NovelToon NovelToon

Noushafarin

Bab 1

Sebuah mobil minivan berwarna hitam berhenti di gerbang besar rumah 3 lantai yang megah dan mewah. Pengemudinya turun dan segera menghampiri petugas keamanan yang berjaga disana.

"Selamat pagi, Pak Satpam." sapa pengemudi itu dengan ramah.

"Selamat pagi, Non. Ada perlu apa?" Pak Satpam menunjukkan senyuman terbaiknya, berusaha mengesankan gadis cantik didepannya.

"Saya Miranti, dari perusahaan penyalur tenaga kerja Asisen Rumah Tangga. Sudah janjian sama Nyonya Wasesa pagi ini untuk mengantar ART baru." jelas gadis itu dan menoleh ke arah kendaraannya.

Petugas keamanan itu ikut melihat ke mobil. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat ada seorang gadis muda duduk di samping kursi pengemudi.

"Tunggu sebentar ya Non." Pak Satpam tadi gegas kembali ke posnya dan melihat daftar janji tamu untuk hari ini. Ia pun tersenyum saat menemukan nama Miranti dalam daftar tersebut. Setelah meletakkan daftarnya, ia melangkah mendekati pagar untuk membukakan pintu. "Silahkan masuk Non."

"Terima kasih Pak."

Miranti kembali ke mobil dan mengarahkan kendaraannya ke halaman rumah. Jarak antara gerbang dan rumah utama kurang lebih 100 meter.

"Kau siap?" ia bertanya pada gadis yang duduk di sebelahnya. Gadis yang ditanya hanya tersenyum dan mengangguk.

Saat mereka berdua tengah berjalan menuju pintu masuk, seorang wanita cantik paruh baya muncul dengan senyuman manis yang merekah.

"Miranti." sapanya sambil merentangkan kedua tangan menanti pelukan hangat Sang Tamu.

"Selamat pagi Tante Kandi, makin cantik aja deh." Miranti memeluk Nyonya Srikandi Wasesa dengan hangat, tak lupa tradisi saling mengecup singkat pipi kiri dan kanan.

"Kamu ihh, bisa aja." ucap Nyonya Wasesa tersipu malu. Pandangannya kemudian beralih pada gadis berpenampilan sederhana yang sedang menunduk di belakang Miranti. "Ini ART barunya?" ia bertanya pada Miranti sambil menunjuk gadis yang setia menenteng tas pakaian berukuran sedang.

"Iya Tante."

"Kalau begitu kita masuk yuk. Kenalannya di dalam saja." Nyonya Wasesa masuk ke dalam rumah diikuti kedua tamunya.

"Siapa nama kamu?" rupanya Nyonya rumah megah itu sudah tak sabar ingin berkenalan dengan ART barunya. Begitu duduk, ia langsung bertanya pada gadis yang tetap berdiri itu.

"Nama saya Arin, Nyonya." jawab gadis itu ramah namun tetap menunduk.

"Tolong tatap saya, Arin." pinta Sang Majikan baru.

Awalnya Arin ragu, namun karena tak ingin dipecat sebelum bekerja, gadis itu perlahan mengangkat wajahnya dan menatap Nyonya Srikandi dengan takut-takut. Nyonya rumah itu tertegun melihat wajah ayu ARTnya. Hidung mancung, bibir yang sedikit penuh hingga terkesan seksi, alis yang melengkung dengan indahnya, dan kulit kuning langsat yang terlihat sangat terawat.

"Miranti." Nyonya Srikandi berbicara pada Sang Penyalur ART namun tatapannya tak lepas dari Arin. "Kamu nyulik anak siapa?"

Miranti mengernyit. "Maksudnya Tante?"

"Gadis ini terawat banget. Lihat saja, rambutnya hitam berkilau, kulitnya bercahaya, kuku kaki terawat, seperti bukan dari kalangan orang yang kesusahan." manik mata wanita paruh baya itu terus memindai tubuh Arin dari ujung rambut sampai ujung kaki, kembali lagi ke ujung rambut.

Arin sedikit bergerak merasa gelisah, ia tak nyaman dengan situasi ini. Sedang Miranti terkekeh menyembunyikan kegugupannya.

"Tante Kandi, kan sebelum kesini dia sudah saya permak di asrama. Biar Tante puas, terima pekerja yang bersih dan terawat."

"Oo, begitu." walau kurang yakin dengan jawaban yang didengarnya, Nyonya Wasesa memilih untuk percaya. "Baiklah Arin. Nama saya Srikandi Wasesa, kamu bisa panggil saya Nyonya Kandi." ujar Nyonya itu sambil menyerahkan selembar foto pada Arin.

"Itu adalah foto kami sekeluarga." imbuhnya lagi sambil berdiri di samping Arin. Ia mulai menunjuk wajah-wajah yang terlihat asing bagi Arin. "Ini suami saya, Pandu Wasesa. Dan ini anak kembar saya, Nakula dan Sadewa. Tolong dilihat baik-baik, supaya kamu tahu wajah majikan kamu."

"Baik Nyonya." Arin mengangguk patuh.

"O iya, Nakula sudah menikah. Istrinya bernama Anjani, tidak lama lagi dia akan datang kesini."

"Iya Nyonya." sekali lagi Arin mengangguk.

"Kamu harumnya lembut sekali, seperti wangi bunga mawar." kata Nyonya Kandi sambil mengendusi Arin.

"Nyo-nyonya."

Miranti menahan tawa melihat tingkah pelanggannya itu. "Ya ampun Tante, apaan sih. Kasihan tuh Si Arin, dia jadi ketakutan."

"Serius Miranti, wanginya dia itu lembut banget. Eh, tapi maaf ya Arin, kamu jadi risih dengan saya."

Arin terkejut, bibirnya bahkan membentuk huruf O walau tak begitu besar. Seorang Nyonya Besar minta maaf? Tingkahnya juga apa adanya, ramah, nggak sok anggun. Wahh, ini sih majikan terbaik namanya. Gumam Arin dalam hati sambil menunduk mengulum senyum.

"Wah, ada tamu rupanya." seorang wanita muda muncul dengan senyum manis terukir di wajahnya.

"Sini sayang, kenalin, ART baru kita." Nyonya Srikandi mengajak wanita muda itu bergabung.

"Halo, saya Anjani." ucap wanita yang baru datang itu sambil mengulurkan tangan setelah berhenti di dekat Arin.

Arin terkesiap, ia menatap Anjani dengan bingung kemudian beralih pada Miranti. Melihat itu Miranti mengangguk seperti persetujuan agar Arin menyambut uluran tangan Anjani.

"Say-saya Arin, Nyonya Anjani." Arin menyambut tangan Anjani dengan gugup.

"Jangan gugup begitu, saya manusia lho, bukan vampir." guraunya sambil terkekeh. Mendengar itu Arin hanya bisa tersenyum kecut.

"Baiklah Arin, tugas kamu nanti akan dijelaskan sama Mbok Yem. Dia mungkin sedang menyiapkan kamarmu." kata Nyonya Srikandi.

"Kalau begitu biar Anjani aja yang antar Arin ke belakang, Ma." Anjani menawarkan diri.

"Iya deh, bisa. Sekalian pesan ke Inah, buatkan jus jeruk buat tamu kita."

"Eh, nggak perlu Tante." Miranti menggoyangkan jemarinya. "Saya mau langsung pulang saja."

"Enggak bisa, pokoknya kita ngobrol dulu." kata Nyonya Kandi tegas.

"Ayo Arin." Anjani meminta Arin untuk mengikutinya ke belakang rumah utama yang menjadi tempat tinggal para pekerja di rumah itu. Ada dua bangunan disana yang sama besarnya, tempat tinggal pekerja wanita terpisah dengan pekerja pria.

"Mbok Yem." sedetik kemudian seorang wanita paruh baya muncul dengan tergopoh-gopoh.

"Saya, Nyonya." jawab Mbok Yem sambil menunduk hormat.

"Ini pekerja baru, namanya Arin. Tolong jelaskan apa saja tugasnya ya Mbok."

"Baik Nyonya, saya mengerti."

Selepas kepergian Anjani, Mbok Yem membawa Arin ke kamar yang berukuran 4 x 6 meter dan berisi 3 ranjang kecil dilengkapi lemari pakaian yang merapat di dinding tepat di depan ranjang.

"Sini Neng, kamu tidur disini." Mbok Yem menunjuk tempat tidur yang paling dalam. "Mbok tidurnya di tengah, kalau diujung sana Si Inah."

Arin mengangguk dan mengamati kamar barunya yang terlihat nyaman walau ditempati oleh 3 orang. Ia mendekati lemari dan meletakkan tas di depan pintu. Mbok Yem membantunya merapikan barang sambil menjelaskan setiap tugas yang akan dikerjakan Arin.

"Sudah bertemu Tuan Besar dan Tuan Muda?"

"Belum Mbok."

"O iya ya, mereka kan belum pulang kantor." Mbok Yem menepuk dahinya membuat Arin tersenyum geli. "Semoga cepat bisa ketemu, biar cepat bisa membedakan antara Tuan Nakula dan Tuan Sadewa."

"Iya Mbok."

***

Bab 2

Sore menjelang, Arin mulai melakukan tugasnya mencuci perabotan dapur yang digunakan memasak. Sedangkan Mbok Yem dan Mbak Inah, mereka berdua yang memasak karena mereka adalah juru masak di kediaman itu. Meskipun demikian, Nyonya Kandi selalu turun tangan saat meramu hidangan.

"Arin, tolong buatkan Teh untuk Sadewa ya." kata Anjani yang baru datang dan menyiapkan gelas untuk diisi kopi.

"Baik Nyonya." jawab Arin patuh.

"Mereka berdua sudah pulang ya." Nyonya Kandi yang sedang memeriksa persediaan bumbu bertanya tanpa menoleh.

"Iya, Ma. Baru saja." jawab Anjani sambil meletakkan air di teko kecil untuk direbus terlebih dahulu.

Tak perlu waktu lama, teh dan kopi sudah disiapkan di atas sebuah nampan.

"Aduh, Arin, tolong bawakan ini untuk Tuan Nakula Sadewa di Ruang Tengah ya. Kopi untuk Tuan Nakula, Teh untuk Tuan Sadewa. Saya kebelet." ucap Anjani dengan ekspresi menggelikan.

"Iy-iya Nyonya." Arin ragu, namun takut menolak perintah.

"Terima kasih Arin." Anjani tersenyum kemudian melesat pergi.

Arin bingung, ia lantas menoleh mencari Mbak Inah, namun seniornya itu sudah pergi entah kemana. Mau minta tolong Mbok Yem, tidak mungkin. Akhirnya dengan was-was ia membawa nampan berisi minuman panas itu ke ruang tengah.

Disana sedang duduk dua orang pemuda dengan wajah identik, mereka membicarakan sesuatu sambil menatap kertas masing-masing. Arin meletakkan minuman di depan kedua orang yang duduk berhadapan itu.

"Tu-tuan Muda, ini minumannya."

"Terima kasih ya." ucap keduanya tanpa menatap Arin.

Salah satu diantara keduanya yang masih mengenakan jas langsung mengambil dan menyeruput tanpa melihat gelasnya. Tanpa disangka pemuda itu menunduk ke lantai dan menyemburkan minuman yang belum ditelannya itu.

"Huh! Sialan! Apa ini?!!" hardiknya dengan raut wajah kesal. "Berapa kali kubilang aku tak suka kopi?!" bentaknya dengan volume suara tak terkontrol.

Tubuh Arin bergetar, suara Tuan muda yang tiba-tiba menggelegar itu membuatnya tersentak. Disusul kemudian suara kaki orang berlari dari arah dapur.

"Siapa kau?" Tuan muda itu mengernyit mendapati orang asing yang telah melayaninya. Pertanyaan yang dilontarkan membuat saudara kembarnya jadi mengamati Arin.

Arin semakin dalam menundukkan kepalanya, ia sibuk berdoa supaya tidak dipecat karena kesalahan yang telah diperbuatnya.

"Ada apa?" Nyonya Kandi datang tergopoh-gopoh bersama Mbok Yem.

"Dia memberiku kopi, Ma." Tuan Muda itu mengadu.

Nyonya Kandi menatap Arin. "Arin, memangnya tadi Anjani tidak memberitahumu?"

"Su-sudah Nyonya. Tapi, saya belum bisa membedakan Tuan Muda." Arin memegang nampan semakin erat untuk menyalurkan ketakutannya.

Nyonya Kandi menghela napas dan tersenyum geli. "Nakula, Sadewa, dia Arin ART baru. Tolong dimengerti ya nak."

Arin terkejut, ia tak menduga reaksi Nyonya Srikandi Wasesa hanya seperti itu. Nakula tersenyum mengangguk kemudian berdiri mendekati Sadewa.

"Arin, namamu Arin kan." gadis itu menunduk jadi dia tak tahu siapa diantara kedua Tuan Muda itu yang sedang berbicara.

"Iya Tuan."

"Angkat wajahmu, amati kami agar kau bisa membedakan kami."

Arin mengangkat wajah dan pandangan matanya langsung bertemu dengan Tuan Muda yang marah-marah tadi. Pemuda itu terkesiap begitu melihat wajah ART baru, namun dengan cepat ia bisa menguasai otot wajahnya. Detik berikutnya tanpa sadar ia tak bisa berhenti menatap manik mata Arin yang berwarna coklat kehitaman itu. Pikirannya seakan terhipnotis oleh tatapan Arin.

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

Arin merasa canggung, kemudian ia berkedip untuk memutus kontak mata keduanya. Merasa sudah cukup, ia ganti mengamati majikan yang satunya. Pemuda itu memakai kemeja putih dengan lengan yang sudah digulung asal-asalan.

"Namaku Nakula." ucap Pemuda itu sambil tersenyum ramah. Arin mengangguk sebagai bentuk hormat.

"Yang ngomel-ngomel itu Sadewa." jelas Nyonya Kandi karena sepertinya Sadewa enggan mengeluarkan suaranya. "Sudah tahu bedanya Rin?" beliau tampak antusias.

"Sudah Nyonya." Arin menunduk menghadapkan tubuhnya pada Srikandi.

"Apa bedanya?" Nyonya Kandi menaikkan salah satu alisnya.

"Ada bekas luka sobek di atas alis sebelah kiri pada wajah Tuan Nakula, Nyonya."

"Bagus." puji Sang Majikan. "Tapi sekalipun kedepannya kamu masih salah saat membedakan, saya bisa memakluminya." ujar Nyonya Kandi dengan senyuman lembut.

"Terima kasih Nyonya. Dan maaf atas kesalahan saya Tuan, saya akan membuat kopi yang baru untuk Tuan Nakula."

Arin segera maju untuk membersihkan tumpahan kopi di lantai, namun Sadewa tak mau memberi jalan.

"Permisi, Tuan Muda." Arin meminta ijin untuk lewat, Sadewa bungkam. Ia malah memindai tubuh Arin yang jaraknya tak begitu jauh darinya.

"Sadewa!" teguran Sang Mama membuat Sadewa sedikit terkejut, ia lantas bergeser ke samping. Tanpa pemuda itu sadari, setiap gerak geriknya mulai dari awal melihat wajah Arin, diamati oleh Mama Kandi. Arin bergegas maju untuk membersihkan lantai dan membawa gelas kembali ke dapur disusul oleh Mbok Yem.

"Kenapa menatap ART baru seperti itu?" Nakula menyenggol lengan saudaranya dan langsung menginterogasi Sadewa.

"Hanya merasa seperti ada yang ganjil saja." jawab Sadewa datar.

"Jawaban macam apa itu." sahut Nakula tidak puas. "Ingat! Kau sudah memiliki tunangan."

"Kan aku sudah bilang, hanya merasa ada yang ganjil." Sadewa membela diri. "Kamu lihat nggak sih? ART itu tubuhnya terawat sekali. Mustahil dia dari kalangan orang biasa."

"Nggak tuh, biasa aja. Aku kan nggak jelalatan kayak kamu." sahut Nakula ketus.

"Cukup." Mama Kandi menengahi, ia memijat pelipisnya. "Mana Papa kalian? Kenapa tidak pulang bersama?"

"Papa masih terima tamu di ruangannya, Tuan Triantono." Nakula menjawab.

"Jadi Papa menyuruh kami pulang lebih dulu." Sadewa menambahkan.

Mama Kandi mengangguk-angguk. "Ya sudah kalau begitu, mama mau ke kamar."

"Selamat sore." belum sempat Nyonya Wasesa melangkah pergi, suara ceria seorang gadis terdengar disusul kemunculan Sang Pemilik suara.

Raut wajah wanita paruh baya itu berubah drastis. Ia menatap kedatangan gadis yang memakai mini dress dengan enggan.

"Selamat sore Della." mama Kandi menjawab salam Della dengan terpaksa. Demi menjaga perasaan putranya ia juga mengulas senyum tipis sebelum pergi ke dapur.

"Anjani, kamu antar kopinya Nakula. Biar Arin bisa bantu Mbok Yem bersihkan dapur." titah Nyonya Kandi pada menantunya.

"Iya Ma." Anjani melihat perubahan pada ekspresi mertuanya, namun ia enggan bertanya. Setelah Arin menuangkan air mendidih dan mengaduk kopi. Anjani segera membawa menuju suaminya.

Di ruang tengah Anjani melihat Della sedang duduk di lengan sofa bersandar pada Sadewa. Bahkan gadis itu sepertinya sengaja memakai mini dress untuk merayu adik iparnya itu. Anjani geleng-geleng kepala, pantesan muka mama nggak enak dilihat. Ternyata ada Della. Anjani bergumam sambil berjalan menuju suaminya.

***

Arin duduk di bangku pinggir lapangan basket yang dekat dengan area menjemur. Semua pekerjaannya telah selesai.

"Ternyata jadi pembantu melelahkan sekali. Padahal baru kerja beberapa jam. Apalagi besok." lirihnya pelan.

Ia mendongak menatap langit, tak ada satupun bintang yang terlihat. Bahkan bulan pun seakan enggan membagi sinarnya.

"Bunda, maaf." mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Ia menghela napas berat untuk meredakan rasa sakit dalam hatinya.

"Ekhmmm!!!"

"Aaahhhhh!" Arin menjerit tertahan dan lompat dari tempat duduknya setelah mendengar suara berdehem seseorang.

"Apa kamu pikir saya ini hantu?" pertanyaan Sang pemilik suara membuat kepala Arin bergerak, menoleh kesana kemari dengan cepat. Tanpa sadar Arin memegangi dadanya, rasa takut mulai menjalar.

"Ada suara kok nggak ada wujudnya?" ujarnya sambil kembali melihat ke segala arah dengan cepat. "Jangan-jangan tempat ini ada setannya." imbuhnya sambil mengusap tangan dan tengkuk. Menyadari kemungkinan itu, Arin segera berlari kembali ke kamar.

Dari sisi lapangan yang gelap tak jauh dari bangku, muncul Sadewa yang memakai hoodie hitam sambil membawa bola basket. Ia terlihat jengkel, karena dari posisinya tadi ia bisa mendengar dengan jelas perkataan ART baru itu.

"Aku disangka setan? Padahal dia sendiri yang tidak mengamati sekitar dengan benar." Sadewa bersungut-sungut sambil melakukan shoot dari bawah ring.

Sementara itu di dalam kamar, Mbok Yem dan Mbak Inah keheranan dengan tingkah Arin yang masuk dan langsung menutup dirinya dengan selimut.

"Ada apa sih Rin?" Mbok Yem tak dapat menahan rasa penasarannya.

"Di lapangan basket ada setan Mbok." jawab Arin dari dalam selimut. "Ada suara nggak ada wujudnya."

Mbok Yem dan Mbak Inah saling pandang, belasan tahun bekerja pada keluarga Wasesa, baru kali ini mereka mendengar hal mistis seperti itu.

"Ya sudah, kamu tidur saja. Jangan lupa besok ruang tamu sama ruang tengah harus sudah dipel sebelum Tuan berangkat kerja." Mbak Inah mengingatkan.

"Iya Rin, bersih-bersih perabotan bisa belakangan. Nyapu dan ngepel itu yang utama." Mbok Yem menimpali.

Arin menyingkap selimut yang menutupi wajahnya. "Terima kasih sudah mengingatkan Mbok, Mbak." ia bersyukur seniornya itu mau membimbing dan mengingatkannya.

Gadis itu memejamkan mata, namun pikirannya masih berkelana ke beberapa menit yang lalu. Kayaknya pernah dengar suara setan tadi. Tapi dimana ya? Mmmmm, Ah sudahlah, mending tidur persiapan untuk tempur besok.

***

Bab 3

05.40, Arin baru saja menyelesaikan tugasnya menyapu dan mengepel ruang tamu serta ruang tengah. Saat mulai mengelap guci dan ornamen di ruang tamu, Tuan Pandu Wasesa lewat hendak berolahraga di taman depan. Pria paruh baya itu berhenti dan menatap lekat Arin yang sedang bekerja. Tuan Pandu berniat menghampiri, namun karena waktunya tak banyak beliau memilih untuk meneruskan langkahnya. Sementara itu, karena fokus dengan yang dikerjakan, Arin jadi tak menyadari kehadiran Tuan Besar.

Beberapa menit kemudian, Arin masih sibuk membersihkan berbagai jenis ornamen pemanis ruangan. Saat sepasang mata elang mengamatinya dari belakang.

"Aahhhh!!!" Arin terpekik namun segera membungkam mulutnya dengan tangan kiri. Arin dikejutkan dengan kehadiran Sadewa yang sudah berdiri tak jauh di belakangnya saat ia berbalik.

"Ma-maaf Tuan Muda, saya tidak tahu Tuan ada di belakang saya." ujar gadis itu dengan menunduk. "Ada yang harus saya kerjakan, Tuan?"

"Tidak ada." sahut Sadewa datar.

"Um. Iya, Tuan." Arin bingung, ia ingin melanjutkan pekerjaan. Tapi jika berdiri membelakangi Tuan Muda ia bisa dianggap tidak sopan.

"Kenapa tidak lanjut bekerja?" tanya Sadewa sambil melipat kedua tangannya.

"Um, it-itu Tuan. Umm...." kata apa yang tepat untuk diucapkan, Arin benar-benar bingung.

"Kerja saja, tak perlu sungkan untuk membelakangiku." Sadewa mengerti kebingungan gadis dihadapannya.

"Baik, Tuan." gadis itu berbalik dan melanjutkan pekerjaannya. Tak lama kemudian Sadewa melangkah ke samping Arin dengan jarak yang tidak terlalu dekat. Tingkahnya sudah seperti supervisor yang sedang mengawasi pegawai magang bekerja.

Tuan Muda ini nggak ada kerjaan ya? Ngapain berdiri disitu? Buat aku jadi nggak enak kerjanya. Arin bergumam sambil kadang melirik Sadewa.

"Jangan melirik terus, lama-lama kamu bisa juling." suara Sadewa terdengar seperti radio rusak di telinga Arin.

Kamu sih, buat orang nggak nyaman. Arin mencebik tanpa sepengetahuan Sadewa. "Maaf, Tuan." hanya itu yang dapat dilontarkan Arin.

"Sadewa, kamu ngapain disitu?" Mama Kandi heran dengan keberadaan putranya di sisi Arin yang sedang bekerja.

"Mengawasinya Ma." jawab Sadewa singkat.

"Ngawasi? Tumben. Beberapa bulan lalu ada tukang kebun baru, sepertinya kamu nggak ngawasi tuh."

Sadewa menoleh menatap Mamanya, ia mengerjap seolah baru sadar dengan apa yang ia lakukan. "Dewa mau siap-siap ngantor dulu." ia mengecup singkat pipi Mama Kandi kemudian kembali naik ke lantai dua. Sebelum mencapai ruang tengah yang dibatasi tembok dengan ruang tamu, ia berhenti dan menoleh menatap Arin, gadis itu tetap bekerja tak terusik dengan kepergiannya.

"Sadewa ngerjain kamu, Rin?" tanya Nyonya Kandi selepas kepergian putranya.

Arin menghentikan tugasnya dan berbalik menghadap ke arah majikannya. "Tidak Nyonya."

"Beneran?"

"Iya Nyonya."

"Trus, tadi dia ngomong apa?"

"Tidak ada Nyonya. Tuan Muda diam saja berdiri di sana."

Nyonya Kandi mengernyit. "Ya sudah, cepat selesaikan kemudian sarapan. Biar bisa gantian makan sama Mbok Yem. Selesai ngisi perut baru kerja lagi."

"Iya Nyonya."

Nyonya Kandi berjalan menuju taman untuk menghampiri suaminya.

"Yang bersih-bersih di ruang depan itu pembantu baru, Ma?" Tuan Pandu bertanya sambil mengayun-ayunkan kedua tangannya.

"Iya Pa. Kemarin diantar sama Miranti."

"Siapa namanya?"

"Namanya Arin, Pa."

"Hanya Arin?"

"Iya, emang kenapa Pa? Penasaran banget."

"Mukanya seperti tidak asing. Dia tidak seperti ART kita yang lain. Mama sudah pernah bertanya tentang keluarganya?"

"Belum sih Pa. Tapi bukan cuma Papa saja yang merasa seperti itu. Mama dan Sadewa juga sama."

"Sekali-sekali ditanya, tapi jangan seperti penyidik di kepolisian. Nanti dia merasa privasinya diusik. Walaupun dia pekerja upahan kita, jangan sekali-sekali melewati batas dan mengusik privasinya."

"Iya suamiku sayang." ucap Nyonya Kandi dengan mimik wajah yang lucu. "Mama selalu ingat kok untuk tetap menghargai orang apapun pekerjaannya."

"Good." Tuan Pandu mencolek cuping hidung Nyonya Kandi dengan sayang, membuat istrinya tersenyum malu-malu.

***

"Arinnnn...Arinnnn."

"Iya Mbak, ada apa?" Arin keluar dari kamar saat mendengar Mbak Inah memanggil.

"Kamu temani Nyonya Kandi ke kantor ya, antar makan siang buat Tuan Besar dan Tuan Muda."

"Kenapa bukan Mbak saja?" Arin enggan menerima tugas itu.

"Perut Mbak sakit banget, hari pertama tamu bulanan nih." jelas Inah sambil memegangi perut. "Mbok Yem sedang pergi belanja sama Nyonya Anjani. Yang lainnya juga punya tugas yang nggak bisa ditinggalkan."

"Iy-iya deh Mbak." Arin terpaksa menyetujui, ia mengulas senyum tipis melihat kelegaan di wajah Inah.

"Makasih ya Rin. Mbak ke dalam dulu, bilang ke Nyonya." Arin menatap kepergian Inah dengan lesu. Ia kembali masuk ke kamar untuk berganti baju yang lebih sopan.

Dan disinilah Arin, berdiri di samping Nyonya Kandi menenteng dua set rantang berisi makan siang untuk Tuan Pandu serta Tuan Nakula Sadewa. Lift yang mereka tumpangi berhenti di lantai 7 gedung PT. Nindya Karya.

Arin hanya berjalan mengikuti kemana Nyonya Kandi pergi. Karena sudah menelepon sebelumnya, keduanya lantas masuk setelah Sekretaris membukakan pintu. Arin segera meletakkan rantang di meja yang berada di depan meja kerja Tuan Pandu kemudian keluar dan duduk di sofa yang diletakkan di depan meja Sekretaris.

Untuk membunuh jenuh, Arin mengambil majalah yang terletak di meja. Tentu saja bukan majalah fashion yang digeletakkan disana. Dari pada Arin hanya berdiam diri, ia terus membaca majalah bisnis di tangannya.

Baru beberapa menit Arin mulai gelisah. Ia menoleh ke segala arah mencari-cari sesuatu. Sebelum akhirnya ia memutuskan untuk bertanya ada Sekretaris.

"Permisi Tuan, toilet ada di sebelah mana ya Tuan?"

"Dari depan lift tadi kamu belok kanan, toiletnya ada di sebelah kiri." jawab Sekretaris tanpa berpaling dari layar PC.

"Terima kasih, Tuan." Arin bergegas pergi karena sudah tidak tahan. Gadis itu bahkan setengah berlari menuju tempat tujuannya.

Beberapa menit kemudian gadis itu keluar dari toilet. Bukannya kembali ke tempatnya menunggu, ia memilih berjalan menuju jendela yang tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Setibanya di pinggir jendela, ia melihat ada koridor lain di sisi kirinya, entah menuju kemana jalan itu. Sedangkan disisi kanannya ada sebuah pintu dengan tulisan tangga darurat di bagian atasnya.

Arin mengangguk sambil tersenyum pada seorang OB yang sedang mengepel lantai di sisi kiri tadi. Rasanya baru sebentar ia mengamati jalanan di bawah sana saat pintu di sebelah kanan tiba-tiba terbuka. Arin terkejut, Sadewa keluar dari sana dengan ekspresi wajah menahan marah.

"Kamu?! Sedang apa disini? Menguping pembicaraanku?" Sadewa memberondong Arin dengan pertanyaan.

"Ti-tidak Tuan." Arin menjawab dengan menunduk. "Saya baru sa....Aaahhh!!!" Arin tak dapat menyelesaikan ucapannya karena Sadewa sudah menarik tangan Arin dan menutup pintu dengan kasar.

"Katakan apa yang kamu dengar!" titah Sadewa setelah mereka berada di dekat tangga darurat.

Arin sangat kesal, Sadewa menarik tangannya dengan kasar dan menuduhnya menguping. "Saya tidak menguping, Tuan Muda. Saya baru saja berdiri di tempat itu." kalimat Arin penuh dengan penekanan. Ia bahkan berani menatap mata Sadewa.

"Jangan bohong kamu!"

"Saya sadar saya hanya seorang pembantu, jadi saya tahu mana batasan saya. Untuk apa saya menguping, saya tidak ingin dipecat. Saya baru saja berdiri di dekat jendela itu. Tuan bisa bertanya pada OB tadi."

"Untuk apa saya bertanya pada OB itu!" sahut Sadewa ketus.

"Tuan Muda, apa keuntungannya untuk pembantu se...."

"Pembantu? Mana ada pembantu punya rambut lembut terawat, kulit sehat berkilau dan...." Sadewa terdiam menyadari ada yang salah dengan kalimat yang meluncur dari mulutnya. "Kamu pasti mata-mata perusahaan kami kan?!" tuduhan baru keluar begitu saja.

Arin semakin marah, tadi dituduh menguping, sekarang dituduh mata-mata.

"Memangnya salah kalau saya merawat diri, Tuan? Saya seorang gadis normal bukan ODGJ!!!" entah kenapa Arin merasa kesal dengan Sadewa, Tuan Muda yang satu ini sulit ditebak dan suka berpikir yang aneh-aneh.

"Permisi Tuan Muda, Nyonya Kandi menyuruh saya untuk menunggu di depan ruangan CEO." Arin memilih mengakhiri perdebatan, ia agak menyesal sudah berani membantah. Namun ia juga tidak ingin ditindas hanya karena statusnya sebagai ART Sang Tuan Muda.

"Kamu berani membantah saya?" pertanyaan Sadewa menghentikan tangan Arin untuk menarik gagang pintu. Gadis itu menarik napas untuk mengontrol emosinya.

"Tuan, saya hanya membela diri. Maaf jika saya lancang dan memberi kesan sudah membantah Tuan." Arin pergi meninggalkan Sadewa begitu saja. Kepergian ART itu membuat Sadewa merasa semakin kesal. Tadi saat Arin berdebat dengannya sambil membalas tatapannya, ada sesuatu yang terasa menyenangkan.

Sadewa membuka pintu dengan kasar hingga membuat OB yang sedang bekerja terperanjat. Pemuda itu keluar sambil menarik rambutnya dengan kasar. Saking kesalnya ia bahkan menendang ember yang tak jauh dari sana sampai pecah. Kemudian pergi begitu saja meninggalkan OB yang menatap embernya dengan lesu.

Setibanya di depan ruangan Papa Pandu, Sadewa melihat Sang Mama sedang berbicara dengan Arin. Gadis itu tampak sesekali menjawab disertai anggukan kecil. Ia mendekati kedua wanita itu dengan langkah lebar.

"Kamu dari mana saja Wa? Papa sama Nakula sudah makan duluan." Mama Kandi tersenyum lembut menyambut kedatangan putranya.

"Ada urusan sedikit Ma." jawab Sadewa sambil melirik Arin.

"Ya sudah kalau begitu, masuk sana."

"Iya Ma." tak ingin menimbulkan pertanyaan baru, Sadewa melangkah masuk mengikuti perintah Mama Kandi.

"Saya pergi sekarang juga Nyonya." Sadewa berhenti dan berbalik saat mendengar Arin berpamitan.

"Iya, hati-hati di jalan Rin."

"Terima kasih Nyonya, permisi."

"Dia mau kemana, Ma?" Sadewa kembali mendekati Mamanya.

"Mau pulang, Mama masih ada keperluan lain." ia menatap wajah putranya dengan kerutan samar pada dahinya. "Apa semua baik-baik saja?"

Sadewa sedikit terkejut, namun dengan cepat ia bisa menguasai diri. "Semua baik-baik saja, Ma. Kenapa Mama bertanya begitu?"

Mama Kandi mengangkat bahu. "Hanya bertanya." jawabnya sambil menepuk pundak anaknya dan masuk ke dalam ruangan Sang Suami.

Sadewa menarik napas berat, tak mungkin ia menceritakan perihal hubungannya dengan Della. Sejak awal Papa dan Mama sudah tidak menyukai gadis itu, jadi apapun yang terjadi dalam hubungannya sekarang, tak bisa begitu saja ia ceritakan pada orang tuanya.

***

Dear good reader.

Jika kalian menyukai bab ini, jangan lupa klik like dan tinggalkan jejak komentar yang membangun yaaa

❤❤❤❤❤

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!