Pamitnya sama kedua orang tuanya mau ke rumah Eli, taunya ternyata Naya pergi mengantar kepergian Wahyu ke stasiun kereta.
"Mas, hati-hati disana, jangan lupa sholat." pesannya pada Wahyu.
"Pasti."
Rasanya Naya begitu berat berpisah dengan Wahyu, tapi mau bagaimana, ini demi masa depan mereka, meskipun sudah berusaha supaya dia tidak terlihat sedih saat melepas kepergian Wahyu, toh, ternyata dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya, wajah Naya terlihat mendung.
"Jangan nangis Nay, aku pasti kembali, janji deh aku gak akan nakal disana." Wahyu berusaha bercanda, berat juga dia harus berpisah jauh dengan kekasih hatinya.
"Apa sieh mas, siapa juga yang nangis."
"Emang belum, tapi itu wajahnya mendung, sebentar lagi kayaknya pasti bakalan turun hujan deras deh."
"Ya wajarlah mas, mas kan akan pergi, Naya kan jadi sedih."
"Aku juga sedih Nay, tapi ini demi masa depan kita, seperti kata pepatah, bersenang-senang dahulu, bersakit-sakit kemudian, upss." Wahyu langsung menutup bibirnya, "Kebalik, hehehe."
Candaan garing Wahyu tersebut ternyata mampu menciptakan senyum di wajah Naya, "Nah, gitu donk senyum, sebelum pergikan aku ingin lihat senyum pacar aku agar perginya tenang."
Naya membenarkan ucapan Wahyu, dia tidak boleh sedih supaya Wahyu bisa pergi dengan tenang.
"Oh ya, hampir lupa." Wahyu merogoh kantong celananya, dari sana dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah marun dan isinya adalah sebuah kalung perak dengan lionton berinisial namanya dan nama Naya yaitu NW
Naya membekap mulutnya karna terharu.
"Nay, apa boleh aku memasangkannya dileher kamu."
Naya hanya mengangguk, dia hanya gak menyangka saja Wahyu akan memberikannya hadiah sebelum dia pergi, dia menyingkirka rambutnya ke samping untuk memudahkan Wahyu memasangkan kalung tersebut.
"Aku harap ketika aku jauh, kalung ini bisa mengobati rasa kangen kamu kepadaku."
Naya menyentuh lionton kalung tersebut, "Indah sekali mas."
"Kamu suka."
"Suka sekali."
Terdengar suara petugas yang mengumumkan kalau kereta yang akan membawa Wahyu ke perantauan akan berangkat sebentar lagi.
"Aku pergi ya Nay, jaga dirimu, dan tunggu sampai aku pulang."
Naya mengangguk, tak sanggup rasanya dia membalas kalimat Wahyu.
Wahyu menaiki kereta, ketika dia sudah berada di atas dia melambaikan tangan yang dibalas oleh Naya, gak lama kereta tersebut mulai bergerak secara perlahan dan semakin lama semakin cepat sampai menghilang dipandangan Naya.
"Selamat Jalan mas Wahyu, semoga Allah selalu melindungimu." doanya, tanpa dia sadari bulir bening mulai berjatuhan membasahi pipinya.
************
Lio tengah sibuk memeriksa berkas diruang kerjanya ketika deringan dari ponselnya terdengar.
Lio mendengus kesal, "Siapa sieh yang ganggu, awas saja kalau gak penting."
Ternyata yang menelponnya adalah dokter Vito, dokter keluarganya.
"Dokter Vito." gumamnya, langsung menggeser simbol telpon untuk menjawab, pasalnya kalau dokter Vito menelponnya itu pasti berkaitan dengan kakeknya, dan Lio berharap tidak terjadi apa-apa dengan sang kakek mengingat doktet Vito menelponnya di saat jam kerja begini.
"Iya Dokter."
"Lio, sebaiknya kamu segera pulang ke rumah."
"Pulang, gak terjadi apa-apa dengan kakek kan Dok."
Dokter Vito tidak langsung menjawab, dia terdiam beberapa saat untuk mendramatis keadaan, "Dokter, jangan diam saja, kakek saya baik-baik saja kan."
Terdengar helaan nafas berat, "Sayangnya, tuan Handoko saat ini kondisinya tengah memburuk."
"Apa, ya udah Dokter tolong bawa kakek saya ke rumah sakit, saya menyusul ke sana."
"Lio, kakek mu tidak mau dibawa kerumah sakit, dia ngotot ingin dirumah saja, kamu tau kan kakek kamu itu keras kepala gak bisa di paksa."
Lio panik, "Ya udah Dokter saya akan pulang sekarang, biar saya yang akan memaksa kakek, mama mana mama Dok."
"Mama kamu juga dalam perjalanan pulang."
"Baiklah Dokter, tolong buat kakek saya sehat."
Lio mematikan telpon, dan membereskan dokumen yang tengah diperiksanya.
"Lho, Boss." tegur Rafa melihat Lio membereskan berkas-berkas penting tersebut, "Lo mau ketemu Cleo lagi."
"Gue mau pulang."
"Bukannya jam kantor belum selesai."
"Siapa peduli, yang penting saat ini gue harus pulang dan berada di samping kakek gue."
"Bos sepuh, apa yang terjadi dengan Bos sepuh."
"Sepertinya jantungnya kumat." Lio sudah selesai membereskan mejanya.
"Gue ikut lo."
"Lo disini saja urus perusahaan selama gue pergi."
"Mana bisa begitu, kemarin saja pas lo mau ketemu Cleo lo ngajakin gue, pas Boss sepuh sakit lo malah nyuruh gue disini, asal lo tahu, Boss sepuh lebih penting dari perusahaan ini."
"Udah deh terserah lo." ujar Lio.
Biasanya Rafa yang akan mengendarai mobil, tapi kali ini Lio yang duduk dibangku pengemudi, dia melajukan mobil dengan kencang, melihat Lio yang seperti ini, Rafa berkesimpulan pasti Boss sepuh kumatnya parah, oleh karna itu tidak butuh lama buat Lio sampai dirumah.
Dia langsung berlari memasuki rumah dan menuju kamar kakeknya, Rafa menyusul dibelakang. Dia sana, di kamar kakeknya sudah berkumpul semua penghuni rumah, mulai dari mamanya yang ternyata sudah sampai duluan, tiga Art dirumah besar itu, pak Asep satpam rumah dan pak Paijo tukang kebun, dan satu lagi Dokter Vito yang berdiri disamping kakeknya, meskipun orang lain, tapi Dokter Vito sudah dianggap keluarga oleh keluargnya, semua yang berada di ruangan tersebut terlihat bersedih melihat keaadan kakeknya yang terbaring lemah.
Mamanya duduk disamping kepala kakeknya, wajahnya terlihat sedih, begitu dia datang, mamanya langsung memberitahu kedatangannya pada sang kakek dengan mendekatkan bibirnya ke telinga kakeknya, "Pa, Lio sudah datang."
"L l io." Handoko memanggil dengan susah payah.
Lio mendekati kakeknya dan memegang tangan kakeknya, "Kakek, kita kerumah sakit ya, biar kakek ditangani di sana."
Handoko menggeleng, "Kakek rasa, waktu kakek tidak lama lagi."
"Jangan bilang begitu pa." pecahlah tangis Renata.
"Kakek pasti sembuh, jadi jangan berfikir yang aneh-aneh."
Nafas Handoko terputus-putus persis seperti orang sekarat, "Sebelum pergi kakek ingin kamu berjanji satu hal sama kakek Lio."
"Apa itu kek."
"Menikahlah dengan gadis yang kakek pilihkan untukmu."
"Apa, Lio dijodohkan." Rafa membatin.
Ini adalah keputusan yang berat yang membuatnya tidak mungkin mengatakan iya secepat itu meskipun kondisi kakeknya dalam kondisi sekarat begitu, selain itu juga kan dia punya kekasih yang gak mungkin dia tinggalkan.
"Bilang Iya Lio, kenapa kamu malah diam." Renata mendesak putranya.
"I...i..iya kek." suara Lio terbata-bata, "Lio mau menikah dengan gadis pilihan kakek."
Dan anehnya, begitu mendengar janji cucunya, nafas Handoko kembali normal, melihat hal tersebut, Dokter Vito mendekat memeriksa kondisi kakek Handoko, wajahnya terlihat lega, "Syukur alhamdulillah, ini adalah keajaiban, kondiisi tuan handoko kembali normal, apa mungkin setelah mendengar janji cucu tersayangnya."
Renata menarik nafas lega, sedangkan Lio, dia memang sangat bersyukur kondisi kakeknya membaik, tapi dia juga harus memenuhi janjinya untuk menikahi gadis pilihan sang kakek.
"Baiklah, semuanya, untuk saat ini tolong keluar dulu, biar tuan Handoko istirahat dulu."
Semua yang ada diruangan itu keluar dengan patuh, sekarang diruangan itu hanya menyisakan Handoko dan Dokter Vito.
Handoko langsung bangun dan tersenyum sangat lebar, "Anda memang hebat tuan, akting anda bener-bener luar biasa, anda layak mendapatkan piala Citra." puji Dokter Handoko mengacungkan kedua jempolnya.
"Hahaha." Handoko tertawa dengan suara rendah, "Sik keras kepala itu kudu dikerjain dulu supaya nurut." ujarnya pada cucunya.
Ya, ini adalah sandiwara antara Handoko dan Dokter Vito saja, tujuannya tentu saja supaya Lio mau menikah dengan cucu sahabatnya.
***********
Sambil memijit keningnya, Lio mendorong sebuah berkas kehadapan Rafa.
"Apa nieh." sesuatu hal yang gak perlu ditanyakan karna Rafa langsung membuka berkas tersebut, dan Lio pun gak mau bersusah-susah menjawab pertanyaan Rafa.
Rafa membaca berkas tersebut dengan seksama, gak perlu dengan seksama juga sieh sebenarnya mengingat berkas itu hanya berisi biodata bukan skripsi.
"Jadi." Rafa menggantung kalimatnya.
"Lo cari tahu wanita bernama Kanaya Azzahra itu."
"Dia..." Rafa belum menyelsaikan kalimatnya karna Lio memotong.
"Wanita yang bakalan dijodohin dengan gue."
Rafa ingin ketawa, tapi ditahannya karna melihat wajah tertekan Lio, Rafa heran, di zaman modern yang mana semuanya serba canggih begini masih ada yang namanya perjodohan, yang ngalamin Lio lagi, sahabat sekaligus bosnya sendiri, Rafa juga gak habis fikir ternyata pak Handoko masih menganut budaya perjodohan begini.
"Gak usah tertekan gitu wajah lo, siapa tahu gadis yang bakalan di jodohin dengan lo lebih cantik dari Cleo." berusaha menghibur.
"Secantik-cantiknya gadis kampung, ya gak mungkinlah bisa nyaingin kecantikan Cleo."
"Ini nieh buruknya elo, selalu melihat wanita dari tampangnya, gue yakin bos sepuh milih nieh cewek bukan tanpa alasan."
"Emang bukan tanpa alasan, lo ingin tahu alasannya, karna nieh cewek adalah cucu sahabat kakek yang pernah nyelamatin nyawanya, jadi untuk membalas jasa sahabatnya itu kakek berniat jodohin gue dengan cucu temannya itu, anehkan, dia yang hutang budi, malah gue yang dikorbankan."
"Ya gak apa-apalah, hitung-hitung lo berbakti sama bos sepuh, perjodohan lo gak sebanding kali dengan perusahaan yang diwariskan ke elo."
"Terus, kalau gue nikahin tuh gadis kampung, gimana dengan Cleo gue."
"Ya lo putusinlah, ribet amet hidup lo."
"Lo jangan nyaranin yang aneh-aneh Raf, mana bisa gue hidup tanpa Cleo."
"Lo yang aneh, semua mahluk hidup gak bisa hidup tanpa makan, lha elo, gak bisa hidup tanpa Cleo, emang Cleo bisa bikin elo kenyang."
"Sudah, sudah, mending lo enyah dari hadapan gue, bukannya lebih baik, kepala tambah pusing denger ocehan elo." Lio kan niatnya membahas tentang perjodohan ini berharap sik Rafa bisa memberikan solusi atas masalahnya ini, ini dia malah Rafa bicaranya ngaco.
"Kebiasaan ngusir-ngusir, habis manis sepah dibuang." Rafa pura-pura merajuk.
Sebelum Rafa keluar dari ruangan Lio, Lio berkata, "Besok, gue harus menerima laporan tentang gadis itu."
"Siap bos."
***********
Besoknya.
Naya dan Eli baru pulang dari sawah, maklum anak kampung kerjaannya metik sayur untuk lauk makan malam, sambil jalan kembali ke rumah, mereka ngobrol donk biar perjalanan jadi gak kerasa membosankan.
"Nay, Wahyu udah sampai Jakarta belum."
"Udah katanya, semalam dia nelpon."
"Dia di sana kerja apa Nay."
"Katanya sieh bekerja di restoran gitu Li."
"Kok lo bisa sieh kamu berpisah jauh gitu dengan Wahyu, kalau aku sieh kayaknya gak sanggup deh, pasalnya aku kangen terus sama mas Toni, tiap saat ingin bertemu."
"Alay banget sieh kamu Li."
Eli hanya cengengesan menanggapi kalimat Naya, "Emang kamu gak."
Naya tersenyum malu sebelum berujar, "Dulu, awal-awal pacaran dengan mas Wahyu, aku juga seprti kamu Li, ingin ketemu terus, tapi seiring berjalannya waktu ya sekarang biasa aja."
"Sama-sama Alay pakai ngata-ngatain."
Mereka terus berjalan, sehingga jadi tidak terasa mereka sudah sampai didepan rumah Naya.
"Nay, nay." hebohlah sik Eli melihat mobil mewah terparkir didepan rumahnya Naya, kayak gak pernah lihat mobil saja, "Mobil tuh, mobil." tunjuknya penuh *****.
"Mobil siapa ya, setau aku ayah tidak punya keluarga atau kenalan kaya sampai punya mobil mewah gitu deh." Naya mencoba menerka-nerka.
Mereka mendekat, mereka sering sieh lihat mobil, tapi yang semewah ini untuk pertama kalinya, jadinya Naya reflek deh tuh mengelus badan mobil, dan eh tuh alarm mobil bunyi, dua gadis itu langsung pada berjengit kaget.
"Aduh Nay, apa yang kamu lakukan sampai nieh mobil bunyi."
"Aku gak ngelakuin apa-apa Li, cuma pegang doank."
"Coba pukul deh Nay, siapa tahu berhenti."
Dengan mengerahkan tenaga dalamnya Naya memukul mobil tersebut, bukannya malah berhenti malah makin kenceng bunyi tuh mobil.
Dari dalam rumah terdengar langkah kaki, itu adalah ayah dan ibunya Naya, dan dibelakang ayah dan ibunya berdiri seorang laki-laki yang tidak dikenalnya dan Naya yakin itu adalah pemilik mobil tersebut.
"Lha Nay, napa dipukul tuh mobil, kalau rusak kita kagak punya uang buat ganti rugi." ibu Naya memperingatkan.
Naya menghentikan aktifitas memukul tuh mobil karna membenarkan ucapan ibunya.
Laki-laki itu menekan sesuatu yang berada ditangannya dan bunyi itu langsung berhenti, "Aduh Naya, Eli, apa yang kalian lakukan." ibunya Naya bertanya.
"Kami gak ngelakuin apa-apa kok bu, mobilnya bunyi sendiri." Naya membela diri.
"Santai saja kali, tuh mobil kalau dipegang memang bunyi." laki-laki itu menjawab.
"Siapa bu." Naya bertanya.
"Ini nak Rafa, dia dari Jakarta."
"Wah dari Jakarta ya, kenal sama Wahyu gak mas." tanya Eli polos, difikirnya Jakarta seluas kampung halamannya apa.
"Wahyu." Rafa mengulangi.
"Iya mas, Wahyu pacarny Na..." Eli hampir saja keceplosan mengatakan kalau Wahyu adalah pacarnya Naya, dia membelokkan kalimatnya, "Wahyu adalah teman sekolah kami."
"Sik Eli, untung saja dia bisa mengerem bibir bocornya, kalau gak, bisa di sidang aku sama ayah dan ibu." Naya membatin, pasalnya ayah dan ibunya belum mengetahui kalau mereka pacaran.
Naya melisankan, "Apa sieh kamu Li, ya gak mungkinlah mas Rafa kenal mas Wahyu, Jakarta itu luas, kalau kamu bertanya mas Rafa kenal Natasha Wilona pasti dia tahu, ya kan."
"Iya kenal." bohongnya.
Rafa cuma tahu kalau Natasha Wilona itu adalah artis selebihnya di gak tahu apa-apa, apalagi kenal.
"Tuhkan Li, mas Rafa kenal, dimana-mana yah, laki-laki itu sama, kalau cewek cantik saja pasti dikenal."
"Gak gitu kok, gak semua cowok suka cewek cantik, saya buktinya." di mulut Rafa membantah argumen Naya, padahalkan dalam hati dia membenarkan apa yang Naya ucapkan.
"Gak percaya aku, tampang mas saja kayak playboy begini."
"Lha, nieh bocah cenayang atau apa sieh, kok bisa tau gini."
"Naya, kenapa kamu malah berkata yang tidak-tidak tentang nak Rafa begini, dia tamu kita lho."
"Maaf mas."
"Tidak masalah."
Dalam hati Rafa menilai gadis didepannya yang bernama Naya, "Ini yang namanya Naya, penampilannya sieh bener-bener menggambarkan gadis kampung banget, gimana ya reaksi pak bos kalau mengetahui calon istrinya katrok dan kampungan gini."
"Malah jadi ngobrol diluar gini, ayok mas Rafa masuk lagi." ibu Naya mempersilahkan.
Naya mengikuti masuk, sedangkan Eli pamit pulang.
Setengah jam kemudian, Rafa pamit pulang, tapi sebelum itu dia ingat sesuatu, dia merogoh ponselnya dari kantong celananya dan mendekati Naya, "Bu," tapi Rafa langsung mengklarifikasi kalimatnya, "Mbak, eh, dek Naya, duh aku manggilnya gimana ya."
"Panggil Naya saja mas."
Gak enak sieh sebenarnya Rafa manggilnya cuma Naya doank mengingat gadis ini sebentar lagi akan menjadi istri bosnya, ya meskipun secara umur seih nieh gadis masih kecil tapi tetap saja rasanya gak sopan.
"Boleh saya foto."
"Foto mas, tapi saya bukan artis lho."
"Nieh bocah bisa aja bercandanya." lirih Rafa.
"Gak apa-apa, saya suka kok fotoin orang."
"Tapi malu akunya." maklumlah gadis kampung jarang lihat kamera.
"Gak usah malu Nay, lagian malu sama siapa, mau ya, sama ibu dan bapaknya juga kok nanti ikutan difoto." bujuk Rafa
"Boleh deh kalau mas maksa."
Mulailah Rafa mengarahkan kamera ponselnya pada Naya.
Jepret.
Rafa melihat hasilnya, dia mengerutkan kening karna hasilnya tidak sesuai keinginannya, "Nay, sekali lagi ya."
Naya memberi anggukan, "Maaf Naya, bisa gak ekspresinya itu jangan kayak foto KTP."
"Eh, aduh, jelek ya hasilnya, udah aku bilangkan mas, aku itu gak fotogenik lho."
"Halah, gitu aja gak bisa, sini ibu yang contohin." sik ibu nimbrung dan lansung berpose encok untuk mencontohkan anaknya, oke deh sampai sini Rafa ingin tertawa, tapi dia bersyukur bisa menahanya.
Rafa sampai frustasi karna beberapa kali di ulang sik Naya pose dan ekspresi wajahnya gitu aja, kayak foto KTP.
Karna capek, akhirnya dia izin pulang.
Sebelum menjalankan mobilnya, dia menggeser setiap foto yang diambil barusan, dia melenguh, "Kenapa gue ulang-ulang sieh kalau ekspresinya sama semua."
***********
Ping
Ping
Ping
Rentetan notifikasi Wa menyerbu ponsel Lio yang bersiap untuk istirahat setelah seharian bekerja.
"Siapa sieh ganngu." omelnya dengan malas meraih ponselnya.
Pesan gambar itu ternyata dikirim oleh Rafa, ada beberapa gambar yang dikirim, karna ekspresinya semua gambar itu sama, Lio jadi berfikir itu merupakan gambar yang sama.
"Sik kunyuk itu ngapa ngirim gambar yang sama."
Ping
Kembali Rafa mengirim pesan, kali ini bukan gambar tapi berbentuk teks, bunyi pesannya adalah,
Calon istri lo.
"Apa." Lio kembali menscrool layar ponselnya untuk melihat gambar-gambar yang dikirim oleh Rafa, "Ini, calon istri gue." gumamnya gak percaya, dia terduduk lemas, dalam hati berkata, "Kok kakek tega sieh jodohin gue dengan gadis model beginian."
**********
"Yah, laki-laki yang tadi siang sebenarnya siapa sieh, pakai foto-foto segala, emang Naya artis apa." Naya bertanya saat makan malam.
Kedua orang tuanya memang belum sempat menjelaskan tentang kedatangan Rafa pada Naya, dan sebelum menjawab pertanyaan anak perempuannya, orang tua Naya saling melempar pandangan satu sama lain, dan lewat kode mata, sang ayah meminta sik istri yang menjawab maksud kedatangan Rafa tadi siang.
"Gini Lho nak." ibu Naya memulai, "Nak Rafa itu adalah orang kepercayaan pak Adelio."
"Pak Adelio, siapa lagi itu, namanya kok keren."
"Ayah dan ibu juga gak kenal nak."
"Kalau bapak dan ibu gak kenal mereka, kenapa orang kepercayaannya nyasar ke rumah kita."
"Begini lho nak." sik ayah mencoba menjelaskan, "Kakekmu dulu pernah bersahabat dengan orang kaya."
"Wieeh, hebat sik kakek." Naya main potong saja penjelasan ayahnya.
"Naya, jangan main potong aja, dengerin dulu penjelasan ayahmu."
"Maaf bu."
"Nama sahabat kakekmu adalah pak Handoko, kakekmu pernah menyelamatkan nyawa pak Handoko, dan itu membuat pak Handoko berhutang budi pada kakekmu, dan atas persetujuan kakekmu sebenarnya mereka berniat menjodohkan anak-anak mereka, tapi sayangnya anak-anak mereka adalah perempuan, yaitu ibumu, oleh karna itu mereka merubah perjanjian tersebut dengan mengalihkan menjodohkan cucu-cucu mereka, dalam hal ini adalah kamu Naya." panjang kali lebar ayah Naya menjelaskan.
"Maksudnya ini apa sieh."
Ibu Naya menyela, "Nak, kakek mu telah menjodohkan kamu dengan cucu sahabatnya sejak dulu, dan kedatangan Rafa untuk memberitahu akan hal perjodohan tersebut."
Seperti petir disiang bolong, itu merupakan perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan kekagetan Naya, "Ayah dan ibu gak seriuskan, ayah dan ibu gak mungkinkan memaksa Naya menerima perjodohan ini."
"Kami gak memaksamu nak, biar bagaimanapun, kebahagianmulah yang terpenting, lagian juga perjanjian itu sudah sangat lama, dan kakekmu juga sudah meninggal."
Kalimat ayahnya itu menenangkan Naya, dia gak bisa membayangkan kalau harus menikah dengan orang yang tidak dicintainya, "Makasih ayah, ibu atas pengertiannya." Naya memeluk ayah dan ibunya bergiliran.
*******
Lio uring-uringan, berulangkali dia mengamati foto yang dikirim oleh Rafa, namun tuh foto sedikitpun tidak berubah, setiap melihat foto tersebut juga dia bakalan marah-marah tanpa sebab, kesalahan kecil saja bisa membuatnya meledak-ledak, hal itu membuat Rafa jadi gak mau berdekat-dekatan dengan bosnya itu.
Tapi mau tidak mau dia harus menghadap Lio karna Lio memanggilnya.
"Lo kenapa sieh, bawaannya ingin nelan orang, lagi PMS lo." Rafa berusaha untuk mengajak Lio bercanda.
"Jangan sembrangan lo kalau ngomong." tuhkan, Rafakan hanya bercanda, tapi malah dapat semprot.
Rafa langsung menarik garis lurus didepan bibirnya seolah-olah bibirnya memiliki resleting, ogah bangetlah dia buka suara kalau pada akhirnya kena semprot.
Lio menunjukkan foto yang dikirim Rafa didepan wajah Rafa, "Lo gak salah orangkan, bilang ini bukan calon istri gue."
Karna takut kalau bicara kena semprot, lio hanya menjawab dengan gelengan, eh, malah dia kembali kena semprot, "Bicara yang bener, jangan hanya menggeleng, lo punya mulutkan."
"Itu benar calon istri lo kok, gue gak salah orang, gadis itu yang bernama Kanaya Azzahra." Rafa menjawab dengan satu tarikan nafas.
Lio menyandarkan tubuhnya dikursi kerjanya, "Kok gini amet nasib gue, dijodohin dengan perempuan yang gak gue kenal, perempuan jelek lagi."
"Gak jelek-jelek amet kok Li, difoto sieh emang jelek karna tuh cewek gak fotogenik, tapi aslinya lumayan cantik kok."
"Diem lo, gue gak minta pendapat lo." Lio kembali membentak.
"Anjirr, diem salah, ngomong salah, mending gue jadi patung aja sekalian." batin Rafa sekarang seperti patung saja caem.
**********
Ketika Naya pulang sore itu, Naya mendengar suara ribut-ribut dari arah rumahnya.
"Nay, ada apaan tuh ribut-ribut dirumah kamu." Eli bertanya khawatir.
"Gak tau Li." Naya mempercepat langkahnya.
Begitu tiba dirumahnya, dia melihat ibunya menangis berusaha melindungi ayahnya yang tengah dipukul oleh preman, Naya langsung berlari untuk melindungi ayah dan ibunya.
"Hentikan." Naya berusaha menghentikan aksi preman tersebut dengan menahan tangan sik preman yang akan melayangkan pukulan ke arah ibunya, karna gak terima dihalangi, preman itu mendorong tubuh Nay, membuat tubuh Naya tersungkur.
"Nayaaa...." Eli menjerit melihat sahabatnya, dia berlari mendekati Naya.
"Jahanam, cuma laki-laki banci yang beraninya sama perempuan." Eli mengumpat.
"Anakku." sik ibu berusaha mendekati Naya dengan berurai air mata.
"Tolong pak Karman, jangan sakiti anak dan istri saya, saya berjanji akan membayar hutang-hutang saya, tapi kasih saya waktu." ayah Naya menghiba.
"Dasar tua bangka, bikin repot orang saja, tapi baiklah, berhubung saya lagi baik hari ini, kamu saya kasih waktu satu minggu, kalau dalam satu minggu kamu tidak bisa membayar hutang-hutang kamu itu, rumah ini yang aka saya sita, paham kamu." Karman menggertak dan berlalu bersama anak buahnya.
Setelah rentenir itu pergi, ayah Naya mendekati putrinya, siku Naya berdarah, "Nak kamu gak apa-apa."
"Gak apa-apa yah, siku Naya hanya tergores sedikit."
"Apa ayah baik-baik saja." Naya bertanya balik.
Ayahnya mengangguk, "Sebenarnya ada apa ini ayah, ibu, kenapa anak buah pak Karman mukulin ayah, dan dia menyebut-nyebut tentang hutang, ayah dan ibu punya hutang sama dia."
Ayah ibunya saling pandang, bungkam tidak ada yang menjawab pertanyaan putri mereka, "Bu, yah, kenapa kalian diam saja." Naya mendesak.
Ayah Naya mengangguk, "Sebenarnya kami memang punya hutang sama pak Karman."
"Apa." Naya dan Eli yang masih disana kaget, pasalnya pak Karman lintah darat yang tidak segan mematok bunga tinggi.
"Kenapa paman dan bibi berhutang sama sik lintah darat itu, kalian tahukan dia adalah orang yang kejam." Eli sudah mewakili pertanyaan Naya.
Ibu Naya berurai air mata, dengan sesenggukan dia memberi penjelasan, "Ini semua gara-gara ibu, gara-gara ibu yang gak bisa melahirkan Naya dengan normal, ayahmu terpaksa harus meminjam uang dari pak Karman untuk biaya operasi sesar."
"Apa." Naya kaget mendengar penjelasan ibunya, dia baru tahu ternyata ayahnya terpaksa meminjam uang karna dirinya.
"Jangan berkata begitu bu, ayah akan melakukan apapun agar ibu dan Naya selamat." merangkul istrinya saling menangisi satu sama lain, Naya ikut bergabung memeluk ayah dan ibunya, di juga menangis, seandainya ada yang bisa dia lakukan untuk membantu ayah dan ibunya pasti akan dia lakukan.
Eli terharu melihat pemandangan tersebut, dia juga ikut menangis.
"Maafkan Naya ayah, ibu, belum lahir saja Naya sudah bikin ayah dan ibu susah."
"Kamu adalah anak kami, kamu adalah segalanya bagi kamu, jadi, kamu jangan pernah berkata begitu."
"Seandainya ada yang Naya bisa lakukan untuk membantu ayah dan ibu." Naya mengeluarkan suara hatinya.
"Naya."
Naya menghapus air matanya, "Kamu ingat nak Rafa yang datang tempo hari itu."
Naya mengangguk, "Dia bilang, Pak Handoko bersedia membayar hutang-hutang kita kalau kamu mau menikah dengan cucunya nak Adelio."
Saat ini Naya tidak bisa berfikir jernih, keinginannya cuma satu yaitu agar beban yang ditanggung orang tuanya sirna, dia gak ingin melihat ayah dan ibunya diperlakukan seperti tadi lagi, dia yang sempat menolak perjodohan itu mengangguk dengan mantap,
"Naya mau menerima perjodohan itu."
**********
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!