POV Aira.
Aku bisa apa? Saat melihat dua orang yang aku cintai sedang berdesah manja dalam limpangan penuh dosa di sebuah kamar hotel.
Beberapa bulan lalu. Aku di kejutkan dengan pernyataan cinta dari seorang pria yang kini menjadi suamiku.
"Aira, aku jatuh cinta padamu. Maukah kau menjadi kekasihku?" Pernyataan cinta dari pria itu sontak membuat hatiku berbunga-bunga. Betapa tidak, hanya dia satu-satunya pria yang menyatakan cinta padaku.
Selama delapan belas tahun ini. Tak ada pria yang mau dekat denganku. Karena wajahku yang jauh dari kata sempurna. Aku mempunyai kelainan di salah satu anggota tubuhku. Sehingga membuat pria diluaran sana memandangku sebelah mata.
Hanya mas Raka, pria yang mendekatiku selama dua bulanan ini sebelum akhirnya kami menikah.
Tak ada sedikitpun kecurigaan terhadap pria itu. Sikapnya yang lembut, serta tutur katanya yang selalu membuat hati ini berbunga-bunga. Membuat aku yakin ketulusan cintanya padaku. Singkat cerita aku menerima pernyataan cinta pria itu.
Setelah kejadian pernyataan cinta itu. Kami resmi pacaran. Lazimnya seperti sepasang kekasih yang menghabiskan akhir pekan dengan berduaan. Tapi tidak dengan kami. Aku yang disibukkan mengurus cafe milik ibu. Membuat aku tak punya waktu jalan berdua dengan mas Raka. Yang membuat aku senang, ia bahkan tak keberatan dengan masalah itu. Bahkan dia sangat pengertian dan mendukung apa yang aku kerjakan.
Seperti malam itu. Para muda-mudi menghabiskan akhir pekan di cafe kami. Kebanyakan dari mereka remaja yang seumuran denganku. Sehingga masih semangat-semangatnya saling mengenal dengan lawan jenisnya.
"Ra, mami mau pergi ke rumah temen mami. Kamu urus cafe ya, sayang?" pinta mami padaku.
Mamiku wanita berusia tiga puluh delapan tahun. Tapi, wajahnya terlihat lebih muda dari usianya. Karena beliau sangat lihai dalam berdandan. Tidak seperti aku. Yang tidak kenal dengan peralatan makeup.
"Iya Mi," sahutku patuh.
Bukan pertama kalinya aku harus menggantikan kerjaan beliau karena kesibukan dengan teman-temannya. Yang mengharuskan aku meng-handle semua pekerjaan di cafe.
"Mang Jali gak ada ya Ra. Udah pulang ya?" keluhnya mencari sopir pribadinya yang sudah sejak sore tadi pulang ke rumah.
"Udah dong Mi. Mang Jali kan cuma sampai sore kerjanya," jawabku mengingatkan beliau.
"Terus mami pergi sama siapa dong? Gak mungkin kan mami pergi sendirian."
Aku nggak tega melihat mami harus pergi sendirian. Apalagi sekarang maraknya perampokan di kota ini. Dan kebanyakan korbannya itu seorang wanita. Jadi aku memutuskan untuk menghubungi mas Raka, minta tolong padanya agar mengantar mami pergi.
"Mas, bisa datang ke cafe nggak?" tanyaku pada pria di seberang sana.
"Ada apa sayang?" tanyanya dengan lemah lembut, membuat aku semakin kagum denganya.
"Bisa anter Mami ke rumah temannya. Sekarang."
"Oh, bisa-bisa. Mas, sampai lima belas menit lagi," jawabnya antusias.
Tak lama setelah itu. Pria dengan setelan celana dan jaket denim berjalan kearah kami. Seulas senyum manisnya membuat hati siapapun akan meleleh jika lama-lama memandangnya. Pria itu sampai di hadapan kami.
"Mi," sapanya mencium punggung tangan mami. Satu hal yang membuatku merasa aneh. Cara mas Raka mengecup punggung tangan mami berbeda. Tak seperti seseorang anak yang hormat pada orangtuanya. Melainkan kecupan penuh kekaguman. Durasinya lama, dan netranya menatap lekat wajah mami.
Heem ... Dehemanku menghentikan aktivitas mas Raka. Segera ia melepaskan tangannya dan berdiri sejajar bersama kami.
"Mi, Mami diantar Mas Raka saja ya. Aira takut kalau mami pergi sendirian," usulku dan disambut senang oleh mami. Wanita berambut keriting itu tersenyum lebar menanggapi usul ku.
"Makasih ya Raka. Kamu udah mau anter Mami. Kamu memang calon menantu idaman mami,"sahutnya menatap wajah kekasihku.
"Iya Mi. Lagian Raka gak tega membiarkan wanita secantik Mami pergi sendirian malam-malam begini," puji mas Raka membuat mataku membulat sempurna dengan pujian yang dilontarkan kepada mami. Sangat tak pantas, kalimat itu ia ucapkan di depan mataku.
Mereka berdua akhirnya pergi. Meninggalkan aku dengan kesibukan yang tak kunjung usai. Maklum akhir pekan begini, pengunjung cafe akan ramai menyerbu tempat ini. Dan aku sedikit kualahan melayani mereka hanya dengan dua karyawan yang tersisa.
Tiga jam mereka pergi. Namun belum ada tanda-tanda kedatangannya. Hingga aku lelah menunggu di cafe sendirian. Sebab, satu jam lalu cafe ini sudah tutup. Karyawan yang membantuku pun sudah pulang.
"Ya ampun. Sudah jam segini kok mereka belum pulang," keluhku melihat kearah jam dinding.
Aku berinisiatif menghubungi handphone mami, berharap ada kabar dari mereka. Aku khawatir suatu hal buruk menimpa mereka.
Nadanya tersambung, tapi tidak diangkat. Aku hanya bisa menghembuskan nafas kasar. Setelah itu mencoba menghubungi nomor mas Raka. Sama, tersambung tapi tidak diangkat.
Berkali-kali kucoba menghubungi mereka. Namun hasilnya tetap sama. Tak ada satupun yang menjawab panggilan telpon dariku.
Aku memutuskan untuk menunggunya di rumah. Sambil terus berdoa agar tak ada kejadian buruk menimpa mereka.
Satu jam lebih, aku berada di rumah dengan perasaan bercampur aduk tak menentu. Gelisah, takut, khawatir. Memenuhi kepalaku. Hingga terdengar suara mobil di halaman rumah. Bergegas aku menuju ke ruang tamu untuk membukakan pintu rumah.
Saat pintu sudah ku buka. Sedikit yang mengejutkanku. Penampilan keduanya berubah kusut. Rambut mami yang acak-acakan, belum lagi tercium bau aneh dari keduanya. Membuat aku sedikit berpikir. Tak lama kemudian masuk kedalam, lalu duduk di sofa ruang tamu.
"Mi, kok baru pulang sih jam segini?" Mereka saling melempar pandang. Setelah itu, dijawab gugup oleh mami.
"Iya sayang. Mobilnya tadi kecemplung got. Jadi lama benerinnya. Iya kan sa...."
Kalimat mami menggantung, saat mas Raka membuka suara.
"Iya, sayang. Maaf ya udah buat kamu khawatir," sambarnya melirik sekilas kearah mami. Setelah itu menatap kearah ku.
"Oh," jawabku singkat.
"Ya udah aku pamit dulu ya Mi. Sayang aku pulang dulu ya? Kamu istirahat yang cukup, bobok yang manis. Jangan lupa mimpiin aku," ujarnya seketika membuat hatiku menghangat. Kecurigaan yang sempat menyelinap di hati. Mencair, kala kalimat itu terucap dari bibir manisnya.
"Iya, kamu juga ya Mas. Makasih, udah anter Mami pergi ke rumah temannya," balasku tersenyum lebar padanya.
Pria itu mulai melangkahkan kakinya keluar rumah. Saat melintas didepan ku. Aku melihat nada noda putih di celananya. Tepat di bagian intim pria tersebut. Dan baunya yang menyengat, membuat aku ingin muntah. Membuat aku bertanya noda apakah itu?
"Ya udah Ra. Mami ke kamar dulu ya. Capek seharian kerja," ucap Mami mulai menarik diri dari kursi.
"Iya Mi," jawabku menyusul berdiri. Hingga kami jalan beriringan. Disaat itu juga aku melihat ada tanda merah di leher mami. Tanda seperti bekas kismark yang di buat oleh orang yang profesional.
"Mi, itu kenapa lehernya merah-merah kek gitu?"
Pertanyaanku membuat mami gugup dan kesulitan menjawabnya.
Wanita yang memakai dres berwarna hitam itu menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arahku, setelah itu memegangi lehernya. Kemudian berkata, "Ini tadi di gigit nyamuk. Mobil mami nyemplung di got. Jadi, banyak nyamuk-nyamuk nakal, hehehe."
Aku berusaha berpikiran positif, dan percaya apa yang di katakan mami. Meski sedikit rasa curiga memupuk dalam benak.
**********
Keesokan harinya, saat matahari sudah mulai menunjukkan pesonanya. Aku bergegas pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan makanan di rumah maupun di cafe. Kalau pagi-pagi begini biasanya sayuran maupun buah-buahan masih segar. Masih banyak pilihan.
Selain harganya yang murah, aku lebih senang belanja di pasar karena tempatnya dekat dari rumah. Tidak perlu jalan jauh untuk sampai di sana.
"Neng Aira mau ke pasar ya?" tegur bu Melda, istri pak RT di komplek kami.
"Iya, Bu. Tumben udah pulang?" balasku, kemudian bertanya.
"Hehehehe, iya. Mau ada acara nanti malam. Kamu datang ya?" ujarnya sambil tersenyum menyeringai. "Ajak mamimu juga, jangan mainnya sama berondong Mulu," sambung wanita yang bertubuh sedikit berisi itu menyindir mami.
"Ah, Bu Melda bisa aja. Mami saya gak kayak gitu kok," kilahku sedikit tak terima jika mami dijelek-jelekkan orang lain.
"Hahahaha, kamu msh polos. Jadi gak tahu kelakuan mamimu gimana. Ya udah lah, saya permisi dulu." Beliau berpamitan.
"Iya, Bu. Saya juga mau berangkat ke pasar."
Aku hanya menggeleng kecil dengan kelakuan beliau. Yang selalu mengatai mami yang tidak-tidak. Padahal, beliau tidak tahu sendiri. Dan hanya tahu dari orang. Itupun masih 'katanya'. Belum tentu kebenarannya.
Sesampainya di pasar. Aku mulai memilih-milih sayuran yang akan dibeli. Berjalan dari tempat satu ke tempat lainnya. Setelah keranjang penuh, aku memutuskan untuk mencari tukang ojek yang mangkal disekitar pasar.
"Titip belanjaannya ya Bu," ucapku pada bu Retno, penjual kue-kue tradisional.
"Iya, Neng. Taruh aja disitu!" sambutnya dengan senyum ramah.
Aku mulai berjalan kedepan, sekitar tiga lapak para pedagang. Sampai juga di pangkalan ojek. Karena fokus melihat mas ojek langganan, tidak sengaja menabrak seseorang.
"Shittt, basah deh!" decak pria yang bertubuh tinggi, tubuh atletis fokus melihat kearah sepatutnya.
"Aduh, Mas. Maaf ya gak sengaja." Aku langsung meminta maaf pada pria itu.
Setelah ia mendongak ke atas. Kekesalan yang sempat menylinapi wajahnya. Sedikit memudar. Pria itu mengupaskan senyum paling manisnya padaku.
"Nggak apa, kok. Ini cuma basah dikit," ujar pria itu padaku. "Oh iya, kalau boleh tahu kamu sering belanja disini ya?" Dia langsung mencecar pertanyaan membuat aku sedikit tak nyaman.
"I--ya,", jawabku singkat. "Kalau gitu, saya permisi dulu ya?"
Aku pamit, dan mulai beranjak. Belum juga kaki ini bergerak. Ia memanggilku kembali.
"Eh, tunggu! Kita belum kenalan loh!" serunya mengulurkan tangan.
Aku hanya bisa memandang tangannya yang putih, mulus, tak ada sedikitpun kulitnya yang menebal. Pertanda, pria itu orang berada. Tak pernah bekerja keras. Karena tak kunjung mendapatkan jawaban, dia kembali bersuara.
"Hai, boleh saya tahu namamu?"
Sontak mengangetkan aku dalam lamunan. Sambil mengerjap, untuk membuang kegugupan. Aku menyambut uluran tangannya.
"Saya Aira," sambutku singkat. Dia fokus memandang wajahku.
"Aira, nama yang indah. Kayak orangnya," goda pria itu, setengah tergelak menahan malu.
"Maaf, jika tidak ada keperluan lagi. Saya permisi, dulu." Aku lekas pergi dari tempat itu, untuk membuang kegugupan.
Ya Tuhan, aku sampai tidak sempat menanyakan namanya. Eh, buat apa juga sih. Aku kan udah punya mas Raka yang sangat mencintaiku. Belum juga jauh, kaki ini melangkah. Pria itu memanggil lagi.
"Aira!" teriaknya. Memaksa diri untuk berhenti. Aku menoleh, disaat bersamaan dia sudah berada tepat dibelakang ku. Sehingga tatapan kami bertemu.
Saat melihat sorot matanya, ada sinyal kagum didalamnya. Lama, kami berada diposisi ini. Akhirnya, aku yang sadar duluan.
"Ada apa, Mas?" Aku menarik pandangan kearah sembarang. Entah kenapa, setiap kali berdekatan dengan pria ini. Jantungku berdegup kencang, seolah akan keluar dari sarangnya.
"Boleh saya mengenalmu lebih dekat lagi," ucapnya setengah terbata. Entah apa yang dipikirkan oleh pria yang sekarang berdiri di hadapanku. Saya Suraj maholtra." Dia mengulurkan tangannya lagi. "Panggil saja saya Suraj." Seraya tersenyum padaku, ia memperkenalkan diri.
"Saya kagum sama kamu, boleh saya tahu dimana tempat tinggal mu?"
Sungguh pria yang nekat, Suraj ini. Tapi, apa mungkin yang ia katakan itu benar adanya. Aku sedikit ragu, untuk memberitahu, alamat rumah padanya. Sunyi sejenak, kami larut dalam pikiran masing-masing. Sesaat kemudian, dia yang sadar lebih dulu.
"Aira," panggilnya. "Apa kau mendengarku?"
"Eh, maaf." Aku menjawabnya. Dia tersenyum mengejek. Sungguh, aku jadi malu dibuatnya. "Maaf, aku harus pergi sekarang!"
Tanpa menjawab pertanyaan darinya, aku pun beranjak. Aku merasa dia mengikuti di belakang. Masih terus mengejar. "Aira, plis. Kasih tahu, dimana rumah kamu?" Sambil berjalan, dia kembali bertanya. Aku masih tak bergeming, masih melanjutkan langkah kaki. Hingga jemputan datang darah kiri. Seketika menghentikan langkah kami berdua.
"Non Aira. Udah siap belanjanya?" Mang Jali turun dari mobil.
"Sudah, Mang."
Pria itu membantuku memasukkan barang belanjaan ke dalam mobil. Setelah tidak ada yang tertinggal, aku masuk ke dalam. Meninggalkan dia yang terpaku menatap kearah kami.
"Aira!" Dia masih memanggil namaku.
"Maaf, aku gak bisa kasih tahu sama kamu. Karena ada hati seseorang yang harus aku jaga," ucapku, meninggalkan kecewa padanya. "Ayo, Mang. Kita berangkat, sekarang!" Kemudian mengintruksikan mang Jali untuk jalan.
"Aira!! Aku yakin, bisa menemukan dimana rumah kamu!"
Aku mendengar dia masih berteriak, di belakang. Aku hanya bisa menggeleng pelan, dengan sikapnya yang nekat.
****************
Seperti biasa, kalau sudah jam satu siang. Aku sudah disibukkan dengan pekerjaan cafe. Mulai dari memasak menu andalan cafe kami, meracik minuman. Dan masih banyak lagi. Jangan tanya. Dimana mami? Kok gak membantu?
Mami tidak pernah mengerjakan pekerjaan itu. Dia tinggal menghitung uang masuk tiap harinya. Tanpa tahu, apa yang kami lakukan di cafe. Aku dan Bilian yang bekerja, ditambah Serli dan Ayun yang membantu melayani pelanggan.
"Mbak Aira, Ibu kemana? Biasanya jam segini, beliau akan datang?" Bellian bertanya.
Iya, tumben banget mami gak datang ke cafe. Tadi, pas aku tinggal. Beliau sedang ada di kamar. Bahkan saat aku pamit pergi, beliau juga tidak keluar kamar. Ah, pikiran ini mulai berkelana yang tidak-tidak. Takut terjadi hal buruk yang menimpa beliau.
"Iya, Yan. Kok mami gak datang, ya? Coba aku telpon dulu, ya?" Tidak ingin terjadi sesuatu, aku mengambil ponselku dan langsung mencari nama mami.
"Mi, mami gak apa-apa 'kan?" tanyaku setelah nada tersambung.
Sedikit aneh, mami menjawabnya dengan nada serak. Seolah sedang menahan sesuatu. "Mi, Mami kok suaranya kayak gitu? Bener 'kan? Mami gak apa-apa?"
Sedikit tak percaya dengan ucapannya. Mami seperti seseorang yang kesakitan gitu. Tapi dia juga seperti seorang yang sedang diambang awang-awang. Apa mungkin mami...
"Yan, aku pulang dulu ya. Mau ngecek keadaan mami di rumah. Aku takut terjadi sesuatu sama mami."
"Iya, Mbak. Hati-hati."
Bergegas aku keluar, mengambil Scoopy yang terparkir di halaman. Dan langsung tarik gas, ingin segera sampai.
POV Author
Pergumulan panas di atas ranjang itu berlanjut hingga beberapa ronde. Citra seolah tak.puas, jika hanya melakukannya sekali.
"Aaghhh, sttttt .... Lebih kencang lagi sayang," racau Citra diujung kenikmatan.
Raka memompa tubuh Citra lebih cepat lagi. Pria itu menguasai permainan, dengan tangan yang memainkan gunung kembar milik wanitanya, ditambah gerakan maju mundur yang khas darinya. Semakin membuat tubuh Citra meremang, karena kenikmatan yang luar biasa.
Saat sedang diujung kenikmatan, ponsel Citra berdering. Deringan pertama ia abaikan, yang kedua pun juga begitu. Mereka masih asyik dengan aktivitasnya. Akan tetapi, bunyinya kembali mengusik keduanya. Mau tak mau, Citra menjawab.
Nampak jelas di layar benda itu, nama Aira. "Sttt, ngapain sih ini anak," ujarnya, menahan gairah. "Iya, sayang ada apa?" balas Citra dengan suara berat. "Sayang, nanti lagi ya telponnya. Mami ada urusan." Segera, Citra matikan sambungan telpon dari putrinya.
Sementara Raka, masih tetap memainkan peran. Menunggang kuda, dengan semangatnya.
******* panjang dari keduanya, menyudahi permainan ranjang mereka. Entah, sudah berapa kali. Mereka mencapai pelepasan, hingga keduanya terkulai tak berdaya di atas kasur.
"Thanks so much, Beb." Citra nampak semringah, usai mendapatkan asupan nutrisi dari Raka, berondong kesayangannya.
"Hemmm," jawab Raka dengan deheman. Akibat kelelahan, pria itu tampak menutup mata.
Cup, sebuah kecupan mendarat di pucuk kepala pria itu. Dengan tangan yang mengalung ditubuh polos Raka. Citra mengelus lembut rambut berondongnya.
"Kamu butuh berapa, sayang? Nanti, mami transfer?" tanya Citra tersenyum licik.
Mendengar bau-bau duit. Raka langsung bergeming. Pria itu langsung mengangkat tubuhnya, menyender di sandaran ranjang. "Wah, beneran sayang?" Dengan girang, ia mencoba meyakinkan ucapan Citra.
"Iya, sayang. Mami udah transfer tiga puluh juta ke rekening kamu." Citra menatapnya intens. "Tapi, ingat! Kamu jangan macam-macam, kalau dibelakang mami." Sambil mengacungkan jari telunjuk, Citra memperingati Raka. Bahwa dia adalah miliknya. Tidak ada orang yang bisa menyentuhnya.
Tiga puluh juta untuk satu bulan. Bukan uang yang sedikit untuk Raka. Hasil menjual diri dari tante-tante girang seperti Citra, sungguh hal yang menyenangkan untuknya. Tidak perlu kerja kepanasan, untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah. Hanya membuat ******* manja wanita itu, dia sudah bisa mendapatkan apa yang ia inginkan.
"Makasih, sayang. Kamu memang selalu the best untukku." Raka menyenderkan kepala Citra di atas dadanya. "Aku nggak akan pernah berpaling darimu." Dengan buas, ia menyambar bibir ranum wanita itu, saat Citra mengangkat wajah, menatap wajahnya.
Setelah membersihkan diri, mereka berdua turun ke lantai bawah. Dengan rambut yang masih basah, Citra menuju ke dapur untuk mencari makanan.
"Loh, kok kosong sih!" gerutunya saat membuka tudung saji, tidak ada makanan di sana. "Apa Aira gak masak?" Setelah itu beralih pada rak makanan yang ada di sebelah lemari pendingin. "Gak ada juga. Aira gimana sih!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!