Hujan baru selesai mengguyur bumi, saat dua sejoli sedang berpagutan di dalam mobil yang terparkir di pinggir jalan di salah satu sudut kota.
"Ayo kita pulang, Erlan!" Ajak Felichia sekali lagi entah sudah yang ke berapa kali.
Erlan masih aktif menyusuri lekuk wajah serta bagian atas tubuh Felichia. Bau akohol sedikit menguar dari mulut suami Felichia tersebut, namun Felichia tak terlalu mempermasalahkannya.
Erlan dan Felichia memang baru pulang dari acara pesta perusahaan Alexander Group.
Erlan yang tadi bertemu dengan Dean Alexander, putra tunggal dari pemilik perusahaan raksasa itu tak bisa menahan diri untuk tak ikut minum. Erlan dan Dean adalah teman baik sejak dulu. Namun belakangan ini, Erlan dan Dean jarang berjumpa karena Dean dan istrinya menetap di luar negara.
"Kau tahu, aku baru saja membaca sebuah artikel," gumam Erlan tiba-tiba yang masih aktif mencecap leher Felichia hingga istrinya itu menggeliat kegelian.
"Artikel apa?" Felichia menahan geli di permukaan kulitnya karena kecupan dari Erlan.
"Kata artikel itu, kalau pasangan suami istri bercinta di dalam mobil. Maka akan lebih cepat hamil ketimbang pasangan suami istri yang bercinta di atas ranjang," tutur Erlan yang langsung membuat Felichia tergelak.
"Itu artikel yang menipu, Erlan!" Felichia masih tak berhenti tergelak.
"Tapi tidak ada salahnya kita coba," Erlan yang duduk di samping kursi pengemudi dan sudah melepaskan sabuk pengamannya sejak tadi, mulai mencondongkan tubuhnya ke arah Felichia yang memang duduk di kursi pengemudi.
Kondisi Erlan yang setengah mabuk, membuat Felichia merasa tidak yakin kalau suaminya ini yang mengemudikan mobil. Jadilah, sejak meninggalkan lokasi acara, Felichia memilih untuk mengemudi dan membiarkan Erlan duduk saja di sebelahnya.
"Erlan, kita sedang di pinggir jalan." Felichia mengingatkan Erlan tentang posisi mereka saat ini.
"Tidak ada yang lihat. Ini sudah lewat tengah malam," jawab Erlan seraya mengerling nakal pada Felichia.
Erlan mulai menurunkan tali gaun dari pundak Felichia, saat tiba-tiba gerakan pria itu tertahan oleh sabuk pengaman Felichia yang masih terpasang.
"Lepaskan!"
Tangan Erlan baru saja akan melepas sabuk pengaman Felichia saat tiba-tiba sebuah guncangan yang sangat keras menghantam mobil Erlan. Guncangan itu begitu keras, hingga membuat tubuh Erlan yang tak mengenakan sabuk pengaman terpelanting ke depan, menabrak kaca depan mobil hingga pecah, lalu kepala dan setengah tubuh Erlan jatuh di atas kap depan mobil.
Sedangkan Felichia yang masih mengenakan sabuk pengaman, tubuhnya tertahan oleh airbag mobil yang langsung terbuka, meskipun wanita itu juga langsung pingsan karena kepalanya terbentur stir mobil. Namun kondisi Felichia tidak separah Erlan yang kini bersimbah darah di atas kap depan mobil.
Tak berselang lama, suara sirine ambulans merobek keheningan malam dan berpacu dengan waktu membawa pasangan suami istri tersebut ke Unit Gawat Darurat rumah sakit terdekat.
Malam kembali hening di lokasi kejadian, menyisakan mobil warna hitam milik Erlan yang kini ringsek di bagian belakang karena di hantam oleh truk sampah yang hilang kendali, serta kaca depannya yang hancur karena di hantam oleh kepala dan tubuh Erlan.
****
Felichia kembali merasakan guncangan hebat yang menghantam mobilnya, lalu bayangan tubuh Erlan yang menghantam kaca depan mobil sebelum kemudian tubuh suaminya tersebut setengah keluar ke atas kap depan mobil.
Semua kejadian itu terus berputar di kepala Felichia seperti sebuah kaset yang diputar berulang kali.
"Tidak!" Felichia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidaaak!"
"Erlan!"
Felichia membuka matanya dengan nafas yang terengah-engah. Kepalanya berdenyut sakit dan sekujur tubuh Felichia terasa remuk redam seolah semua tulangnya baru saja patah. Felichia menatap ke arah langit-langit ruangan yang semuanya berwarna putih ada botol infus juga yang tergantung di atas kepala Felichia, dan kepala Felichia kembali berdenyut sakit.
Felichia mencoba menggerakkan tangan kanannya yang begitu nyeri, saat wanita itu menyadari kalau tangannya sedang di gips sekarang.
Apa?
Beralih ke tangan kiri, Felichia menemukan jarum infus yang terpasang di tangan kirinya tersebut yang juga membuat nyeri. Felichia ganti menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri, namun tak ada seorangpun di ruangan tersebut dan Felichia hanya sendirian.
Dimana Erlan?
Bagaimana kondisi Erlan?
Apakah suami Felichia itu baik-baik saja?
Felichia masih larut pada lamunannya, saat suara pintu ruangan yang dibuka dari luar membuat Felichia sedikit tersentak. Seorang perawat yang berpakaian serba putih, memeriksa selang infus Felichia dan memasang senyuman hangat.
"Anda sudah bangun, Nona?" Tanya perawat tersebut yang segera menekan tombol di atas bed perawatan, lalu berbicara pada seseorang di ujung interkom yang intinya memberitahunkalau Felichia sudah bangun dan sadar.
"Suster," panggil Felichia lirih pada perawat tersebut.
"Iya, Nona! Anda butuh sesuatu?
"Saya tidur berapa lama? Lalu, dimana suami saya?" Tanya Felichia to the point karena saat ini Felichia begitu mencemaskan kondisi Erlan.
"Anda tidur hampir dua hari dua malam, Nona." Terang perawat yang tentu saja membuat Felichia kaget.
Felichia bahkan masih bisa mengingat dengan jelas guncangan keras yang meringsekkan mobil Erlan.
"Suami saya? Dia dimana, Suster?" Tanya Felichia tak sabar.
"Tuan Erlan masih berada di ICU, Nona! Kondisinya masih belum stabil," tutur perawat itu yang langsung meremukkan hati Felichia.
Tidak!
Erlan pasti akan bisa melalui semua ini!
Erlan pasti juga hanya tidur sebentar sama seperti Felichia.
"Anda butuh sesuatu, Nona?" Tawar perawat lagi pada Felichia yang kini menatap kosong ke langit-langit kamar perawatan.
"Tidak," jawab Felichia seraya menggeleng lemah.
"Saya permisi kalau begitu, Nona. Anda bisa menekan tombol ini jika butuh sesuatu. Saya letakkan di dekat tangan anda!" Ujar perawat seraya menunjukkan tombol panggil berwarna putih pada Felichia.
Felichia hanya mengangguk samar karena kini jiwa Felichia tidak sedang berada di tempatnya. Felichia ingin melihat Erlan sekarang. Felichia ingin memastikan kondisi Erlan.
Perawat sudah keluar dari kamar perawatan Felichia, dan kini suasana kamar kembali hening. Felichia menatap nanar pada botol infus yang meneteskan cairan.
Satu...
Dua...
Tiga...
Felichia menghitung dalam hati cairan demi cairan yang menetes dari botol infus, lalu masuk ke dalam selang panjang dan berakhir ke dalam pembuluh darah Felichia.
Felichia memejamkan matanya, bersamaan dengan pintu kamar perawatan yang menjeblak terbuka. Seorang wanita paruh baya masuk ke dalam kamar perawatan dan kembali menutup pintu dengan kasar.
Wanita itu menatap marah pada Felichia yang hanya bergeming.
"Dasar wanita sialan!" Maki wanita paruh baya tersebut seraya menampar pipi Felichia dengan keras.
"Keparat! Pembawa sial!"
"Enyah kau ke neraka!" Teriak wanita paruh baya itu lagi seolah sedang kesetanan. Tangan wanita itu kini sudah berada di leher Felichia dan mencekik Felichia sebelum sebuah suara menghentikan semuanya.
"Mama, hentikan!"
.
.
.
Halo!
Kita ketemu lagi di cerita lanjutan dari cerita sambung menyambung yang sebelumnya. Cerita ini masuk ke seri spin off.
Lebih lengkapnya tentang seri dari karya-karya othor bisa di cek di kolom komentar.
Terima kasih yang masih setia mengikuti karya receh othor.
Jangan lupa like biar othornya bahagia.
Felichia sudah nyaris kehilangan nafasnya akibat cekikan dari sang mama mertua, saat tiba-tiba sang papa mertua masuk ke dalam kamar perawatan dan menyelamatkan Felichia.
"Hentikan, Ma!" Ucap pria paruh baya yang biasa Felichia sapa sebagai Papa tersebut dengan nada galak.
Itulah Papa Panji Prakasa yang merupakan papa kandung Erlan Prakasa, suami Felichia.
"Mama mau menjadi seorang pembunuh, lalu dijebloskan ke penjara?" Cecar papa Panji lagi memperingatkan mama Astri yang memang mudah sekali tersulut emosinya.
"Erlan kritis karena wanita sialan ini, Pa!" Mama Astri sudah ganti menangis histeris sekarang dan menghambur ke pelukan Papa Panji.
"Dasar wanita pembawa sial!" Maki mama Astri sekali lagi pada Felichia yang matanya juga sudah berkaca-kaca.
"Maafkan Feli, Ma!" Lirih Felichia dengan suara yang terbata-bata.
"Kenapa bukan kau saja yang sekarat atau mati sekalian?" Mama Astri menunjuk - nunjuk ke arah Felichia dengan emosi yang meluap-luap.
"Sudah, Mama! Sudah!" Papa Panji berusaha menghentikan sang istri yang sudah seperti orang kesetanan.
"Ayo kita keluar!" Ajak Papa Panji sedikit menyeret sang istri untuk keliar dari kamar perawatan Felichia.
Felichia hanya bisa menangis tergugu sekarang, meratap nasibnya yang menyedihkan sejak awal pernikahannya dengan Erlan.
****
Flashback tiga bulan sebelumnya.
Felichia mengeratkan gamitannya pada lengan Erlan, saat pria itu mengajak Felichia ke rumahnya dan bertemu dengan kedua orangtuanya untuk pertama kali. Felichia benar-benar grogi.
"Erlan, bagaimana nanti kalau Mama dan Papa kamu mengusirku?" Tanya Felichia merasa khawatir.
"Mereka tidak akan mengusirmu, Feli! Mereka akan merestui hubungan kita," jawab Erlan penuh percaya diri.
Felichia menarik nafas panjang berulang kali sebelum mengikuti langkah Erlan masuk ke dalam rumah bergaya skandinavian tersebut.
"Sore, Ma, Pa!" Sapa Erlan pada kedua orang tuanya yang rupanaya sudah menunggu kedatangan Erlan dan Felichia.
"Selamat sore, Om, Tante!" Felichia ikut menyapa kedua orang tua Erlan seraya menunduk dengan segan.
"Dia siapa, Erlan?" Tanya Mama Astri to the point seraya menatap remeh ke arah Felichia.
"Dia Felichia, Ma! Kekasih Erlan yang tadi malam Erlan ceritakan ke Mama dan Papa," jawab Erlan sedikit menjelaskan.
Mama Astri bangkit dari duduknya, lalu menghampiri Felichia dan memindai secara terang-terangan penampilan gadis tersebut dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Nama lengkap kamu?" Tanya Mama Astri menyelidik.
"Felichia," jawab Felichia menjaga nada bicara agar tetap terdengar sopan.
"Felichia saja? Nama keluarga? Kau berasal dari keluarga yang sepadan dengan Erlan, kan?" Cecar mama Astri penuh selidik.
Felichia menggeleng lemah.
"Apa pentingnya nama keluarga dan status sosial, Ma? Erlan dan Feli saling mencintai, dan kami akan menikah!" Ucap Erlan dengan tegas dan lantang.
"Jangan berteriak di depan mamamu, Erlan!" Sergah papa Panji yang sejak tadi hanya diam. Pria paruh baya tersebut memperingatkan sang putra untuk menjaga sopan santun.
"Mama tidak mau punya menantu seorang gadus miskin, Erlan!"
"Navya lebih segalanya ketimbang gadis kampungan ini!" Mama Astri kembali mencela Felichia yang hanay tertunduk dan diam.
Felichia mengepalkan erat tangannya dan berusaha mengendalikan emosinya agar tak meledak.
"Erlan akan tetap menikah dengan Felichia, Ma! Dengan atau tanpa restu dari amama dan Papa!" Ucap Erlan keras kepala.
"Erlan! Jangan keras kepala! Atau-"
"Atau apa? Papa mau mengusir Erlan keluar dari rumah ini?" Erlan memotong kalimat sang papi.
"Baiklah! Erlan keluar hari ini!" Lanjut Erlan tetap denagn nada tegas dan berani.
"Erlan!" Mama Astri berusaha melepaskan tangan Erlan yang menggenggam erat tanga Felichia.
"Erlan jangan keras kepala!" Teriak Mama Astri marah.
"Mama itu yang keras kepala karena memaksa Erlan untuk menikah Navya Orlando! Erlan hanya mencintai Felichia, jadi Erlan hanya akan menikah dengan Felichia!" Ucap Erlan sekali lagi tetap keras kepala.
"Ayo, Feli!" Erlan yang sejak tadi menggenggam tangan Felichia langsung menarik kekasihnya tersebut untuk keluar dari ruamh kedua orangtuanya.
"Erlan!" Panggil Mama Astri berteriak pada Erlan yang kears kepala.
Namun Erlan tetap acuh dan melanjutkana langkahnya untuk terus menjauh dari rumah besar tersebut.
"Erlan!" Felichia berusaha menahan langkah Erlan.
"Erlan, kita tidak bisa begini! Kita tidak bisa menikah!" Ucap Felichia yang langsung membuat Erlan menghentikan langkahnya.
"Erlan, kita harus meminta restu dari papa dan mama kamu," nasehat Felichia lembut.
"Aku seorang pria dewasa! Aku tak butuh persetujuan dari Mama dan Papa untuk menikah!" Jawab Erlan tetap keras kepala.
"Tapi-"
Erlan meletakkan telunjuknya di bibir Felichia.
"Kita tetap akan menikah dengan atau tanpa restu dari mama dan papa. Aku mencintaimu!" Ucap Erlan sebelum pria itu mengecup bibir Felichia.
Dan semua adegan mesra di sejoli tersebut, rupanya tak luput dari tatapan marah mama Astri.
"Kau tidak akan pernah bahagia bersama wanita miskin itu, Erlan!"
Batin Mama Astri penuh kebencian.
Flashback off
****
Felichia masih menangis tergugu di atas bed perawatan. Tak ada tempat berkeluh kesah, karena sejak sepuluh tahun yang lalu, Felichia memanglah seorang gadis sebatang kara yang tak lagi punya orang tua.
Setelah kedua orang tuanya meninggal, Felichia sempat tinggal bersama sang paman, meskipun rasanya begitu menyakitkan. Felichia harus bekerja keras membantu sang bibi menjadi buruh cuci sepulang sekolah atau dirinya tak akan mendapatkan jatah makan.
Itu juga yang menjadi alasan Felichia kabur dari rumah sang paman dan bibi setelah dirinya tamat SMA. Bermodalkan ijazah SMA, Felichia melamar kerja di toko atau pekerjaan apa saja asalkan bisa menghasilkan uang.
Hingga akhirnya Felichia menjadi seorang pramuniaga di sebuah toko dan menjadi awal pertemuannya denga Erlan. Bermula dari sikap mulia Felichia yang menyimpan serta mengembalikan dompet Erlan yang tertinggal di toko, akhirnya membuat Erlan dan Felichia menjadi akrab, lalu keduanya menjalin hubungan hingga akhirnya menjadi sepasang kekasih.
Sayangnya, jalinan cinta keduanya harus terhalang oleh restu dari kedua orang tua Erlan yang menginginkan menantu dari keluarga kaya dan terpandang agar sepadan dengan Erlan. Dan Felichia tidak pernah memenuhi semua kriteria tersebut.
Meskipun pada akhirnya Erlan tetap keras kepala dan menikahi Felichia, namun kecelakaan yang baru saja menimpa Erlan dan Felichia, sepertinya akan menjadi akhir dari pernikahan Erlan dan Felichia yang bahkan belum genap tiga bulan.
Cepatlah bangun, Erlan!
Kamu pasti kuat!
Kamu harus kuat!
.
.
.
Terima kasih yang sudah mampir.
Jangan lupa like biar othornya bahagia.
Ting tong!
Suara bel apartemen Erlan, mengagetkan Felichia dan Erlan yang sedang memadu kasih di ruang tengah apartemen.
Erlan melirik sejenak ke arah jam dinding yang tergantung di ruang tengah. Sudah hampir pukul sembilan malam. Siapa yang bertamu malam-malam begini?
"Pakai bajumu! Aku akan membuka pintu!" Titah Erlan pada Felichia sebelum pria itu bangkit dari atas sofa. Erlan mengecup bibir Felichia sekilas, lalu memakai celana dan kausnya dengan cepat sebelum berjalan ke ruang depan dan membuka pintu.
"Papa!" Gumam Erlan terkejut saat mendapati sang papa yang berdiri di luar pintu apartemennya.
Sejak menikah dengan Felichia, Erlan memang belum berkunjung ke rumah kedua orang tuanya lagi.
"Maaf mengganggu malam-malam begini. Papa ingin bicara hal penting, Erlan," ucap Papa Panji to the point menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke apartemen Erlan.
"Silahkan masuk, Pa!" Erlan akhirnya mempersilahkan sang papa untuk masuk meskipun sedikit canggung.
Bapak dan anak tersebut sudah duduk berhadapan di sofa ruang tamu.
"Papa ingin bicara apa?" Tanya Erlan yang memilih untuk tak berbasa-basi lagi.
Erlan sudah ingin memeluk Felichia sekarang.
"Datanglah ke acara ini dan temui Dean Alexander!" Papa Panji meletakkan sebuah undangan warna silver di atas meja ruang tamu.
"Dean masih berada di luar negara, Pa!" Sergah Erlan cepat.
Dean dan Erlan adalah sahabat baik saat kuliah. Hingga detik ini keduanya juga masih saling bertukar kabar meskipun sudah tak terlalu sering karena sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
"Dia sudah pulang! Ini adalah pesta penyambutan kepulangan Dean," tutur Papa Panji menjelaskan pada Erlan.
"Lalu kenapa Papa meminta Erlan untuk menemui Dean? Kenapa bukan Papa sendiri saja yang menemuinya?" Tanya Erlan tak mengerti.
"Kau sahabat baik Dean! Ingat?"
Erlan berdecak mendengar jawaban sang Papa.
"Kantor pusat sedang bermasalah jika kau ingin tahu, Erlan!" Papa Panji akhirnya mengatakan yanh sesungguhnya.
"Untuk saat ini mungkin kantor cabang yang sedang kamu pegang belum terkena dampaknya. Tapi satu atau dua minggu lagi, semua akan merasakan."
"Ini bukan sebuah masalah kecil! Kondisi benar-benar sedang tidak baik," raut wajah Papa Panji benar-benar menunjukkan kalau masalah ini serius.
"Kita butuh bantuan dari perusahaan sebesar Alexander Group! Atau ddmua kerja keras yang dibangun oleh kakaekmu akan lenyap dan gulung tikar," tutur Papa Panji menunjukkan raut penuh harap pada Erlan.
"Semuanya tidak mungkin gratis, Pa! Sekalipun Dean adalah sahabat baik Erlan, tapi-"
"Nanti kita usahakan syarat yang diajukan oleh Alexander Group! Yang terpenting sekarang adalah, kita harus menyelamatkan perusahaan kita, Erlan!" Sela Papa panji memotong kalimat Erlan.
Erlan akhirnya mengangguk dengan berat hati.
Sekalipun Erlan adalah sahabat baik Dean, Erlan sebenarnya sangat enggan bekerja sama dalam hal bisnis dengan pria itu. Erlan tentu sudah paham bagaimana sifat Dean di dunia bisnis.
"Undangan ini untuk dua orang." Papa Panji kembali menunjuk ke undangan silver yang tegeletak dinatas meja.
"Kau bisa pergi bersama istrimu yang mis-"
"Namanya Felichia, Pa!" Potong Erlan yang merasa tak terima sang Papa menghina Felichia.
"Ya! Felichia! Dimana dia sekarang? Bersembunyi karena takut pada Papa?" Papa Panji menatap tajam ke arah Erlan seraya tertawa mengejek.
"Papa hanya akan menghina, merendahkan, dan mencercanya jika dia keluar sekarang!" Erlan membalas tatapan tajam sang papa.
Pria paruh baya itu hanya mendengus dan tersenyum miring.
"Papa bisa pulang jika urusan Papa di sini sudah selesai," Erlan mengusir halus sang Papa.
"Papa akan memastikan kau datang ke pesta Dean besok malam!" Papa Panji mengingatkan sekali lagi.
"Nasib perusahaan bergantung padamu, Erlan!"
"Erlan akan datang!" Jawab Erlan tegas dan lantang
"Baiklah! Papa akan pulang!" Papa Panji akhirnya bangkit dari duduk dan berjalan ke arah pintu utama apartemen. Erlan langsung menutup dan mengunci pintu, setelah kepergian sang papa.
"Apa ada masalah, Sayang?" Tanya Felichia yang sudah kekuar dari dalam kamar saat Erlan kembali ke ruang tengah.
"Tidak ada! Papa hanya minta kita datang ke pesta perusahaan Alexander Group," jawab Erlan seraya menunjukkan undangan silver mewah yang tadi dibawa sang papa pada Felichia.
"Kau akan datang sendiri?" Tanya Felichia.
"Kita kan datang berdua," jawab Erlan seraya mengecup bibir Felichia.
Dua sejoli itupun saling menjatuhkan tubuh ke atas sofa ruang tengah dan melanjutkan pergelutan mereka yang tadi sempat tertunda.
****
Felichia menatap pilu pada tubuh Erlan yang kini terbaring tak berdaya di dalam kamar perawatan. Berbagai kabel yang terhubung ke layar monitor, hampir memenuhi seluruh tubuh Erlan. Kepala Erlan juga terlihat diperban, dan ada beberapa luka juga di wajahnya.
Kata perawat, Erlan sudah melewati masa kritisnya. Namun sekarang, suami Felichia tersebut dinyatakan koma dan belum bangun. Felichia ingin masuk ke dalam kamar pearwatan dan memeluk tubuh Erlan, tapi rasanya mustahil, mengingat adanya Mama Astri dan Papa Panji di dalam kamar perawatan.
Mereka pasti tak akan mengizinkan Felichia untuk masuk ataupun menemui Erlan. Mereka bahkan menganggap Felichia yang telah menyebabkan Erlan menjadi seperti ini. Felichia yang malam itu duduk di kursi pengemudi seolah menjadi tersangka utama. Padahal jelas-jelas itu sebuah kecelakaan dan Felichia juga tidak tahu menahu tentang truk sampah yang hilang kendali.
Pintu kamar perawatan tiba-tiba di buka dari dalam, dan Felichia yang sedari tadi masih berdiri di depan pintu sontak terkejut. Felichia beringsut mundur saat melihat Mama Astri yang kini sedang menatap marah ke arahnya.
"Sedang apa kau disini? Mau mencelakakan Erlan lagi?" Tuduh Mama Astri seraya mendorong pundak Felichia.
"Feli hanya ingin melihat Erlan, Ma!" Jawab Felichia dengan raut memohon.
"Tidak usah sok peduli! Kau yang sudah membuat Erlan menjadi seperti itu! Kau yang sudah hampir menghilangkan nyawa Erlan! Dasar wanita miskin tak tahu diuntung!" Maki Mama Astri pada Felichia.
"Itu kecelakaan, Ma!" Sergah Felichia mencari pembenaran.
"Kecelakaan? Jelas-jelas kau yang duduk di kursi pengemudi dan tak memarkirkan mobil dengan benar!"
"Dasar wanita pembawa sial!" Maki mama Astri sekali lagi.
"Harusnya kau saja yang terbaring di atas bed perawatan itu, dan bukan Erlan!" Mama Astri terus meluapkan emosinya pada Felichia yang hanya menangis tergugu. Saat kemudian sebuah suara membuat raut wajah mama Astri berubah.
"Selamat siang, Nyonya Prakasa! Apa semuanya baik-baik saja?"
Mama Astri berbalik dan segera memasang senyuman hangat pada pria tinggi besar di hadapannya.
"Dean Alexander!"
"Saya dengar Erlan mengalami kecelakaan, Nyonya," tanya Dean yang nada suaranya terdengar begitu sopan.
Felichia yang masih berdiri di dekat Dean dan Mama Astri buru-buru menghapus airmata di wajahnya.
"Ya. Erlan masih koma, Nak Dean!" Wajah Mama Astri sudah berubah menjadi melas sekarang.
"Silahkan masuk!" Mama Astri akhirnya mempersilahkan Dean untuk masuk ke dalam kamar perawatan Erlan.
Felichia ingin ikut masuk, namun delikan tajam dari mama Astri langsung membuat wanita itu mengurungkan niatnya.
Felichia hanya menatap sendu pada pintu kamar perawatan Erlan yang kini sudah tertutup rapat. Wanita itu akhirnya berbalik pergi dan kembali ke kamar perawatannya sendiri.
.
.
.
Mengingatkan kembali, paragraf yang dicetak miring berarti kejadian masa lampau atau flashback atau bayangan kejadian masa lalu.
Terima kasih yang sudah mampir.
Jangan lupa like biar othornya bahagia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!