Eza POV
Sore kian merambat. Menjelang petang. Mentari mulai menuruni tahta, luruh di batas cakrawala. Semburat oranye keemasan menghiasi langit. Temaram yang kian meneduhkan. Angin yang berhembus lembut membelai setiap jiwa. Perpaduan sempurna untuk mengucap syukur atas segala keindahan alam di depan mata.
Aku masih memusatkan segenap konsentrasiku di layar laptop di hadapanku. Menikmati suasana tenang dan kesendirian di senja temaram. Sudah lebih dari tiga jam aku duduk sendiri. Menyesap es kopi latte bergantian dengan sebatang rokok. Menghempaskan asapnya ke atas kepala. Sekejap kepulan asap putih pekat di udara berangsur pudar.
Aku memilih sebuah kafe yang terletas di ujung barat kota Surabaya. Jauh dari hiruk pikuk kota. Kafe ini menyajikan ruang outdoor bebas merokok cukup luas dan asri. Terdapat dua pohon besar di area luar kafe, menaungi meja dan kursi pelanggan. Tanaman dekorasi dari pot kecil sampai pot batu besar tersebar di beberapa titik. Lampu-lampu hias yang dibentangkan dari ujung kanan ke kiri, dari luar sampai ke dalam. Menambah semarak suasana dan tata ruang yang epic.
Sungguh menenangkan, menyejukkan dan tempat bermalas-malasan yang sempurna untuk seorang Eza. Fixed. Masuk ke list favorit.
Revoir.
Begitu nama cafe yang sempat ku baca sebelum masuk tadi. Sebuah kata sarat makna. Diambil dari bahasa Prancis yang memiliki arti 'bertemu kembali'. Apakah cafe ini mampu membuatku bertemu kembali? Disini, hari ini, dan di dimensi ini akankah aku bisa bertemu kembali dengan sosok yang tak pernah lekang dari otak dan akal sehatku?
Sesosok gadis cantik yang berlarian, bergelayut manja, dan menggodaku. Sosok itu yang terus muncul di depan mataku. Namun dalam wujud imajinasi dan anganku saja.
Ah, nghayal.
Apalah arti sebuah nama.
Nyatanya sosok cantik yang terus kukhayalkan muncul di depan mataku inilah yang menggangguku. Masih mungkinkah aku mengharap jodoh mempertemukan kami kembali? Bisakah? Pantaskah?
Sabtu sore ini tidak banyak pengunjung kafe. Di bagian outdoor hanya ada aku, satu meja agak jauh posisinya yang berisi sepasang kekasih, dan satu meja lagi lebih dekat dengan mejaku, dihuni seorang cewek yang sesekali bertelepon ria dengan suara lantang.
Dari dalam kafe, sayup terdengar alunan musik yang berasal dari audio kafe. Musik ballade Menambah aroma syahdu menenangkan yang berkali lipat menghempas keruwetan pikiranku seminggu ini.
I heard that you're settled down
That you found a girl and you're married now
I heard that your dreams came true
Guess she gave you things, I didn't give to you
Old friend, why are you so shy?
Ain't like you to hold back or hide from the light
I hate to turn up out of the blue, uninvited
But I couldn't stay away, I couldn't fight it
I had hoped you'd see my face
And that you'd be reminded that for me, it isn't over
(Adele, Someone like you)
Sabtu ini menjadi weekend pertamaku tinggal di kota ini. Surabaya. Kota penuh kenangan. Pahit dan manis. Dengan sejuta memori masa kecil hingga remaja yang pernah terangkai di kota ini. Senin lalu aku resmi dimutasi dari kantor Jember, ke kantor pusat di Surabaya. Karirku sebagai arsitek junior terlihat membentang dengan cemerlang seiring perpindahanku ke kantor pusat ini.
Dddrrrrrrrtt... Dddrrrrrrrtt...
Aku melirik ponsel yang tergeletak di samping laptop.
Mama calling.
Ah, aku lupa tidak memberi kabar kalau sabtu ini aku tidak pulang ke Jember. Mama pasti menungguku. Mengingat ini adalah kali pertama aku pergi merantau, tidak tinggal serumah dan sekota dengan mama. Sudah pasti mama mengira aku akan rindu rumah secepat ini.
Aku menjawab panggilan mama di dering ketiga.
"Assalamualaikum, Ma.."
"Waalaikumsalam, Za.. Kamu ga pulang hari ini?" suara teduh mama seolah melengkapi alunan syahdu sore yang semakin mendekati malam.
"Enggak Ma.. Maaf Eza belum sempat nelpon mama.."
"Hari minggu besok Eza harus ketemu klien untuk proyek desain pertama Eza, Ma.. Kliennya seorang bisnisman sibuk, jadi bisanya hari minggu aja.." sambungku.
Aku menutup laman design program di laptopku. Menyimpan berkas history pesanan klien pertamaku. Setelah berjam-jam mempelajari karakteristik dan selera klien untuk menentukan design restoran sebagai project pertamaku di kantor pusat.
"Gak papa, Za.. Yang penting jaga kesehatan kamu di sana. Makan yang teratur, tidur tepat waktu, jangan menunda sholat, apalagi sampai terlewat tidak menunaikan sholat. Jangan dibiasakan begadang dan kurang-kurangin itu rokoknya, Za.. Jangan sembrono.. Mentang -mentang sekarang tinggal sendiri.. Ingat sama mama dan keluarga kamu di sini.. "
Petuah demi petuah meluncur dengan lancar dari bibir mama. Bersahutan dengan suara merdu Adele menyanyikan lagu favoritku yang pernah hits beberapa tahun silam. Membuatku seketika merindukan rumah dan suasana hangat dan menyenangkan setiap kali aku berada di rumah.
Never mind, I'll find someone like you
I wish nothing but the best for you, too
"Don't forget me, " I beg
I remember you said
"Sometimes it lasts in love, but sometimes it hurts instead"
"Sometimes it lasts in love, but sometimes it hurts instead"
Aku kembali menyimpan ponsel di atas meja. Setelah mama menutup sambungan teleponnya beberapa detik lalu. Aku memijat keningku yang mulai pusing. Terlalu lama berdiam di depan laptop, selalu menjadi kelemahanku. Pandangan kabur dan kepala pening.
Kuputuskan membuka laman sosial media instagram. Laman yang menjadi favoritku akhir-akhir ini. Dari aplikasi jejaring media sosial ini aku bertemu secara maya dengannya. Wanita yang menggetarkan hatiku. Pun sampai saat ini setiap kali aku melihat foto dan videonya di akun pribadi miliknya. Dada ini masih berdesir hebat.
Biani Andrea.
Seorang influencer lokal. Selebgram. Akun centang biru. Entah apa lagi sebutan untuk wanita ini. Hanya dengan melihat fotonya bisa sedikit mengobati kerinduan yang tak tau pangkal ujungnya. Tapi sudah bersarang, bertunas, dan bercokol di hatiku.
Dia Febi Andriyani. Memakai nama panggung Biani Andrea. Dipanggil Bian. Hm..Cocok juga.
Dua hari lalu kami bertemu. Tidak sengaja bertemu lebih tepatnya. Di sebuah insiden penggusuran lahan milik PT. XYZ yang dimanfaatkan menjadi daerah pemukiman oleh penduduk sekitar. Insiden yang berbuntut keributan antara pihak warga dan satpol PP.
Seorang perempuan muda (dan cantik) beradu mulut dengan salah satu aparat satpol PP. Entah apa yang dibicarakannya, aku tidak bisa mendengar jelas karena suasana sekitar yang semakin tidak kondusif. Tapi ketika petugas itu melayangkan tangan hendak memukul perempuan muda itu, membuatku tergerak untuk melindunginya.
Belakangan aku tau, perempuan itu sedang membela seorang anak lelaki yang ingin masuk ke dalam rumahnya, yang sedang dalam proses penggusuran. Tapi petugas melarang anak itu masuk, dan membuat geram perempuan muda itu hingga berujung pada adu mulut yang semakin memanas.
Aku pun ikut geram. Pasalnya aku tau jika anak lelaki itu ingin masuk ke rumah karena ingin menyelamatkan buku-buku pelajarannya. Tapi petugas melarang. Mereka tetap membongkar paksa bangunan semi permanen itu dan mengacak-acak isinya.
Aku kembali menyulut satu batang rokok. Itu artinya sudah lima batang rokok yang kuhisap habis selama aku duduk di kafe ini. Pertemuan unik dengan Biani Andrea terus terngiang-ngiang di kepalaku. Tak bisa lekang. Pun aku juga tak ingin melupakannya.
"Bi.. Aku di area outdoornya.. Cepetan ke sini." Cewek berisik yang duduk di sebelah mejaku kembali menelepon seseorang.
Suaranya yang nyaring itu tidak mungkin tidak terdengar oleh telingaku. Segala macam perghibahan dari teleponnya yang sebelum sebelumnya pun terpaksa kutelan mentah-mentah. Nah ini kayak-kayaknya bakal ada teman yang nyamperin dia kemari. Dua -mungkin lebih- cewek berisik di meja paling dekat denganku, perfect.
Bakal membuyarkan suasana senja yang menentramkanku. Waktunya cabut.
"Iya, Bi.. Aku udah garing nungguin kamu dari tadi disini. Lama banget sih..." cewek itu terdengar mendecih sebal.
Aku mulai merapikan laptop, mengemasnya. Handphone, rokok dan korek, serta merapikan bekas makanan ringanku. Menggerus batang rokok yang masih tersisa setengah. Menyeruput sisa kopi latte yang...
"BIAAN... disini." cewek itu melambaikan tangannya dengan senyum lebar dari telinga ke telinga.
Deg.
Kepalaku refleks memutar ke arah lambaian tangan itu. Kutemukan sosok yang begitu cantik dengan rambut panjang terurai. Dengan dress sifon warna hijau lembut yang bergerak -gerak mengikuti terpaan angin. Seolah waktu berjalan lambat. Melihat raga cantik itu berjalan mendekat dengan gerakan slow motion.
Never mind, I'll find someone like you
I wish nothing but the best for you, too
"Don't forget me, " I begged
I remember you said
"Sometimes it lasts in love, but sometimes it hurts instead"
No, She is not someone like you. She is you. Bian.
Biani Andrea.
Febi Andriyani.
Revoir ; pertemuan kembali.
.......
...****************...
🌼 please like, comment, and vote yaa
Ada revisi di bab 1 , boleh dibaca ulang biar gak bingung di bab 2 dan selanjutnya yaa.. 😚
...****************...
Bian POV
Sumpah. Hari sabtu macam apa ini, aku gak habis pikir. Sudah lah dari pagi moodku kacau. Oland, pacarku yang berjanji akan menemaniku bertemu anak-anak di sekolah Harapan, mendadak membatalkan janji di menit terakhir.
Lalu klien endorse yang 'lagi-lagi secara mendadak' melayangkan komplain kalau mereka tidak puas dengan foto yang kukirimkan. Mengharuskanku take ulang di hari minggu besok. Perfect. Mingguku yang sibuk, akan jadi bertambah sibuk.
Belum lagi kemarin lusa aku berurusan sama petugas satpol PP yang menggusur rumah salah satu anak didik di sekolah Harapan. Meskipun ini bukan pertama kalinya aku berurusan dengan preman berseragam itu, tapi adu mulut saat itu berhasil mengacak-acak emosiku.
Eh wait, hampir lupa. Ada variabel lain yang juga mengacak-acak perasaanku. Seorang lelaki tampan dengan suara bass yang aduuh.. mempesona sekali.
Oke, forget it. He is just a random variable in a random situation.
Sore ini sekedar untuk melepas penat, aku ingin menghabiskan waktu dengan sahabatku, Ocha. Dia orang yang rame, seru, biang ghibah, tapi dia selalu bisa dipercaya untuk menyimpan segudang keluh kesahku. Dia sahabat baikku yang paling mengenalku luar dalam, depan belakang.
Kami memilih tempat bertemu di Revoir Cafe. Kafe langganan kami yang letaknya lumayan jauh dari rumah. Karena pengunjung yang tidak terlalu ramai, dan kafe yang desainnya lumayan estetik membuat kami menyukai kafe ini. Sesekali aku juga pernah melakukan photo session untuk produk endorse ku di sini.
"BIAAN... disini." Aku melihat Ocha di meja tengah ruangan outdoor. Cewek itu melambaikan tangannya dengan senyum lebar dari telinga ke telinga.
Aku menghampirinya dan langsung mendudukkan diri di depannya.
"Lama banget sih.." Ocha langsung melancarkan protesnya. Maklum, kami janji bertemu jam 4 sore. Tapi aku terlambat dan baru sampai jam 5.28 sore. Hihii..
"Yaa maap.. itu tadi anak-anak udah jam pulang tapi masih betah. Masih mau pada cerita aja." ujarku beralasan. Tanganku melambai ke arah waiter yang kebetulan lewat.
Waiter itu menyodorkan buku menu. Tanpa melihat buku menu itu aku sudah tahu apa yang ingin kupesan. "Hot chocolate dan toast coklat keju ya, mas.. Banyakin margarin dan kejunya, terus toast nya jangan terlalu garing."
"Siap mbak.."
"Hem.. menu andalan dimana pun tempatnya yaa neng.." Ocha mencibir.
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Seraya mengeluarkan ponselku memeriksa chat masuk yang kuabaikan sejak berada di sekolah dan selama di perjalanan tadi.
"Eh, gimana kabarnya penggusuran kemarin?"
"Yah gitu deh.. Aku tuh kasian sama Marko. Udah lah rumahnya dibongkar paksa, buku-bukunya dirusakin.. Emang bang sad tuh oknum. Kudu tak bejek-bejek aja tuh orang." aku masih bersungut-sungut tiap kali ingat kejadian kemarin lusa.
"HahaHaa.. emang petugas itu ga mempan liat muka kamu? Hombreng kali dia.. Biasanya kan cowok-cowok langsung jinak setiap kali liat kamu.." si Ocha malah gagal fokus.
"Cowok apaan?? Udah kakek-kakek tuh orang." jawabku kesal.
"Pantesan....."
"Lagian Marko maksa masuk cuma mau ambil buku-bukunya aja, tapi dia kasar sampai dorong -dorong Marko. Ya udah dong aku maju.. Eh mau digampar juga sama tuh kakek-kakek.."
"Oh ya? Bisa masuk pasal penganiayaan itu.." sulut Ocha tak kalah sengit.
"Tapi untungnya ada cowok yang nolongin. Langsung nangkap tangannya tuh kakek. 'Hap! Tolong jangan kasar sama perempuan dan anak-anak. Anda kan aparat. Bukan preman' Ciiiihh keren banget dia Cha... Coba kamu ada disitu.." sekarang giliranku yang gagal fokus. Sampai mengulang kalimat pria itu dengan suara bass yang dibuat-buat.
"Rekam terus viralin harusnya Bi.."
"Gak kepikiran buat ngrekam-ngrekam gitu Cha.. Orang pas aku dateng tuh kondisinya udah chaos banget." sahutku bersamaan dengan datangnya waiter membawakan pesananku, toast dan coklat panas yang masih mengepulkan asap. Heemm sedaap..
"Gemes banget.. ada gitu oknum bar-bar berseragam.. Ngebelain yang berduit, yang kagak berduit diinjek-injek." Ocha masih panas rupanya.
Aku santai saja menikmati toast yang masih hangat. Dengan lumeran coklat dan parutan keju. Rasa manis dari coklat, gurih dari keju dan margarin, roti yang empuk dan lembut. Ditambah coklat panas yang manis plus pahit sebagai rasa otentik coklat asli. Paduan lengkap for boosting my mood.
"Weekend gini kamu gak ada acara kemana gitu sama Oland? Anyep banget.." seloroh Ocha.
"Enggak.. Lagi ngumpul sama teman-temannya dia." jawabku santai.
Kafe yang tadinya sepi, selepas maghrib jadi semakin ramai. Sebagian besar mereka datang berpasangan, dan ada juga yang serombongan banyak orang. Weekend di tanggal muda emang, pantaslah..
"Ihh Gaje banget, malming gini malah ngumpul sama temen. Kamu gak ngamuk gitu Bi?"
"Enggak.. Biarin aja. Katanya ada temennya yang baru dateng dari Jember. Jarang-jarang bisa kumpul. Besok temennya udah balik lagi ke habitatnya. Jadi ya seharian ini Oland mau nemenin temennya itu."
"Temennya cewek apa cowok??"
"Cowok laah.." Aku mendecih sebal. Ya kali aku gila biarin my Oland nemenin temen ceweknya seharian.
"Hehe.. Kirain kamu udah gak waras kalau biarin Oland jalan berdua sama temen ceweknya." Ocha nyengir. "Nasibmu Bi.. Bi.. Baru juga dating sebulan. Masih anget-angetnya tuh.. Eh udah ditinggal jalan sama temen-temennya.."
"Ya udah biarin aja sih.. Aku gak masalah. Aku kan juga ga mau terlalu posesif sama Oland, Cha.. Yang ada ntar dia ilfeel lagi sama aku.."
"Ehhemm.." sebuah deheman dengan tipe suara berat dan ngebass mampir di telinga kami. Aku dan Ocha serempak menoleh ke sumber suara. Seorang cowok tampan berdiri di dekat meja kami.
"Hai Bian.." sapa cowok itu. Aku mengernyitkan dahi. Serasa tidak asing tapi aku lupa. Siapa dia dan dimana aku pernah melihatnya?
Cowok itu memakai celana jeans belel dengan kaos hitam. Casual dan santai. Aku sempat melirik, dia sebelumnya ada di meja sebelah kami, tapi dia sudah pergi beberapa menit lalu. Tapi kok sekarang balik lagi kesini? Datengin mejaku pula..
"Senang bisa ketemu sama kamu lagi." ujar cowok itu lagi. Senyumnya merekah. Tampan. Keren. Dari sudut mataku, aku bisa melihat Ocha meringis dengan centilnya menatap cowok itu. Haiishh.. dasar Ocha! radar cowok cakepnya selalu berfungsi dengan kecepatan maksimal.
Oh, wait! Suara bass itu.... aku ingat.
Refleks aku berjingkat. Bangkit dari kursiku. "Mas yang kemarin bantuin aku kan? Pas ribut sama satpol pp?" aku tidak bisa menutupi rasa senangku. Bertemu lagi dengan cowok ini benar-benar di luar ekspektasi. Kalau kemarin aku bertemu dengannya memakai kemeja dan celana formal ala budak corporate, malam ini dengan pakaian casual dia terlihat semakin ganteng. Keren. Ah...ampuun. Inget Oland, Bi.. inget..
"Aku belum sempat bilang terima kasih kemarin.." sambungku.
"Oh, ini mas-mas yang kamu bilang keren itu, Bi.."
Si*al, ini Ocha mulutnya ga pake filter apa? Kan malu.
Cowok itu tersenyum semakin lebar. "Gak nyangka bisa ketemu lagi sama kamu."
Kini ku ingin hentikan waktu
Bila kau berada di dekatku
Bunga cinta bermekaran dalam jiwaku
'Kan kupetik satu untukmu
(Adera, Lebih Indah)
Lagu yang mengalun dari sound kafe seperti soundtrack yang mengiringi pertemuanku dengan cowok ini.
"Kenalin mas, aku Ocha temannya Bian." si Ocha tanpa sponsor, tanpa iklan apa-apa langsung aja ngenalin diri sendiri. Lah dikata aku gak pengen kenalan apa.. Ups!
"Hai, Ocha.. Aku Eza."
Oh... namanya Eza. Iya.. iyaa.. senyumku ini tarikan sudutnya sudah melebihi batas normal, aku tahu. Tapi ini refleks kok. Sumpah. Ga ada niat nakal. Hatiku cuma untuk Oland.
"Bi.. Bian.." Eza menatapku yang terlihat tercenung saja namun dengan senyum lebar menghiasi wajah bo dohku ini. Nah kan.. jadi keliatan be go depan mas Eza kalau gini sih..
"I-iya mas?" jawabku tergeragap.
"Boleh aku gabung di meja kamu?"
"Boleh kok.." jawabku.
"Boleh banget mas.." jawab Ocha bersamaan denganku.
'Ga pake banget kali Cha.. Gak ada jaim-jaimnya jadi cewek.. Heran..'
"Makasih." mas Eza menarik kursi di samping kananku. Lantas duduk setelah menyampirkan tas laptopnya di sandaran kursi.
"Tadi masih sepi. Aku tinggal sholat maghrib sebentar di mushola kafe, pas balik udah full aja mejanya.." mas Eza menjelaskan kronologi tanpa kami tanya. Pantas saja tadi aku sudah liat dia pergi.. Eh balik lagi.
"Gimana kabarnya anak yang kemarin itu? Kalau boleh tau, dia siapanya kamu?" tanya mas Eza lagi.
"Oh namanya Marko. Dia sama keluarganya sementara pindah ke rumah saudara bapaknya. Marko itu salah satu anak didik di sekolah Harapan.." terangku.
"Nama aslinya sih Komar.. Komarudin." sela Ocha. Kulihat mas Eza mengernyit. Membuat Ocha menjelaskan lebih detil lagi tentang sejarah nama Marko.
"Jadi karena namanya Komar, temen-temennya kan manggil Mar-Komar, gitu.. tercentuslah ide ganti namanya biar lebih beken dan kekinian jadi Marko.."
mas Eza dan Ocha tergelak. Aku hanya tersenyum sambil menggeleng. Sungguh penjelasan yang tidak penting.
"Kamu guru SD, Bi?" tanya mas Eza lagi.
"Engga mas.. bukan. Cuma bantu-bantu ngajar anak-anak aja.." aku menjawab.
"Gini mas Eza.." Ocha lagi-lagi menyambar. Membuatku ketar ketir tentang cerita apa lagi yang akan ia buka dengan gamblang di depan orang 'asing' ini.
"Bian ini nama lengkapnya, Biani Ibu Peri Andrea. Dia suka banget tuh nolongin anak-anak jalanan. Ngajar di sekolah darurat, ngasih pendidikan buat anak-anak pengamen, pengemis, copet, preman cilik.. yaa.. anak-anak yang gak punya niat sekolah dan masa depan suram gitu deh, mas.."
Aku menepuk lengan Ocha. "ih kamu ngomongnya kok gitu sih Cha. Masa depan kan bisa diubah asal ada usaha dan takdir mereka siapa yang tau ke depannya bakal gimana. Mereka kayak gitu juga kan karena terhalang biaya. Terus ga ada edukasi dari orang tuanya juga.. Ya wajar laah.."
"Iyaa.. iyaa, ibu peri.. Maapkan daku yang asal ngemeng.." Ocha balas mencibirku. Ku lirik mas Eza terus tersenyum. Tatapannya tajam menghujamku. Membuatku salah tingkah.
Mas Eza kembali menatapku. "Jadi kamu ngajarin anak-anak spesial itu di sekolah Harapan?" aku mengangguk.
"Boleh aku tau dimana sekolah itu?"
"Sekolah itu cuma sebutan, mas.. Aslinya sih gak ada bangunan sekolahan seperti pada umumnya." jawabku. "Kami sih belajarnya bisa di balai desa, di lapangan, di bantaran sungai.. tergantung sikon gitu deh mas.."
"Wah.. Kamu keren banget. Aku kagum.." mas Eza tersenyum penuh arti. Membuatku salah tingkah.
"Kamu selebgram, tapi kenapa ga ada konten tentang anak-anak didik kamu itu di akun sosmedmu?" tanya mas Eza lagi. Eh, wait.. artinya mas Eza sudah stalkingin aku dong?
"Dia itu gak mau pamer mas.. Ga mau niat baiknya dianggap pamrih.." sambar Ocha lagi.
"Wah.. Gak salah berarti aku ngefans sama kamu ya Bi.."
"Eh?" aku menaikkan alis. Terkejut dengan ucapan mas Eza.
"Mulai sekarang, aku fans nomer 1 kamu." ujar mas Eza dengan senyum terulas. Aku kembali terbengong mendengarnya. "Mungkin aku bukan fans pertama kamu, tapi aku pastikan aku fans nomer 1 yang akan dukung dan percaya sama kamu apapun yang kamu lakukan."
...****************...
🌼 Happy reading..
Semoga sukaaa
Maharani POV
Namaku Maharani. Maharani Dewanti. Sejak lahir sampai saat ini usiaku 25 tahun, aku tinggal di sebuah desa di Jember. Aku gadis biasa dan mengenyam pendidikan sampai tamatan SMA saja. Bukan tidak ada keinginan untuk lanjut berkuliah, tapi dalam sejarah keluargaku turun temurun tidak ada anak perempuan yang bersekolah tinggi. Hanya anak laki-laki saja yang melanjutkan pendidikan tinggi dan bekerja merantau ke kota-kota besar.
Setelah tamat SMA, aku bekerja di kantor pegadaian swata tak jauh dari rumah. Kehidupanku serba biasa. Sederhana. Jauh dari keseruan anak muda seusiaku. Di kantor, teman-teman kerjaku seumuran ayah dan ibuku. Tidak sefrekuensi, bahasa gaulnya. Sepulang kerja aku diam di rumah. Begitu terus sampai esok hari aku kembali bekerja. Membosankan? Ya lumayan..
Tahun lalu, aku sangat senang. Rumahku kedatangan tamu istimewa. Budhe Rosida dan putra tunggalnya, mas Eza. Mereka datang secara khusus untuk melamarku. Mengejutkan. Tapi juga berhasil membuat aku tersipu sepanjang hari dan tidak mungkin aku menolak pinangan mas Eza.
Sebelumnya aku dan mas Eza pernah bertemu beberapa kali di acara keluarga besar. Keluargaku dan keluarga mas Eza, memang masih ada kaitan kerabat jauh. Meskipun kalau dirunut, tidak ada ikatan sedarah.
Meskipun begitu, dulu aku belum pernah sekalipun mengobrol secara pribadi dengan mas Eza. Saat bertemu pun, hanya menyapa sekedarnya. Kami tidak pernah saling mengenal sedikit pun.
Singkatnya, dua bulan sejak pinangan itu kami resmi menikah. Tanpa pacaran. Tanpa pedekate-an.
Tidak masalah. Aku tetap senang. Apa lagi yang ditunggu gadis desa sepertiku, kalau tidak menunggu dipinang lelaki baik dan mapan?
Ya, mas Eza sudah cukup mapan. Mas Eza lulusan sarjana arsitektur dan bekerja sebagai arsitek. Sesuai cita-citanya sejak remaja. Dia ganteng, sholeh, dan dari keluarga baik-baik. Mas Eza lahir dan tumbuh besar di kota Surabaya. Namun setelah papanya meninggal dunia saat usianya 15 tahun, ia dan mama Rosida pindah tinggal di Jember. Daerah kelahiran mama Rosida.
Sejak sebelum menikah, ia bekerja di sebuah perusahaan arsitektur di Jember. Namun, sebulan yang lalu ia dipindah tugaskan ke kantor pusat di Surabaya. Kamipun menjalani hubungan Long Distance Marriage.
Tidak masalah.
Aku tahu mas Eza lelaki baik dan sholeh. Sholatnya tak pernah terlewat. Dan mas Eza tipikal lelaki yang bertanggung jawab dan sayang keluarga.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Hari ini terhitung genap delapan bulan kami menikah. Dan satu bulan menjalani LDM. Usai menikmati sarapan pagi bersama mama mertuaku, beliau mengajakku berbincang di teras rumah.
Sekedar informasi, sejak menikah, Aku dan mas Eza memang masih tinggal menumpang di rumah mertuaku. Bukan tidak mampu, tabungan kami bisa dibilang cukup untuk membeli rumah sederhana di kota. Apalagi untuk sekedar mengontrak. Kami hanya mempertimbangkan mama akan kesepian seorang diri jika kami pergi. Dan aku tidak keberatan tinggal bersama mama Rosida.
"Rani.." kata mama sambil menyirami tanaman-tanaman anggreknya di teras. "Sudah satu bulan sejak Eza pindah ke Surabaya. Dia sudah pulang berapa kali ya?"
"Sekali, Ma. Minggu lalu mas Eza pulang."
"Tapi hanya semalam ya?"
"Iya, Ma.."
Aku benar-benar tidak mengerti arah pembicaraan mama. Mana mungkin mama lupa kalau baru minggu lalu mas Eza pulang? Apa... mama.. sudah mulai.... pikun?
Ah, tidak mungkin.
Mas Eza pulang hari minggu pagi, dan kembali lagi ke Surabaya hari senin pagi-pagi sekali. Bahkan sebelum adzan shubuh berkumandang.
Mama terdengar membuang nafas kasar. "Padahal dulu janjinya akan pulang seminggu sekali. Setiap sabtu-minggu..."
"Mungkin mas Eza sibuk Ma.. Atau kecapekan kalau harus pulang tiap minggu.." ucapku berusaha menenangkan.
"Komunikasi kalian masih lancar kan, Ran?"
"Masih Ma.." aku tersenyum.
Komunikasi kami memang lancar. Tapi samakah dengan definisi komunikasi lancar pasangan suami istri pada umumnya?
Mas Eza meneleponku setiap pagi hari. Setelah aku sarapan, dan sebelum mas Eza berangkat ke kantor. Kami saling menanyakan kabar dan juga mas Eza selalu menanyakan mama. Selanjutnya mas Eza akan bercerita tentang pekerjaan yang harus ia selesaikan hari ini. Akan bertemu klien dimana saja. Atau akan ada meeting apa saja. Setelah ia sampai di kantor, tidak akan ada telepon atau chat whatsapp yang kuterima lagi. Sebelum mas Eza pulang dari kantor sore harinya. Begitu setiap hari.
Apa sudah masuk kategori komunikasi lancar?
Entahlah. Kukira setiap rumah tangga punya standartnya masing-masing. Dan komunikasiku saat ini dengan mas Eza bisa kusebut lancar. Kami baik-baik saja.
Sebelum mas Eza pindah tugas ke Surabaya, kami malah jarang bertelepon. Hampir tidak pernah. Tapi tidak masalah. Kami tinggal serumah. Jadi semua urusan bisa dikomunikasikan secara langsung, tanpa alat bantu kan..
Mama menghentikan aktifitas menyirami tanaman hiasnya. Kemudian duduk di kursi rotan di teras rumah. Tepat di depanku. "Hubunganmu dengan Eza apa baik-baik saja?",
"Baik-baik saja Ma.. Mas Eza suami yang baik dan perhatian." jawabku seraya tersipu.
"Tapi mama merasa hubungan kalian kuraang.. apa yaa namanya?" mama terlihat berpikir. Membuatku salah tingkah dan tak tau harus berkata apa.
"Kurang mesra, kurang kemistri, kurang akrab begitu.."
"ibarat masakan, sudah enak, tapi kurang sedap bumbunya.." tambah mama.
Aku menelan saliva susah payah. Namun sudut bibirku masih kuusahakan mengulas senyum. Ingin menunjukkan pada mama kalau semua baik-baik saja. Aku tidak menyangka, mama mertuaku yang selama ini tampak cuek saja dan tidak mau ikut campur rumah tanggaku. Ternyata bisa bicara demikian.
Aku dan mas Eza kurang chemistry? Kurang mesra? Ironisnya, aku pun merasa begitu. Sejak awal menikah aku selalu merasa ada jarak antara kami. Mas Eza baik dan lembut. Pengertian. Tidak pernah berkata kasar padaku. Apalagi memukulku. Sama sekali tidak pernah.
Tapi.. bagaimana aku mengatakannya? Seperti ada batas yang ditarik mas Eza. Yang tidak kumengerti bagaimana cara untuk menyeberangi batas itu. Batas yang tidak bisa kulewati untuk lebih dekat dengan suamiku.
"Maaf.. bukannya mama mau ikut campur. Tapi sepertinya kalau mama liat-liat, tamu bulanan Rani masih lancar datangnya.."
Aku tersenyum sembari menundukkan kepala. Ah, mama pasti sudah mengidamkan suara tangis bayi di rumah ini. Menginginkan kehadiran cucu untuk menyemarakkan suasana di rumah. Tapi sayangnya, Allah belum berkehendak mempercayakan kami amanah besar itu.
"Iya Ma.. Rani minta maaf...."
Mama meraih jemariku dan mengusapnya lembut. "Kalau kamu hamil dan kalian punya anak, mungkin sikap Eza bisa lebih baik.."
"Tapi... mas Eza baik sama Rani, Ma.."
"Kurang Ran.. Bukan baik seperti itu yang mama maksud. Dalam hubungan suami istri, baik saja tidak cukup Rani.. Harus ada cinta. Harus ada kasih sayang di dalamnya."
Ucapan mama membuatku tertegun. Tidak menyangka mama akan mengatakan ini. Lebih tepatnya, tidak menyangka mama menyadari kondisi rumah tanggaku yang belum dihiasi indahnya kobaran api cinta.
Aku memang gadis desa yang polos dan kurang pergaulan. Tapi aku punya hati. Perasaanku masih peka. Aku merasa betul, mas Eza belum bisa mencintaiku sepenuh hati.
Namun, sikap baik dan perhatian mas Eza membuatku yakin bahwa mas Eza hanya butuh waktu untuk belajar mencintaiku.
Aku hanya perlu bersikap baik, melayani segala kebutuhan mas Eza setulus hati, menjaga nama baik suami ketika berjauhan. Setidaknya itulah ajaran ibuku sejak dulu. Lamban laun, aku yakin hati mas Eza akan luluh.
Semoga.. waktu benar-benar mengantarkan hati mas Eza untuk pulang kepadaku.
Ke rumah kami.
...****************...
🌼 Happy reading 🌼
Jangan lupa vote, like, dan komen yaa.. biar makin semangat utk update 😚
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!