NovelToon NovelToon

Extraordinary Husband (Suami Yang Luar Biasa)

Kecemburuan

...Cinta identik dengan rasa kasih yang membuat bahagia bukan? Namun bagiku hanya sisi lain dari cinta yang aku dapatkan...rasa sakit ketika ditinggalkan......

Frea...

Semua dimulai ketika diriku berusia 17 tahun...

Seorang gadis memakai pakaian pelayan? Itulah sosok Frea. Gadis cantik, baik hati dengan senyuman yang manis, bekerja sambilan di sela waktu sekolahnya.

Brak...

Ahli beladiri, gadis berambut panjang mempesona. Mengalahkan seorang pria yang menjadi seniornya di area pelatihan. Berjalan perlahan, turun dari arena. Sangat mempesona bukan? Gadis baik hati yang tidak segan menolong siapa saja.

Frea mengayuh sepedanya, tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil, setelah perceraian ibu dan ayahnya. Sama-sama tidak nyaman? Begitulah perasaannya, jika diminta tinggal di rumah ibunya yang kini sudah memiliki suami, dan anak tiri. Atau diminta tinggal dengan ayahnya yang juga sudah menikah dengan seorang janda beranak satu.

Memilih tinggal sendiri di tempat yang tenang, dari pada menghadapi situasi canggung.

Pakaian bela diri ditanggalkannya, tubuh putihnya terlihat. Perlahan membasuh dirinya menggunakan gayung.

Celana panjang dikenakannya, lengkap dengan kaos berkerah V. Cukup simpel bukan? Namun, terlihat menawan. Hanya mengenakan lotion tanpa parfum. Suara ketukan pintu terdengar, Frea tersenyum, sudah mengira siapa yang datang.

Pintu perlahan dibukanya,"Frea, selamat ulang tahun..." Vincent (kekasih Frea) membawa sebuah boneka beruang kecil, serta setangkai mawar merah.

"Aku hampir lupa, terimakasih..." ucapnya tersenyum, berjalan kembali masuk diikuti sang pemuda.

Vincent tersenyum penuh maksud menutup pintu kamar kost, menatap gadis yang dicintainya intens, "Frea," ucapnya memeluk kekasihnya dari belakang, mengecup pelan pipinya.

"Nakal," Frea tertawa kecil, mendorong dahi kekasihnya. Sudah 6 bulan menjalin hubungan dengan kakak kelas terpopuler di sekolahnya itu. Namun, berciumanpun tidak pernah. Bagi Vincent itu adalah hal yang sedikit aneh, mungkin karena berbeda dengan beberapa mantan kekasihnya, yang rela melakukan apapun untuk mendapatkan perhatian sang pemuda rupawan.

"Aku harus kembali ke restauran, sudah saatnya bekerja," Frea tersenyum, meraih paperbag di dalam lemari yang berisikan seragam tempatnya bekerja.

Namun, hal yang aneh terlihat, Vincent malah berbaring di tempat tidur Frea,"Aku anak pemilik restauran, kamu bisa libur sesuka hati. Ayo berbaring bersamaku," ucapnya menepuk tempat tidur disampingnya.

Frea menghela napas kasar,"Yang punya orang tuamu. Sudah aku berangkat sendiri saja..."

"Tunggu!! Biar aku antar!!" Vincent mulai bangkit, berlari mengejar kekasihnya.

Motor sport berwarna merah, Frea memegang erat pinggang kekasihnya. Tersenyum? Benar saat ini Vincent tersenyum, menyadari gadis cantik menyender di punggungnya, mendekapnya erat. Tidak dapat dijamahnya pun tidak apa-apa, gadis dengan harga diri tinggi yang dicintainya.

Motor berhenti di area restauran, Frea membuka helmnya dibantu Vincent. Romantis bukan? Pasangan yang nampak sempurna. Perlahan Frea berjalan menuju loker, menggati pakaiannya dengan seragam restauran.

Mulai bekerja mencatat pesanan penuh senyuman, mengantar beberapa makanan. Vincent hanya tertegun tersenyum menatap kekasihnya.

Tapi apa benar pria romantis ini, sangat setia? Hingga 30 menit berlalu, Vincent kembali pergi, meninggalkan area restauran milik orang tuanya.

Wajah rupawan, dari keluarga harmonis yang berada, anak satu-satunya yang dimanjakan. Mencintai Frea? Memang benar, berlian indah yang tidak dapat disentuhnya. Laju motornya terhenti di depan sebuah kost-kostan.

Bersamaan dengan seorang gadis cantik membukakan pintunya. Secantik Frea? Tidak, namun cukup cantik untuk menjadi pelampiasannya.

"Aku mencintaimu," kata-kata penuh rayuan dari mulutnya. Mengecup pelan bibir, wanita yang berusia lebih dewasa darinya.

"Sayang..."sang wanita yang kini menjadi mahasiswi itu tersipu. Membiarkan tubuhnya dijamah anak SMU yang berwajah rupawan itu.

Pertama kalinya? Tidak, berbagai macam hal pernah mereka coba. Tubuh wanita itu diangkatnya, setelah pakai mereka ditanggalkannya. Menyudutkan pada dinding, mulai mengguncang tubuh polos itu seirama. Sembari menjelajahi leher wanita cantik di hadapannya. Melenguh penuh hasrat, melampiaskan perasaannya yang tertahan. Akibat penolakan kekasihnya.

Malam menjelang, Frea merenggangkan otot-ototnya. Berjalan berlalu hendak membuang sampah. Mendengar suara rintihan dari sebuah post ronda.

Seorang anak terlihat mengenaskan, tubuhnya dipenuhi luka lebam. Merintih seorang diri memegangi perutnya.

Frea mengepalkan tangannya tidak tega, berjalan cepat kembali ke area restauran. Mengambil makanan sisa, yang belum habis.

"Dek... bangun..." ucapnya hangat, membawa kertas minyak yang dibungkus asal, membangunkan sang anak. Kemudian membantunya duduk.

"Makan dulu ya?" Frea tersenyum lembut, mulai menyuapi anak yang bertubuh kurus itu dengan dengan segelas air. Jemari tangannya telaten, mengambil nasi dan lauk, menggunakan tangannya, menyuapi sang anak makanan sedikit demi sedikit.

"Te...te... terimakasih, a....a...aku bi...bisa sen...sendiri," Suara sang anak terdengar gagap, mulai makan dengan cepat, bagaikan kelaparan.

"Apa ada orang memukulimu?" tanyanya menatap luka lebam di tubuh sang anak. Namun tidak satupun jawaban yang didapatkannya dari mulut anak itu.

"Jika kamu lapar, kamu boleh kesini setiap malam. Anggap saja aku sebagai kakakmu..." lanjutnya, mengusap-usap lembut rambut anak kurus dengan banyak luka.

Anak itu tertegun diam. Menoleh padanya, menatap senyuman Frea tanpa berkedip.

"Makanlah? Mau kakak suapi?" tanyanya.

Air mata sang anak mengalir, mengangguk, menerima suapan dari gadis yang tersenyum ramah padanya. Bagaikan baru menemukan satu-satunya kebaikan di dunia ini.

Makanan mulai tandas, gadis itu mencuci tangannya di keran dekat post ronda. Menatap sang anak berpakaian lusuh.

"Kamu tidak cuci tangan?" tanyanya. Sang anak mengangguk, mulai ikut membasuh tangannya.

"Anak pintar..." puji Frea.

Anak pintar? Sang anak tertegun, tidak pernah ada yang memujinya termasuk kedua orang tuanya. Bahkan jika mendapatkan peringkat pertama, tidak ada yang peduli. Tapi hanya dengan mencuci tangan, kakak ini memujinya?

"Frea, ayo pulang," Vincent, menyodorkan helmnya. Dari atas motor sport, menatap kekasihnya di dekat area restauran.

"Tunggu, kasihan dia, aku mengobati lukanya dulu ya?" ucapnya.

"Tidak, ini hari ulang tahunmu. Aku sudah membelikan tiket untuk ke bioskop," Vincent mengenyitkan keningnya, menatap aneh pada anak berpakaian lusuh.

"Bocah!! Sudah malam pulang sana!!" lanjutnya protektif, mengamati sang anak melihat Frea dengan tatapan aneh.

"Tunggu sebentar, aku ambilkan kotak P3K ya?" Frea menggengam jemari tangan, anak berpakaian lusuh. Lucunya wajah sang anak sedikit memerah, bagaikan tersipu malu.

Vincent semakin cemburu saja,"Frea ayo pulang!!" bentaknya.

"Kasihan dia!! Biar aku obati dulu..." ucap Frea iba.

"Ka...ka...kakak di...di...dia je...jelek," anak gagap itu mulai angkat bicara.

Frea tertawa kecil, melihat tingkah polos sang anak. Vincent menahan rasa geramnya, menarik lengan kekasihnya erat.

"Kamu pilih dia atau aku!!" bentak Vincent, emosi pada anak berpakaian lusuh.

"Kemanusiaan lebih penting, jadi aku pilih dia," jawab Frea polos.

Sang anak memegang tangan Frea memelas, bagaikan tidak ingin ditinggalkan oleh Frea.

"Kita obati dia dulu ya?" pintanya pada Vincent.

Vincent menatap tajam, pada sang anak, tanpa sadar mengeratkan cengkramannya pada lengan Frea.

Gadis itu sedikit meringis, menahan rasa sakit. Tanpa aba-aba, sang anak menggigit tangan Vincent.

"Sakit!! Anak gila!!" bentak Vincent meniup-niup tangannya.

Frea malah tertawa kencang, sembari menarik kedua pria beda usia itu kedalam restauran guna diobatinya.

Area belakang restauran yang kosong, cairan pereda nyeri dan bengkak disemprotkan Frea mengobati luka sang anak.

"Apa sakit?" tanyanya, sang anak hanya mengangguk tertegun.

"Selesai..." lanjutnya tersenyum.

"Sudah selesai!! Pulang sana!!" Vincent membentak, tidak rela pacarnya mendapatkan pandangan terlalu dalam walaupun dari seorang anak kecil.

Anak itu bangkit,"Te...te...terima... terimakasih," ucapnya gagap, menunduk, berjalan pergi sesekali menoleh.

Vincent mengenyitkan keningnya masih kesal, "Frea ada sesuatu di lehermu," ucapnya mendekati wajah Frea, membuat dirinya seolah-olah berciuman, jika melihat dari di posisi sang anak.

Kecemburuan yang membabi buta bukan? Bahkan seorang anak dicemburuinya. Namun, itulah kenyataannya. Vincent benar-benar protektif terhadap kekasihnya.

"Tanganmu juga terluka bukan? Biar aku obati," Frea mulai meraih kapas mengobati luka yang ditimbulkan sang anak yang menggigit tangan Vincent sekuat tenaga.

"Iya, rasanya sangat sakit," Vincent tersenyum, menatap gadis cantik yang dijaganya dengan baik.

Aneh bukan? Jika mencintai, kenapa harus berkhianat hanya untuk bersenang-senang mencari pelampiasan napsu?

Tapi itulah cinta dan kesenangan yang berdampingan dalam hati Vincent.

Bersambung

Sepasang Cincin

Hubungan yang hangat, mencintainya tanpa syarat. Suara adonan dibanting terdengar, "Sayang..." racau Vincent memeluknya dari belakang, baru terbangun dari tidurnya.

"Aku sedang memasak," ucapnya tersenyum lembut, jemarinya masih menguleni adonan.

"Kamu membuat apa?" tanyanya tersenyum, dengan rambut masih acak-acakan.

"Roti, bibi Lidia menyukai roti coklat yang kemarin," jawab Frea tersenyum. Tidak tinggal bersama, namun cukup dekat dengan ibu dari kekasihnya. Bos? Benar, Lidia (ibu Vincent) adalah pemilik restauran tempatnya bekerja.

Mengijinkan Frea yang dulu masih menginjak bangku SMU, bekerja di sore hingga malam hari. Mengamati dari remaja, pegawainya yang cerdas dan baik hati. Menantu idaman bukan? Karena itulah hubungan sehat yang dijalani pegawai dan putranya disetujuinya.

"Sayang..." Vincent kembali mencoba mencium pipi kekasihnya lagi. Namun, Frea malah tersenyum, membubuhkan tepung pada wajah kekasihnya.

"Berani-beraninya!!" Vincent tersenyum, mengambil tepung, mengejar Frea yang berlari. Tepung dilemparkannya berkali-kali penuh senyuman.

Bubuk berwarna putih itu jatuh bertebaran, bagaikan salju yang indah menghiasi senyuman dan tawa dari sepasang kekasih.

"Aaaa..." Frea jatuh terpeleset oleh licinnya lantai yang bertebaran tepung.

Vincent menipiskan bibir menahan tawanya, namun suara tawa itu tetap terdengar, sulit untuk ditahan. Pemuda itu, mulai menggelitik tubuh kekasihnya yang masih duduk dilantai berbalut tepung.

"Vincent, hentikan!!" Frea tertawa kegelian.

"Kamu yang duluan, rasakan pembalasan Ultraman...piu...piu...piu...," jemari Vincent, tiada hentinya bergerak penuh tawa. Namun sejenak tawanya menghilang, menyentuh dagu Frea. Mata yang saling bertemu, tertegun sesaat.

Senyuman menyungging di wajahnya,"Aku mencintaimu..." ucapnya mengecup bibir gadis yang dicintainya, hanya kecupan singkat yang membuatnya bahagia.

"Aku juga..." Frea yang awalnya terkejut, ikut tersenyum.

"Astaga!! Dapur jadi berantakan!!" Lidia datang menyela,"Ini salah siapa?" tanyanya pada sepasang kekasih yang masih terduduk di lantai.

Kedua orang itu saling menunjuk,"Salah Vincent!!"

"Salah Frea!!" ucap mereka bersamaan saling menuduh.

"Kalian benar-benar kompak, cepatlah lulus kuliah dan menikah..." ucap Lidia tertawa melihat sepasang muda-mudi yang bagaikan tempura berbalut tepung.

Saling melirik dan tertawa bersama. Begitulah keindahan cinta bukan?

Lulus kuliah? Memang kini sudah 5 tahun mereka menjalani hubungan. Vincent telah lulus kuliah, sementara Frea masih menanti acara wisuda.

Saling tersenyum dalam kebahagiaan, perasaan yang indah dan hangat. Tangan pria yang selalu digenggamnya erat.

***

"Emmmhhh..." terdengar suara erangan panjang disertai napas yang tidak teratur dari dua insan.

"Aku mencintaimu," pria itu kembali mengumbar kata cinta. Meski hatinya hanya tertuju pada satu orang, mengecup kening seorang wanita, salah seorang pegawai baru ibunya.

Tempat parkir? Benar tempatnya melakukan kegiatan panas mereka, tempat parkir bawah tanah pusat perbelanjaan. Merapikan pakaian karyawati ibunya, mengancingkan satu persatu. Kemudian mulai kembali mengenakan celana panjangnya.

Hubungannya dengan Frea? Wanita yang berhubungan dengannya itu, mengetahui benar siapa kekasih anak bosnya. Namun, kaya, rupawan, pandai merayu? Siapa yang tidak mau walaupun hanya sebagai penghangat tempat tidur. Menanti kesempatan dimana pemuda itu akan mencintainya.

"Kamu sudah minum obat kontrasepsinya?" tanya Vincent memastikan, bersamaan dengan membuang alat pengaman yang tadi dikenakannya pada tempat sampah yang berdampingan dengan mobilnya, tidak ingin memiliki celah melakukan kesalahan sedikitpun.

Wanita itu mengangguk mengiyakan, pertanda dirinya sudah meminum obat yang dimaksud.

"Ini hadiah untukmu," ucap sang pemuda memberikan anting-anting emas yang indah.

"Tidak bisakah menikah denganku?" tanya wanita itu, sembari meraih sepasang anting yang terlihat indah. Menggenggam jemari tangan Vincent.

Pemuda itu tersenyum, menarik jemari tangannya. "Aku mencintaimu, tapi tidak bisa. Frea satu-satunya orang yang tidak ingin aku lukai. Jadi jangan pernah membocorkan hal yang kita lakukan, saat setiap membeli keperluan restauran,"

Wanita itu hanya mengangguk, mengiyakan, menyadari statusnya yang bagaikan wanita simpanan. Berusaha tersenyum, mengenakan sepasang anting emas yang indah.

Vincent tersenyum lembut, mengecup keningnya,"Kamu terlihat cantik..." ucapnya.

Mesin mobil mulai dihidupkannya, meninggalkan area parkir. Angin semilir menerpa rambut wanita yang terdiam menatap ke arah jendela mobil. Bagaikan memiliki banyak beban.

Area parkir restauran terlihat, perlahan Vincent turun dari mobil diikuti security dan Dona (sang karyawati) membawa beberapa kotak peralatan makan yang sebelumnya mereka beli di pusat perbelanjaan.

Vincent menghela napas kasar, menatap kekasihnya yang melayani pelanggan penuh senyuman. Hingga seorang kurir datang membawa sebuah paket, tertuju untuk Frea.

Perlahan Frea membukanya disela waktu istirahat, menatap origami bangau kertas dalam jumlah banyak beserta sebuah surat. Kotak besar dan surat itu dibuangnya penuh rasa jengkel.

"Siapa yang mengirim?" tanya Vincent protektif.

"Tidak tau, orang gila yang menyumpahiku menjadi perawan tua," jawab Frea kembali tersenyum.

"Lehermu merah lagi, alergimu semakin parah," ucapnya polos, meraba leher kekasihnya penuh kecemasan.

"Iya, aku sudah kedokter, mungkin alergi perubahan cuaca..." Vincent tersenyum, seolah sudah terbiasa berbohong.

Mencintai kekasihnya? Tentu saja, tidak menginginkan Frea terluka jika mengetahui segalanya. Tidak menginginkannya kecewa jika memaksakan kehendak untuk memenuhi hasratnya, sebelum pernikahan. Egois bukan? Namun, rasa kasihnya hanya pada gadis ini.

***

Malam mulai menjelang, hari itu memang merupakan hari Minggu. Sehingga Vincent seharian berada di restauran membantu ibunya. Tidak pergi ke kantor tempatnya bekerja.

Acara kejutan ulang tahun direncanakan Frea dan Lidia. Frea mulai merias dirinya bagaikan kuntilanak, menatap kue yang dibuatnya selama kepergian Vincent membeli peralatan.

Cincin diletakkannya di dalam kue. Ide gila bukan? Seorang wanita berbalik melamar kekasihnya. Tentunya ini semua ide dari Lidia, yang gemas pada pasangan muda itu, mengingat besok adalah hari dimana Frea akan wisuda.

Kamera kecil dipasangnya yang terhubung langsung dengan laptop Lidia, dekat wastafel toilet pria. Merekam khusus untuk disaksikannya, adegan lamaran yang cukup aneh. Antara putranya dan calon menantu kesayangannya

Frea bersembunyi dalam salah satu bilik toilet, lengkap dengan kostum kuntilanak, serta kue indah yang dihiasnya seorang diri. Tersenyum penuh harap, dengan persiapan.

Restauran saat itu sudah hampir tutup menghindari jika ada pelanggan yang ingin ke toilet. Frea sebelumnya telah berbohong pada Vincent, ijin pulang lebih awal.

Senyuman menyungging di wajahnya, menghela napas menenangkan diri. Kue indah dengan sepasang cincin didalamnya, dilihatnya dengan jantung yang berdebar cepat.

Dengan uang tabungannya? Benar, Frea membeli sepasang cincin dengan uang tabungannya. Lidia ingin membelikannya, namun gadis itu memohon. Mengingat rasa cinta dan kasih layaknya keluarga, yang diberikan Lidia serta Vincent 5 tahun ini. Sesuatu yang tidak dapat dibalasnya, mungkin dengan kejutan indah ini dapat membalas rasa kasih Vincent.

Dalam ruangan Lidia...

Wanita itu, menanti putranya yang memiliki kebiasaan ke toilet sebelum pulang, dari kamera kecil yang terpasang. Menanti indahnya lamaran sepasang muda-mudi, sesuatu yang nanti akan diunggahnya di media sosial. Disimpan sebagai kenangan, ketika dirinya memiliki cucu nanti.

"Buk, ada suplayer yang datang," ucap seorang pegawai.

"Sial!! Kenapa datangnya sekarang?" Lidia menghela napas kasar, meninggalkan laptopnya terbuka dalam keadaan merekam.

***

Vincent? Pemuda itu berdiri di depan wastafel, mengirim pesan pada kekasihnya. Pesan yang cukup singkat, namun dapat membuat gadis itu tersenyum. 'Jangan lupa makan, aku mencintaimu,'

Frea tidak membalasnya, hanya tersenyum dalam bilik toilet. Bersiap-siap untuk keluar, memegang handel pintu. Namun, sesuatu menghentikan gerakan tangannya, suara seseorang wanita.

"Sayang," Dona masuk tanpa permisi, sudah mengikuti jejak Vincent sedari tadi.

"Kamu cantik," terdengar suara rayuan dari mulut kekasihnya.

Tangan putih kuntilanak itu lemas seketika, melepaskan pegangannya dari hendel pintu. Cantik? Kekasihnya berkata cantik untuk menggoda wanita lain?

"Aku mencintaimu..." Vincent tersenyum, mulai mencium bibir wanita di hadapannya. Rok Dona disingkapnya, tubuh wanita itu didudukannya di atas wastafel. Masih berpangut mesra. Suara erotis, diselingi decapan bibir terdengar samar-samar.

Air mata Frea mulai mengalir, menduga hal yang terjadi di luar sana. Bagian bawah bilik yang terbuka memperlihatkan, celana panjang pria serta rok dan pakaian dalam wanita yang terjatuh ke lantai.

"Aku hamil..." Dona mengucapkan kala tubuhnya masih diguncang oleh gerakan Vincent. Kalimat yang tidak didengarkan sang pemuda, masih terhanyut akan kenikmatan, dengan napas terengah-engah.

Namun, wanita yang tengah menangis didalam bilik toilet mendengarnya. Menutup mulutnya rapat-rapat dengan kedua tangannya. Tidak ingin tangisannya terdengar.

Kebaikan? Cinta? Ternyata semuanya semu, sesuatu bodoh yang dilapisi dusta. Make-upnya mulai luntur, air matanya menetes membasahi kue yang dibuatnya sepenuh hati.

5 tahun? Berharap cinta pertamanya adalah cinta terakhirnya? Hanya sekedar harapan, omong kosong. Kue ditinggalkannya, di atas lantai. Mulai pergi, dari fentilasi yang terbuka, tidak disadari sepasang mata yang bercumbu penuh hasrat.

Langkah kakinya gontai, tertawa seorang diri dalam tangisannya, bagaikan orang tidak waras. "Aaaaaggghhh..." teriaknya, mulai berjongkok, menitikkan air matanya.

Apa aku tidak pantas dicintai? Apa yang kurang? Apa jika aku menyenangkanmu di tempat tidur? Akan mengikat hatimu. Cinta yang bodoh... tangisan lirihnya terdengar, memecah hari yang hampir tengah malam.

Kecewa, sakit dikhianati, semua tumpah menjadi satu. Hubungan yang sudah dijalinnya bertahun-tahun. Satu-satunya orang yang dianggapnya sebagai anggota keluarga, setelah kedua orang tuanya memiliki keluarga baru.

"Aaangggg..." tangisnya semakin terisak menepuk-nepuk dadanya, berjalan menuju gang rumah kost tempat tinggal 2 tahun ini. Tempat yang letaknya dekat dengan restauran.

Frea memasuki kamar kostnya yang kosong, mulai duduk di hadapan meja rias. Membersihkan makeup kuntilanak yang melekat di wajahnya. Air matanya menetes, kala wajah itu bersih sedikit demi sedikit. Rupa cantiknya kembali terlihat.

Frea terdiam membisu, menatap ke arah cermin. Bayangan wajah Vincent terlihat, berbaring di tempat tidur bermain game di handphonenya. "Berbaringlah di dekatku," fatamorgana pemuda itu menepuk-nepuk sisi tempat tidur yang kosong.

"Frea!! Hari ini hari pertama aku gajian, kita makan pizza!!" pantulan bayangan pemuda itu terlihat memasuki kamar. Kemudian menghilang, tersadar semua hanya fatamorgana.

Air matanya jatuh semakin banyak, menepuk dada, rasanya tidak mampu menghilangkan rasa sesaknya.

Frea mengambil kopernya, mengemasi barang-barang yang tidak banyak. Tidak banyak? Tentu saja, Frea tidak pernah meminta atau menuntut apapun dari Vincent. Bahkan meminta kekasihnya menabung, untuk pernikahan mereka nanti.

Pernikahan yang sudah tidak mungkin terjadi. Gadis itu menyeret kopernya, mengunci pintu tempat kostnya. Menitipkan kunci untuk tuan rumah.

Tujuan? Wanita itu tidak memiliki tujuan, rambutnya masih diikat asal, makeup di wajahnya telah bersih sempurna, memakai gaun kuntilanak berwarna putih. Menunggu bis malam yang lewat tanpa tujuan yang jelas.

Dan benar saja, sembarang bis dihentikannya, berkeliling tanpa tujuan, mungkin lebih baik saat ini. Tidak tertidur sedikitpun dalam bis malam yang melaju.

Vincent, mungkin lebih baik melupakanmu... gunamnya dalam hati, pergi tanpa tujuan.

Jemarinya mengetikkan pesan, tidak menitikkan air matanya lagi, mungkin sudah mulai mengering menjadi luka, menatap gelapnya malam yang dingin dari dalam bis.

'Terimakasih sudah menyayangiku selama ini. Rawatlah anak kalian baik-baik, gunakan cincin yang aku letakkan di dalam kue untuk menikah. Sebagai restuku untuk kalian,'

Frea

Frea kembali menyenderkan kepalanya, setelah pesan terkirim, melepaskan kartu sim card handphonenya. Melemparkannya ke luar jendela.

Menghapus luka kenangan lama, memulai hidup baru tanpa apapun. Seperti 6 tahun yang lalu saat dirinya menginginkan tinggal sendiri tanpa perhatian kedua orang tuanya.

Bersambung

Meninggalkanmu Bahagia

Jemari tangannya bergerak, meraba kaca jendela. Terlihat pemandangan perkotaan yang lebih besar. Tempat yang sudah lama ditinggalkannya, tepatnya setelah kedua orang tuanya berpisah. Kota besar dimana bisnya berhenti.

Mata Frea terlihat sembab, masih menggunakan pakaian panjang yang belum digantinya. Terlalu menyakitkan jika harus melihat wajah itu lagi, wajah yang mengisi kebahagiaannya hampir 5 tahun ini.

Air matanya yang semula mengering kembali mengalir. Asalkan dia tersenyum bahagia sudah cukup. Asalkan satu-satunya pemuda yang menyayanginya sepenuh hati bahagia, itu sudah cukup.

Dirinya tidak akan apa-apa, dapat melepaskan segalanya, layaknya melepaskan kedua orang tuanya bahagia.

Hiruk pikuk terminal bis terlihat, dengan wajah tanpa ekspresi, gadis itu mendekati toilet umum. Mulai membasuh dirinya menggati pakaiannya disana. Ingin rasanya menjerit menahan rasa sakit ini, namun dirinya bagaikan telah kehabisan tenaga.

Langkahnya terhenti, menonggakkan kepalanya menatap ke arah langit, terlihat langit berawan. Tanpa sedikitpun air hujan yang turun, Vincent, aku mencintaimu... Tetaplah bahagia dan tersenyum. Aku yang konyol ini, masih mencintaimu, bodoh bukan? Aku memberikan restuku...

Gerimis hujan mulai turun, seakan mengiringi rasa hatinya yang sesak. Terdiam mengikhlaskan segalanya, dalam bulir air mata.

***

Tangan Lidia mengerat setelah menemui suplayer. Ingin kembali menyaksikan keharmonisan pasangan muda-mudi. Namun, hal yang buruk disaksikannya. Putranya menjamah tubuh wanita lain, tanpa menyadari keberadaan kekasihnya.

Air mata Lidia mengalir, menutup laptopnya. Berjalan dengan cepat, hingga sempat terpeleset. Tidak ingin Frea yang sudah dianggapnya bagai anak sendiri merasakan sakit.

Anak perempuan yang datang melamar pekerjaan padanya 6 tahun yang lalu, dengan wajah murung. Anak perempuan yang kini sudah mulai bangkit, karena cinta putranya. Harus menyaksikan pengkhianatan? Konyol bukan.

Brak...

Pintu dibukanya kasar...

"Ibu?" Vincent tertegun gelagapan, segera membuang alat pengamannya, merapikan pakaiannya, menghentikan hal panas yang dilakukannya. Sementara, Dona hanya menunduk terdiam, mengancingkan kemeja kerjanya.

Lidia bagai tidak mempedulikan putranya, satu persatu bilik toilet dibukanya. Hingga terlihat salah satu bilik dengan kue cantik tergeletak di lantainya.

Lidia tertegun, penuh rasa iba, melirik ventilasi udara yang terbuka. Dapat menduga betapa canggungnya anak itu untuk keluar. Hingga harus memanjat ventilasi.

"I...ibu, maaf jangan katakan pada Frea," hanya satu kalimat yang keluar dari mulut Vincent menyaksikan ibunya yang tertegun diam.

"Tante, aku hamil, Vincent..." ucap Dona menyela, melanjutkan kata-katanya sebelumnya.

Vincent terdiam sesaat, "Aku tidak akan bertanggung jawab. Kita selalu menggunakan pengaman!! Dan..."

"Dan apa?" Lidia menatap sinis ke arah putranya, sembari memungut kue yang berada dalam bilik toilet."Selesaikan urusanmu dulu, setelah itu, pergi ke ruangan ibu," lanjutnya. Meninggalkan ruangan, membawa kue dengan langkah lemas.

***

"Vincent aku..." kata-kata Dona terhenti.

"Anakku? Kamu fikir aku bodoh? Walaupun kamu mengatakan tidak meminum obat kontrasepsi. Tapi setiap melakukannya aku selalu memakai pengaman!! Seperti malam ini," bentaknya menatap tajam, menunjuk ke arah tempat sampah. Tempatnya membuang sisa alat pengaman yang sengaja dibawanya, karena hal yang mereka lakukan siang tadi.

Tidak ingin teledor dan berakhir terjerat wanita, yang diberikan materi olehnya hanya untuk menumpahkan hasratnya semata. Menunggu pernikahannya dengan gadis yang dijaganya dengan baik terlaksana.

"Aku..." Dona menitikkan air matanya, tidak memiliki pembelaan.

"Aku apa!? Kamu tau kita hanya bersenang-senang. Belum ada dua minggu kita memulainya dan kamu hamil? Siapa yang akan percaya?" Vincent menatap tajam.

"Kamu mencintaiku kan?" wanita itu menggengam jemari tangan Vincent."Anak dalam kandunganku, memang bukan anakmu. Anak dari mantan kekasihku. Maaf, tolong nikahi aku..."

Plak...

"Jangan terlalu percaya diri, ingin menggantikan posisi Frea..." ucapnya menampar wajah Dona. Meninggalkan wanita yang baru satu bulan bekerja di restauran milik ibunya itu, wanita yang kini duduk di lantai sembari menangis terisak.

***

Vincent melangkah perlahan, sudah menduga tentang kemarahan ibunya. Namun semua harus dihadapinya bukan? Setidaknya memohon pada ibunya agar tidak mengadu pada kekasihnya.

"Ibu..." ucapnya membuka pintu ruangan Lidia.

"Urusanmu sudah selesai!?" tanyanya, menyenderkan tubuhnya yang lelah pada kursi putar.

Vincent hanya menunduk terdiam, menatap ke arah ibunya.

"Temui Frea, minta maaflah dengan tulus. Jika dia memutuskan untuk berpisah, hormati keputusannya..." ucap Lidia, menatap iba pada kue indah diatas meja kerjanya.

Pemuda itu tertegun, mengepalkan tangannya, Berpisah? Kenapa harus berpisah? Hanya menyembunyikan kenyataan kemudian tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi sudah cukup bukan...

"Ibu!!" ucapnya menatap ibunya, tidak ingin berpisah dengan kekasih yang benar-benar dicintainya. Gadis yang menghiasi hari-harinya 5 tahun ini.

"Apa jika menyaksikan ini, Frea dapat memaafkanmu?" tanyanya, memperlihatkan rekaman pada laptopnya. Rekaman dimana kekasihnya tersenyum, meletakkan kamera. Memakai kostum untuk menakut-nakutinya. Lengkap dengan sebuah kue ulang tahun di jemari tangannya. Memasuki salah satu bilik toilet.

Vincent tertegun diam, menyaksikan dirinya mulai mencumbu wanita yang hanya digunakannya untuk bersenang-senang. Dengan bodohnya tidak menyadari kekasihnya bersembunyi. Mungkin gadis itu menahan suara tangisannya.

Tangannya mengepal, meneteskan air matanya, tertunduk penuh rasa bersalah. Seakan mengetahui betapa menyakitkan perasaan kekasihnya.

"Aku akan menemuinya..." ucapnya berjalan cepat meninggalkan ruangan Lidia.

Vincent berlari, menitikkan air matanya. Tidak ingin berpisah dengan kekasihnya. Wanita polos, yang mencintainya tanpa meminta apapun. Tempat hangatnya dapat tersenyum dan tertawa dalam hati yang berdebar.

Menyesal? Tentu saja, luka yang ditorehkannya terlalu dalam. "Buat apa aku bersenang-senang, jika hanya dapat melukaimu? Frea maaf," gumamnya masih berlari menuju tempat tinggal kekasihnya.

Sejenak langkahnya terhenti, "Dek Vincent tidak beli bakpao untuk pacarnya?" tanya seorang penjual bakpao tua renta, langganan mereka.

Vincent berbalik, mengingat kekasihnya yang akan berhenti merajuk jika dibelikan cemilan,"Pak bungkus semua rasa..." ucapnya menyodorkan uang pecahan seratus ribu.

"Dek, bapak tidak punya kembaliannya," ucap sang pedagang bakpao, yang satupun bakpaonya belum laku.

Vincent menitikkan air matanya, kemudian tersenyum,"Untuk bapak saja, doakan pacar saya akan memaafkan saya," ucapnya.

Sang pedagang bakpao mengangguk sembari tersenyum,"Frea, itu baik. Tidak mungkin tidak memaafkan nak Vincent..."

"Semoga saja," Vincent berusaha tersenyum, menyeka air matanya. Berjalan dengan ragu mendekati tempat kost kekasihnya.

Tangannya gemetar,"Frea..." panggilnya, mengetuk pintu.

"Frea jangan marah terlalu lama," Vincent kembali mengetuk, matanya memerah, air matanya mengalir. Untuk pertama kalinya tidak mendapatkan jawaban dari kekasihnya.

Pemuda itu duduk di lantai, menyenderkan punggungnya pada pintu yang tertutup rapat,"Frea, aku membawakan bakpao, kita makan bersama ya? Tolong buka pintunya, nanti bakpaonya dingin," ucapnya terisak, dengan nada suara bergetar.

"Frea..." panggilnya kembali tanpa mendapatkan jawaban.

Sakit? Jika tau akan sesakit ini, seharusnya aku tidak mencari kesenangan lain. Menunggumu dengan sabar, mungkin hari ini kita akan duduk, menikmati kue yang kamu buat bersama...

Handphonenya tiba-tiba berbunyi, sebuah pesan masuk dari kekasihnya.

'Terimakasih sudah menyayangiku selama ini. Rawatlah anak kalian baik-baik, gunakan cincin yang aku letakkan di dalam kue untuk menikah. Sebagai restuku untuk kalian,'

'Frea'

Jemari tangan Vincent gemetaran, mencoba menghubungi kembali nomor kekasihnya, setidaknya menjelaskan tentang kehamilan Dona. Namun tidak ada hasil, nomor itu sudah tidak aktif.

"Vincent?" tetangga kost Frea keluar.

Pemuda itu menonggakkan kepalanya, menatap seorang wanita yang berdiri di hadapannya.

"Frea mau pindah ya? Tadi pergi bawa koper besar. Terus titip kunci kamar, minta dikembalikan ke tuan rumah..." tanyanya tidak mengerti.

"Apa Frea bilang akan pergi kemana?" Vincent penuh harap. Namun, wanita itu menggelengkan kepalanya.

"Boleh aku minta kunci kamar Frea?" tanyanya berharap menemukan informasi tentang keberadaan kekasihnya.

Sang wanita merogoh sakunya, mengambil kunci kemudian menyerahkan pada Vincent.

"Terimakasih..." Vincent meraihnya membuka pintu kamar di hadapannya. Kemudian menutupnya, tangannya menggeledah semua tempat berharap menemukan petunjuk. Sesekali menyeka air mata yang mengaburkan pengelihatannya.

Laci, bahkan lemari pakaian, semuanya kosong tanpa isi. Tidak meninggalkan sedikitpun jejak untuknya.

Sebungkus bakpao yang mulai mendingin masih dalam genggaman tangannya. Merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, menatap langit-langit kamar 3x3 meter yang dua tahun ini ditempati kekasihnya. Aroma lembut yang tidak begitu harum masih tercium dari sprei, aroma lotion yang selalu digunakan Frea.

Kekasih yang selalu dirayunya, gadis yang membuatnya tertawa bahagia. Berhenti merajuk hanya dengan hal-hal sederhana.

"Frea..." ucapnya berteriak, menumpahkan emosi dan rasa kehilangannya.

Vincent mulai duduk di tepi tempat tidur, membuka bakpao yang dibawanya. Kemudian mengambil salah satunya. Air matanya mengalir, jemarinya membelah bakpao menjadi dua bagian.

Memakan salah satu bagiannya, sembari menangis. Meletakkan satunya lagi disampingnya, menunggu, berharap Frea akan pulang dan memakannya. Berharap gadis itu tersenyum penuh kasih seperti biasanya.

***

Pagi mulai menjelang, Vincent memasuki rumah dengan langkah gontai. Semua kenangan masih terlintas, tawa dan canda mereka. Indah bukan? Namun, semuanya sudah menghilang, Vincent berjalan menuju kamarnya.

"Frea memaafkanmu?" tanya Lidia pada putra satu-satunya.

Vincent menggeleng-gelengkan kepalanya, matanya memerah, kembali menyeka air matanya yang hendak menetes.

"Kita makan kue ya?" ucap Lidia memaksakan dirinya tersenyum, menatap iba pada putranya.

Suapan demi suapan masuk ke dalam mulutnya. Kue yang dibuatnya Frea untuk melamarnya. Hingga sepasang cincin terikat benang merah ditemukannya pada lapisan selai blueberry, di sela yang menyatukan dua sponge cake.

Sepasang cincin yang masih kotor berbalut kue dan selai.

"Frea ingin melamarmu, dia bodoh bukan? Cincin itu dibeli dengan uang tabungannya sendiri..." ucap Lidia tertunduk, ikut meneteskan air matanya."Ibu sudah menganggapnya seperti putri ibu sendiri,"

"Maaf..." Vincent menggenggam jemari tangan Lidia, menatap ke arah sepasang cincin yang terikat benang merah.

"Aku akan mencarinya, semua akan kembali seperti dulu..." lanjutnya, berusaha untuk tersenyum.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!