Pagi yang indah dengan sinar matahari yang bersinar terang dan menghangatkan. Kicauan burung yang menyambut kehadiran pagi yang cerah hari ini.
"Vanka, bangun sayang! Hari ini kan hari pertama kamu masuk ke sekolah menengah atas!" seorang ibu dengan lembut membangunkan anak gadisnya yang masih terlelap.
"Eh ini anak, susah banget dibanguninnya." gerutu sang ibu sembari menggoyang-goyangkan tubuh putri kecilnya.
"Eh..." dengan malas Jovanka atau yang lebih sering dipanggil Vanka, membuka matanya perlahan.
"Jam berapa sih ma?" tanyanya sembari meregangkan otot-ototnya.
"Setengah tujuh." barulah setelah mamanya menjawab pertanyaannya, Vanka langsung terbelalak dan bangkit dari kasurnya.
Rasa kantuk sudah tidak dia rasakan lagi. "Kenapa baru bangunin sekarang sih ma?" omelnya sembari berlari ke kamar mandi.
"Yeee kok ngomel, orang kamunya yang susah banget di bangunin." ucap mamanya Vanka sembari tersenyum dan gelengkan kepalanya melihat tingkah anaknya.
Beberapa menit kemudian, Vanka berlari ke dapur untuk sarapan. Akan tetapi dia kembali dibuat kesal oleh kakak lelakinya. "Buruan dek, kakak udah telat!" ucap kakaknya yang membuat Vanka harus memakan sarapannya sembari berlari menyusul kakaknya ke depan.
"Yah, ma, Vanka berangkat dulu!" meskipun terburu-buru, Vanka tidak lupa berpamitan kepada kedua orang tuanya.
"Kalau makan sambil duduk, Vanka!" tegur ayahnya yang merasa tidak suka melihat apa yang dilakukan anak perempuannya. Meskipun hanya makan roti, tapi setidaknya akan lebih sopan jika makan sambil duduk.
"Udah nggak keburu, yah. Kak Rakha nanti tinggalin aku." seru Vanka sambil berlari mengejar kakaknya yang sudah duluan nangkring diatas sepeda motornya.
"Buruan naik! Lo mau telat?" ucap Rakha agak kesal juga sih dengan adiknya yang selalu saja susah kalau dibangunin. Akibatnya, dia sendiri yang kebingungan karena telat datang ke sekolah.
"Iya, bawel banget.." omel Vanka kemudian langsung naik ke boncengan kakaknya.
Hari ini, hari pertama Vanka masuk ke sekolah menengah atas. Untungnya karena kebijakan sekolah, masa orientasi siswa di sekolah itu ditiadakan. Jadi, Vanka bisa agak tenang kalaupun dia sampai terlambat.
Sampailah mereka di depan pintu gerbang sekolah yang sejak lama Vanka impikan. Sekolah yang berdiri tiga lantai tersebut terlihat sangat megah dan luas.
"Akhirnya gue bisa sekolah disini juga." gumam Vanka merasa bangga dengan dirinya sendiri.
"Nanti kakak nggak jemput, lo pulang naik angkot aja!" ucap Rakha setelah menerima helm yang diberikan oleh adiknya.
"Iya, paham.." Vanka tahu alasan kakakmya tidak bisa menjemputnya. Karena kakaknya akan kencan dengan kekasihnya.
Sebenarnya Vanka juga memiliki motor sendiri, ada juga mobil tapi ayah dan kakaknya belum mengijinkan dia mengendarai motor ataupun mobil sendiri. Belum cukup umur katanya.
Ketika Vanka akan melangkahkan kakinya memasuki sekolah barunya. Dari kejauhan dia mendengar namanya dipanggil. Seketika menolehlah Vanka, dan mendapati Akila, sahabatnya berlarian setelah keluar dari mobil.
"Tunggu!!" seru Akila sembari terus berlari kecil.
"Temen lo tuh?" ucap Rakha yang juga mengenal Akila. Karena Akila juga sering main ke rumahnya. Akila dan Vanka sudah bersahabat dari sekolah menengah pertama.
"Hallo kak Rakha.." sapa Akila dengan sedikit centil. Padahal Akila adalah orang yang judes tapi setiap kali bertemu dengan kakaknya Vanka, Akila akan berubah menjadi kucing yang imut.
"Ya." jawab Rakha singkat sembari menganggukan kepalanya.
"Kakak jalan dulu!" pamit Rakha.
"Ya."
"Iya kak Rakha, hati-hati ya dijalan!" Akila kembali menjadi kucing yang imut.
"Udah ayo buruan masuk!" Vanka menarik Akila yang masih memandangi kakaknya, meskipun kakaknya sudah semakin menjauh.
"Kakak lo ganteng banget ya," puji Akila.
Pujian itu sudah pujian yang kesekian kalinya. Sampai membuat Vanka jengah mendengarnya. Vanka memutar bola matanya, kemudian melanjutkan langkahnya, disusul oleh Akila.
Tapi tiba-tiba dari arah belakang muncul seorang siswa yang menepuk pundak Akila dan Vanka dengan cukup keras. Akila dan Vanka pun menjadi terkejut karenanya.
"Anj*r, siapa sih?" seru Akila yang terkenal dengan kejudesannya.
"Ba!!! Kalian sekolah sini juga?" tanya Febri, temen mereka dari sekolah menengah pertama yang sama juga.
"Eh si monyet, lo sekolah sini juga?" tanya Akila dengan membalas Febri. Dia memukul lengan Febri dengan cukup keras juga.
"Anj*r, sakit c*k.." keluh Febri sembari mengelus lengannya yang sakit.
"Siapa suruh kagetin kita!" Akila lebih galak dari Febri.
"Udah jangan berantem mulu, kalian nggak denger udah bel?" Vanka sudah kenyang dengan perdebatan antara Akila dan Febri. Waktu disekolah lama, hampir tiap hari Akila dan juga Febri berantem dan debat mulu.
"Tunggu Van!" Akila berlari kecil mensejajarkan langkahnya dengan langkah Vanka yang berjalan lebih dulu.
Vanka dan Akila menuju papan pengumuman untuk melihat berada di kelas apa mereka. Dan betapa bahagianya mereka, karena mereka kembali satu kelas. Kedua remaja putri tersebut saling berpelukan dengan bahagia.
"Lah, kenapa gue juga satu kelas sama kalian sih," Febri merasa tidak puas karena harus satu kelas lagi dengan Vanka dan Akila. Tapi itu hanyalah omongan belaka, Febri hanya ingin menggoda kedua remaja putri tersebut.
"Yeee,, siapa juga yang mau satu kelas sama buaya." sahut Vanka meledek Febri kemudian menyeringai, membuat Akila tertawa bahagia.
"Buaya nggak tuh." ucap Akila sambil tertawa dan meninggalkan Febri yang mencak-mencak sendiri.
Tapi, meskipun Febri selalu bertengkar dengan Akila dan Vanka. Dia akan tetap selalu mendekati mereka berdua. Febri merasa nyaman berteman dengan dua gadis itu.
"Ngapain sih ngikut mulu?" Vanka berkata sembari mendorong Febri menjauh.
"Kita kan satu kelas kampret.." Febri menarik ikat rambut Vanka dan melempar ikat rambut itu ke Vanka, lalu lari tunggang langgang sebelum Vanka ngamuk.
"Heh dasar monyet lo!!!" seru Vanka sambil kembali mengikat rambutnya yang terurai.
Tanpa sadar, banyak para murid lelaki yang memperhatikan Vanka yang sedang mengikat rambut dengan mengomel. Karena pada saat itu Vanka dan Akila masih berjalan di halaman sekolahan baru mereka.
Vanka menyadari jika banyak lelaki yang melihatnya dengan tatapan aneh. Tak sedikit yang tersenyum kepadanya. Jika dilihat dari seragam yang mereka kenakan, sepertinya mereka kakak kelasnya. Karena seragam mereka sama.
Vanka pun menjadi malu sendiri karena menjadi pusat perhatian. Dia menundukan kepalanya lalu berjalan dengan cepat sembari menarik tangan Akila.
Sebagian lelaki menganggap wanita yang sedang mengikat rambut itu damage-nya nggak ada obat. Mungkin itu yang membuat banyak siswa lelaki itu memperhatikan Vanka. Ditambah, wajah Vanka yang cantik dan imut.
"Buruan!" Vanka terus menarik tangan Akila sampai di kelas baru mereka.
Vanka dan Akila lalu mencari tempat duduk untuk mereka tempati. Tapi sayang, yang tersisa hanya dua bangku di depan Febri yang sudah mendapat tempat duduk duluan.
"Nah, ngikut gue kan lo." ucap Febri dengan percaya dirinya.
"Ish, pede lo! Orang yang sisa cuma sini doang." sanggah Vanka sambil memasukan tasnya ke dalam laci.
"Emang kepedean banget nih buaya." Akila juga tidak terima dituduh ngikutin Febri.
"Buaya pala lo." Febri yang tidak terima disebut buaya, mendorong kepala Akila sehingga membuat Akila mencak-mencak.
Akila mengejar Febri yang berlari setelah mendorong kepalanya. Jadilah mereka kejar-kejaran di dalam kelas. Tentu saja mereka langsung menjadi pusat perhatian satu kelas. Mereka lupa jika teman satu kelasnya adalah teman-teman baru mereka.
"Awas lo." ancam Akila sambil berjalan menuju tempat duduknya lagi.
Sedangkan Febri malah cekikikan melihat Akila yang kesal karena tidak berhasil mengejarnya.
"Hai, kenalin gue desi," teman yang duduk di bangku depan Akila dan Vanka menoleh ke belakang dan memperkenalkan diri.
"Kalau gue, Ira." teman sebelah Desi juga memperkenalkan dirinya.
"Hallo, gue Jovanka, panggil aja Vanka."
"Kalau dia Akila, kita satu sekolah dulu." karena Akila masih kesal, jadi Vanka yang mewakili Akila memperkenalkan dirinya.
Sambil menunggu mereka datang, keempat siswi tersebut saling ngobrol dan nyambung. Sepertinya mereka satu referensi, jadi bisa dengan mudah akrab.
Ira lalu memberitahu tentang kakak kelas mereka yang menjadi pusat perhatian di sekolah tersebut. "Genk mereka namanya The Sun, mereka empat cowok tampan dan anak orang kaya semua." Ira tahu informasi tersebut dari kakaknya yang juga satu angkatan dengan The Sun.
Sementara Akila dan Vanka merasa biasa aja. Karena tujuan utama mereka sekolah untuk mencari ilmu.
Teettttt teetttt tettt
Bel tanda jam istirahat berbunyi. Vanka membereskan buku dan alat tulisnya, kemudian beranjak keluar dari kelas bersama Akila dan kedua teman barunya, Desi dan juga Ira.
"Hai, kenalin gue Febri, temennya Vanka dan Akila." Febri mendekati Desi dan Ira sambil tebar pesona.
"Ish ngaku-ngaku, bukan, mana mungkin gue mau berteman dengan buaya." sangkal Vanka yang membuat Febri mengomel nggak karuan.
"Jangan mau kenalan, dia tuh buaya." Akila juga tak mau kalah.
"Akh, ngomong aja kalau kalian cemburu kan, gue deketin cewek lain?" tanya Febri dengan bangga.
"Gue? Nggak tuh, lo kalik." Vanka melempar tuduhan itu ke Akila.
"Ish, najis tralala... ngapain cemburu sama dia, emang dia siapa?" Akila bergidik dengan geli.
"Buaya katanya." sahut Ira yang membuat Vanka dan Akila seketika meledak tawanya.
Febri sempat melotot mendengar perkataan Ira. Tapi dia juga tahu kalau semua itu hanyalah bercandaan semata. "Hm, temenan ama mereka kan lo? Makanya sama, sama pedes ngomongnya." ucap Febri sembari mendorong Akila dan juga Vanka.
"Heh, kampret lo..." seru Akila dan Vanka bersamaan.
"Wuih bisa barengan gitu, udah kayak anak kembar kalian, kembar sial.." Febri tertawa setelah mengatai Vanka dan Akila.
Dia berjalan duluan bersama teman yang juga baru dia kenal hari ini. Kebetulan teman itu juga sebangku sama Febri, jadi mereka sudah agak akrab lah.
Vanka dan yang lain juga kembali melanjutkan langkah mereka menuju kantin sekolahan. Tapi di jalan, langkah mereka sempat terhambat karena kerumunan yang memadati pintu masuk ke kantin.
Baik Vanka dan juga Akila bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa kantin bisa sampai penuh sesak seperti itu. Dan juga kebanyakan adalah kaum hawa.
Desi yang bertubuh lebih tinggi dari mereka bertiga, berjinjit untuk melihat apa yang terjadi di dalam kantin. "Itu,, itu kak Defan, itu The Sun.." ucap Desi dengan senang.
Memang seperti yang dikatakan kakaknya, jika keempat cowok yang menamai diri mereka The Sun. Sangatlah ganten dan tampan.
"Ampun sampai segitunya." gumam Vanka tidak habis pikir kenapa para kaum hawa itu suka memalukan diri mereka sendiri.
Vanka lalu membelah kerumunan itu lalu mencari tempat duduk untuk makan. Dirinya juga sempat melirik keempat cowok yang jadi pusat perhatian tersebut. Dan merasa biasa saja.
Melihat Vanka yang berjalan di depan keempat cowok populer tersebut tanpa menoleh, membuat salah seorang dari pria tersebut menatap Vanka dengan membulatkan matanya.
"Gi," salah seorang personil The Sun menyenggol lengan Gio, juga anggota The Sun yang paling ganteng, tapi sayang sangat dingin.
Gio melirik Vanka yang duduk tepat di meja depannya. Dimana tempat duduk tersebut, biasanya dipakai oleh sekelompok siswi yang juga terpopuler di sekolah tersebut.
Vanka dan ketiga temannya tidak tahu mengenai hal tersebut. Bagi Vanka duduk dimana pun boleh aja, orang itu juga nggak dikontrak siapapun.
"Siapa yang akan pesan makanan?" tanya Vanka.
"Atau biar gue pesenin aja!" imbuh Vanka.
"Gue aja yang pesen, kebetulan gue kemarin ulang tahun, jadi biar sekalian gue yang traktir.." Ira menawarkan diri untuk mentraktir teman-teman barunya.
"Kalau gitu terserah lo aja mau pesen apa, gue nggak pilih-pilih kok orangnya." merasa tidak enak, Vanka dan Akila nurut apa aja yang dipesan oleh Ira.
"Ok.." jawab Ira dengan gaya centilnya.
Ira dan Desi sebenarnya juga ingin seperti wanita yang lain yang pada heboh minta kenalan juga memfoto personil The Sun. Akan tetapi, karena respon Vanka dan Akila biasa aja. Mereka berdua juga ikutan biasa aja.
Tak lama kemudian Desi dan Ira kembali dengan membawa nampan makanan ditangan mereka. Tapi ternyata, sekelompok siswi yang biasanya duduk di tempat itu, meminta mereka untuk pindah.
Vanka masih kekeh tidak mau. Sehingga terjadilah perdebatan diantara mereka. Meskipun anak baru, tapi Vanka dan Akila tidak sama sekali.
"Kalau mau, kalian aja yang pindah. Kita duluan yang disini." ucap Vanka yang menyulut amarah sekelompok siswi tersebut.
"Berani banget lo sama kita, lo anak baru nggak usah belagu.." Vanka juga sempat didorong oleh salah satu siswi tersebut.
"Nggak usah dorong-dorong bisa?" Akila menepis tangan kakak kelas yang mendorong Vanka.
"Apa lo?"
"Apa?" Akila tidak takut dengan kakak kelas itu.
"Apa sih susahnya pindah?"
"Capek, kalau lo mau lo aja yang cari tempat lain, tuh masih ada yang kosong." jawab Vanka dengan santai tapi justru semakin membuat sekelompok siswi tersebut semakin jengkel. Baru kali ini ada siswi yang menentang mereka.
"Iya, emang udah lo kontrak ini meja?" Akila semakin membuat panas.
"Lo belum tahu siapa kita? Kita siswi paling populer di sekolah ini, kita cantik dan kita anak orang kaya,"
"Nggak nanya." Vanka tetap santai menanggapi kesombongan para siswi tersebut.
Pyukkk
Salah satu siswi tersebut mengambil minuman di nampan Desi lalu menyiramkannya ke Vanka. Tentu saja pertunjukan itu semakin menarik untuk dilihat. Tidak hanya siswa-siswi yang menonton pertunjukan tersebut. Tapi The Sun juga tertarik dengan pertunjukan yang disuguhkan.
"Van?" Akila geram sekaligus kasihan melihat Vanka yang basah kuyub.
Meskipun The Sun juga sempat kaget dengan apa yang teman ceweknya lakukan, yaitu menyiram Vanka dengan minuman dingin. Tapi mereka juga penasaran ingin melihat reaksi Vanka selanjutnya.
"Ups, sorry tangan gue licin." ucap Marisa, pentolan dari sekelompok siswi tersebut.
Keempat temannya yang lain tertawa melihat Vanka disiram minuman oleh Marisa. Mereka bahkan meledek Vanka yang tidak langsung bereaksi setelah itu. Dan menganggap Vanka takut membalas Marisa.
Tapi siapa sangka, tak lama setelah itu. Vanka bangkit dari tempat duduknya. Dengan cepat Vanka mengambil mangkok berisi bakso, lalu menyiramnya ke Marisa.
"Akh... Panas.. Lo gila.." seru Marisa merasakan panas didadanya karena disiram kuah bakso yang panas oleh Vanka. Nggak terlalu panas sih sebenarnya, tapi juga menyengat kulit.
"Ups, sorry, gue sengaja.." ucap Vanka dengan tersenyum sinis. Tapi sedetik kemudian dia menatap Marisa dengan tajam.
Vanka ingin memberitahu Marisa dan juga teman-temannya yang lain. Bahwa dia tidak takut kepada mereka. Dan sebagai sinyal bahwa Vanka akan membalas perbuatan buruk yang dia terima berkali-kali lipat.
Vanka pamit kepada teman-temannya untuk membersihkan tubuhnya yang lengket karena siraman minuman tadi. Tapi ternyata teman-temannya justru mengikutinya ke toilet.
Gio menatap Vanka yang pergi dengan wajah bangga dengan tersenyum. "Dasar..." gumamnya seorang diri dengan tersenyum.
Tapi seketika senyuman itu buyar tatkala Marisa merengek di depannya. Marisa memang selalu bertingkah manja ke Gio. Seolah dia beranggapan bahwa Gio adalah pacarnya.
"Buruan dibersihin, ke toilet sana! ngapain merengek disini!" ucap Gio dengan dingin.
"Gio kok gitu sih."
Seketika Gio langsung bangkit dari tempat duduknya. "Kemana lo?" tanya Defan, sepupu Gio.
"Main basket yuk, bosen disini." ajak Gio yang jengah melihat kemanjaan Marisa.
Defan dan kedua temannya yang lain lalu bergegas mengikuti Gio ke lapangan basket. Seperti biasa, mereka sering sekali bermain basket ketika jam istirahat untuk menghilangkan penat.
Vanka membersihkan baju dan badannya. Sementara Akila pergi ke koperasi sekolah untuk memberi seragam baru untuk Vanka. Dan beruntungnya, dikarenakan hari ini hari pertama masuk sekolah. Jadi semua murid dipulangkan lebih awal. Setelah jam istirahat selesai, mereka diizinkan untuk pulang.
Di halaman sekolah, Vanka kembali bertemu dengan Marisa. Mereka saling menatap tajam satu sama lain.
"Apa lo lihat-lihat, mau dicongkel mata lo?" Akila yang sudah geram sedari tadi berkata sewot kepada mereka.
"Udah nggak usah diladenin." Vanka menarik tangan Akila pelan. Meminta Akila untuk tidak lagi mempedulikan Marisa dan kawan-kawannya.
"Kesel banget gue ama mereka." ucap Akila lagi, meskipun akhirnya dia nurut juga apa kata Vanka. Dan kemudian disusul oleh Desi dan Ira yang berjalan di belakang Vanka dan Akila.
Setelah melawan Marisa tadi. Vanka pun menjadi cewek populer dikalangan kakak kelasnya. Mereka sangat mendukung apa yang Vanka lakukan. Karena selama ini, Marisa dan kawan-kawannya memang meresahkan.
Mereka bertingkah seolah mereka penguasa sekolah itu hanya karena orang tua mereka berkelimang harta. Sehingga tidak menghargai teman-temannya yang lain.
Banyak kakak kelas Vanka yang ingin berkenalan dengan Vanka dan juga teman-temannya. Bahkan mereka berebut ingin menjabat tangan Vanka. Dan, tentu saja kebanyakan dari mereka itu adalah kaum adam.
Dan karena itu juga membuat Marisa dan teman-temannya semakin kesal.
Sedangkan Vanka tidak menanggapi kakak-kakak kelasnya. Dia hanya menganggukan kepalanya pelan sambil tersenyum lalu melanjutkan langkah kakinya.
"Naik apa lo? Di jemput kakak lo?" tanya Akila.
"Nggak, kak Rakha masih kerja lah jam segini." jawab Vanka.
"Gimana kalau kita nongkrong ke kafe biasa yuk!"
"Yuk!!" tiba-tiba Febri muncul dan menjawab ajakan Akila dengan senang hati.
"Nggak ada yang ajak lo, monyet.." sewot Akila yang kaget karena Febri muncul secara tiba-tiba.
"Kita boleh ikut nggak? Kalau boleh naik mobil gue aja!" ajak Desi.
"Lo nggak bareng sama kakak lo?" tanya Akila.
"Nggak, kakak gue bawa mobil sendiri kok."
Dan akhirnya mereka pergi ke kafe tempat biasa Vanka dan Akila nongkrong waktu SMP. Dan, Febri juga ikut dalam mobil tersebut.
"Ah, ngapain lo ikut segala! Nyempit-nyempitin aja!" gerutu Akila sembari mendorong-dorong Febri yang duduk bertiga dengan dirinya dan juga Vanka.
Melihat keributan itu, Desi pun akhirnya meminta Febri untuk mengemudikan mobilnya. Agar Febri dan Akila tidak ribut mulu. Sementara Ira pindah ke kursi belakang bersama Akila dan Vanka. Dan Desi geser ke kursi samping.
Dari kejauhan Gio terus menatap mobil Desi yang keluar dari area sekolah. Wajahnya dingin semakin terlihat kaku. Seperti dia tidak suka melihat pemandangan itu.
Sebenarnya sudah sejak tadi dia memperhatikan Vanka yang dikerubungi teman-teman cowoknya.
"Langsung atau kemana dulu bro?" tanya Dhanu, salah satu anggota The Sun juga.
"Pulang gue, mau anterin kakek gue ke makam nenek." jawab Gio.
"Defan juga ikut?"
"Lo ikut Gio nganterin kakek lo ke makam nenek lo?" tanya Dhanu ke Defan.
"Iya, mama gue katanya juga mau ziarah." jawab Defan.
Defan dan Gio adalah sepupu. Defan lahir duluan daripada Gio. Tapi, Gio adalah anak dari pamannya Defan. Jadi Defan seharusnya memanggil Gio, kakak. Tapi karena umur mereka hanya sesilih beberapa bulan, mereka akhirnya jadi teman sekolah. Bukan hanya saudara, tapi mereka juga sahabat yang saling mendukung satu sama lain.
"Ya udah kalau gitu. Tapi ntar malam kita nongkrong yak, di kafe biasa!" ajak Reza, juga anggota The Sun.
"Atau ke kafe om Andhika aja.." imbuhnya.
"Kita ikut.." sahut Marisa yang membuat kaget keempat remaja laki-laki itu.
"Iya, kita ikut pokoknya."
"Seterah." jawab Gio dengan dingin lalu berjalan meninggalkan mereka.
"Terserah nj*r.." seru Reza mengoreksi perkataan Gio sebelumnya. Reza juga mulai berjalan mengikuti langkah kaki Gio. Diikuti Dhanu dan juga Defan.
"Itu maksudnya." ujar Gio dengan tersenyum kecil.
Lalu mereka naik ke motor sport masing-masing, kemudian meninggalkan sekolah dan pulang ke rumah masing-masing.
"Ntar kita bareng atau gimana? Kalau bareng, gue tunggu di rumah." tanya Gio kepada Defan.
"Bareng aja, mama mau main ke rumah lo sekalian katanya."
"Oke.." setelah itu mereka berpisah dan pulang ke rumah masing-masing.
****
Sesampainya di rumah, Gio mulai melepas sepatu dan seragamnya. Dia terdiam sejenak, lalu kemudian tersenyum kecil. Gio teringat kejadian tadi pas di kantin.
Setelah berganti pakaian, Gio mengecek ponselnya. Kemudian tersenyum sendiri setelah membaca chat yang masuk.
"Ngapain Gi senyum-senyum sendiri?" tanya Virsha ketika masuk ke kamar Gio. Kebetulan pintu kamar Gio juga sedikit terbuka.
Saat Virsha lewat, dia tidak sengaja melihat Gio yang tersenyum seorang diri sambil mainan hape.
"Eh kakek, nggak apa kek, temen Gio ini, lucu banget orangnya." jawab Gio.
"Temen atau pacar?" goda Virsha.
"Ah kakek, apaan sih." Gio tersipu malu mendengar pertanyaan kakeknya.
"Jadi anter kakek kan?" tanya Virsha lagi.
"Jadi dong, nunggu Defan sama tante Kimora dulu. Mama kemana sih kek kok nggak kelihatan?" dari pulang sekolah, Gio belum bertemu dengan mamanya.
"Ada, di dapur bikin kue katanya,"
"Loh, mama nggak jadi ikut?"
"Ikut, tapi bikin kue dulu buat tante kamu katanya. Tau sendiri tante kamu suka banget makan makanan manis."
****
Di tempat lain.
Vanka dan teman-temannya asyik mengobrol dan bercanda di kafe yang cukup ramai tersebut. Melihat alat musik yang nganggur, Febri kemudian mengajak Akila untuk menyanyi.
Ya, Akila memang memiliki suara yang cukup bagus. Dan juga Febri, dia lihai memainkan berbagai alat musik, terutama gitar dan piano. Mereka waktu masih SMP juga sering mewakili sekolah untuk mengikuti lomba menyanyi.
"Hayuk.." Febri menarik paksa Akila yang sedang menikmati minuman kesukaannya.
"Bentar woii, gue minum dulu.." Akila tidak bisa melawan kekuatan Febri.
Akhirnya mereka tampil juga dengan membawakan lagu romantis yang membuat para pengunjung menjadi baper. Akila bernyanyi dengan cukup merdu. Dan Febri memainkan gitar dengan lihainya. Perpaduan itu sangatlah klop.
"Mereka sebenarnya cocok ya kalau nggak berantem." gumam Ira yang disetujui oleh Vanka.
Sebenarnya jika Febri dan Akila sedang tidak bertengkar, atau sepert sekarang ini. Pasti banyak orang yang salah paham dengan hubungan mereka.
Sayangnya, mereka lebih sering kek tom and jerry. Ribut mulu.
Tak puas hanya dengan satu lagu. Febri dan Akila menyanyikan tiga lagu sekaligus. Dan tentunya semakin membuat pengunjung kafe tersebut jadi semakin terhibur.
"Kalian keren, couple goals." seru Vanka yang membuat suasana semakin heboh. Banyak pengunjung kafe tersebut yang juga setuju dengan apa yang dibilang Vanka.
Tapi berbeda dengan Akila yang menjadi salah tingkah. Dia dan Febri saling melirik dengan malu-malu tapi tetap melanjutkan perform mereka yang menakjubkan.
Untuk Akila, dia bukan yang pertama kalinya tampil bernyanyi di kafe itu. Karena dia sering nongkrong di kafe itu sebelumnya, setidaknya dia sering nyanyi di kafe itu. Bisa diartikan juga Akila-lah penyanyi kafe tersebut. Karena Akila juga sering menerima job nyanyi di kafe tersebut. Lumayanlah bisa buat tambahan jajan.
Untuk Febri, mungkin baru dua atau tiga kali main di kafe tersebut. Tapi masalah chemistry-nya dengan Akila, tidak perlu diragukan lagi.
Sepertinya setelah ini, mereka akan dikontrak untuk mengisi hiburan di kafe tersebut. Sepertinya ya, belum tentu juga iya. Hahaha.
Setelah lagu ketiga selesai. Akila buru-buru kembali ke mejanya. Wajahnya tampak memerah, sepertinya karena teriakan pengunjung yang semakin heboh.
"Kenapa lo? Baper?" tanya Vanka dengan tersenyum, semakin membuat Akila memerah wajahnya.
"Nggak, gue cuma.. cuma haus aja." Akila menenggak minumannya sampai habis sambil mengatur perasaannya kembali.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!