Kak, hatiku sakit melihat ini. Tadi pagi kamu baru saja membuatku mengharapkan lebih. Dan sekarang, baru tiga jam dari saat kakak memberikan ku perhatian, kakak sudah menjatuhkan ku sampai ketitik paling dasar. Sakit kak
keluh Felisia dalam hati.
Felisia mulai meletakkan tiga gelas minuman itu.
"Selamat menikmati," ucap Felisia setelah selesai masih dengan senyuman nya.
"Kamu, mulai hari ini tidur di kamar tamu saja. Kemasi barangmu," titah Dafi.
Felisia mengangguk dengan tetap mempertahankan senyumnya.
Dia melangkah menapaki satu demi satu anak tangga. Menuju kamar yang selama ini dia dan Dafi tempati. Ya mungkin selanjutnya kamar itu akan menjadi milik Dafi dan Wilona.
Felisia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.
Berjalan kearah lemari dan mengambil kopernya.
Dia mulai memasukkan semua barang barangnya kedalam koper. Peralatan make up, pakaian, peralatan mandi, semuanya.
"Kamar ini menjadi saksi hubungan kita selama tiga tahun kak. Dan mulai sekarang dia akan menjadi saksi hubungan kakak dengan kak Wilona. Semoga kalian bahagia. Jika aku bisa akan aku ucapkan langsung kepada kalian," ucap Felisia sambil tersenyum melihat ke setiap sudut kamar ini.
Kamar ini yang telah dia tempati selama tiga tahun bersama Dafi. Menjadi saksi bisu hubungan mereka. Banyak sekali kenangan indah maupun kenangan buruk tentang dirinya dan Dafi dikamar ini. Dan sekarang dia harus meninggalkan kamar ini beserta kenangan itu.
***
Terima kasih yang sudah mau mampir di karya aku. Semoga betah ya 😊😊😊.
Setelah selesai menatap kamar itu, Felisia keluar dengan koper ditangannya.
"Kak Felis? Kenapa kakak malah membawa barang barang kakak keluar kamar?" Tanya Nina yang melihat Felisia turun dengan koper.
"Tidak ada. Hanya saja kamar itu akan ditempati orang lain. Tidak mungkin Kakak menganggu orangkan," ucap Felisia dengan lembut.
"Sudahlah, lupakan saja. Apa mereka sudah makan?" Tanya Felisia sambil berjalan ke kamar tamu.
"Iya, mereka lagi makan" jawab Nina dengan nada benci dan tetap mengikuti Felisia.
"Ya sudah, kamu layani saja mereka dulu. Kakak akan membereskan barang barang kakak sebelum mereka siap makan," ucap Felisia sambil menepuk pelan bahu Nina.
"Kak Felisia. Kakak kenapa sih? Tuan Dafi itu suami kakak. Kakak yang paling berhak atas tuan. Jangan biarkan Tuan Dafi terus bersama wanita itu kak," nasehat Nina ketika mereka sudah masuk ke dalam kamar tamu.
"Hak apa yang ku punya Nina? Hak istri? Sejak kapan dia menganggap ku sebagai istrinya? Tidak pernah Nina! Aku hanyalah wanita yang menemaninya tidur. Bukan wanita yang akan menjadi ibu dari anaknya dan menemaninya sampai akhir," ucap Felisia sambil duduk lesu diatas kasur.
"Tapi kak, jangan lupa. Nyonya besar tidak akan pernah membiarkan Tuan Dafi dan wanita ular itu bersama. Nyonya besar hanya akan mendukung dirimu kak. Jangan pesimis," ucap Nina.
Felisia tersenyum mendengar kata kata penyemangat Nina. Dia bisa bertahan disini karena ada Nina yang selalu bersamanya. Jika tidak mungkin dia akan selalu mengurung diri di kamar dan berdiam selama satu harian.
"Terima kasih Nina, kalau tidak ada kamu. Mungkin aku tidak akan bisa bertahan dirumah ini," ucap Felisia sambil memeluk Nina dan menangis.
"Kak, kenapa kakak malah menangis?" Tanya Nina khawatir dan ingin melepaskan pelukan Felisia untuk melihat wajah Felisia.
"Biarkan aku memelukmu Nina. Aku butuh sandaran," ucap Felisia masih dengan sesegukan.
Nina membiarkan Felisia memeluknya sangat erat. Setelah hidup bersama selama tiga tahun. Ini pertama kalinya Nina melihat Felisia menangis.
Bukankah itu berarti kejadian ini sangat menyakitkan baginya?
"Nina, sejak dulu keadaan mengharuskanku untuk disiplin dan mandiri. Dulu keadaan itu juga memaksaku untuk tidak menunjukkan kesedihanku. Aku tidak berani menangis karena jika aku menangis adik adik panti lainnya akan ikut sedih," curhat Felisia.
"Dari dulu aku tidak pernah mendapat kasih sayang. Ibu panti juga tidak terlalu memperhatikan ku karena sibuk dengan anak anak yang lain. Dan saat grandma menemuiku dulu. Aku sangat bahagia. Karena beliau memberikan kasih sayang yang selama ini aku dambakan. Saat dia ingin menikahkan ku dengan cucunya aku terima. Karena aku pikir itu yang terbaik. Aku hanya ingin hidup bahagia bersama suamiku. Dan untukku itu aku sudah berusaha, tapi usahaku sia sia, Nina" ucap Felisia.
Nina mengelus punggung Felisia sayang. Dia tahu sakitnya yang diderita Felisia. Karena dia juga hidup tanpa kasih sayang dan menjadi tulang punggung diumur 8 tahun. Itu karena dia memiliki seorang adik yang harus dia nafkahi sendiri.
"Kakak harus kuat ya. Dirumah ini hanya ada satu nyonya rumah, yaitu kakak. Tidak bisa menjadi dua atau digantikan oleh siapapun. Dimata hukum dan agama kakaklah satu satunya istri sah Tuan Dafi," ucap Nina mengingatkan Felisia.
Felisia mengangguk.
"Ya sudah, kamu keluarlah. Layani mereka. Kakak akan menyusun pakaian kakak dulu," ucap Felisia akhirnya.
Nina mengangguk dan pergi.
Untuk apa aku menjadi istrinya, Na? Hatinya bukan milikku, hatinya ada bersama wanita lain. Tidakkah aneh jika aku memamerkan diriku yang adalah istrinya tapi tidak pernah mendapatkan cintanya?
Ucap Felisia membatin.
***
Sore hari
Felisia sedang berada di taman sedang memetik bunga disana. Itu adalah salah satu caranya untuk mengalihkan pikirannya dari kejadian tadi siang.
"Bunga bunga ini sangat indah," puji Felisia sambil memetik bunga gardenia untuk diletakkan di kamarnya.
Bunga gardenia melambangkan kemurnian dari sebuah cinta dan kebaikan. Cinta Felisia murni dan kebaikan nya juga murni. Jadi bunga ini cocok dengan Felisia bukan?
Tak...
Felisia tiba tiba terkejut saat mendengar suara benda yang dilempar tepat didepannya.
Seorang bocah kecil berlari dengan kakinya yang kecil.
"Tante tante, bisa ambil bolaku?" Tanya bocah itu kepada Felisia. Ya dialah Devan.
Sesaat Felisia mematung karena Devan memegang celananya.
Apapun yang terjadi anak ini tidak tahu apa apa Felisia. Dia hanya anak anak
ucap Felisia mengingati dirinya sendiri.
Felisia mengangguk. Ia memasukkan tangannya kedalam tumbuhan bunganya karena bola Devan masuk ke dalam.
Setelah Felisia mendapat bola itu, dia mengeluarkan tangannya.
"Ini bolanya," ucap Felisia menyerahkan bola kecil itu.
Devan mengambilnya lalu berkata, "telimakasih tante."
"Sama sama. Oh ya kamu main sama Mama kamu ya?" Tanya Felisia.
Devan menggeleng.
"Mamakan pigi sama papa," ucap Devan.
Felisia tersenyum pilu. Mama, Papa, dan anak. Sebenarnya siapa yang menjadi pengganggu disini? Dia atau Mama Devan. Hati Felisia sakit.
"Oh ya, jadi Devan main sama siapa?" Tanya Felisia.
"Devan main sendili," jawab Devan.
"Oh, apa tante bisa ikut main bareng Devan?" Tanya Felisia.
"Tante mau main sama Devan?" Tanya Devan dengan mata berbinar binar.
"Mau," jawab Felisia sambil mengangguk.
"Yey," bocah berusia tiga tahun itu loncat loncat kegirangan.
"Akhilnya ada yang mau main sama Devan," ucap bocah kecil itu.
Mendengar kata kata itu, Felisia sontak terkejut. Apa selama ini bocah ini tidak pernah bermain dengan siapapun?
"Devan, boleh tante bertanya sesuatu?" Tanya Felisia.
Devan mengangguk.
"Apa tante?" Tanya Devan.
"Apa selama ini Mama Devan tidak pernah bermain dengan Devan?" Tanya Felisia.
Devan menunduk sedih.
"Iya, tante. Kata mama, mama sibuk. Jadi gak ada waktu main baleng Devan," ucap Devan sedih.
Felisia iba melihat anak itu. Dia seperti melihat dirinya didalam diri anak itu. Kesepian!
"Ya sudah, Devan jangan sedih ya. Devan main bareng tante aja. Ayo kita main," ajak Felisia.
Devan mengangguk.
Felisia menggandeng tangan Devan masuk ke dalam rumah. Dia membawa Devan ke kamarnya.
"Devan duduk disini sebentar ya," ucap Felisia setelah meletakkan Devan di atas sofa.
Devan mengangguk.
Felisia berjalan kearah lemarinya. Dia mencari sesuatu. Setelah mendapat apa yang dia cari, dia mengambil dan membawanya untuk diperlihatkan kepada Devan.
"Devan, tante punya puzzle. Kita bisa main ini ya," ucap Felisia sambil menunjukkan puzzle sederhana yang dia punya.
"Puzzle? Devan suka puzzle," ucap Devan bahagia.
"Syukurlah kalau Devan bahagia," ucap Felisia ikut bahagia.
"Iya, dulu Devan punya banyak mainan. Devan juga punya puzzle tapi Devan udah bosan main puzzle Devan. Kalena semuanya mudah mudah," ucap Devan.
***
Jangan lupa like dan komen 🤗🤗🤗.
"Jadi, maksud Devan. Devan mau main puzzle karena puzzle punya tante gak mudah dan baru bagi Devan?" Tanya Felisia.
Devan mengangguk.
"Ya sudah ayo kita main," ajak Felisia.
Felisia menggendong Devan keatas kasur. Mereka berdua menikmati sore itu dengan menyusun puzzle.
Terdengar suara tawa bahagia dari kamar mereka berdua. Dan Nina yang berada diluar ikut bahagia mendengarnya. Setidaknya Felisia sudah tertawa. Dia tidak suka Felisia bersedih.
Mata Felisia melihat jam yang ternyata sudah menunjukkan jam lima sore. Sudah dua jam mereka bermain puzzle.
"Devan, ayo mandi dulu. Bentar lagi Papa dan Mamamu pasti pulang," ucap Felisia sedikit tidak nyaman dengan kata papa mama.
Ya bagaimanapun tidak mungkin dia nyaman mengatakan suaminya berpasangan dengan wanita lain. Tapi kan kenyataannya memang seperti itu.
"Cepat sekali tante. Biasanya Devan mandi pas langitnya udah gelap," ucap Devan dengan memasang wajah merajuk.
"Pas malam? Mama kamu gak marah?" Tanya Felisia terkejut.
Devan menggeleng dengan wajah polos.
"Mama gak malah. Mama gak bilang apa apa kok kalau lihat Devan mandi malam," jawab Devan.
Astaga
Felisia membatin.
"Mulai sekarang Devan harus mandi jam lima. Devan gak boleh mandi malam malam. Karena Devan masih anak anak dan bisa sakit," nasehat Felisia.
"Devan gak tahu itu," ucap Devan.
"Ya tidak apa apa. Yang penting sekarang Devan janji sama tante, Devan akan mandi jam lima mulai sekarang," ucap Felisia tegas.
"Devan janji," ucap Devan.
"Anak pintar," ucap Felisia sambil mengacak rambut Devan gemas dengan senyuman di wajahnya.
"Ayo sekarang mandi," Felisia menggendong Devan dan membawa Devan keluar dari kamarnya.
"Kamar kamu dimana Devan?" Tanya Felisia.
"Kamal Devan?" Tanya Devan kelihatan bingung.
Felisia mengangguk.
"Tidak tahu," jawab bocah cilik itu.
Felisia hanya menganggap jawaban anak itu dengan senyumannya.
Dia berjalan kearah kamar Nina sambil memanggil nama Nina.
"Nina," panggil Felisia.
Nina yang sedang menonton di ruang tamu, menolehkan kepalanya keasal suara.
"Kak Felis, Nina disini," ucap Nina.
Felisia berbalik dan melihat Nina yang sedang bersantai di ruang tamu.
"Astaga, bisa bisanya aku gak lihat kamu tadi," gerutu Felisia sambil berjalan kearah Nina.
"Nina, tadi ada gak Kak Wilona bawa barang barangnya?" Tanya Felisia.
"Ada kak" jawab Nina sambil memutar bola matanya malas.
"Dimana?" Tanya Felisia.
Nina menggigit bibir bawahnya. Takut jika dia menjawab Felisia akan merasa sakit hati.
"Jawab saja. Apa dikamar utama?" Tanya Felisia menebak.
Nina mengangguk dengan ogah ogahan.
Felisia yang melihat itu sebenarnya sudah dapat menebak. Tapi kenapa saat Nina memastikan dugaannya itu, hatinya malah sakit.
"Baiklah, kamu bisa tolong Kakak mandikan Devan. Kakak mau ambil baju Devan dulu di kamar utama," ucap Felisia masih berusaha tersenyum.
"Ba-"
"Devan mau sama tante," ucap Devan langsung memeluk Felisia.
"Devan jangan gitu dong. Tante kan cuman mau ambil baju Devan aja di kamar Mama Devan," ucap Felisia memberi pengertian.
"Tapi Devan gak mau dimandikan sama tante itu. Devan mau sama tante aja," ucap Devan keras kepala.
"Kayaknya dia udah betah banget sama kamu kak. Udah nyaman dianya," ucap Nina melihat interaksi Devan dan Felisia.
Felisia hanya tersenyum.
"Ya sudah. Devan ikut tante aja ke atas. Kita ambil baju Devan lalu mandi di kamar tante ya," ucap Felisia.
Dia sengaja tidak mau memandikan DevN dikamar utama. Karena itu bukan lagi kamarnya. Dan dia tidak berhak berlama lama di dalam kamar itu. Yang berhak hanyalah keluarga bahagia itu. Ada papa, mama, dan si anak, Devan.
"Ok" ucap Devan.
Felisia membawa Devan keatas. Cukup lelah juga saat menaiki tangga karena dia yang menggendong seorang anak kecil. Tapi dia tetap menunjukkan senyumnya kepada Devan.
Felisia membuka pintu dan masuk. Dia meletakkan Devan diatas kasur. Lalu dia berjalan kearah lemari yang dulunya adalah miliknya. Dia membuka pintu lemari dan terlihatlah sudah ada pakaian wanita disana.
Sepertinya sekarang posisiku benar benar sudah direnggut. Apa ini artinya aku harus mempersiapkan diri untuk diceraikan dan menjadi janda diusia muda. Hah... kenapa harus serumit ini nasibku Tuhan? Apa salahku? Salahkah aku jika mencintai suamiku sendiri? Apakah salah?
Ucap Felisia sambil menyeka air disudut matanya yang siap untuk jatuh ke pipinya.
Felisia menunduk untuk mengambil baju anak yang adalah baju Devan di laci paling bawah.
Setelah itu langsung saja dia membawa Devan keluar dari kamar itu.
Jika dulu dia sangat suka menghabiskan waktu dikamar dan mengenang saat saatnya bersama Dafi. Tapi sekarang dia merasa sesak berada didalam kamar itu. Sesak saat mengingat semua kenangannya bersama dengan suaminya yang entah sampai kapan akan terus menjadi suaminya.
Setelah selesai memandikan Devan. Pasangan keluarga itu tiba. Ya betul, Papa dan Mama, Dafi dan Wilona.
"Papa Mama," Devan yang melihat kepulangan orang tuanya segera berlari saat Felisia baru saja selesai memberikan bedak pada Devan.
"Devan, jangan lari lari sayang. Nanti kamu jatuh," ucap Wilona cemas dan langsung berjalan kearah Devan.
"Iya ma," ucap Devan berhenti berlari dan berjalan seperti biasa.
"Kamu kasih salam sama papa," ucap Wilona kepada Devan ketika Dafi sudah berdiri tepat di sampingnya.
"Selamat datang papa," ucap Devan sambil memeluk papanya.
"Iya sayang," balas Dafi.
"Sayang, kamu mandi sana gih. Aku temani Devan dulu. Kamu pasti capek banget kan" ucap Wilona perhatian.
"Iya," balas Dafi.
"Papa mandi dulu ya sayang," ucap Dafi kepada Devan.
Devan mengangguk.
Lalu Dafi pergi kekamar utama miliknya.
Felisia yang sedang menguping di balik kamarnya merasa sakit hati. Bukan dia yang menguping. Dia hanya tidak sengaja mendengar karena suara orangnya sedikit bergema dan sampai terdengar ke kamar Felisia walau suaranya agak kecil.
Salahkah aku jika cemburu dengan kalian? Salahkah aku jika mengharapkan bahwa aku dan anakku yang ada diposisi kalian? Bolehkah aku berharap bisa bahagia bersama suamiku dan anak anakku kelak?
Tanya Felisia dalam hati.
Malam hari saat makan malam.
"Selamat makan," ucap Nina ketus dan tidak ikhlas.
"Terima kasih," ucap Wilona dengan senyum terpaksa.
"Cih, munafik" ucap Nina terang terangan.
Sebelum Wilona berkata lagi, Nina langsung berbalik dan pergi ke dapur.
Sebelum dia mengantar makan malam. Dia sudah menyiapkan dua piring makan malam untuknya dan juga Felisia. Karena dia pikir Felisia tidak akan datang untuk makan malam.
Nina keluar dari dapur dan melewati meja makan dengan santai dengan tangannya yang memegang nampan.
"Tante, tante mau pigi ke tante yang baik itu ya? Devan ikut dong," ucap Devan tiba tiba.
***
Jangan lupa like dan komen 🤗🤗🤗.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!