PERHATIAN: Cerita ini LURUS. TANPA UNSUR LGBT sama sekali. Jadi tenang aja.
____
Setelah orang tuaku meninggal setengah tahun lalu, hidupku yang sudah miskin semakin melarat saja. Selama enam bulan ini aku hidup dari gajiku sebesar delapan ratus ribu rupiah sebagai penjaga apotik. Dan di malam hari aku berjuang mati-matian sebagai penulis novel online tidak terkenal. Sudah dua tahun aku melakukannya. Namun hanya seuprit pembaca yang mau singgah di lapakku.
Akan tetapi tiga bulan terakhir ini berbeda. Novelku yang berjudul “My Man is Celebrity” laris manis. Bercerita tentang Sania Suherman, seorang pegawai magang rajin dan lemah lembut, dengan aktor terkenal Tony Lesmana. Kisah cinta manis dan menggairahkan dengan rating 21+. Ditambah konflik panas antara Sania dengan Catherine Wijaya, tunangan Tony sekaligus CEO agensi hiburan WJ Entertainment, atasan tempat sang tokoh utama bekerja. Catherine yang cemburu pria yang dicintainya memilih wanita lain melakukan berbagai macam cara untuk mengganggu Sania.
Aku tahu. Kisah itu klise. Wanita lemah lembut dan biasa-biasa saja membuat pangeran tampan yang digilai banyak wanita bertekuk lutut, bahkan mengalahkan sang tunangan yang terkenal cantik, kaya, dan sangat berbakat. Salah satu trik untuk membuat pemeran utama wanita tampak lebih unggul dari semua tokoh yang ada.
Akan tetapi kisah klise ini yang membuat novelku dibaca sampai dua puluh juta kali. Membuat rekening tabunganku yang hampir dinonaktifkan tiba-tiba dapat durian runtuh. Namun selayaknya pohon yang semakin tinggi semakin banyak diterpa badai, novelku pun demikian.
Ah, si Catherine kurang jahat.
Bikin dia makin gila lagi dong.
Kurang seru. Terlalu biasa.
Kalau gini terus gue gak mau lanjut baca. Bosen.
Kayaknya konfliknya biasa banget. Catherine-nya kurang jahat.
Bikin si Catherine makin jahat dong, Kak. Habis itu bikin dia kena azab separah-parahnya. Pengin lihat Catherine jadi gila ngeliat Tony lebih milih Sania. Wkwkwk...
Aku didemo pembaca yang tidak puas dengan kejahatan sang antagonis. Kurasa para pembaca inilah penjahatnya. Bagaimana bisa mereka berharap seseorang berubah semakin jahat lalu menghancurkan hidupnya sendiri.
Jujur saja aku tak terlalu suka membuat cerita dengan tokoh antagonis yang terlalu gila. Dan aku pun kadang kasihan melihat mereka. Tokoh utama wanita terkadanag tak melakukan apa-apa. Hanya tersenyum sedikit dan menunjukkan sifat ceria, dia dengan mudah menarik hati semua orang. Sedangkan sang antagonis, yang berjuang keras mendapatkan satu cinta dari pemeran utama pria, tak mendapatkan apa-apa. Yang akhirnya membuat mereka cemburu buta dan hancur sehancur-hancurnya. Padahal jika ditilik lebih lanjut, pemeran utama wanita dan pemeran utama pria-lah yang berselingkuh di belakangnya.
Kulirik jam di meja yang telah menunjukkan pukul tiga pagi. Artinya sudah sepuluh jam aku duduk di depan laptop. Menguras semua tenaga dan ide untuk update bab baru sebanyak-banyaknya. Karena terlalu lelah, aku langsung menelungkupkan kepala di atas meja dan jatuh tertidur.
***
“Minta maaf ke Sania sekarang!” pekik seorang pria di depanku.
Mataku membulat. Pria yang sedang marah-marah itu tampan sekali. Jangkung dan proporsional. Wajah dengan tulang pipi tinggi, hidung mancung, rahang tegas, dan bibir merah penuh. Belum lagi kulitnya yang putih terawat.
Satu kata: dia benar-benar tipeku.
“Kamu gak mau minta maaf?” Pria itu menyugar rambut seraya mendesah frustrasi. “Catherine, sampai kapan kamu akan kayak gini?”
Catherine? Dia bicara pada Catherine siapa? Apa ada Catherine di sekitar sini? Aku menoleh kiri dan kanan, lalu balik lagi menatap pria itu. Jelas-jelas dia sedang memandangku.
“Apa lagi yang mau kamu lakuin sekarang? Mau mengelak apa lagi? Sebenarnya kenapa kamu terus mengganggu Sania? Salah dia apa?”
Mendadak sebuah layar muncul di hadapanku. Persis seperti kotak misi di dalam gim yang sering kumainkan.
Katakan, “Jika bukan karena dia, kamu tidak akan meninggalkanku,” pada Tony Lesmana.
Dialog murahan macam apa itu?
Tapi tunggu dulu. Sepertinya aku akrab dengan dialog murahan tadi. Lalu Tony Lesmana, dan Catherine?
Hahaha... aku pasti telah bekerja terlalu keras. Sekarang mereka bahkan menerorku di dalam mimpi. Tapi kenapa aku menjadi Catherine? Apa aku merasa bersalah telah membuatnya menjadi penjahat?
“Catherine, kamu benar-benar gak mau minta maaf?” Aku memandang lagi pria tampan di depanku ini. Lalu baru kusadari seorang wanita cantik berwajah sendu sedang berdiri di belakangnya. Ia basah kuyup. Sebuah jaket kebesaran menutupi pakaiannya yang menepak. Jaket yang kuyakini milik pria yang sedang marah padaku ini.
“Tony, aku gak apa-apa. Bu Catherine pasti gak sengaja.” Saat aku memperhatikan sekitar ternyata banyak pasang mata yang menonton kejadian ini. Kutatap sebuah air mancur yang berdiri megah di tempat yang kuperkirakan sebagai lobi kantor ini. Wanita bernama Sania itu pasti habis terjatuh ke sana. Dan Catherine dituduh sebagai orang yang mendorongnya.
“Kamu selalu bela dia. Sampai kapan kamu mau nutupin semua kejahatan dia ke kamu. Aku udah gak tahan lagi, Sania. Dia ini kriminal.”
Dadaku terasa diremas-remas oleh kata-katanya. Tak kusangka disebut kriminal bisa semenyakitkan ini.
Dengan wajah welas asih Sania berusaha menjelaskan kembali, “Tapi aku kepleset sendiri. Bu Catherine gak dorong aku.”
“Kamu memang terlalu baik.” Tony melirikku sinis. “Dan orang itu memanfaatkan kebaikan kamu.”
Sementara itu kotak berisi dialog yang harus kukatakan tak kunjung menghilang. Aku tak ingin mengatakannya. Saat ini aku kesal sekali. Dituduh sebagai penjahat dan sekarang harus mengatakan hal menjijikkan pada orang yang menatapku penuh kebencian.
“Aku gak bisa diam aja. Aku bakal melaporkan hal ini ke polisi.” Lalu pria itu beralih padaku. “Catherine, kamu gak bisa bertindak semena-mena hanya karena kamu bos di tempat ini. Kamu gak akan pernah dapat perhatianku dengan tingkah konyol kamu yang kayak gini.”
Lalu dengan semua sorot penuh cemooh itu, Tony membawa Sania pergi, meninggalkan aku yang masih berdiri mematung.
Kotak misi tadi muncul kembali.
Anda gagal melaksanakan misi.
Kini aku berada di tempat yang katanya adalah ruanganku. Aku sudah menampar pipiku berulang kali sampai terasa kebas. Artinya ini sungguhan. Masa iya aku tak kunjung bangun padahal tak lama lagi wajahku akan tampak seperti korban KDRT.
Dan lagi semuanya terasa nyata. Kopi yang barusan kuminum. Rasa empuk kursi yang kududuki. Layar komputer yang terasa dingin. Dan semua kejadian ini runtut dan tak ada bagian yang hilang. Maksudku, di mimpi terkadang kau akan mendadak berpindah tempat dan bertemu dengan orang yang tak terduga. Pembicaraan yang terjadi di mimpi pun seringnya tidak nyambung. Aku pun sangat yakin aku tengah sadar sepenuhnya saat ini. Jadi, meski tak suka dengan kenyataan ini, kusimpulkan aku masuk ke dalam novel. Menjadi seorang Catherine Wijaya.
“Ah, aku merasa gak waras sama kesimpulanku sendiri.” Aku mendesis frustrasi sambil mengacak-acak rambut.
Sudahlah. Jika dipikirkan terus aku bisa gila. Mendadak aku teringat sesuatu. Kutekan interkom.
“Iya, Bu,” sahut seseorang yang adalah sekretarisku. Namanya Keegan. Aku tahu dari mana? Orang inilah yang tadi menjemputku di lobi dan membawaku ke sini.
“Ke ruangan saya sekarang.”
Sejurus kemudian Keegan sudah berdiri di hadapanku.
“Tolong kamu belikan sesuatu buat saya. Entah itu buah, cokelat, atau... biskuit. Belikan saja biskuit dan kirim ke meja Sania.” Wanita itu pecinta biskuit akut.
Aku bukannya sok baik. Meski bukan aku yang mendorong perempuan itu, tetap saja aku merasa bertanggung jawab. Karena mau bagaimanapun, tubuh inilah yang mendorongnya.
“Sania?” cicit Keegan tak percaya. “Maksud Ibu, Sania Sulaiman?”
“Iya.”
“Gak pakai sianida kan, Bu? Ibu kan benci sekali sama wanita itu. Dia yang merebut tunangan Ibu.”
“Aku gak peduli dia merebut siapa. Belikan saja. Hibur dia atau apalah.”
Aku benci merasa bersalah.
“Baik, Bu.” Keegan lekas pergi dengan buru-buru. Padahal aku tak akan melemparnya keluar jendela kalau santai sedikit saja.
“Yah, lebih baik aku pulang saja dulu sekarang. Aku perlu menenangkan pikiran sejenak.”
Aku mungkin berniat membakar habis gedung ini kalau harus tinggal lebih lama. Lagi pula, aku Bos.
***
Sincerely,
Dark Peppermint
Ini mungkin karena aku terbiasa hidup miskin. Jadi aku norak banget saat mendapati diriku sangat kaya. Lihatlah rumah dua lantai bergaya kontemporer di depan. Begitu mewah dan elegan. Perpaduan antara kayu dan kaca. Yah, aku sudah bisa menduga hal ini sih saat menemukan sebuah Benz sebagai mobilku.
Setelah memasukkan mobil ke bagasi, aku hanya bisa menutup mulut saat melihat sebuah Audi dan Porsche terparkir cantik di sana. Jika setelah membuka pintu rumah aku menemukan tambang berlian di dalam, bisa-bisa aku mati karena terlalu kaya.
Sayangnya tidak ada tambang berlian di dalam. Baguslah. Jantungku juga tak akan siap akan hal yang seperti itu. Kejutan hari ini saja sudah banyak sekali.
Bagian dalam rumah ini juga bagus sekali. Warna kayu dan hitam mendominasi. Perpaduan yang pas untuk kesan homey namun juga berkelas. Begitu sampai di kamar aku langsung menuju walk in closet. Deretan pakaian terbentang di kanan dan kiriku. Lemari-lemari penuh sepatu dan tas mahal. Perhiasan dan jam-jam tangan mewah. Dari bermacam-macam merek butik-butik ternama.
Aku menyambar pakaian koleksi Valentino Garavani, lalu mematut diri di depan cermin. Dan tersadar. Catherine benar-benar wanita yang cantik. Kukembalikan pakaian tadi ke tempatnya, lalu mulai melihat-lihat yang lain. Kebaya karya Anne Avantie. Jam tangan Omega. Serta merek-merek seperti Gucci, Hermes, Louis Vuitton, Balenciaga, Prada, dan lainnya mengisi setiap penjuru ruangan ini.
Aku mendatangi sebuah meja rias.
“Aku punya SK-II?” Mataku mendelik memandangi sebotol essense mahal. Tidak. Benda tadi belum seberapa. Aku mengambil sebotol minyak wangi dari Saint Laurent, Serum dari Dior. Lalu hand cream, night cream, day cream, eyes cream, moisturizer dan sebagainya yang semuanya dari merek ternama. Ada pula set peralatan make up. Yang juga banyak sekali. Aku malas menyebutnya satu per satu.
Aku belum puas menikmati kekayaan mendadak ini saat sebuah pesan masuk ke ponselku.
*Temui aku di Kafe Mawar sejam lagi*.
Pesan itu dikirim oleh Tony. Firasatku buruk tentang hal ini. Semua kebahagianku perlahan sirna. Apa lagi yang akan terjadi?
Saat aku tiba di Kafe Mawar sejam kemudian Tony sudah menunggu. Aku tersenyum canggung lantas duduk di depannya. Dia sudah memesankanku minuman yang sepertinya adalah Green Tea Latte.
Aku tak tahu kenapa dia memesankanku minuman ini. Tapi seingatku ini bukan minuman favorit Catherine dan bukan minuman favoritku juga.
“Terima kasih sudah menunggu dan minumannya juga,” kataku. Dia hanya mengatakan “hmm” sebagai jawaban. Tak tersenyum bahkan saat aku memberinya senyuman canggung tadi. Ya, dia pasti benci sekali pada seorang Catherine Wijaya setelah kejadian siang ini.
“Aku mau langsung ke intinya aja,” ucap Tony saat aku baru menyesap minumanku.
Kuletakkan cangkir itu kembali ke tempatnya. “Iya. Itu lebih bagus. Aku juga gak punya banyak waktu.”
Pria itu terlihat tak suka mendengar jawabanku. Tapi peduli setan. Ada banyak hal yang harus kupikirkan dibanding menghabiskan waktu ngopi-ngopi cantik dengan pria yang sepertinya sudah siap membunuhku kapan saja ini.
“Aku mau pertunangan kita dibatalkan. Aku gak mau punya hubungan apa-apa lagi sama kamu.”
Oh, jadi gitu...
Kalau kujawab malas-malasan begitu dia pasti semakin kesal.
“Setelah ini aku harap kamu gak ganggu hidupku lagi. Terutama Sania. Dia gak salah apa-apa. Dia perempuan yang sangat baik.”
Jadi Sania adalah hidupnya dan selama ini Catherine mengganggu hidupnya yang berharga itu? Oh, Catherine yang malang, kau pasti tersiksa mencintai laki-laki seperti ini. Maafkan aku.
“Catherine, kamu dengar aku kan? Aku gak main-main. Pertunangan kita batal. Hubungan kita berakhir.” Gue kagak tuli, Kartono, gue dengar. “Aku udah melaporkan kamu ke polisi. Kamu bisa bersyukur, karena status kamu itu hukum gak mempan di kamu.”
Aku bersiap untuk menjawab kata-katanya saat kotak misi sialan itu muncul kembali.
Memohon dan menangislah pada Tony Lesmana agar pertunangan kalian tidak dibatalkan.
Jika aku meludahi kotak di depanku ini bisa kena tidak ya? Takutnya kotak itu tembus pandang dan ludahku malah menempel di wajah Tony. Aku sih senang-senang saja meludahi Tony, tapi efek kelanjutannya tak akan baik. Jadi aku menegakkan dudukku, menatapnya tepat di kedua manik matanya, lalu dengan tegas aku berkata, “Kalau itu yang kamu inginkan, kita batalkan saja pertunangan ini.”
Dia terkesiap. Sebelum pria itu sempat menjawab aku buru-buru melanjutkan,” Aku juga gak akan ganggu kamu lagi dan—“ Mendadak perutku terasa seperti ditinju oleh sesuatu. Aku menoleh pada kotak misi yang berubah warna menjadi merah. Seolah aku telah memberi jawaban yang salah. Sistem ingin aku memohon-mohon seperti orang bodoh agar diterima kembali. Aku sedang diarahkan ke jurang kehancuran. Membuatku menjadi manusia paling buruk hanya untuk memperkuat hubungan cinta antara tokoh utama wanita dan laki-laki.
Kedua tanganku mengepal kuat. Aku tak ingin melakukan ini. Sebelum ini hidupku sudah sulit. Aku baru saja mendulang sukses sebelum masuk ke sini. Aku belum sempat menikmati hidupku. Tak akan kubiarkan perintah dari sistem sialan membuatku lebih menderita. Ini hidupku. Jika kalian membawaku kemari, maka biarkan aku bertindak sesuka hatiku.
“Aku juga gak akan mengganggu Sania lagi. Pertunangan kita benar-benar memuakkan. Aku sendiri merasa bodoh karena jatuh cinta pada pria yang menyelingkuhiku seperti ini. Kuakui aku salah karena sudah cemburu buta dan melakukan hal konyol. Tapi tenang saja, setelah ini kamu gak akan mendapat gangguan dariku lagi.” Tony semakin terperangah. Dia pasti tak menyangka wanita yang selama ini mengejar-ngejarnya seperti orang gila semudah itu disingkirkan. Namun aku tak punya banyak waktu lagi untu mengeluarkan semua unek-unek yang terpendam. Rasa sakit di perutku mulai menjalar ke seluruh tubuh. Aku bangkit dari kursi seraya menarik Gucci-ku. “Semoga kalian berdua bahagia. Selamat malam.”
Aku pergi dengan langkah pasti. Mantap dan penuh percaya diri. Namun hal itu tak bertahan lama, sesampainya di dalam mobil aku terduduk lemas. Lalu tanpa aba-aba rasa sakit itu keluar dari dalam mulutku. Berupa cairan merah kental berbau asin. Aku memuntahkan darah segar. Air mataku berlinang. Akibat dari rasa sakit badan dan perih di ulu hati.
Aku dihukum karena menolak menjadi penjahat menyedihkan.
Dengan tangan bergetar aku menarik tisu dan membersihkan mulut. Herannya yang paling sesak sekarang adalah dadaku. Aku memukulnya sedikit seraya mengusap blus putihku yang bernoda darah.
Sebuah panggilan masuk mengalihkan perhatianku.
“Iya, Kee,” jawabku senormal mungkin.
“Ibu belum lihat beritanya?”
“Berita apa?”
“Sekarang lagi ramai di sosmed berita kehamilan Bianca Salsabila. Sekarang wartawan sedang gencar menyerang agensi kita.”
Bianca Salsabila? Siapa pula itu?
Kepalaku diserang rasa pening mendadak. Sesuatu seperti mengalir cepat di dalam kepalaku. Sekelebat sosok wanita cantik dengan gaun mewah, berganti dengan sosok menggunakan kebaya di latar tempat rumah tradisional.
Aktris terkenal Bianca Salsabila. Dewi agensi kami.
Sialan. Dibanding memberi misi untuk menjahati orang, seharusnya sistem novel ini memberiku tugas menjalankan perusahaan dengan baik. Jika perusahaan bangkrut karena bos kw yang tidak kompeten, ratusan orang akan kehilangan pekerjaan.
Kotak misi itu muncul kembali. Anehnya misi kali ini tidak aneh-aneh seperti sebelumnya.
Kembali bekerja ke kantor sekarang.
Ya, baguslah. Meski aku pun sudah bersiap jika kotak itu berulah lagi dan menyuruhku menabrak orang tak bersalah di jalan raya.
“Saya segera ke kantor sekarang,” sahutku lalu segera mematikan sambungan telepon. “Baiklah, jangan gemetar.” Aku memukul kedua lenganku. Aku membutuhkan kalian bekerja senormal mungkin.
***
Sincerely,
Dark Peppermint
Setelah mengganti pakaianku yang terkena noda darah dengan kemeja dan blazer, aku tiba di kantor. Untuk pertama kalinya aku berhasil menjalankan misi dengan baik.
Keegan dan seorang pria berkacamata sudah menungguku di lobi dengan cemas.
“Ini, Bu.” Keegan menyerahkan sebuah tablet padaku. “Hasil pencarian teratas Google diisi oleh Bianca.”
Aktris cantik Bianca Salsabila hamil
Siapa ayah dari bayi Bianca Salsabila?
Kehamilan alasan Bianca Salsabila tak terendus media selama tiga bulan
Dari sekelumit ingatan milik Catherine yang masuk, Bianca Salsabila belum menikah. Setibanya di depan lift khusus, Nanda menekan tombol. Pintu langsung terbuka dan kami bertiga masuk ke sana.
“Ini unggahan dari akun Lambe_Mbahmu yang diunggah satu jam lalu.” Terlihatlah beberapa buah foto Bianca Salsabila yang menggunakan masker sedang berada di poliklinik obgyn.
“Pergi ke dokter obgyn kan gak berarti hamil. Kenapa hal seperti ini bisa terjadi?”
Lalu seorang pria berkacamata yang sejak tadi menunduk ketakutan berkata, “D-dia memang hamil, Bu.”
“Apa? Siapa ayah dari bayinya?”
“Itu saya juga belum tahu, Bu.”
Satu jam kemudian aku turun untuk membeli kopi. Jujur saja aku kebingungan bagaimana cara menghadapi masalah ini. Aku hanya seorang penulis. Ilmuku tidak sampai kalau harus disuruh menjadi pemimpin sebuah perusahaan besar. Apalagi aku tak punya semua ingatan Catherine. Aku juga kaget dengan sakit kepala yang mendadak menyerang waktu itu. Yang mana kusimpulkan sebagai gejala yang timbul saat ingatan Catherine akan muncul.
Namun jika ingatan-ingatan Catherine tak muncul lagi, apa yang harus kulakukan? Aku sendiri di sini dan tak tahu harus berbuat apa. Jujur, ini mulai terasa menakutkan. Tidak. Dari awal pun ini sudah sangat menakutkan.
***
Setelah membeli segelas caffe americano, mataku menangkap sebuah siluet wanita yang tidak asing. Sania Suherman sedang terburu-buru menuju caffee shop. Ini sudah lewat jam pulang kantor. Tapi wanita itu masih berada di sini. Ya, dia kan si anak magang rajin yang sering dimanfaatkan pegawai lain.
Aku tak ingin terlibat dengannya—
“Malam, Bu.” Langkah kakiku terhenti. Sania Suherman menunduk hormat, kemudian tersenyum lembut.
“Malam,” sahutku singkat. Dia benar-benar pemeran utama wanita. Sudah didorong sampai masuk ke dalam air mancur pun masih mau menyapa Catherine. Mungkin ini jugalah salah satu alasan Catherine terus mengganggu Sania. Saat kau berbuat jahat dan orang itu tetap seramah ini, kau malah semakin marah karena merasa dirimu sangat jahat. Akhirnya kau hanya tambah membenci orang tersebut.
“Terima kasih atas biskuit yang Ibu kirim. Saya sangat menyukainya.”
“Tidak masalah—“
Kotak misi muncul kembali.
Permalukan Sania Suherman di hadapan semua orang. Buat dia meninggalkan kantor ini karena malu.
Hah, bolehkah aku menangis sekarang? Sudah tiga kali dalam sehari ini aku mendapat misi-misi yang tidak masuk akal. Aku mau dikorbankan sampai seberapa jauh lagi untuk membuat Sania Suherman semakin terlihat seperti malaikat pemaaf yang tak pernah membenci orang yang mengganggunya.
“Saya harus pergi sekarang,” ucapku. Jika rasa sakit dari melawan misi muncul kembali, aku tak ingin muntah darah sambil menjadi tontonan orang.
“Iya, Bu.” Saat aku mulai melangkah, Sania memberi sedikit hormat padaku lagi. Gerakan tubuhnya yang mendadak itu membuatku tak sengaja menumpahkan kopi ke pakaiannya. Sania memekik, kopi panas itu pasti mengenai kulitnya. Sekali lagi, kami berdua menjadi bahan tontonan.
Tatapan-tatapan mencemooh mengelilingiku. Namun tak satu pun dari mereka yang berani menegur.
Kata-kata Tony tadi terngiang lagi di kepalaku.
Aku udah melaporkan kamu ke polisi. Kamu bisa bersyukur karena status kamu itu hukum gak mempan di kamu.
Orang-orang ini membenciku, tapi juga takut padaku.
“Maaf, Bu, saya gak sengaja,” cicit Sania sambil menundukkan kepala semakin dalam.
Bisik-bisik mulai terdengar.
“Kan yang nyiram Bu Catherine, kenapa dia yang minta maaf?”
“Sania memang lembut. Dia baik banget orangnya.”
“Kalau itu gue juga pasti minta maaf lah. Siapa yang mau berurusan sama Bu Catherine. Kalau ngelawan entah apa yang bakal dia lakuin.”
“Nasib karyawan kecil kayak kita. Bos yang semena-mena, kita yang semakin dipijak-pijak.”
“Kasihan banget Sania gue yang cantik dan manis itu. Andai gue punya kekuatan buat balas semua perbuatan Bu Catherine.”
“Aku jadi takut kerja di sini. Sekarang sih Sania, ke depannya entah-entah aku yang diperlakuin kayak gitu sama Bu Catherine.”
Mereka bisik-bisik tapi kedengaran semua.
“Enggak. Ini bukan salah Bu Catherine. Dia gak sengaja. Aku yang salah,” ucap Shania.
Berhentilah, Nona, kau hanya membuatku semakin buruk saja, batinku.
“Malaikat.”
“Bisa-bisanya dia masih bela orang yang jahatin dia.”
“Cuma Sania yang bisa ngelakuin itu.”
“Pantas Tony berpindah hati ke dia. Siapa pun pasti lebih milih malaikat dibanding iblis.”
Selain sikap Sania yang terlampau baik padahal sudah diperlakukan buruk, kata-kata orang seperti inilah yang membuat Catherine berubah semakin jahat. Meski sadar aku dihina bukan karena Sania, satu bagian dari diriku menyalahkannya. Aku kesal bukan main dengan kebaikannya. Aku benci dibanding-bandingkan dengannya.
Aku mendesah. Kulepas blazer-ku dan memasangkannya ke kedua bahu gadis yang masih terpaku itu. Kuikat lengan bajunya agar tak jatuh dan menutupi bagian yang terkena kopi.
“Itu bukan salahmu,” kataku pelan yang hanya dapat didengar olehnya. Lalu berbalik dan meninggalkan kerumunan ini.
Aku sangat marah. Apalagi rasa sakit mulai terasa dari dalam perutku. Kotak misi itu tak terima aku membantahnya lagi. Aku masuk ke lift khusus dan menekan lantai paling atas. Aku tak ingin bertemu siapa pun. Keegan pasti geger kalau melihatku kesakitan. Aku bersandar di dinding lift sambil memejamkan mata.
Tak adakah cara aku keluar dari sini? Ini benar hanya dunia novel kan?
Lekas aku membuka mata dan mengerjap beberapa kali. Meski terasa sangat nyata, tempat ini tetap dunia novel. Bukan dunia nyata. Lalu apa yang terjadi jika aku mati? Aku tak tahu apakah tubuh asliku di dunia nyata masih hidup atau tidak. Namun kalau aku mati, bisakah aku kembali ke kehidupan lamaku?
Sumpah aku tak menginginkan semua kekayaan ini. Tempat ini seperti neraka. Bisa-bisa esok hari aku akan disuruh membunuh Sania dan... tak sengaja melakukannya.
Tubuhku semakin gemetar. Rasa sakit itu semakin menjadi-jadi.
Meski Sania tak mungkin meninggal karena dia adalah pemeran utamanya. Namun membayangkan diriku melukai seseorang sampai sejauh itu benar-benar menakutkan. Aku tak akan punya apa-apa lagi kalau sampai terlibat kejahatan separah itu.
Aku tiba di lantai paling atas dan menuju atap. Semilir angin menerpa tubuhku yang hanya dibalut kemeja tipis. Namun suhu dingin tak mampu menghilangkan rasa terbakar dalam diriku. Tubuhku yang sudah sangat lemah jatuh terduduk di dekat pagar pembatas. Aku benar-benar bisa mati karena hukuman dari menolak misi.
“Apa bagi kalian hidup Catherine benar-benar gak berharga sampai kalian melakukan hal sejauh ini untuk membuatnya jadi penjahat?” Air mataku menetes, oleh sebab rasa sakit dan sesak di hati. “Dia kan juga pantas bahagia. Aku pantas bahagia. Kami pantas bahagia. Coba pikirkan siapa penjahatnya sekarang.”
Aku menoleh ke belakang. Menatap jutaan lampu yang berkerlap-kerlip. Gedung ini memiliki empat puluh lantai. Tempat yang sangat sesuai untuk sebuah percobaan kecil.
Aku bangkit berdiri sambil tersenyum kecil. Dunia novel bahkan lebih kejam dari dunia nyata. Satu kakiku melewati pagar pembatas, kemudian satu lagi. Lalu tanganku yang masih berpegang pada pagar pembatas terlepas. Tidak. Aku yang sengaja melepaskannya.
Selamat tinggal. Aku tak mau menjadi penjahat menyedihkan di dunia ini. Kumohon kembalikan aku ke tempat asalku.
***
Sincerely,
Dark Peppermint
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!