NovelToon NovelToon

Cinta Ada Karena Terbiasa

Hidup tapi mati

halo readers

selamat dtng di lapakku

aq mohon dukungannya buat karyaku yg satu ini.

please like n komen jika berkenan

happy reading dan smoga kalian suka

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Di rumah Suwarman

 

"Ekkheemm, yang bentar lagi sold out."

Ninis, teman dari sang pengantin wanita, Shilla Anggila Suwarman. Ninis menggoda Shilla yang sudah siap dengan gaun pengantin putihnya. Hari ini Shilla akan menikah dengan orang yang sudah bersamanya selama lima tahun berpacaran. Shilla hanya tersenyum simpul menanggapi godaan temannya.

Hari ini, mereka akan menggelar pernikahan mewah, yang dihadiri oleh keluarga kecil Shilla dan keluarga besar Jody Kurnia sang mempelai pria. Shilla hanya hidup berdua dengan ayahnya sejak kecil. Ibunya dibawa paksa oleh sang kakek untuk dinikahkan dengan pria pilihan kakek Shilla, karena kakek Shilla tak merestui ibunya Shilla menikahi ayahnya Shilla. Karena sang ayah yang saat itu hanya penjual baju di pasar malam. Tapi, sang ibu memilih bunuh diri ketika dia dinikahkan dengan seorang lelaki yang tidak dicintainya.

Dan karena hal itulah ayahnya Shilla takut, jika nanti putrinya mengalami hal yang sama dengan dirinya. Tidak direstui oleh keluarga pasangannya kelak. Ayahnya Shilla lalu mencoba beralih profesi, dengan uang pinjaman dari sahabatnya yang tinggal di kota C. Dengan uang pinjaman itu ayahnya Shilla membuka usaha toko baju, di sebuah pusat perbelanjaan kota S. Toko baju itu berkembang pesat. Setelah tiga tahun, tokonya memiliki dua cabang. Setelah lima belas tahun, ayahnya mendirikan butik atas nama Shilla.

 

"Bagaimana perasaanmu, Sayang? Gugup?" tanya seseorang bersuara berat dan lembut. Dia berjalan masuk ke ruang rias pengantin. Pemilik suara berat dan lembut itu adalah Suwarman, sang ayah yang akan mengantarnya menuju altar pernikahan.

"Iya, Pah! Shilla sangat gugup! Keluarga Mas Jody sudah sampai belum, Pah?" Shilla bertanya pada ayahnya.

"Kenapa? Sudah tak sabar jadi istrinya Mas Jody mu itu, hehe." Ayahnya menggoda Shilla.

"Ga gitu, Pah!" Shilla merengut digoda ayahnya.

Keluarga Jody masih di jalan, sekitar lima belas menit dari rumah Shilla. Jody dan keluarganya membawa rombongan tiga mobil, mobil pengantin diisi Jody dan Amel, adik perempuan Jody dan Pak Jono sebagai sopir. Mobil pengantin dilajukan paling depan, mobil kedua dan ketiga membawa paman dan keluarganya. Sedang ayah dan ibunya sudah lebih dulu tiba di rumah keluarga Suwarman. Saat mobil yang ditumpangi Jody berhenti di lampu merah, dua buah sepeda motor berhenti disamping mobil.

 Doorr! Doorr!

***

"Jod, Jody bertahan Jod. Paman akan cari bantuan," ucap pamannya dengan cemas dan kalut. Bibinya Jody yang masih di dalam mobil belakang, merasa heran melihat suaminya menghampiri mobil Jody, dan terlihat khawatir.

"Pak Kardi, itu Bapak kenapa, sepertinya cemas begitu? Coba kamu susul sana!" perintah bibinya Jody pada sang sopir.

 

"Baik, Bu," jawab Kardi, sopir yang menyetir mobil paman dan bibinya Jody.

Pak Kardi menghampiri dan kaget, melihat di mobil itu semua penumpangnya tergeletak bersimbah darah.

 

"Lho, Pak, ada apa ini, Pak? Mereka kenapa, Pak?" tanya pak Kardi dengan cemas.

"Pak kardi, kamu lapor ke polisi, bilang kalau di sini ada pembunuhan. Saya akan menelpon ambulance, dan kamu suruh Ibu hubungi Pak Kurnia dan Bu Sari cepat sana!" ucap sang paman sambil tangannya menekan nomor telepon ambulance berkali-kali, tapi tak kunjung ada yang mengangkat. Dia terus mondar-mandir didekat mobil Jody.

"Hallo, Pak polisi, di sini ada pembunuhan," ucap Pak Kardi saat telponnya tersambung.

"Baik, Pak. Kami segera ke sana. Bapak kirimkan lokasinya!" jawab polisi dari seberang telpon.

"Hallo, ambulance, tolong! Di sini ada korban luka tembak, sedang kritis. Mohon segera kesini!" seru sang paman menelpon ambulance dengan pikiran cemas.

"Baik, Pak. Bapak segera kirim alamatnya. Kami meluncur sekarang." Petugas ambulance menjawab dengan sigap dari ujung telepon yang lain.

"Halo, Sari, anakmu Jody!" sang Bibi menggantung kata-katanya. Dia merasa tak tega untuk memberitahu Sari.

"A-anakku ... kenapa dengan anakku, Mba? Halo! Mba!" jawab Sari di ujung telpon.

"Anakmu, Jody dan Amel ditembak rampok! Halo, Halo, Sar. Sari!" Bibinya Jody menutup telpon karena tidak terdengar lagi suara Sari di ujung telpon.

***

Di rumah Suwarman

Semua orang kaget, melihat Bu Sari yang sedang menelpon tiba-tiba pingsan. Kurnia, ayahnya Jody, segera membopong istrinya ke sofa. Pak Suwarman juga segera menghampiri.

"Ada apa dengan Bu Sari, Pak?" Suwarman bertanya pada Kurnia.

"Tidak tahu, Pak. Coba, tolong siapa yang punya minyak angin?" tanya Kurnia pada orang yang berada di ruang tamu.

Ada seorang ibu yang memberikan minyak kayu putih pada Kurnia.

 

"Ini, Pak. Pakai ini aja!" serunya. Ibu itu tetangganya Pak Suwarman. Dia memberikan minyak kayu putih. Tak lama kemudian, Bu Sari bangun. Tapi tidak bicara apa-apa, hanya menjerit dan menangis. Shilla dan Ninis yang sedang berada di ruang rias mendengar Bu Sari menangis menjerit-jerit dengan sangat pilu. Shilla dan Ninis menghampiri Bu Sari di ruang tamu.

Bu Sari sedang dipeluk oleh pak Kurnia, dan dikelilingi para tamu, yang mendengar tangisan Bu Sari begitu memilukan. Shilla menghampiri dan heran kenapa Bu Sari menangis sesedih itu.

"Om. Tante kenapa?" tanya Shilla.

"Om juga tidak tahu. Tantemu tadi tiba-tiba pingsan dan setelah sadar hanya menangis tak bicara apa-apa," jawab Kurnia.

Di ujung sofa, ada seseorang yang tersenyum jahat. Sepertinya dia tahu apa yang terjadi. Sari yang melihat Shilla calon menantunya menghampiri pun segera bangun dan memeluk Shilla dengan tangis pilu. Shilla masih belum mengerti kenapa Tante Sari begitu sedih. Meskipun tidak tahu ada apa, tapi Shilla menangis merasakan kesedihan yang sama. Entah kenapa Shilla merasa tiba-tiba khawatir. Setengah jam berlalu, tapi Sari masih terus terisak tanpa menjawab pertanyaan siapa pun.

Ada dua polisi yang mengetuk pintu. Shilla langsung tertegun cemas. Pak Suwarman menghampiri dan mempersilakan masuk.

 

"Permisi, apakah di sini ada saudari bernama Ninis?" tanya petugas polisi.

 

Shilla makin merasa aneh, kenapa polisi mencari sahabatnya Ninis. Ada apa sebenarnya, Shilla benar-benar bingung.

 

"Saya, Pak. Ada apa ya, Pak?" Ninis maju dan bertanya pada polisi.

 

"Saudari Ninis, anda kami tahan atas dugaan kasus pembunuhan," ujar polisi kemudian.

 

Shilla menganga terkejut. Pembunuhan, Ninis sahabat yang dikenal sangat baik. Mana mungkin dia membunuh? Shilla maju mendekati Ninis dan petugas polisi.

"Tunggu, Pak. Bapak pasti salah. Bagaimana mungkin, Ninis, membunuh? Dan siapa yang dibunuhnya?" tanya Shilla meminta penjelasan pada polisi.

 

"Saudara Ninis kami tahan, atas dugaan otak penembakan dari saudari Amel, saudara Jody dan sopirnya," terang polisi.

Shilla langsung terduduk di lantai. Kakinya lemas mendengar sahabatnya sendiri, membunuh calon suaminya Jody. Suwarman seketika terkena serangan jantung. Bagaimana tidak syock? Ninis yang sudah dianggapnya anak ternyata seorang pembunuh.

"Pah, Papa bangun, Pah!" isak Shilla.

Mereka segera pergi ke rumah sakit yang disarankan polisi. Shilla tidak sempat jika harus berganti baju terlebih dulu. Shilla membawa ayahnya ke rumah sakit, ia masih memakai gaun pengantinnya. Suwarman segera dibawa ke UGD dan di sana juga dia melihat Jody sedang ditangani dokter. Jody tak sadarkan diri dan bajunya penuh darah. Suster menggunting baju kemeja Jody dan dokter sudah memegang alat kejut jantung. Shilla hanya terpaku seperti patung, melihat kedua orang yang disayangnya tergeletak kritis di waktu yang bersamaan.

Sari dan suaminya berada tak jauh dari Jody. Dan Shilla didekat ayahnya yang sedang dipasangi selang oksigen. Sampai Shilla berteriak saat dokter menutup wajah Jody yang menandakan bahwa Jody telah meninggal.

"Tidak, Jod. Jody, Sayang, bangun! Jangan tinggalin aku, Jod!" Shilla menangis memeluk jenazah Jody. Sedangkan Sari tergeletak pingsan, karena harus kehilangan kedua anaknya sekaligus. Sari langsung ditangani dan dirawat di salah satu ruang rawat inap.

 

"Shi ... la ...!" panggil Suwarman pada anak semata wayangnya dengan nafas tersengal.

***

Di Rumah Suwarman

Seorang lelaki tampan, dengan setelan jas hitamnya memasuki rumah Suwarman. Dia mengernyit heran, kenapa sepi? tanya laki-laki itu dalam hati. Padahal di undangan acaranya memang hari ini. Lelaki itu mencari orang untuk bertanya. Dia menemukan para pembantu yang sedang membereskan piring. Dia berpikir, "berarti dia tidak salah, acaranya memang hari ini."

"Permisi," ucap pria itu.

"Ya, Mas. Ada apa?" tanya salah seorang pembantu.

"Acara pernikahannya hari ini, kan? Tapi, kenapa sangat sepi dan saya juga tidak melihat pak Suwarman ?" tanya pria itu.

 

Pembantu itu menjelaskan dari awal, sampai akhirnya pak Suwarman dibawa ke rumah sakit. Pria itu langsung pergi tancap gas menuju rumah sakit yang dimaksud.

 

***

Di Rumah Sakit

"Shi-la," panggil ayahnya.

Shilla segera menghampiri ayahnya

"Ada apa, Pah. Papa butuh sesuatu?" tanya Shilla dengan masih sedikit terisak.

"Papa rasanya sudah tidak kuat," ucap ayahnya lemah.

 

"Pah, jangan ngomong gitu, Pah. Papa harus kuat! Shilla udah kehilangan Mas Jody. Shilla gak mau kehilangan Papa juga," isak Shilla.

 

"Boleh, Papa minta sesuatu sama kamu, Nak?"

Shilla hanya mengangguk.

"Tolong, menikahlah dengan anak sahabat Papa. Agar Papa tenang ninggalin kamu." Napas ayah Shilla semakin lemah.

"Pah, Shilla bukan hanya gak cinta sama dia. Tapi, Shilla juga gak kenal sama sekali sama dia," tolak Shilla dengan halus.

Brukk!

Suara seseorang membuka pintu UGD. Dia terburu-buru menghampiri Suwarman yang tergeletak di brankar. Suwarman tersenyum lemah.

"Denis." Suara Suwarman makin terdengar melemah.

 

Pria itu adalah Denis Zeinal. Orang yang akan menikah dengan Shilla. Shilla hanya menatap dia sekilas.

"Pak, maaf, saya gak tau Bapak di sini. Kenapa jadi gini, Pak? Beritahu saya!" seru pria itu.

"Den, Bapak gak punya banyak waktu. Tolong ... nikahi, Shilla, anakku! Sekarang juga, dihadapanku. Ini permintaan terakhirku." ayah Shilla tetap menikahkan mereka.

 

Dokter menelpon pendeta sesuai keinginan ayah Shilla. Di rumah sakit dihadapan ayahnya yang menggenggam dan menyatukan mereka. Shilla dan Denis dinikahkan pendeta. Setelah tinggal acara ciuman tangan Suwarman melemah dan terlepas, dia meninggal dunia. Dan Shilla langsung tergeletak pingsan karena syock.

Karena Shilla sangat terpukul dia harus dirawat selama beberapa hari dan Denis-lah yang mengurus pemakaman Pak Suwarman.

 

Tiga hari kemudian, Shilla bangun, tapi bagai tanpa jiwa. Pandangan matanya kosong. Dia memang masih hidup, tapi tak ubahnya orang mati. Dia tidak berbicara sama sekali. Hanya melamun dan menatap kosong.

Bersambung

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

readers please like jika suka dan klik favorit.

komenannya saya tunggu

Hiduplah demi ayahmu

hi redear

dtunggu like dan komennya.

__________________

 

"Shil, bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Denis dengan lembut. Tapi Shilla hanya menoleh dan tak menjawab.

Lelaki ini adalah orang yang dipilih ayahku. Orang yang tiga hari lalu menikahiku. Tapi ... aku tidak ingin bertemu siapa pun.

Shilla hanya berkata dalam hati. Dia malas berinteraksi dengan siapa pun. Itulah alasan dia tidak bicara.

"Eemm ... aku ingin memberitahukan hal penting. Aku tahu, kamu masih syock atas apa yang terjadi kemarin. Tapi kau perlu tahu, baik sekarang atau nanti kau harus mengetahuinya." Denis menghentikan sebentar ucapannya. Berharap ada jawaban dari Shilla. Tapi, sunyi, yang ada diruangan itu tidak berubah. Shilla tetap diam, bahkan tidak menoleh sedikit pun.

"Shil, toko ayahmu dan rumahmu disita oleh bank krena ternyata, pamanmu ... menggadaikan seluruh aset milik ayahmu dan dia tidak bisa membayarnya," lanjut Denis.

Lihatlah! Betapa kejamnya dunia ini padaku. Betapa teganya Tuhan memperlakukanku. Dia mengambil kedua orang yang aku sayang sekaligus. Sekarang, bahkan masih menambahkan masalah lain. Aku tidak peduli lagi, aku hanya akan diam. Cukup diam saja.

Shilla menatap sekilas Denis lalu berbaring. Ia marah pada dunia dan marah pada Tuhan. Shilla rasanya sudah tak ingin hidup, dia bahkan tak bisa lagi mengeluarkan air matanya. Shilla tak peduli tentang apa yang akan terjadi hari ini dan esok. Dia hanya ingin berbaring. Denis mencintai Shilla sejak dulu, tapi Shilla tak pernah tahu.

belasan tahun yang lalu. Awal Denis mengenal dan bertemu Shilla adalah lima belas tahun yang lalu saat ayahnya masih hidup dan berkunjung ke kota S dengannya. Ayahnya waktu itu ingin memberikan uang pada ayah Shilla sebagai bantuan, tapi àyah Shilla tak mau menerimanya. Jadi ayah Shilla mengatakan jika Zain meminjamkannya, barulah dia akan senang.

 

Saat kedua orang tua itu mengobrol Denis memutuskan berjalan\-jalan dan bertemu gadis berusia sepuluh tahun. Gadis yang terlihat sangat anggun sedang menyiram tanaman di halaman rumah sederhananya. Denis berumur lima belas tahun waktu itu. Denis terus mengikuti dan memperhatikan dari jauh. Setelah menyiram tanaman, gadis itu dipanggil oleh ayahnya.

 

"Shilla!" panggil sang ayah.

"Iya, Pah." Shilla menyahut dan menghampiri orang yang memanggilnya.

"Oh, dia anak Om Suwarman," gumam Denis remaja.

Gadis itu masuk ke rumah dan Denis segera menyusul masuk. Shilla sudah duduk di samping ayahnya. Denis lalu masuk ke ruang tamu itu. Semua menoleh ke arah Denis berdiri.

"Eh, Nak Denis. Dari mana saja? Sini duduk," kata ayah Shilla mempersilahkan masuk.

"Iya, Om. Terima kasih." Denis duduk di samping ayahnya. Denis dan Shilla, mereka duduk berhadapan. Denis terus menatap ke arah depan. Shilla waktu itu hanya menunduk dan diam.

"Oh, iya, Den. Ini, Shilla, putrinya Om Suwarman."Ayah Denis memperkenalkan mereka berdua.

"Shilla." Shilla mengulurkan tangannya dan menatap Denis dengan tersenyum sedikit.

"Denis." Denis menyambut uluran tangan Shilla. Saat itulah Denis merasakan hal yang aneh, saat tangannya berjabatan dengan Shilla.

"Mungkinkah ... ini yang orang bilang jatuh cinta?" Denis bergumam dihatinya.

"Shilla, tolong buatkan minuman untuk Om Zain dan Denis!" suruh Ayahnya Shilla.

"Shilla ini pintar membuat kopi, ya, Man?" tanya Zain.

"Shilla ini pandai memasak dan melakukan tugas rumah. Karena kau, kan, tau. Kami hanya berdua. Jadi, sedari kecil Shilla sudah pintar mengerjakannya," terang Suwarman.

Denis makin kagum dan terpesona dengan Shilla. Denis memang di usia yang sudah cukup untuk merasakan tertarik pada lawan jenis, karena masa remaja adalah masa puber bagi manusia.

Denis tersentak dari lamunannya. Itu adalah awal Denis jatuh cinta pada Shilla. Setelah ayahnya bertemu ayah Shilla. Setiap tahun jika liburan sekolah, Denis selalu main ke rumah ayah Shilla dan menginap semalam. Tapi tidak pernah bertemu Shilla. Karena Shilla selalu menginap di rumah pamannya jika liburan. Sampai saat berumur dua puluh lima tahun pun, Denis tetap rutin mengunjungi rumah Suwarman. Saat Denis tahu jika Shilla bertunangan saat itulah dia tak pernah lagi main ke rumah pak Suwarman. Dari sanalah Pak Suwarman sadar, yang membuat Denis rela tiap tahun datang menemani Pak Suwarman adalah karena cinta.

Itulah sebabnya, Ayah Shilla ingin Shilla menikah dengan Denis karena ayah Shilla tahu, betapa Denis mencintai anaknya dengan tulus. Karena saat Shilla bertunangan dia pergi menjauh agar dia tidak mengganggu Shilla. Selama sepuluh tahun dia pulang pergi menginap di rumah Pak Suwarman. Denis tidak pernah sekalipun bertemu dengan Shilla, dia hanya melihat Shilla dari foto yang terpajang di dinding.

"Shil, kita akan pulang, aku akan membawamu ke kota C untuk tinggal bersamaku." Denis memberitahukan Shilla.

Shilla tidak menjawab ucapan Denis. Dia hanya bangkit dan melangkah pergi, keluar dari ruang rawat inapnya.

"Shil, kamu gak ganti baju dulu?" tanya Denis yang melihat Shilla tidak mengganti baju rumah sakitnya.

Dia malas menanggapi ucapan Denis dan terus berjalan tanpa berhenti. Mau tidak mau, Denis memohon ijin pada dokter yang merawat Shilla. Agar Denis bisa mengganti baju yang Shilla pakai dengan uang saja. Tapi, dokter berkata jika mereka tidak mempermasalahkan soal baju itu.

Denis segera menyusul Shilla yang berjalan dengan tatapan kosong. Denis mendahului Shilla untuk memarkir mobilnya di depan loby rumah sakit. Denis dan mobilnya sudah siap di depan loby. Shilla datang bertepatan dengan Denis yang keluar dari mobil. Denis menghampiri Shilla dan hendak menggandengnya. Shilla menepis tangan Denis. Akhirnya Denis hanya membukakan pintu mobil bagian depan.

Tapi, Shilla justru membuka pintu belakang. Dia langsung berbaring di bangku belakang. Denis merasakan sakit luar biasa, bukan karena penolakan Shilla. Tapi, karena melihat gadis yang sangat dicintainya itu hancur. Denis melajukan mobilnya ke kota C dengan kecepatan normal, dia tidak ingin terlalu cepat karena takut Shilla tak nyaman di belakang.

Empat jam kemudian, mereka tiba di rumah besar Denis. Shilla tertidur selama perjalanan dan terbangun saat merasakan mobil sudah tak bergerak maju. Shilla turun dan hanya berdiri di depan pintu. Denis langsung membuka pintu.

"Masuklah! lni rumah kita," kata Denis.

Shilla melangkah pelan dan menengok ke kanan dan ke kiri. Lalu berhenti bingung.

Aku tidak ingin tidur di kamar yang sama dengannya. Apa yang harus aku lakukan?

Shilla hanya diam mematung. Denis faham melihat kebingungan Shilla. Denis memanggil pembantunya.

"Bi ... Bi Sum!" Denis memanggil Bi Sumi.

"Ya, Gan." Bi Sum berjalan dengan tergesa-gesa menghampiri tuannya.

Setelah bi Sum datang. Denis menyuruh Bi Sum untuk mengantar Shilla ke kamar utama di atas.

"Bi Sum, tolong antar Shilla ke kamar saya," perintah Denis.

"Mari, Nyah. Saya antar," ucap Bi Sum.

Shilla tidak bergerak dari tempatnya dan tetap mematung di sana.

"Aku tau Shil, kita tidak tidur sekamar kau tidak perlu khawatir. Sampai kau sudah membaik dan bisa menerimaku dengan hatimu, sebelum itu terjadi kita akan tidur terpisah. Barang-barangmu akan kubawakan ke kamar nanti." Denis menjelaskan dengan lembut.

Barulah Shilla bergerak dan melangkah mengikuti Bi Sumi. Mereka sampai di kamar Denis. Bi Sum membuka pintu dan Shilla berjalan masuk.

"Nyonya kalau butuh saya, panggil saja. Oh, iya, nama saya, Sumi. Nyonya bisa panggil saya, Bi Sum."

Shilla hanya mengangguk dan melangkah ke arah tempat tidur dan langsung merebahkan tubuhnya meringkuk . Bi Sumi keluar dan menutup pintu. Denis di garasi sedang mengambil koper Shilla, setelah itu membawanya ke kamar atas. Sumi menghampiri tuannya karena menyuruh untuk membereskan baju Shilla ke lemari.

"Bi, ikut saya ke atas. Nanti, tolong bereskan baju Shilla ke lemari dan masukan baju-baju saya ke keranjang. Saya akan membawanya ke kamar tamu!" perintah Denis.

"Baik, Gan," jawab Bi Sum.

Denis dan Bi Sum sampai ke kamar atas. Denis mengetuk pintu dan masuk setelahnya.

"Baju, dompet dan uang yang ada di kamar kamu, semua ada di dalam koper. Nanti Bi Sum yang membereskannya. Aku ada di kamar bawah jika kau ingin mencariku." Denis bicara sambil memindahkan baju dan barang-barangnya untuk dibawa ke kamar tamu. Setelah Bi Sum selesai membereskan barang-barang Shilla, Bi Sum keluar membawa barang-barang Denis ke bawah.

"Shil? aku tau seperti apa hatimu sekarang. Tapi, kau tau betapa ayahmu menyayangimu? Jadi, hiduplah dengan baik demi ayahmu. Agar dia tenang di sana. Aku tidak memaksamu untuk bicara, jika memang kau tak mau. Cukup sayangi dirimu sendiri. Makan dan istirahatlah dengan teratur."

Denis keluar setelah mengatakan itu. Dia berharap Shilla akan kembali ceria seperti dulu. Denis menutup pintu dan berdiri cukup lama di depan pintu karena mendengar Shilla menangis.

Isakan tangis pilu Shilla menggetarkan relung hati Denis, hingga tanpa sadar dia meneteskan air mata. Hatinya merasakan kepiluan Shilla yang sangat dalam.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

please like n koment ya genks

author harap kalian suka

Berisik sekali

author abal abal disini

no pembukaan panjang ya reader

selamat membaca

smoga kalian suka

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Denis turun menuju kamarnya yang terletak tepat di samping tangga. Denis merasa sangat lelah setelah perjalanan jauh. Denis pergi ke kamar mandi membersihkan diri setelah itu tiduran sambil memikirkan cara apa yang bisa dia lakukan untuk membuat Shilla bisa seperti dulu lagi. Sebuah ketukkan pintu membuyarkan pikirannya yang sedang melayang.

Tok! Tok! Tok!

"Gan, makan malamnya sudah siap," panggil Bi Sum di balik pintu.

"Ya, Bi." Denis bangun dan menghampiri meja makan.

 

Bi Sum sudah menata makanan di meja dan menyiapkan dua piring kosong, karena mulai hari ini tuan muda yang sudah diasuhnya dari umur 12 tahun itu sudah menikah. Dua tahun lalu sebelum ayahnya meninggal mereka selalu makan bertiga di meja makan. Ayahnya Denis tidak pernah mengizinkan Bi Sum makan terpisah. Bi Sum mengasuh Denis saat ibunya Denis meninggal. Saat itu Denis berusia dua belas tahun.

Saat Bi Sum mengatakan tidak pantas makan dengan mereka. Dengan santai Denis berkata. "Tempat makan ya di meja makan, kalau dapur tempat masak." Setelah ayah Denis meninggal maka Denis hanya makan berdua dengan Bi Sum. Denis merasa aneh kenapa hari ini piring yang ada di meja makan tetap dua padahal seharusnya tiga.

 

"Bi Sum, kenapa piringnya dua?" tanya Denis.

"Anu ... Gan, saya gak enak sama Nyonya," jawab bi Sum.

"Bibi gak usah khawatir. Dia wanita yang baik, hanya saja dia sedang terguncang jiwanya. Percayalah, dia tidak akan mempermasalahkan itu. Bibi tetap makan di sini denganku," tegas Denis.

"Bi Sum tambah piringnya satu lagi, setelah itu panggilkan Shilla." Denis menyuruh Bi Sum memanggil Shilla.

"Baik, Gan." Bi Sum mengambil piring ke dapur lalu pergi ke kamar Shilla di atas. Bi Sum mengetuk pintunya berkali-kali, tidak ada jawaban, Bi Sum mencoba kembali mengetuk.

Tok! Tok! Tok!

"Nyah, makan malam sudah siap. Agan sedang menunggu di ruang makan," panggil Bi Sum. Karena berkali-kali tidak ada sahutan, Bi Sum turun dan melapor pada Denis.

"Maaf, Gan. Bibi sudah panggil berkali-kali, tapi Nyonya tidak mau keluar," ucap Bi Sum.

"Ya, sudah. Biar saya yang panggil. Bibi makan lebih dulu saja, tidak apa-apa," ujar Denis.

 

Denis berjalan menuju kamar Shilla. Bi Sum menunggu di ruang makan.

 

"Shil! Keluarlah. Kamu harus makan. Kalau kamu tidak makan, maka saya dan Bi Sum juga tidak akan makan. Jika kau tidak peduli padaku, setidaknya kau pedulikan Bi Sum. Dia sudah tua, masa kamu tega biarin dia nanti sakit gara-gara kamu." Denis mencoba membujuk Shilla.

 

Di dalam Shilla beranjak bangun dari ranjangnya dengan malas. Dia menjepit rambutnya dengan jepitan rambut berbentuk matahari.

 

"Dia berisik sekali," ujar Shilla dalam hati.

Ceklek!

 

Denis tersenyum, bujukannya berhasil. Shilla berjalan dengan enggan ke ruang makan. Di sana dia melihat Bi Sum duduk di meja makan. Bi Sum berdiri dari duduknya, dia takut nyonyanya ini akan marah.

 

"Bi Sum selalu makan bersamaku di meja makan sejak dulu. Jadi tidak apaapa, kan, kalau dia makan dengan kita?" tanya Denis. Shilla hanya mengangguk pelan lalu duduk. Denis mengambilkannya nasi, sayur dan lauknya lalu menyodorkannya di depan Shilla.

"Tidakkah kalian tau, aku tidak ingin makan. Aku tidak merasa lapar," batin Shilla. Ia menatap makanan di piring dengan tidak selera.

"Nyonya tidak suka dengan makanan yang Bibi masak? Nyonya mau makan apa, biar Bibi masakkan." Bi Sum akan bangkit, tapi Shilla hanya menggelengkan kepalanya lalu menyuap makanannya meski dengan malas.

Kenapa mereka memaksaku makan. Aku tidak ada selera sedikit pun, tapi mereka terus menatapku.

 

Acara makan selesai. Shilla kembali mengurung diri di kamar. Selama seminggu dia telah tinggal di sini, tapi tidak pernah sekalipun bicara dan keluar dari kamarnya, kecuali untuk makan. Denis sementara waktu memutuskan cuti untuk merawat istrinya. Denis mempunyai adik angkat yang bisa dia percayai untuk mengurus perusahaan real estate miliknya.

Hari ini Denis ada janji dengan temannya di caffe untuk makan siang bersama. Denis pamit pada Shilla dari depan kamar Shilla.

 

"Shil, aku ada janji makan siang dengan temanku, jadi kau makan siang saja dengan Bi Sum." Denis pergi setelah berpamitan.

***

"Mana ini si Denis. Dia gak tau apa, kalo saya itu sangat sibuk." Seorang pria sedang menunggu kedatangan Denis dengan terus melirik jamnya. Selang lima menit, terlihat Denis melambaikan tangannya. Kemudian Denis nenghampiri temannya.

"To the point, aja,Den. Maaf, bukan aku tak merindukanmu tapi benar-benar hari ini jadwalku sangat padat," ujar pria itu.

Denis langsung mencerikan masalahnya pada dokter Chen. Dokter Chen adalah teman Denis yang berprofesi sebagai dokter psikiater.

"Aku hanya memberimu satu saran yang biasanya berguna pada banyak pasienku. Dengan kondisi istrimu, aku hanya menyarankan buatlah dia mengerjakan sesuatu. Jangan biarkan dia terus mengurung diri. Dan cobalah untuk memancing emosinya keluar," ucap dokter Chen.

"Memancing emosi? Bagaimana aku tega membuatnya emosi." Denis tidak mengerti kenapa Chen menyarankan hal seperti itu.

"Saat ini istrimu malas untuk berkata apa pun. Jadi jika kau membuatnya kesal, mungkin dia akan berteriak memarahimu. Atau mungkin kau bisa membawa wanita lain ke rumah supaya dia marah, ha ha ha," celoteh Dokter Chen.

"Tidak akan, Chen! Aku akan pikirkan cara lain, tapi tidak dengan saran gilamu itu. Kau tau berapa tahun aku mencintainya? Dalam jarak yang begitu jauh. Sekarang, setelah dekat kau ingin aku melakukan hal yang bisa membuat dia makin jauh. Tidak akan pernah Chen!" jawab Denis panjang lebar.

"Ya sudah, terserah seperti apa caramu. Aku harus segera kembali ke klinik. Banyak pasien hari ini." Dokter Chen pun berlalu.

 

Denis melamun selama perjalanan pulang sambil menyetir mobilnya.

 

"Cara apa yang harus kulakukan?" Denis bergumam pelan.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

tinggalkan jejak readers

aq sangat menanti kritikan kalian demi membangun karyaku menjadi lebih baik

terima kasih yang sudah mau hadir d lapak author bala bala

love you all

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!