Di sebuah kampus swasta di kota Yogyakarta.
Seorang mahasiswi yang berwajah manis tampak gelisah duduk di bawah pohon yang ada di area kampus dan seperti sedang menunggu seseorang. Tatapan mata gadis bernama Mayasari, yang saat ini sedang menyelesaikan semester akhirnya di kampus ini berulang kali menatap ke arah gerbang utama kampus.
Maya kembali mengutak-atik ponsel di tangannya, saat orang yang ia tunggu tak kunjung terlihat di gerbang utama kampus.
[Mas, jadi ke kampus hari ini, kan? Aku tunggu di bawah pohon seperti biasa] -Maya-
Pesan terkirim!
Lima menit menunggu.
Sepuluh menit.
Hingga lima belas menit, namun tak ada balasan dari pria yang Maya kirimi pesan.
Hingga tiba-tiba suara benturan yang begitu keras dari depan kampus menyentak lamunan Maya.
"Ada kecelakaan!"
"Ada kecelakaan!"
Seru beberapa mahasiswa dari arah gerbang utama. Beberapa mahasiswa sontak berlarian menuju ke arah gerbang untuk melihat korban kecelakaan di jalan tepat di depan kampus.
Pun dengan Maya, gadis itu tiba-tiba menjadi penasaran dan ikut mendekat ke arah lokasi kecelakaan. Baru melihat motor yang hancur tepat di depan gerbang utama kampus saja, darah Maya langsung berdesir tak karuan.
Bagaimana tidak?
Maya kenal betul dengan motor Megapro warna hitam tersebut karena Maya sudah beberapa kali dibonceng oleh sang pemilik motor.
Maya semakin mendekat ke arah korban yang sudah tergeletak bersimbah darah dengan helm yang masih terpasang di kepalanya.
Namun darah segar terlihat merembes dari dalam helm korban. Dan Maya hafal betul dengan helm tersebut, lalu jaket yang dikenakan oleh korban kecelakaan, Maya juga sangat mengingatnya. Karena Maya yang membeli jaket itu sebagai kado ulang tahun untuk Mas Yoga.
Tidak mungkin!
Tidak mungkin!
"Mas Yoga!"
Tangis Maya pecah seketika mengetahui korban kecelakaan di depan kampus pagi ini adalah Mas Yoga. Pacar sekaligus orang yang sejak tadi Maya tunggu.
"Mas Yoga!" Maya berteriak sekali lagi, saat jasad yang sudah bersimbah darah tadi dinyatakan meninggal dunia dan mulai di tutupi menggunakan koran oleh beberapa warga.
"Bund!"
Tepukan di bahu kanan Maya, langsung membuyarkan lamunan wanita empat puluh tahun tersebut.
"Bunda melamun pagi-pagi?" Wajah manis nan mungil yang kini mengenakan seragam putih dipadu rok kotak-kotak itu membulatkan bola matanya dan menatap lucu ke arah Maya.
"Enggak! Bunda lagi menjahit ini. Bentar lagi harus disetor ke Pak Teddy jahitan dasternya," elak Maya yang kembali meraih potongan kain batik warna hijau tua, lalu menaruhnya di mesin jahit, dan mulai menginjak pedal mesin jahit.
Suara dari mesin juki yang cukup bising langsung terdengar dari ruang tamu rumah Maya yang kini sudah beralih fungsi menjadi ruang kerja.
"Nanti kalau menjahit sambil melamun, bisa-bisa tangan bunda lho yang dijahit, bukan kain buat daster," celetuk Nadya seraya memeriksa satu daster yang sudah selesai dijahit oleh Maya.
Nadya Wulandari adalah putri semata wayang Maya yang kini duduk di bangku SMK kelas sebelas jurusan tata busana. Nadya memang anak yang cerewet dan sedikit lucu.
"Kayak teman sekelas Nadya kemarin yang tangannya masuk ke mesin jahit pas praktek," sambung Nadya lagi yang langsung membuat Maya berhenti menjahit dan menoleh pada putrinya tersebut.
"Teman kamu ada yang kejahit lagi tangannya?" Tanya Maya menyelidik pada sang putri.
"Iya, Bund! Mana duduknya pas banget di depan Nadya kemarin," cerita Nadya sok serius.
"Itulah, makanya! Kamu kalau praktik menjahit, jangan melamun, jangan meleng! Jangan ngantuk juga!" Pesan Maya panjang lebar pada Nadya yang hanya mencibir-cibir tak jelas.
Selalu seperti itu saat dinasehati!
Dasar Nadya!
"Bunda sendiri barusan melamun saat menjahit!" Cibir Nadya yang masih memegang daster hasil jahitan sang Bunda.
"Bunda nggak melamun! Dasar kamu sok tahu!" Kilah Maya seraya berdecak dan kembali melanjutkan menjahit potongan daster.
"Bund, Bund!" Celetuk Nadya tiba-tiba.
"Apalagi?" Maya kembali harus menghentikan aktivitas menjahitnya dan menoleh pada sang putri.
"Ini melet, Bund! Pasang ritsleting jepangnya!" Nadya menunjukkan jahitan sang Bunda yang memang terlihat 'melet' sedikit.
"Cuma satu mili! Nggak bakal kelihatan!" Maya berdecak dan mengambil daster yang dipegang Nadya.
Namun Nadya mencegahnya.
"Ih, Bunda dibilangin ngeyel!"
"Itu harusnya Bunda dedel lagi, trus Bunda jahit ulang dan jangan sampai melet!" Komentar Nadya panjang lebar.
"Kalau di sekolah, Nadya pasang ritsleting jepang macam begitu, pasti kena omel dari Bu Guru."
"Nadya! Ritsleting-nya melet! Dedel dan pasang ulang!" Nadya menirukan ibu gurunya saat sedang mengomel saat jam praktek menjahit.
Maya hanya tergelak dengan ekspresi wajah Nadya yang terlihat lucu sekali.
"Iya ini Bunda kan kejar target, Nad! Kalau keseringan ndedel nanti nggak beres-beres kerjaannya Bunda."
"Hari ini juga sudah harus disetor ke Pak Teddy," terang Maya panjang lebar menuturkan alasan pada Nadya.
"Kamu nggak berangkat? Nanti kesiangan, lho!" Maya lanjut mengingatkan Nadya yang sejak tadi masih berdiri di dekatnya.
"Minggu ini ada praktek bikin piyama anak sama gamis, Bund." Nadya memberi laporan seraya meringis pada sang bunda.
"Beli kain lagi?" Tebak Maya yang sepertinya sudah hafal dengan kebutuhan bahan untuk praktek Nadya.
"Nggak banyak, kok, Bund! Piyama anak butuh satu setengah meter, gamis butuh dua meter. Nanti Nadya belinya ke Beteng Trade Center saja sama teman-teman, biar bisa nawar dan dapat harga miring," tutur Nadya menjelaskan pada sang Bunda.
"Beli di tempatnya Budhe Asih bisa padahal. Kan ada juga itu kain katun motif buat bikin piyama anak," pendapat Maya memberikan saran.
"Motifnya kurang menarik. Rencananya nanti kalau piyamanya udah jadi mau Nadya jual ke tetangga, Bund!" Jawab Nadya memaparkan rencananya pada sang Bunda.
"Bilang aja mau cuci mata juga di BTC!" Maya menyodorkan selembar uang merah pada Nadya yang langsung mengulas senyuman di bibir mungilnya.
"Jangan dihabiskan! Minta nota dan kalau ada kembalian lapor ke Bunda!" Pesan Maya pada Nadya.
"Siap, Bunda! Anak Tata Busana ya jelong-jelongnya ke BTC, Bund! Masa iya mau ke TBK. Memangnya anak Tata Boga," kekeh Nadya seraya menyimpan uang pemberian sang Bunda ke dalam saku.
"Berangkat sana biar nggak telat!" Titah Maya selanjutnya pada sang putri.
"Oke!" Nadya mencium punggung tangan Maya.
"Bye, Bunda!" Pamit Nadya selanjutnya yang langsung membuat Maya berdecak.
"Assalamualaikum!" Maya mengingatkan sang putri.
"Hehe! Iya, Bunda! Assalamualaikum!" Pamit Nadya sedikit cengengesan.
"Walaikum salam! Hati-hati!"
.
.
.
Karya yang ini berdiri sendiri dan memang nggak nyambung ke karya yang sebelum-sebelumnya, ya!
Baik tokoh maupun alurnya sama sekali nggak berhubungan dengan karya othor yang berseri-seri itu 🙄
Terima kasih yang sudah mampir.
Jangan lupa like biar othornya bahagia.
^^^Bang kenek memang nekat^^^
^^^Angkot penuh dibilang muat^^^
^^^Duduknya enam empat^^^
^^^Sudah sempit disuruh merapat.^^^
"Ish! Lagunya kenapa itu lagi!" Keluh Lita yang duduk di samping Nadya yang malah terkikik tak jelas. Lita adalah teman yang biasa berangkat bersama Nadya naik angkutan umum dari rumah menuju ke sekolah.
^^^Supir ngejar setoran^^^
^^^Lama nge-tem nggak jalan-jalan^^^
^^^Bikin penumpang bete^^^
^^^Jadi pengen jejelin pete^^^
Nadya ikut menyanyikan lagi yang di putar di dalam angkot seraya berekspresi lebay pada Lita.
"Apa, sih, Nad! Aku jejelin pete beneran kamu nanti!" Sungut Lita yang malah membuat Nadya semakin tergelak.
^^^Duh aduh sesak panas^^^
^^^Sampai nggak bisa nafas^^^
^^^Yang naik pada sekarat^^^
^^^Mirip pepes ikan sepat^^^
^^^Tak ada ruang bergerak^^^
^^^Dan waktu angkotnya nanjak^^^
^^^Pedal gas udah sampe pol^^^
^^^Angkot mlorot pedalnya dol^^^
^^^Penumpang pun pada teriak^^^
^^^Rasanya pada pengen jitak^^^
^^^Supir dan kenek tetap kompak^^^
^^^Ternyata mereka lebih galak^^^
"Ck! Aku jitak beneran bang supirnya kalau besok lagunya nggak diganti. Nadya udah sampai kesurupan begini," gerutu Lita yang masih terus mengomel sendiri.
"Siapa yang kesurupan? Aku masih waras, Lit!" Sungut Nadya pada temannya tersebut.
"Kalau masih waras ya jangan nyanyi-nyanyi kayak orang gila begitu!" Ujar Lita yang malah balik bersungut pada Nadya.
"Ish! Suka-suka akulah!" Decak Nadya seraya membuka ponselnya yang bergetar di dalam saku rok.
[Pagi, Cantik! Udah sarapan belum?] -Eza-
[Udah, dong! Eza udah sarapan belum?] -Nadya-
Nadya mengetik pesan di ponselnya seraya tersenyum sendiri. Terang saja, hal itu membuat Lita kembali harus memutar bola matanya.
[Udah juga. Hari ini sekolah, ya?] -Eza-
[Iya, dong! Kan siswa teladan] -Nadya-
"Cih, siswa teladan! Telat makan jadi edan?" Celetuk Lita yang rupanya ikut membaca pesan yang diketik oleh Nadya.
"Apa, sih? Dasar kepo!" Cibir Nadya pada Lita.
"Itu Eza yang nomor nyasar dulu itu, ya, Nad?" Tanya Lita lagi masih kepo seraya mengingat-ingat.
"Iya! Dia kan pacar online aku!" Jawab Nadya pamer.
Lita sontak tergelak.
"Pacar online? Kenapa nggak dijadiin pacar offline aja?"
"Nggak ah! Takutnya pas nanti kopi darat ternyata dia udah om-om. Kan nggak lucu!" Ujar Nadya mencari alasan.
"Trus kamu juga masih ngaku-ngaku sebagai anak SMA sebelah?" Tebak Lita lagi yang sepertinya sudah hafal dengan akal bulus Nadya.
"Gengsi kali, kalau ngaku anak SMKK jurusan Tata Busana! Apa kata dunia?" Jawab Nadya dengan nada penuh kesombongan.
"Lah, kenyataannya kan memang anak SMKK! Dasar!" Cibir Lita pada temannya yang gengsian tersebut.
"Udah diam! Penting kan dapat jatah pulsa gratis tiap bulan dari Eza!" Nadya memeletkan lidahnya pada Lita.
"Terserah! Aku mau turun!" Celetuk Lita seraya bangkit dari duduknya dan keluar dari angkot. Rupanya angkot yang ditumpangi Lita dan Nadya sudah tiba di depan sekolah mereka.
Nadya segera ikut turun dan membayar ongkos, lalu setengah berlari ke arah gerbang yang hampir ditutup.
Sudah pukul tujuh kurang lima menit.
****
"Halo, Pak Teddy. Selamat pagi," sapa Maya ramah saat mengangkat telepon dari Pak Teddy, pemilik konveksi dimana Maya mengambil potongan daster atau setelan celana untuk ia jahit di rumah.
"May, daster yang kamu ambil kemarin sudah jadi?"
"Sudah, Pak! Ini baru mau saya antar ke sana. Sekalian mau ambil jahitan yang baru. Sudah ada, kan, Pak?" Maya balik bertanya pada Pak Teddy.
"Iya ada. Ini sudah mau aku antar ke rumah kamu."
"Loh, nggak usah repot-repot, Pak! Nanti saya ambil sendiri ke sana," tolak Maya cepat merasa tak enak hati pada juragannya tersebut yang kerap mengantar jemput jahitan untuk Maya kerjakan. Padahal Maya juga bisa mengambil sendiri ke konveksi.
"Udah, nggak apa-apa! Ini juga sudah mau jalan. Kamu siapkan saja yang sudah jadi, nanti sekalian aku ambil!"
"Iya, Pak! Terima kasih sebelumnya," pungkas Maya sebelum telepon terputus.
Maya hanya menghela nafas, dan bergegas merapikan daster yang sudah selesai ia jahit. Bunda dari Nadya tersebut juga menghitung ulang daster yang sudah ia ikat untuk memeriksa jumlahnya sekali lagi, agar tidak ada yang terselip atau tertinggal.
****
"Nad, jadi ke BTC cari kain?" Tanya Lita saat jam pulang sekolah.
Dua remaja berusia tujuh belas tahun tersebut sedang berjalan beriringan menuju ke arah gerbang sekolah.
"Jadilah! Besok mau motong apa kalau nggak jadi beli kain? Nanti diomeli Bu Guru lagi karena nggak bawa bahan," jawab Nadya yang tetap fokus ke layar ponselnya.
"Chat sama Eza lagi? Suruh jemput gitu sekali-sekali," tanya Lita lagi merasa kepo dan sedikit mengintip ke layar ponsel Nadya. Namun Nadya langsung mematikan layar ponselnya dan melesakkan benda persegi tersebut ke dalam saku seragam.
"Eza kalau siang begini jaga toko. Jadi nggak bisa kemana-mana," terang Nadya memberi penjelasan pada Lita.
"Toko apa? Toko sembako? Asyik tuh, bisa minta jatah sembako sama Eza." Cecar Lita seraya tergelak.
"Lama-lama aku jadi cewek matre, dong! Udah minta jatah pulsa bulanan, masih minta jatah sembako pula," Nadya memutar bola matanya dengan malas.
"Lah kan kamu emang matre," cibir Lita pada Nadya.
"Eh, ada cowok lewat. Rapiin rambut dulu. Kali aja ada yang nyantol," celetuk Lita seraya merapikan rambut keritingnya, saat melihat gerombolan anak STM yang lewat di depan Lita dan Nadya. Sedangkan Nadya hanya cuek dan seolah tak peduli.
Nadya mana doyan sama anak sekolahan?
Teman Lita itu kan sukanya cowok yang udah kerja dan bisa beliin pulsa tiap bulan.
Hahahaha!
Dasar Nadya matre!
"Nggak ada yang nglirik," cibir Nadya menahan tawanya.
Lita sontak merengut.
"Puk, puk, puk! Nanti aku cariin gebetan di BTC. Kali aja ada mas penjual kain yang kepincut sama kamu," kelakar Nadya seraya menepuk-nepuk pundak Lita.
"Lah, mana ada mas-mas penjual kain? Kebanyakan kan ibu-ibu!" Sahut Lita semakin merengut.
"Ya, kali aja ibu-ibunya punya anak bujang. Pedekate dulu sama emaknya kan perlu," ujar Nadya asal yang langsung berhadiah toyoran di kepala dari Lita.
"Udah datang itu busnya! Buru!"
Nadya dan Lita yang sejak tadi berdiri di halte di depan sekolah, segera beranjak berdiri dan naik ke bus kota jurusan BTC.
Beruntung bus sedang tidak penuh, jadi Lita dan Nadya tak perlu berdiri dan bisa duduk dengan nyaman.
.
.
.
Lagu yang diatas itu nyanyinya pakai nada "Pacar Lima Langkah" 🙈🙈
Barangkali ada yang mau baca sambil nyanyi 😅😅
Terimakasih yang sudah mampir.
Jangan lupa like biar othornya bahagia.
Nadya meneguk air putih dari dalam botol minum tupperware yang senantiasa ia bawa.
"Yah, habis!" Gumam Nadya yang masih merasa haus.
Nadya lupa mengisi ulang botolnya sebelum pulang tadi.
"Kamu bawa minum, nggak, Lit?" Tanya Nadya pada Lita yang berdiri di sampingnya.
"Nggak!"
"Ngapain juga ribet-ribet kalau banyak yang jual," jawab Lita seraya menyeka keringat di dahinya dengan tisu.
Kedua remaja tersebut masih berdiri di pintu samping gedung BTC dan belum ada niatan untuk masuk.
"Beliin! Aku masih haus," Nadya menyodorkan uang lima ribuan pada Lita.
"Ish! Aku juga yang disuruh." Lita menghentak-hentakkan kakinya ke tanah sebelum berlalu meninggalkan Nadya dan membeli air mineral ke pedagang asongan di sekitar pusat sandang di kota Solo tersebut.
"Yaelah! Sok-sokan ngambek, tapi jalan juga," gumam Nadya yang selanjutnya memilih untuk duduk sebentar di undakan yang ada di pintu masuk sembari menunggu Lita kembali.
Nadya kembali memeriksa ponselnya untuk melihat pesan yang masuk.
[Udah pulang, Cantik?] -Eza-
[Masih di toko buku, nyari materi buat tugas] -Nadya-
Nadya nyengir seraya memeletkan lidahnya sendiri saat mengirim pesan bohong tadi pada Eza.
Apaan toko buku?
Toko kain aja bilang toko buku!
"Ngapain senyum-senyum sendiri, Nad? Udah kayak orang sinting!" Cibir Lita seraya menyodorkan botol air mineral label biru ukuran tanggung pada Nadya.
"Siapa juga yang senyum-senyum sendiri! Aku kan emang murah senyum," sahut Nadya mencari alasan.
"Murah senyum tapi nggak tahu tempat. Yang nggak tahu kan mikirnya kamu sinting!" Kikik Lita seraya menuruni tangga dan menyusuri lorong di antara deretan penjual kain aneka rupa di dalam BTC.
"Resek kamu, Lit!" Sungut Nadya kesal yang sudah berlari menyusul langkah Lita.
"Mau nyari disebelah mana ini?" Tanya Lita yang masih terus melangkah keluar masuk lorong.
"Nggak tahu! Cari yang murah bisa ditawar setengah harga sama yang penjualnya ganteng kalau ada," jawab Nadya asal.
"Ngelunjak!" Decak Lita yang hanya membuat Nadya terkikik.
"Eh, itu motifnya bagus-bagus, Lit!" Nadya menunjuk ke satu lapak penjual kain, dimana banyak kain katun berukuran lebar dengan motif lucu khas anak-anak.
"Itu kain sprei, Dodol!" Lita menoyor kepala Nadya.
"Tapi lucu-lucu, ih! Di pakai bikin piyama anak kan bisa juga." Jawab Nadya cengengesan.
"Ya nggak bisa! Nanti disuruh Bu Guru nyanggitin motifnya, kamu nangis!" Cibir Lita yang semakin membuat Nadya tergelak hingga gadis itu tak sengaja menabrak seorang mas penjual kain yang sedang melayani pembeli di salah satu lapak.
"Ya ampun!" Pekik Nadya saat mas penjual kain tadi nyungsep ke dalam tumpukan roll kain dan membuatnya rubuh.
"Nad!" Lita menutup kedua matanya dengan telapak tangan seolah tak berani untuk melihat. Sedangkan Nadya hanya mematung di tempatnya dan memejamkan matanya karena takut.
"Kalau bercanda lihat tempat dong, Dek!" Tegur Mas penjual kain yang tadi Nadya tabrak.
Ya ampun!
Suaranya halus dan lembut.
Nadia membuka kelopak matanya sedikit-sedikit, seolah hendak mengintip mas bersuara lembut tadi.
"Kelilipan matanya?" Tanya Mas berkaus abu-abu itu lagi.
Suaranya masih lembut dan halus. Dan wajah masnya juga putih bening.
Ya ampun!
Apa mas ini benar-benar penjual kain?
Kenapa nggak jadi artis aja, ya?
Ganteng begitu padahal.
"Eh, enggak kok, Mas!" Nadya meringis dan buru-buru membantu membenarkan keranjang tempat kain yang berantakan.
Tak lupa, Nadya juga mencolek Lita agar ikut membantu.
"Saya benar-benar minta maaf, Mas! Tadi itu nggak sengaja," ucap Nadya berbasa-basi masih sambil merapi-rapikan gulungan kain yang tadi sempat rubuh.
Padahal udah dirapiin masnya dengan cekatan, dan Nadya memang hanya berbasa-basi.
"Yaudah, lain kali hati-hati!" Pesan mas penjual kain lagi tanpa ada sedikitpun raut kemarahan di wajahnya.
Ya ampun!
Calon suami idaman kayaknya!
Eh, tapi udah punya istri belum, ya?
Kelihatan udah dewasa.
"Mau cari kain apa? Anak SMKK, ya?" Tebak mas penjual kain lagi seraya mengendikkan dagunya ke rok kotak-kotak Nadya dan Lita yang memang menjadi ciri khas dari sekolah mereka.
Yah, ketahuan, deh!
Tapi nggak apa-apalah?
Kali aja bisa langganan kain disini.
Kelihatannya lengkap.
"Itu ada, Nad!" Lita berbisik-bisik dan menunjuk ke deretan kain katun motif yang terlihat lucu-lucu.
"Eh, iya! Beli disini sekalian aja!" Jawab Nadya ikut berbisik-bisik pada Lita.
"Res! Kain oxford warna hitam mana?" Seru seorang pria kain dari sisi lain toko.
Sepertinya tengah bertanya pada mas ganteng yang Nadya tabrak tadi.
"Habis, Mas! Tadi ada yang ngambil satu roll, dan belum ambil ke gudang lagi," Jawab mas ganteng ikut-ikutan berseru pada temannya.
Res?
Namanya Mas Res ternyata.
Restu?
Atau jangan-jangan Resek?
"Mas Res, kain katun motifnya berapaan?" Tanya Nadya akhirnya yang ikut memanggil mas penjual kain itu dengan sebutan Mas Res.
Nggak tahu kepanjangannya apa.
"Yang mana?" Mas Res menuju ke deretan kain katun aneka motif.
Sepertinya ada dua jenis kain dan lebarnya juga berbeda.
"Yang ini sepuluh ribu per meter lebar sembilan puluh."
"Kalau yang lebar seratus dua puluh harganya dua belas ribu permeter," terang Mas Res seraya menunjuk ke deretan kain yang berbeda ukuran tersebut.
"Trus manggilnya jangan Mas Res, dong, Dek! Nggak enak banget dengarnya," sambung Mas Res lagi yang sontak membuat Nadya dan Lita yang sedang memilih motif kain sedikit salah tingkah.
"Memang nama masnya siapa?" Tanya Nadya to the point.
"Reza." Mas Res yang ternyata bernama Mas Reza itu mengulurkan tangannya pada Nadya sebagai tanda perkenalan.
"Nadya."
"Lita!" Nadya dan Lita menjabat tangan Reza bersamaan.
"Jadi kainnya mau motif yang mana?" Tanya Reza selanjutnya pada Nadya dan Lita yang terlihat melongo.
"Yang ijo!" Jawab Nadya to the point.
"Ijo yang mana? Itu banyak yang warna ijo!" Bisik Lita pada Nadya yang sepertinya masih terperangah dengan ketampanan Mas Reza penjual kain.
"Ijo beruang bagus, Lit! Kamu mau yang beruang juga?" Nadya balik bertanya pada Lita.
"Nggak, ah! Aku mau yang pink hello kitty. Keponakan aku kan cewek," jawab Lita menunjuk ke kain motif hello kitty warna pink. Sepertinya Lita akan memberikan piyama hasil karyanya nanti pada sang keponakan.
Nadya segera menyampaikan motif pilihannya dan pilihan Lita pada Reza yang langsung memotong kain dengan cekatan.
"Nggak ada diskonnya, Mas? Kan belinya banyak," Rayu Nadya saat hendak membayar.
"Udah paling murah itu, Dek! Coba keliling cari yang motifnya cantik begitu, pasti diatas sepuluh ribu harganya," tutur Reza yang langsung memberikan uang kembalian untuk Nadya dan Lita.
"Iya juga, sih! Di toko kain yang paling murah lima belas ribu per-meter. Udah gitu yang jual nggak seganteng ini," gumam Nadya pada Lita yang entah didengar entah tidak.
Entahlah!
"Eh, yang buat gamis nggak sekalian nanya, Nad?" Lita mengingatkan Nadya saat keduanya hendak meninggalkan toko Mas Reza ganteng.
"Kok bisa lupa, sih?" Nadya menepuk keningnya sendiri dan dua remaja itu segera berbalik dan bertanya-tanya lagi pada Reza tentang kain untuk gamis yang harganya miring tapi nggak licin.
Ribet juga kalau dapat kain yang licin. Pas dipotong suka lari-lari, terus pas dijahit juga nyusahin. Dan semua itu, hanya anak tata busana yang paham.
.
.
.
Terima kasih yang sudah mampir.
Jangan lupa like biar othornya bahagia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!