"Almahyra!" pekik seorang wanita setengah tua yang melihat kedatangan seorang gadis cantik mendorong seorang pria di atas kursi roda.
"Assalamu'alaikum, Mak Wa!" Almahyra berhambur memeluk kerabat jauh yang selamat dari tsunami sepuluh tahun yang lalu itu.
"Waalaikum salam. Kamu sudah besar. Cantik sekali kamu, Al." orang yang di panggil mak wa itu menangis haru.
Almahyra tersenyum. "Dimana pak wa Sulaeman, Mak?" tanya Almahyra.
"Pak wa di da... lam... Dokter Kenzo, apa kabar? Pak wa sudah menunggu di dalam, ayo masuk!" mak wa Salamah hampir saja melupakan keberadaan Kenzo.
Almahyra kembali mendorong kursi roda Kenzo memasuki rumah Sulaeman. Kedatangan mereka di sambut hangat oleh keluarga itu. Mereka duduk di ruang tamu.
"Jadi, kamu sudah benar-benar mantap untuk menikah dengan ayah angkatmu, Al?" tanya Sulaeman.
"Sudah Pak Wa. Kami tidak ingin terus menambah dosa karena sering bersama tanpa sebuah ikatan pernikahan, Pak Wa." Almahyra melirik Kenzo.
"Benar, Pak. Di saat kondisiku seperti ini, hanya Al yang selalu ada untukku. Aku ingin menghalalkannya dalam sebuah pernikahan, Pak." Kenzo menatap Almahyra penuh arti.
"Aku menghargai niat baik kalian. Meskipun pernikahan siri sah menurut agama, aku harap kalian segera melakukan sidang isbat jika sudah tidak ada kendala dalam hubungan kalian lagi." Sulaeman menatap Almahyra dan Kenzo secara bergantian.
"Baik, Pak. Terimakasih. Tolong bantu kami untuk mempersiapkan semuanya, Pak!" pinta Kenzo.
"Aku sudah menghubungi penghulu. Kita bisa melakukan ijab qobul hari ini juga," jelas Sulaeman.
Pernikahan siri antara Kenzo Takeshi Sato dengan Almahyra dilangsungkan secara sederhana. Mereka tidak menyangka jika akhirnya bisa menyatukan cinta mereka dalam sebuah ikatan pernikahan. Almahyra menangis haru dipelukan Salamah. Dia kembali teringat akan kedua orang tuanya yang telah tiada dalam tragedi tsunami 10 tahun yang lalu. Mereka tidak bisa lagi melihatnya menikah saat ini.
Arman, sopir Kenzo dan Sulaeman menjadi saksi dalam pernikahan itu. Kenzo tidak memberitahu orang tuanya yang tinggal menetap di Jepang. Pernikahan ini juga disembunyikan dari Mona, istri pertama Kenzo.
Kenzo seorang dokter muda berusia 32 tahun. Berperawakan tinggi, bekulit putih, dan bermata sipit. Dia merupakan keturunan Jawa-Jepang. Penampilannya sangat berkharisma. Wajah orientalnya mirip seperti artis Korea yang sedang digrandrungi para remaja saat ini.
Almahyra seorang mahasiswi jurusan fashion designer berusia 20 tahun. Bertubuh kecil dengan tinggi sedang, berkulit putih, dan berhidung mancung. Matanya yang bulat dan besar membuatnya terlihat cantik. Di dalam dirinya mengalir darah keturunan Timur Tengah.
Mereka tidak menginap di rumah Sulaeman. Kenzo memilih menginap di hotel bersama Arman dan Almahyra.
Setelah ijab kabul selesai, mereka berpamitan pada Sulaeman dan Salamah. Mereka meninggalkan kediaman Sulaeman menuju hotel dengan mobil yang Kenzo pinjam dari seorang teman. Ahmad, teman sesama dokter yang memegang salah satu klinik miliknya di Aceh.
Almahyra melihat setiap jalanan yang mereka lalui dari kaca mobil. Tempat yang dahulu ia tinggali kini sudah berubah total. Tidak banyak orang yang mengenalinya saat ini. Hampir semua penduduk di kampungnya menjadi korban tsunami. Hanya Sulaeman dan istrinya orang terakhir yang ia temui sebelum ikut Kenzo ke Surabaya.
Almahyra mencoba menguatkan hatinya agar tidak menangis. Dia berusaha untuk tetap tegar mengingat kenangan buruk yang menimpanya. Dia sangat rindu dengan kedua orang tuanya saat ini.
"Kamu menangis, Al?" tanya Kenzo.
"Tidak, Paman. Mataku hanya sedikit gatal," elak Almahyra.
"Jangan bohong! Aku tahu. Kamu pasti rindu kampung halamanmu. Sekarang sudah sore, kita akan kembali lagi ke sini besok."
Ucapan Kenzo membuat Almahyra senang. Dia tersenyum menatap paman yang sekarang sudah sah menjadi suaminya itu.
"Benarkah! Terimakasih, Paman." Almahyra memeluk Kenzo. Itu bukan hal baru bagi Kenzo. Setiap hari dia selalu bersikap manja padanya.
"Kita akan menghabiskan waktu untuk berkeliling selama di sini. Kamu bebas mengunjungi tempat yang ingin kamu kunjungi." Kenzo mengusap rambut Almahyra gemas.
"Iya, Paman. Hooamm." tangan Almahyra menutup mulutnya yang menguap karena mengantuk.
"Kamu mengantuk? Hei, jangan tidur sebentar lagi kita sampai gadis kecil!" Kenzo mencubit hidung Almahyra.
"Auww, sakit tauk! Paman, ih!" Almahyra mengusap hidungnya. Wajahnya tampak cemberut.
"Hahaha... biar kamu nggak ngantuk, Al."
"Idih, malah ketawa. Kalau hidung Al putus gimana coba?" gerutu Almahyra.
"Di lem," jawab Kenzo jahil.
"Ah, Paman! Suka seenaknya, deh!"
"Tapi terbukti bikin kamu nggak ngantuk, kan?"
"Iya, tapi nggak perlu di awali dengan KDRT juga dong."
Mendengar kata KDRT spontan Kenzo menatap Almahyra. Deg. Dia baru ingat jika gadis kecil ini sekarang adalah istrinya.
"Paman kenapa?" tanya Almahyra heran. Kenzo seperti melamun saat menatapnya.
"Em, ahh, nggak papa. Aku hanya teringat sesuatu saja." Kenzo mencoba menutupi kegugupannya.
"Ada yang Paman lupakan?" belum puas dengan jawaban Kenzo sebelumnya, Almahyra kembali bertanya.
"Aku hampir lupa kalau kita sudah menikah," jawab Kenzo lirih.
"Kita sudah sampai, Tuan." ucapan Arman memutus obrolan mereka.
Almahyra membantu Kenzo duduk di kursi rodanya. Mereka bertiga pergi untuk memesan kamar di bagian resepsionis hotel. Kenzo memilih dua kamar yang bersebelahan.
"Wah, indah sekali, Paman." Almahyra mendorong kursi roda Kenzo mengelilingi kamar tempat mereka menginap.
"Kamu menyukainya?"
"Banget! Kita ke sana yuk!" Almahyra mendorong Kenzo menuju balkon yang menghadap ke pantai.
"Duduklah!" Kenzo menepuk pahanya.
Ragu - ragu Almahyra menuruti keinginan Kenzo. Dulu dia terbiasa bermanja-manja bersama Kenzo. Dia sering minta di gendong, minta di pangku, menempel ke sana ke mari, tapi sekarang ada rasa berbeda yang menghinggapi hatinya.
"Paman Ken harus mandi sekarang," ucap Almahyra mencoba menghindari permintaan Kenzo.
"Sebentar saja, Al." suara Kenzo terdengar memohon.
Terpaksa Almahyra menurut. Dia terpaksa harus melawan gejolak hatinya yang menderu. Tangannya menjadi dingin akibat detak jantungnya yang tidak stabil.
"Terimakasih untuk semuanya, Al. Kau sudah merawat dan melayaniku dengan baik," bisik Kenzo ketika Almahyra sudah berada di pangkuannya.
"Itu tidak sebanding dengan apa yang sudah Paman berikan untukku." Almahyra memegang tangan Kenzo yang melingkar di pinggangnya.
"Aku mencintaimu Al. Apa kamu juga memiliki perasaan yang sama?"
Pernyataan Kenzo membuat Almahyra semakin gemetar. Ini terdengar lebih mengejutkan daripada ajakannya untuk menikah tempo hari.
"Hmm." Almahyra mengangguk. Mulutnya seperti tercekat. Dia tak bisa mengucapkan kata-kata.
"Terimakasih." Kenzo mencium pipi Almahyra. Dia rasa istrinya saat ini sedang merasa malu. Dia tidak ingin membuatnya semakin grogi.
"Hari sudah gelap, Paman. Mari aku bantu untuk mandi." Almahyra ingin segera mengakhiri kecanggungan yang tercipta di antara mereka.
"Hem." Kenzo mengangguk.
Seperti biasa, selama Kenzo lumpuh karena kecelakaan. Almahyra selalu membantunya untuk melakukan banyak hal. Dia mempersiapkan air mandi, melepaskan baju luar, dan menyiapkan baju ganti, sisanya bisa Kenzo lakukan sendiri.
Berbeda dengan Almahyra, Mona istri sah Kenzo malah jarang sekali memperhatikannya. Dia sering lembur di rumah sakit. Ada saja alasannya untuk menghindari tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Apalagi Kenzo mengalami kecelakaan setelah bertengkar hebat dengannya sebelumya. Mona tidak mau disalahkan setelah Kenzo mengetahui dia diam - diam meminum pil kontrasepsi selama mereka menikah.
••••
Tidak ada hal yang terjadi antara Kenzo dan Almahyra di malam pertama setelah mereka resmi menjadi suami istri. Mereka masih sama-sama canggung. Kenzo belum merasa yakin apakah Almahyra benar-benar mencintainya dan menerima keadaannya sepenuhnya.
Seperti janjinya kemarin, hari ini mereka pergi berkeliling ke tempat yang ingin Almahyra kunjungi. Kampung tempat dia tinggal, bekas camp pengungsian, dan tempat favorit mereka menghabiskan waktu ketika Kenzo masih menjadi relawan.
"Al, dulu kamu di sana sering menyendiri dan menangis." Kenzo menunjuk sebuah tempat yang sekarang menjadi kedai kopi.
"Bukan di sana, Paman. Tapi di situ." Almahyra menunjuk sebuah taman.
"Iyakah? Aku pikir di sana." Kenzo terkekeh.
"Dulu Paman selalu menghiburku dan sering membelikanku coklat." Almahyra tersenyum mengingat masa kecilnya di pengungsian.
"Iya, aku nggak tahan melihat kamu bersedih. Matamu sampai bengkak sebesar bola pingpong karena menangis."
"Ya, wajarlah orang aku masih kecil waktu itu."
"Tapi nggak perlu mogok makan juga kali, Al. Kalau nggak sama aku, kamu nggak mau makan. Hmm."
Almahyra tersipu malu mengingat hal itu. Dia masih kecil tapi sudah jatuh cinta sama Kenzo. Mahasiswa Kedokteran tampan yang sangat lembut dan menyenangkan.
"Kenapa kamu diem, Al? Aku kangen sama rengekanmu yang manja. Rengekan yang membuat aku nggak bisa jauh dari kamu."
"Aku kan udah besar sekarang. Masa suruh merengek. Paman ada - ada saja." Almahyra menghentikan kursi roda Kenzo di depan sebuah bangku. Dia duduk di bangku menghadap Kenzo.
"Tapi itu yang membuatku jatuh cinta sama kamu, Al. Aku akan melakukan apapun untuk membuatmu berhenti menangis. Aku lebih suka melihatmu merengek dan bersikap manja padaku."
"Jatuh cinta? Paman mencintaiku?" manik mata Almahyra yang indah bersitatap dengan mata Kenzo. Dia mencoba mencari kejujuran di mata Kenzo.
"Iya, Al. Akulah pria naif itu. Sejak pertama kita bertemu aku sudah menyukaimu. Dan sekarang aku menjebakmu dalam sebuah ikatan pernikahan. Maafkan aku Al. Aku benar-benar tidak ingin kehilangan kamu." Kenzo menunduk.
Almahyra meraih tangan Kenzo. "Aku juga mencintaimu, Paman," ucap Almahyra malu - malu. Pipinya memerah. Dia menoleh ke arah lain untuk menyembunyikannya dari Kenzo.
"Benarkah? Hei, lihat aku!" Kenzo tersenyum senang mendengar pengakuan Almahyra. Gadis kecil yang selama ini mengisi hari - harinya.
Almahyra menghadap Kenzo lalu mengangguk.
"Sejak kapan, Al? Kenapa kamu nggak bilang padaku?" hati Kenzo berbunga-bunga.
"Sejak pertama kali bertemu Paman di sini."
Lagi - lagi Kenzo merasa shok dengan pengakuan Almahyra. "Kamu nggak bohong kan, Al?" Kenzo meremas tangan Almahyra.
Almahyra menggeleng.
"Tahu begini, aku nggak akan pernah menikah dengan Mona, Al. Aku nggak peduli di sebut predator anak atau paman brengsek, dokter gila, atau apalah."
"Takdir kita memang harus seperti ini, Paman. Nggak ada yang perlu kita sesali."
Sejenak mereka larut dalam kebahagiaan mereka. Kenzo mencium tangan Almahyra berkali-kali.
"Aku mencintaimu Almahyra. Jadilah istriku yang sesungguhnya." suara lirih Kenzo begitu menggema di hati Almahyra.
"Aku juga mencintaimu, Paman Dokter. Aku bahagia menjadi istrimu." Almahyra mencondongkan badannya memeluk Kenzo.
Mereka merasa lega setelah sama-sama mengungkapkan perasaannya. Kecanggungan di antara mereka kini sudah lenyap. Mereka kembali saling mengisi dan melengkapi.
Almahyra dan Kenzo memanfaatkan waktu seminggu di Aceh dengan berkeliling dan berbulan madu. Almahyra tidak merasa malu membawa Kenzo kemanapun dia pergi. Dia tidak peduli dengan tatapan sinis orang - orang yang memandang rendah Kenzo sebagai orang lumpuh.
*****
Bersambung...
"Kamu lelah, Al?" tanya Kenzo setelah turun dari mobilnya dan duduk di kursi roda.
"Lumayan." Almahyra mengikat rambutnya sembarangan sebelum mendorong kursi roda Kenzo.
Arman menurunkan koper dan barang - barang milik Kenzo dan Almahyra. Dia berjalan mendahului Almahyra untuk menekan bel rumah Kenzo. Hari sudah malam, mungkin pembantu Kenzo sudah beristirahat di kamarnya
Kenzo melirik pintu garasi yang terbuka. Kosong. Itu berarti Mona sedang tidak di rumah.
Setelah beberapa saat, pembantu Kenzo datang membukakan pintu untuk mereka. Dia membantu Arman membawa barang - barang milik Kenzo ke kamar tamu. Semenjak dinyatakan lumpuh dia tinggal di kamar tamu yang ada di lantai bawah. Dia tidur terpisah dengan Mona yang selalu beralasan tak bisa tidur jika tidak di kamar yang biasa mereka tempati.
"Maaf, Mbak, sudah mengganggu istirahat Embak," ucap Almahyra setelah sampai di kamar tamu.
"Nggak ngganggu kok, Non. Tadi saya masih nonton TV. Non Al sama Tuan Ken sudah makan belum? Saya siapin makan, ya, Non."
"Nggak usah, Mbak. Kami sudah makan tadi. Mbak istirahat saja. Oh, iya kak Mona kemana? Aku nggak liat dia dari tadi." Almahyra bertanya sambil membantu Kenzo naik ke tempat tidur.
"Itu, Non. Nyonya pergi sore tadi. Dia pergi beberapa hari. Tadi baru pulang sebentar terus pergi lagi," jelas ART Kenzo.
"Oh, ya udah. Mungkin dia lembur di rumah sakit." Almahyra berpikir positif tentang Mona.
"Kalau nggak ada yang dibutuhkan lagi saya permisi, Non." ART Kenzo undur diri.
"Silakan, Mbak. Terimakasih," jawab Almahyra lembut.
Setelah kepergian Mita, ART Kenzo, hanya ada Kenzo dan Almahyra di kamar itu. Almahyra mengganti baju Kenzo dengan baju tidur.
"Paman, aku ke kamarku dulu, ya," pamit Almahyra.
"Kamu di sini saja Al. Temani aku." tangan Kenzo memegang erat tangan Almahyra.
"Tapi, Paman. Bagaimana kalau tiba-tiba kak Mona datang."
"Bukankah dia sudah biasa melihat kita sering bersama. Dia juga belum tahu kalau kita pulang malam ini."
Almahyra menurut. Mereka kembali melewati malam bersama. Almahyra tidak menampik jika saat ini dia begitu menikmati perannya menjadi seorang istri. Dia berhak mendapatkan nafkah batin dari suami yang sangat di cintainya itu.
Sebelum subuh tiba Almahyra buru - buru kembali ke kamarnya. Dia tidak ingin Mita curiga jika semalam dia tidur bersama Kenzo.
Kenzo melirik tempat kosong di sampingnya. "Sudah pergi." Kenzo menghela napasnya. Betapa dia sangat ingin selalu bersama Almahyra tanpa harus sembunyi - sembunyi seperti ini.
•••••
"Pagi semua!" Mona turun dari kamarnya lengkap dengan pakaian dokternya.
"Pagi, Kak," jawab Almahyra di sela kesibukannya menyiapkan sarapan bersama Mita.
"Kapan kalian pulang, Al?" tanya Mona.
"Semalem, Kak. Bisa minta tolong bangunin paman Ken, Kak!" pinta Almahyra pada Mona.
"Maaf, aku buru - buru." Mona meletakkan sandwich yang belum habis dia makan dan meneguk susunya. Dia lalu beranjak pergi dari ruang makan.
Almahyra menggeleng. 'Selalu saja begitu.' gumamnya dalam hati.
"Mbak, tolong matikan supnya kalau sudah mendidih ya, Mbak. Aku panggil paman Ken dulu."
"Baik, Non!"
Almahyra pergi ke kamar Kenzo.
"Paman Ken sudah bangun. Kenapa nggak memanggilku tadi?"
"Aku sudah lumayan sehat, Al. Sedikit - sedikit aku sudah bisa bergerak." Kenzo duduk di kursi rodanya dengan penampilan yang sudah rapi. Sepertinya dia sudah selesai mandi sendiri.
"Wangi. Paman Ken sudah mandi rupanya." Almahyra tersenyum senang melihat perkembangan kesehatan Kenzo. Dia melihat baju kotor sudah di masukkan ke dalam keranjang. Hanya tinggal tempat tidur saja yang berantakan.
"Sudah dong, Al. Siapa tahu istri kecilku mau kasih ciuman pagi," goda Kenzo.
"Sstttt, nanti ada yang denger, Paman." Almahyra melirik Kenzo sejenak dia menghentikan kegiatannya merapikan tempat tidur.
"Iya, iya. Aku kan pelan ngomongnya."
Almahyra selesai merapikan tempat tidur Kenzo.
"Beres! Saatnya sarapan." Almahyra menepuk bantal lalu berbalik untuk mendorong kursi roda Kenzo.
"Masak apa tadi?" tanya Kenzo diperjalanan menuju ruang makan.
"Sop iga, sama ayam kecap aja, Paman. Tadi kak Mona aku bikinin sandwich."
"Hmm. Pasti enak. Aku lama nggak makan ayam kecap. Besok aku masakin teri tomat kayak yang waktu itu, ya, Al."
"Siap, Paman!"
Dengan telaten Almahyra melayani Kenzo untuk sarapan. Sebelum mereka menikah, dia hanya memasak dan menyajikannya di meja makan saja.
••••
Dua bulan sudah kebersamaan Kenzo dan Almahyra sebagai sepasang suami istri. Awalnya Mita merasa curiga jika majikannya terlibat hubungan terlarang, namun setelah Arman menceritakan semuanya dia jadi bersimpati pada tuannya. Mita tahu betul bagaimana kelakuan Mona selama ini. Bagaimanapun juga tuannya berhak untuk bahagia. Almahyra lebih pantas untuknya ketimbang Mona meskipun usianya terpaut jauh.
Almahyra menemani Kenzo menonton Televisi di ruang keluarga sambil menggambar desain baju.
"Al, kamu dah mau mulai masuk kuliah lagi, ya?" tanya Kenzo.
"Masih dua minggu lagi, Paman." Almahyra masih fokus menggambar sketsa baju untuk mengasah skilnya.
"Gambar apa sih, coba lihat?" Kenzo mendekati Almahyra.
"Huft, nggak ada yang keren!" Almahyra menjatuhkan pensilnya.
"Ini bagus." Kenzo mengambil selembar sketsa yang hampir selesai di buat.
"Emm, tapi terlalu simpel deh kayaknya."
"Kayak kamu simpel tapi manis," puji Kenzo.
"Apaan sih?" Almahyra menutup mukanya dengan telapak tangannya.
"Beneran, manis." Kenzo menarik tangan Almahyra yang menutupi wajahnya yang memerah.
"Paman mau ngapain?"
Kenzo semakin mendekatkan wajahnya. Dia merasa gemas melihat pipi merah Almahyra. Setuju atau tidak dia tetap akan menciumnya.
Brukkkk!
Suara benda jatuh, membuyarkan kemesraan mereka berdua.
Tanpa sengaja Mita menjatuhkan barang belanjaannya setelah melihat adegan panas di depannya.
"Maaf, Tuan, saya tidak melihat apa-apa." Mita kembali mengambil barang belanjaannya dan mengambil langkah seribu meninggalkan ruangan itu.
Ruang keluarga di rumah Kenzo memang terhubung langsung dengan dapur bersih. Ada sebuah pintu yang menghubungkan ruang keluarga dengan garasi. Mita biasa melewati pintu ini sepulang dari belanja.
"Tunggu, Mbak!" panggil Almahyra malu - malu setelah kepergok bermesraan.
"Iya, Non." Mita menghentikan langkahnya tanpa menoleh.
'Mati aku. Pasti Non Al marah sama aku.' Mita bermonolog.
"Tadi Mbak Mita dapat telepon dari Bu Intan. Dia bilang hari ini anaknya menikah. Mbak Mita jangan sampai lupa. Katanya aku di suruh bilang gitu sama Mbak Mita," ucap Almahyra menyampaikan pesan dari saudara Mita.
"Astagfirullah! Saya beneran lupa, Non. Saya lupa kalau hari ini ponakan saya menikah." Mita memutar badan menghadap Almahyra dan Kenzo.
"Gimana, ya, Non? Apa saya boleh ijin Tuan Ken?" tanya Mita sedikit canggung. Tangannya memainkan kantong belanjaannya untuk mengurangi kegugupannya.
"Kamu boleh pergi. Tapi nggak usah nginep, ya, Mbak," ucap Kenzo memberi ijin.
"Alhamdulillah. Terimakasih Tuan Ken, Non Al. Saya permisi mau siap - siap."
"Nggak usah naik taksi, Mbak. Minta di antar saja sama mas Arman. Biar cepet dan nggak capek," imbuh Kenzo.
"Terimakasih banyak Tuan Ken." Mita berjingkat senang. Dengan cepat dia menata belanjaannya di kulkas lalu segera bersiap untuk pergi ke tempat saudaranya.
Kenzo dan Almahyra masih betah di ruang keluarga. Sekarang hanya tinggal mereka berdua di rumah.
Kenzo merasa bosan. Almahyra sibuk memainkan pensil dan kertas tanpa melihatnya.
"Al!" panggil Kenzo.
"Iya, Paman." tidak menoleh.
"Al!" panggil Kenzo lagi.
"Iya, Paman Ken." masih tidak bergeming. Tanggung. Sketsa yang Almahyra gambar sedikit lagi selesai.
"Ya, ampun Al, gitu amat sih, sama suami. Aku sebal tauk, dicuekin mulu dari tadi!" Kenzo merajuk. Mukanya terlihat kesal.
Almahyra meletakkan alat gambarnya.
"Idih, manyun. Paman cakep deh, kalau kayak gini." Almahyra duduk dipangkuan Kenzo.
"Nggak usah ngerayu!" Kenzo pura-pura cuek.
"Yakin nggak mau aku rayu?" ledek Almahyra sambil mengalungkan tangannya di leher Kenzo.
Bugg.
Bukannya menjawab Kenzo malah menjatuhkan tubuh Almahyra di sofa. Pergerakannya sekarang terkunci oleh lengan kekar Kenzo. Kenzo menyerang Almahyra tanpa ampun.
"Paman, jangan di siniii," ucap Almahyra selagi kesadarannya masih normal.
"Nanggung, Al. Mumpung nggak ada orang." Kenzo tidak peduli ucapan Almahyra.
Akhirnya Almahyra pasrah. Percuma dia menolaknya. Kenzo sudah dikuasai hasratnya yang tak terbendung.
"Kenzo!" pekik seorang wanita yang sangat dia kenal.
"Mama!" Kenzo gelagapan. Dia segera beranjak dan membetulkan bajunya yang berantakan
Almahyra tak kalah terkejut. Dia merapikan penampilannya dengan tangan gemetaran.
Mila, mama Kenzo berjalan mendekat. Tak lama kemudian Takeshi, papa Kenzo menyusul. Mereka berempat duduk saling berhadapan di ruangan itu.
Kenzo dan Almahyra menundukkan wajah mereka. Mereka tidak berani menatap Takeshi dan Mila.
"Ken, Al, jelaskan sama mama. Apa yang barusan mama lihat?" suara Mila lantang.
Kenzo masih terdiam.
"Pa, mama pusing sama anak kamu. Bisa - bisanya dia berbuat tidak senonoh sama anak angkatnya sendiri." Mila terisak.
"Lihat Ken, kamu sudah membuat mama kamu menangis karena ulahmu." Takeshi menatap Kenzo tajam. Dia tidak menyangka anak kebanggaannya bisa berbuat hal yang memalukan.
"Maaf, Ma, Pa." Kenzo masih menunduk. Dia tidak tahu harus mulai dari mana untuk menjelaskan semuanya.
"Mama nggak tahu apa dosa mama di masa lalu hingga melahirkan anak sepertimu." tangis Mila semakin menjadi.
"Sejak kapan kalian melakukan hubungan terlarang ini?" tanya Takeshi tegas.
"Ini nggak seperti yang kalian pikirkan, Pa, Ma. Kami tidak melakukan hal yang salah," jelas Kenzo.
"Kamu sudah gila, Ken. Apa perbuatan seperti tadi itu benar menurut kamu?" ucap Mila berapi-api.
"Jelaskan, Ken!" imbuh Takeshi.
"Kami benar-benar tidak melakukan kesalahan, Pa." Kenzo mengulang kata - katanya.
"Jujurlah pada kami. Aku tidak akan membocorkan rahasia kalian pada Mona jika kalian mau jujur." Takeshi mulai melembut. Dia tahu betul sifat Kenzo. Dia bukan laki-laki mata keranjang yang mudah tergoda oleh wanita.
"Aku dan Al sudah menikah siri di Aceh dua bulan yang lalu, Pa," ucap Kenzo lirih. Dia masih belum berani menatap wajah orang tuanya.
Mila menghentikan tangisnya lalu beralih menatap Almahyra. "Apa itu benar, Al?" suara Mila mulai melembut. Dia ingin meminta kejelasan dari Almahyra.
"Benar, Ma." Almahyra menjawab dengan gugup. Seperti halnya Kenzo nyalinya juga menciut dihadapkan Mila dan Takeshi.
"Apa yang membuatmu melakukan poligami, Ken?" tanya Mila. Emosinya mulai mereda.
Kenzo menceritakan pertengkarannya dengan Mona beberapa waktu lalu. Mona yang tidak ingin hamil, Mona yang sibuk dengan dunianya sendiri saat dia lumpuh dan membutuhkannya, bahkan Mona mengacuhkannya hingga sekarang. Semua dia ceritakan.
Kenzo juga jujur pada orang tuanya jika sebenarnya dia awalnya menikahi Almahyra agar dia tidak meninggalkannya. Kenzo jatuh cinta pada ketulusan Almahyra dalam merawatnya. Dia tidak ingin kehilangan Almahyra. Namun setelah mereka menikah dia baru tahu jika mereka sudah saling mencintai sejak lama.
"Pertahankan hubungan kalian!" ucap Mila setelah mendengar penjelasan Kenzo.
"Jadi mama merestui kami!" ucap Kenzo senang.
Mila dan Takeshi mengangguk. Mereka tersenyum pada Kenzo dan Almahyra.
Kenzo langsung memeluk Almahyra erat. Dia tidak peduli dengan Almahyra yang berusaha memberontak karena merasa tidak enak pada orang tua Kenzo.
"Al, segera berikan kami cucu. Kami akan membantu mengurus Mona jika dia macam-macam." ucapan Takeshi membuat Almahyra tersipu.
Kebekuan di antara mereka berempat kini sudah mencair. Mila dan Takeshi sangat menyayangi Almahyra. Mereka senang sekarang dia menjadi menantu keluarga Takeshi.
Almahyra menyiapkan makan siang untuk mereka karena Mita belum kembali. Dia sudah hafal makanan kesukaan keluarga ini dan cara mengolahnya. Itu salah satu hal yang membuatnya disayangi oleh keluarga Takeshi.
****
Bersambung...
Ting!
Bunyi pesan masuk terdengar dari ponsel Mila.
"Ya, ampun. Baru juga nyampe udah harus balik lagi ke Jepang." Mila menepuk jidatnya.
"Kenapa, Ma?" tanya Kenzo.
"Oma kamu rewel, Ken. Nyariin mama sama papa. Oma ngancem mogok makan kalau kami nggak pulang," jelas Mila.
"Udah, biarin aja, Ma." Takeshi bersikap santai.
"Biarin gimana? Mama Maori nggak pernah main - main, Pa." Mila melakukan pemesanan tiket ke Jepang lewat aplikasi ponselnya. Mereka akan berangkat malam ini juga.
"Jadi, mama sama papa mau balik sekarang?" tanya Kenzo.
"Iya, Sayang. Mama takut oma kenapa-napa. Pasti ada yang dia khawatirkan saat ini." Mila berdiri untuk membereskan barangnya di kamar.
"Aku gini aja ya, Ma. Nggak usah ganti baju, ya." Takeshi enggan beranjak dari duduknya.
"Terserah Papa!" Mila berlalu dari hadapan mereka.
"Al! Aal!" panggil Kenzo.
Almahyra sedang membuat kue di dapur saat itu.
"Iya, Paman. Sebentar! Ini sudah mau selesai," sahut Almahyra.
Almahyra membawa nampan berisi minuman dan kue buatannya.
"Mama sama Papa mau kemana?" Almahyra terkejut melihat mertuanya membawa koper dan bersiap untuk pergi.
"Kami harus kembali ke Jepang, Al. Oma kamu rewel. Kamu jaga diri baik-baik, ya. Seringlah mengabari mama," Mila memeluk Almahyra.
"Pasti, Ma. Mama, Papa hati - hati. Salam buat Oma Maori."
Mila mengangguk.
"Jangan sering begadang, Al. Wajah kamu terlihat pucat." Mila mengusap kepala Almahyra.
"Iya, Ma. Kadang kepala Al terasa pusing kalau kurang tidur."
"Ya, sudah. Kamu segera istirahat. Mama sama papa pamit dulu." Mila melepaskan pelukannya. Mila tahu Kenzo pasti sering mengganggu tidurnya setelah mereka menikah.
"Ken, jaga Al baik - baik. Hati - hati, jangan sampai Mona menyakiti menantu kesayangan mama," ucap Mila sebelum berlalu.
"Pasti, Ma!" jawab Kenzo yakin.
Almahyra mengantarkan mereka hingga ke depan pintu.
"Auww!" Almahyra meringis menahan perutnya yang terasa nyeri.
"Kenapa, Al?" tanya Kenzo khawatir melihat wajah Almahyra yang tampak pucat.
"Perutku terasa nyeri Paman. Mungkin mau datang bulan. Udah telat lama banget soalnya," ucap Almahyra sambil mendesis menahan nyeri. Tangannya terus memegangi perutnya.
"Telat? Apa mungkin kamu hamil, Al?" Kenzo menatap lekat istrinya. Dia ingat setelah mereka menikah Almahyra baru datang bulan sekali. Itu pun sudah lama.
"Hamil?"
Deg.
Almahyra tiba - tiba merasa takut. Tapi kehamilannya bukanlah aib. Dia dan Kenzo sudah menikah.
"Jangan takut, Al! Kita akan menghadapinya bersama-sama. Aku sudah lama mendambakan seorang anak." Kenzo tersenyum senang meski kabar ini belum pasti.
"Aku... aku... aku takut kak Mona mengetahuinya." Almahyra menunduk. Dia seharusnya memikirkan hal ini sebelum memutuskan untuk menikah.
"Sudah, jangan takut. Mona sudah sangat keterlaluan. Aku nggak tahu berapa lama lagi hubungan kami bisa bertahan."
Kenzo sebenarnya bisa saja menceraikan Mona setelah pertengkaran mereka beberapa waktu lalu. Tapi sifatnya yang lembut membuatnya tidak bisa menyakiti hati wanita yang sudah lima tahun menemaninya itu. Sekarang dia terlibat dalam pilihan yang sulit. Kenzo mencintai Almahyra namun juga tidak bisa mencampakkan Mona begitu saja.
Almahyra memesan testpack secara online. Kurir datang tidak lama setelah dia membuat pesanan. Hatinya harap-harap cemas menanti hasil kerja alat yang dia pesan.
"Siapa, Al?" tanya Kenzo ketika melihat Almahyra membawa sebuah kantong kecil.
"Kurir, Paman. Em, tadi aku memesan testpack," ucap Almahyra malu-malu.
"Baru saja aku memikirkannya, Al. Ayo, Al! Aku sudah nggak sabar." Kenzo menjalankan kursi rodanya menuju ke kamarnya.
"Sekarang, Paman?" Almahyra mengikuti Kenzo di belakang.
"Iyalah! Ini!" Kenzo memberikan sebuah vas kecil yang tidak terpakai.
"Hmm." Almahyra mengerti maksud Kenzo. Vas itu gunanya untuk menampung urine dan mencelupkan testpack.
Kenzo tidak sabar menunggu Almahyra keluar dari kamar mandi. Dia terus melihat ke arah pintu kamar mandi.
"Bagaimana, Al?" tanya Kenzo setelah melihat Almahyra keluar.
Almahyra tidak menjawab. Dia hanya menyodorkan testpack yang selesai dia pakai. Kenzo menerima testpack itu dan membaca hasilnya. Garis dua. Matanya membulat sempurna.
"Terima kasih, Al! Aku akan menjadi seorang ayah. Terima kasih, Al. Aku mencintaimu!" Kenzo menarik Almahyra hingga terduduk dipangkuannya. Dia memeluk erat Almahyra dan menghujaninya dengan ciuman. Kenzo sangat bahagia.
"Aku juga mencintaimu, Paman." Almahyra mencoba berdamai dengan kecemasannya. Dia tidak tahu berapa lama bisa menyembunyikan kehamilannya dari orang-orang di sekitarnya.
•••••
Almahyra menyimpan susu hamil dan beberapa vitamin di kamarnya. Kenzo sangat bersemangat memperhatikan kehamilan Almahyra. Dia memesan secara pribadi suplemen terbaik untuk mendukung kesehatan Almahyra dan calon anaknya.
Beruntung Almahyra tidak mengalami morning sickness yang berarti. Dia hanya mengalami pusing secara tiba-tiba dan sering mengantuk. Seperti hari ini, kepalanya terasa pusing dan membuatnya tidak bisa bangun pagi. Dia kembali tidur setelah selesai sholat subuh.
Malam ini, Almahyra ingin tidur lebih awal. Setelah selesai makan malam dan minum susu dia merebahkan tubuhnya di atas kasur empuknya. Dia tersenyum sambil mengelus perutnya yang masih rata.
Tokk... Tokk... Tokkk...
"Al! Apa kamu sudah tidur? Boleh aku masuk? Aku mau pinjam charger!" teriak Mona dari luar kamar.
Tanpa menunggu persetujuan dari Almahyra, Mona langsung menyelonong masuk. Mona tahu di mana Almahyra menyimpan chargernya karena dia sudah beberapa kali meminjamnya.
Deg.
Jantung Almahyra berdetak kencang. Hal yang tidak dia inginkan akhirnya terjadi juga. Wajahnya pucat pasi ketika melihat Mona membuka laci tempat dia menyimpan chargernya. Pasalnya dia juga menyimpan testpack miliknya di sana.
"Al, ini milik siapa?" Mona mengangkat testpack yang dia temukan.
Almahyra terdiam. Dia tidak berani menatap wajah Mona.
"Kamu hamil, hmm? Jawab Al!" bentak Mona.
Almahyra masih tak berkutik.
Pandangan Mona beralih pada beberapa kotak susu hamil merk ternama dengan berbagai varian rasa yang berjajar rapi di atas meja. Di sana juga ada sebuah termos air panas berukuran kecil.
"Astaga, aku nggak nyangka jika tingkah kamu nggak sepolos wajahmu, Al." Mona berjalan mendekati Almahyra.
"Apa jadinya jika Ken tahu hal ini? Katakan siapa yang menghamilimu? Kamu harus minta pertanggungjawaban sebelum perutmu membesar!" suara Mona terdengar hingga ke seluruh penjuru rumah.
Almahyra mulai terisak.
"Kamu nggak sayang sama wajah cantik kamu, Al. Bisa-bisanya kamu berperilaku seperti seorang pelac*r. Katakan, siapa yang sudah menghamilimu!" Mona terlihat semakin emosi melihat Almahyra yang terus terdiam.
"Lihat aku, Al!" Mona mencengkeram dagu Almahyra.
"Maaf, Kak Mona," ucap Almahyra lirih.
"Apa kamu bilang, maaf? Kamu sangat memalukan, Al. Bagaimana bisa Ken memelihara gadis liar sepertimu. Aku nggak habis pikir kenapa kamu bisa sebinal itu. Harusnya dulu Ken nggak usah memungutmu. Gadis murahan!" dengan kasar Mona melepaskan cengkramannya meninggalkan bekas kemerahan di wajah Almahyra.
"Ada apa ini?" Kenzo muncul dan menggerakkan kursi rodanya mendekati Mona.
"Lihat Ken, anak kampung sok lugu yang kamu pungut dari air bah ini hamil tanpa suami! Mungkin otaknya sudah hanyut di telan tsunami sampai-sampai dia tidak berpikir panjang sebelum berbuat di luar batas." Mona menunjuk wajah Almahyra di hadapan Kenzo.
"Kamu jangan asal bicara, Mona!" Kenzo tak terima.
"Apa kamu bilang? Asal bicara? Lihat ini, Ken! Ini! Ini! Juga ini!" Mona berjalan mengambil testpack, susu hamil, dan termos sambil melemparkannya ke lantai.
Kenzo dan Almahyra saling pandang.
"Kamu masih ingin membelanya, Ken?" Mona berdiri di hadapan Kenzo.
"Iya!" jawab Kenzo membuat Mona membelalakan matanya tak percaya.
"What? Jadi kamu bangga dipermalukan olehnya?" Mona menggeleng sambil menunjuk muka Almahyra.
"Dia nggak melakukan hal yang salah. Al, hamil dengan suaminya," ucap Kenzo datar.
"Suami? Suami yang mana? Aku nggak pernah melihat Al sekalipun membawa seorang laki-laki kemari." Mona melipat tangannya di dada.
"Kapan kamu memperhatikan Al? Suami sendiri saja nggak pernah kamu urus." ucapan Kenzo telak mengena Mona.
Mona terdiam. 'Sial! Kenapa Ken kembali membahas masalah di antara kami. Aku nggak boleh mengalah.' Mona bermonolog dalam hati.
"Apa itu benar, Al? Kalau kamu punya suami, kenapa kamu masih betah menumpang di sini?" tanya Mona ketus.
Kenzo sudah tidak tahan dengan sikap kasar Mona. Dia terus saja memojokkan Almahyra.
"Karena aku suaminya." akhirnya Kenzo berkata jujur.
Mona merasa shok dengan jawaban Kenzo. Dia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
"Nggak! Nggak mungkin! Kamu bohong kan Ken?" Mona meletakkan kedua tangannya di sandaran lengan kursi roda. Posisi Mona dan Kenzo sangat dekat.
"Aku nggak bohong, Mona. Aku menikahi Al di Aceh." Kenzo kembali mengungkapkan fakta yang membuat Mona semakin emosi.
"Kalian berdua penghianat!" Mona bangkit dan menghampiri Almahyra.
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Almahyra.
"Hentikan, Mona! Aku akan menuntutmu jika kamu menganiaya istriku!"
"Aku nggak peduli!" teriak Mona yang masih di kuasai emosi.
Mona kembali berbuat kasar. Dia menarik rambut panjang Almahyra lalu mendorongnya hingga kepalanya terbentur tembok. Almahyra diam tak membalas.
"Jangan gila, Mona! Hentikan!" teriak Kenzo.
"Kamu yang gila Ken! Dasar laki-laki brengsek! Sudah lumpuh dan tak berguna masih saja berbuat hal memalukan. Aku benci kalian!" Mona berteriak sambil menangis.
"Apa otakmu juga ikut lumpuh, Ken? Beraninya kamu bermain di belakangku. Aku kecewa pada kalian. Pasangan menyedihkan. Yang satu lumpuh, yang satu nggak tahu diri. Benar-benar serasi!"
Setelah puas mengeluarkan hinaan dan caciannya Mona pergi dari kamar Almahyra. Tak lama kemudian terdengar suara deru mobil dari luar rumah. Sudah pasti itu Mona yang pergi meninggalkan rumah Kenzo.
Suasana kamar menjadi hening. Kenzo mendekati Almahyra yang masih berdiri menempel di tembok. Penampilannya sangat berantakan. Rambutnya acak-acakan dan pipinya memerah akibat tamparan Mona.
"Maafkan aku, Al. Nggak seharusnya aku menempatkanmu dalam suasana yang sulit. Aku terlalu egois, Al. Seharusnya aku menceraikan Mona terlebih dahulu baru menikahimu. Aku terlalu bodoh menganggap perceraian itu sebuah hal yang tabu. Maafkan aku, Al." Kenzo sangat merasa bersalah.
"Semua sudah terjadi, Paman. Aku ikhlas menerima konsekuensi dari apa yang kita lakukan."
"Terima kasih, Al. Aku benar-benar menyesal mempertahankan Mona. Dia sangat kasar dan arogan. Percuma aku berharap dia bisa berubah. Aku pikir dia bisa berubah setelah kami menikah. Nggak seharusnya aku menikahi seorang wanita yang sedari dulu tidak pernah menghargaiku."
"Jangan sesali takdir, Paman. Kalau aku bisa memilih, aku pun ingin orang tuaku tetap hidup... " Almahyra tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
"Sudah malam, tidurlah. Aku akan menemanimu di sini." Kenzo tidak mau lagi membahas sesuatu yang membuat mereka bersedih. Dia tidak ingin Almahyra mengalami stres berlebihan.
Almahyra menurut. Kepala bertambah pusing. Dia berharap kondisinya akan membaik setelah beristirahat. Belaian lembut Kenzo membuatnya merasa tenang. Hanya butuh waktu singkat dia terlelap dalam tidurnya.
Tak ingin mengganggu tidur Almahyra, Kenzo pun ikut terlelap di sampingnya.
****
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!