NovelToon NovelToon

KENARA : The Love Of High School

1. SMA VH 21

Suasana sekolah begitu ramai membicarakan tentang murid baru yang kabarnya berjenis kelamin perempuan. Berita itu sudah menyebar sejak satu minggu yang lalu, seluruh siswa siswi penasaran seperti apa rupa dua perempuan itu.

Seorang gadis dengan rambut panjang yang digerai mengikuti langkah guru di depannya, guru tersebut adalah Bu Rosa, —wali kelas. yang akan mengantarnya menuju kelas barunya. Sepanjang koridor yang sepi gadis itu mencoba menghafal letak ruangannya. Tibalah di kelas XII-IPA 1. Murid yang awalnya gaduh perlahan sunyi, semuanya menatap ke arah pintu yang terbuka, menatap seseorang yang berjalan di belakang wali kelas.

"Pagi, anak-anak."

"Pagi, Buu," jawab serentak seisi kelas.

"Hari ini kalian kedatangan teman baru. Silahkan perkenalkan diri kamu,” ujar Bu Rosa menoleh pada gadis di sampingnya.

Sang gadis mengangguk. "Hai, nama gue Chiara Aprilly, panggil saja Ara."

"Nomor ponsel dong?"

"Rumahnya dimana, neng geulis?"

"Sudah punya pacar belum?"

Chiara tersenyum mendengar cuitan teman-teman barunya.

"Subhanallah senyumnya manis banget."

"Gila... bikin gue meleleh, ‘njir.”

"Sudah semuanya diam,” Bu Rosa menengahi kegaduhan yang ditimbulkan anak didiknya. “Ara, silahkan kamu duduk di sana,” sambungnya menunjuk pada kursi yang kosong.

"Terimakasih, Bu.”

"Jam pelajaran siapa sekarang?" tanya Bu Rosa setelah Chiara duduk di kursinya.

"Pak Hadi, Bu.”

"Julio, kamu panggil Pak Hadi di ruangannya."

"Yaah.. Bu, saya belum kenalan sama murid baru,” keluh Julio memprotes.

"Huuuuuu!!"

"Bisa kenalan nanti, sekarang kamu panggil Pak Hadi."

Bu Rosa menoleh pada Chiara. "Ara, yang betah, ya, sekolah di sini."

Chiara mengangguk. "Iya, Bu. Terimakasih."

"Kenalin, gue Mila." Ara menyambut uluran tangan teman sebangkunya. "Ara,” balasnya.

Chiara mendengarkan seksama gadis sebangkunya yang tengah memperkenalkan teman sekelasnya satu persatu saat Pak Hadi meminta mencatat pada buku tugas.

Chiara menoleh ke kiri, kebetulan siswa di sampingnya itu melihat ke arahnya, ia tersenyum ramah namun siswa itu justru membuang muka dan menatap papan tulis. Ia menyernyit, kemudian menggeleng pelan. "Mila, dia siapa?" bisiknya pelan, menunjuk tempat duduk di sebelah kirinya.

Mila mengikuti arah tunjuk Chiara. "Dia Ken. Manusia salju."

Jawaban Mila justru membuat Chiara bingung.

"Lo harus tahu, Ra. Dia itu cold ketos, irit ngomong, minim ekspresi, dan pentolan SMA VH 21. Gue akuin dia itu ganteng, banyak fans, tapi sifat dinginnya yang gue enggak suka," terang Mila panjang lebar dengan berbisik.

Chiara hanya mengangguk dan membulatkan mulutnya mendengar penjelasan dari Mila.

...***...

Kringg.... (Bunyi bel istirahat)

"Ra, ke kantin yuk?" ajak Mila.

Chiara mengangguk. “Iya."

Keduanya keluar dari kelas menuju kantin, beberapa murid melihat ke arah Chiara, berbisik-bisik mengenai dirinya. Chiara itu cantik, jadi tak jarang banyak yang memuji kecantikannya ditambah ia anak baru, sudah pasti jadi bahan incaran.

"Gue ke toilet bentar, ya?” Mila berbelok ke arah toilet, meninggalkan Chiara yang berdiri menunggu dirinya.

Setelah selesai dengan panggilan alamnya, Chiara dan Mila kembali berjalan menuju kantin.

"Kita duduk di sana yuk, Ra." Mila menunjukkan meja yang sudah diduduki beberapa siswa.

"Yank, kamu bawa siapa?" tanya Putra, —ia adalah pacar Mila.

"Kenalin semua, dia Ara, anak baru. Ra, kenalin ini Putra, cowok gue," ujar Mila tersenyum malu-malu memperkenalkan sang kekasih.

Chiara mengangguk saja. Mengambil duduk di kursi kosong.

"Kenalin, gue Alex, temen sekelas lo. Gue duduknya sebangku sama Ken,” ujar seorang siswa yang duduk bersebelahan dengannya, siswa itu menggerakkan kepalanya menunjuk siswa yang duduk diseberang.

Chiara terkesiap, ternyata ada Ken di sana, tapi sepertinya siswa itu terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Bahkan saat teman-temannya menggoda Chiara, dirinya hanya diam tidak menanggapi, serius dengan makanan di hadapannya. Chiara merasa heran dengan manusia dingin bernama Ken itu.

"Ken, elo dipanggil bagian kesiswaan tuh," salah seorang murid laki-laki menghampiri meja mereka.

Kenneth mengangguk kemudian berlalu begitu saja.

"Ada apa?" tanya Mila penasaran.

"Biasalah, mungkin ada anak bolos,” jawab Gio sekenanya.

"Ara, lo dipanggil kepsek di ruangannya."

Chiara yang merasa dipanggil menoleh. "Gue?" tunjuknya pada diri sendiri.

"Iya, lah, elo Chiara, ‘kan?"

Chiara mengangguk. "Makasih, ya.”

"Woii.. Ken!”” tiba-tiba Alex berseru nyaring.

Kenneth yang masih berada di area kantin berbalik.

"Ara mau ke kantor nih, temenin sekalian!” sambungnya masih berteriak.

Chiara melotot protes.

“Udah, lo bareng Ken aja, Ra. Entar lo nyasar lagi,” ujar Mila membenarkan usul Alex.

"Bener tuh kata cewek gue,” sahut Putra diangguki yang lain.

Mau tidak mau, Chiara bangkit dan mengikuti ketua osis itu menuju kantor, ia memilih berjalan di belakangnya. Sepanjang koridor telinganya terus saja dihujani beberapa kalimat yang membuat pendengarannya sedikit terganggu.

"Kegatelan, ngikutin Ken mulu."

"Fans baru Ken, kali."

"Tapi cantik banget sih."

"Siapa cewek itu?"

"Anak baru keknya."

"Primadona baru nih, Vanya mah lewat."

Chiara tidak mengerti kenapa anak-anak membicarakan dirinya. Ia berhenti melangkah saat siswa di hadapannya berhenti, ia menatap bingung seakan bertanya ‘kenapa berhenti?’

"Jangan kayak siput,” ujar Kenneth datar.

Chiara melongo. 'Dia bisa ngomong?' bathinnya.

"Buruan." Masih dengan intonasi datar, Kenneth berjalan meninggalkan Chiara yang masih terbengong.

...***...

Chiara keluar dari ruang kepala sekolah saat jam istirahat sudah berakhir, ia berjalan menuju kelasnya, mencoba mengingat-ingat letak kelasnya. Sesekali melihat beberapa ruangan yang ia lewat. "Bagus juga sekolah punya Daddy,” komentarnya. "Ada ruang musik juga." Ia melongok pada pintu yang sedikit terbuka ada tulisan Music Room di atasnya. Ia tersenyum melihat ruangan musik yang lengkap dengan beberapa alat musik. "Daddy benar-benar hebat,” gumamnya tersenyum bangga.

Sedang asyik berjalan, tiba-tiba tangannya ditarik seseorang, tubuhnya terdorong di lorong yang sepi. Punggungnya menghentak tembok. Kepalanya mendongak melihat tiga siswi di depannya.

"Heh! Lo anak baru, ‘kan? Enggak perlu basa basi, gue cuma mau ngingetin, elo jangan coba-coba deketin Kenneth, karena dia cowok gue.”

Kerutan dalam terlihat di dahi Chiara, merasa bingung dengan apa yang dikatakan gadis di hadapannya. Entah apa maksudnya, dan siapa Kenneth?

"Sekali lagi gue lihat lo jalan bareng sama Kenneth, gue bakal bikin hidup lo nggak betah sekolah di sini,” ancam siswi itu lagi.

Chiara menatap heran gadis di depannya, tidak nampak ketakutan terukir di wajah cantiknya, justru kebingungan yang dominan. 'Kalau lo tahu gue anak pemilik sekolah, bisa jantungan kali,' bathinnya mencibir.

"Oh, iya, gue lupa, kenalin, gue Vanya, primadona SMA VH 21, semua yang ada di sini harus nurut sama gue," ujar siswi itu pongah.

Chiara memperhatikan ketiganya yang telah berlalu, ia berdecih kecil, “Belagu banget jadi primadona doang, sok berkuasa,” cibirnya kesal.

...***...

Tok! Tok! Tok!

"Maaf, Pak. Saya terlambat, habis dari ruangan kepala sekolah,” ujar Chiara ketika memasuki kelas.

"Ya sudah, kembali ke tempat duduk."

Chiara berjalan menuju kursinya, sedikit mencuri tatap pada ketua osis yang juga melihat ke arahnya, atau papan tulis di depan? Entahlah ia tidak tahu.

"Lo kemana aja, Ra. Elo nyasar?" tanya Mila khawatir.

"Gue ketemu sama cewek gila."

"Hah, siapa?"

Chiara mengendikkan bahu. "Namanya Vanya, dan lo tahu, dia ngancem gue, katanya jangan deketin Kenneth, pacarnya. Lah, gue mana tahu pacar dia, siapa Kenneth aja gue enggak kenal.” mengingat kejadian beberapa menit yang lalu membuatnya kesal.

Kenneth yang merasa namanya disebut sedikit menguping pembicaraan gadis di sampingnya itu.

"OMG, demi apa lo ketemu Vanya?" kejut Mila tertahan.

Chiara mengangguk.

"Tadi lo bilang siapa Kenneth?" Mila bertanya, kemudian menunjuk dengan dagunya ke arah kiri Chiara. "Tuh, itu tuh yang namanya Kenneth, alias Ken,” tambahnya.

Chiara memutar kepalanya mengikuti arah tunjuk Mila, ia terkesiap. "Dia Kenneth?" tanyanya pelan.

Mila mengangguk. "Lo harus tahu, selain ketos dingin, dia itu mostwanted, banyak fans, salah satunya si Vanya. Lagipula Vanya bukan pacar si Ken, dia cuma ngaku-ngaku doang. Lo harus hati-hati sama mak lampir itu, ratu bully," tekan Mila pelan.

Chiara mendengarkan dengan hikmat petuah dari Mila.

"Kalau bisa, lo jangan cari masalah sama tuh anak, cara dia ngebully sadis, sudah banyak korban di sini."

"Dia primadona sekolah?" tanya Chiara memastikan.

Mila mencibir. "Yaaa emang, sih, dia itu cantik, tapi gue rasa posisinya sekarang udah ke geser."

"Maksud lo?"

Mila tersenyum lebar melihat penampilan Chiara. "Gue rasa elo yang bakal gantiin posisi dia jadi primadona,” ujarnya terkekeh.

Chiara mencubit lengan Mila. "Jangan ngomong sembarangan."

"Aduh sakit, Ra,” Mila meringis mengelus lengannya.

Chiara menghadap lurus ke papan tulis, tak sengaja dirinya melirik ke arah Kenneth. 'Apa iya cowok yang bahkan enggak bisa bicara ini jadi pentolan sekolah?' gumamnya dalam hati.

Kenneth yang merasa diperhatikan menoleh ke arah Chiara. Sedangkan Chiara yang ketahuan sedang mencuri tatap pada Kenneth jadi gelagapan, merebut bolpoin di tangan Mila.

"Ra, itu punya gue."

"Pinjem bentar,” ujar Chiara berpura-pura menulis di buku, ia malu ketahuan ketos bernama Kenneth itu.

Sedangkan Kenneth yang memperhatikan tingkah Chiara hanya menggeleng pelan.

📖

📖

📖

2. Dari Rangga untuk Sinta

Chiara keluar dari toilet dan berniat kembali ke kelasnya, namun saat hendak menaiki anak tangga seseorang menabraknya hingga ia terjungkal ke belakang. "Aduhhh..."

"Eh, sorry, gue nggak sengaja."

"Lain kali hati-hati, dong!” sungut Chiara berdiri membersihkan roknya.

"Waah.. ada bidadari di pagi hari. Ehem, kenalin, gue Galang." Siswa bernama Galang itu mengulurkan tangan.

Chiara menyernyit, memperhatikan tangan siswa di hadapannya. "Chiara,” jawabnya menyambut uluran tangan Galang.

"Chiara? Nama yang cantik, secantik orangnya,” puji Galang tersenyum. “Lo murid baru, ya?" sambungnya menebak.

Chiara mengangguk. "Gue —“

"GALANG, JANGAN LARI KAMU!!"

Terdengar teriakan dari lantai atas, membuat Chiara menatap bingung.

"Chia, gue pergi dulu, sampai ketemu nanti ya, bye." Galang berlari meninggalkan Chiara yang linglung, terdengar aneh saat Galang memanggilnya Chia, bukan Ara.

"Kamu lihat Galang?" tanya seorang guru yang sepertinya sedang mengejar Galang.

Chiara menunjuk arah lari Galang. "Ke sana, Pak."

"Terimakasih, kamu masuk kelas."

Chiara mengangguk kemudian melangkah menuju kelasnya.

Sesampainya di kelas.

"Mil, lo tahu Galang nggak?" tanya Chiara menumpu kepalanya di meja.

Saat itu jam sedang kosong, murid dibebaskan dari segala tugas, asalkan tidak keluar kelas, begitu petuah sang ketua kelas —Julio.

"Galang?" ulang Mila mengingat-ingat.

"Tadi dia enggak sengaja nabrak gue, tapi kenapa dia di kejar-kejar sama guru, ya?"

"Ohh gue tahu, pasti yang lo maksud Galang kapten basket."

"Kapten basket?"

"Wuih.. keren lo, Ra. Baru sekolah dua hari udah ketemu sama cogan SMA VH 21 aja," seru Mila heboh. “Lo harus tahu, si Galang itu kapten basket di sini, dia juga mostwanted, sebelas dua belas sama si salju,” bisiknya di akhir kalimat. "Tapi dia juga biang onar, playboy, suka tawuran, sering bolos, keluar masuk BK. Tapi meskipun begitu, dia juara di bidang basket, sering nyumbang piala emas di sekolah,” imbuhnya.

Chiara membulatkan mulutnya.

"Ra, katanya lo pindahan dari luar negeri, ya?" Julio mengambil duduk di depan Chiara.

"Eh, iya, kenapa?"

"Lo asli Indonesia bukan?"

"Nah, iya, gue juga lupa mau nanya ini,” sahut Mila memutar tubuhnya menghadap ke arah Chiara.

"Gue lahir di Indonesia kok, tapi waktu umur delapan tahun gue pindah ke Jerman."

"Rumah lo dimana, Ra?" tanya siswa dengan name tag Deni.

Chiara gelagapan menjawabnya. "Itu, di.. jalan x."

Mereka mengangguk-angguk, kemudian mulai ngobrol ngalor ngidul nggak jelas sampai bel istirahat berbunyi.

...***...

Keesokan harinya.

Kelas yang awalnya ramai perlahan sunyi, hanya beberapa yang saling bisik-bisik.

"Ada apa, Mil?" tanya Chiara heran.

"Rangga mau nembak Sinta,” bisik Mila.

Pupil mata Chiara membulat. "Oh, ya?"

"Hooh, kita tunggu Sinta masuk kelas."

Sinta yang baru memasuki kelas terkejut saat Rangga berdiri di depannya.

Ehem!

Rangga memulai aksinya membava syair. "Aku menyukai pagi. Lamat kulihat sinar mentari dari celah rambutmu yang tergerai. Menerpa senyummu yang semanis gulali. Bahagia itu sederhana sekali."

Sinta memandang Rangga datar.

"Ohhh so sweet..” sorakan dari teman-temannya mulai menggema.

"Meleleh adek, bwang!"

"Aseekkkkk."

"Dalem banget mamen."

"Rang, lo nyontek puisi punya siapa?”

"Diem, gue minta bantuan mbah Google semalem,” jawab Rangga asal membuat tawa sekelas membahana.

"Hustt diem." Rangga meletakkan jari telunjuknya di depan bibir agar teman-teman diam. Ia melanjutkan, "Jika mencintaimu adalah mata pelajaran, maka aku akan hadir, duduk paling depan."

"Pretttt...!”

"Jijik, anjir."

"Tai lo, Ngga."

"Sinta, aku bukanlah Rama, aku hanya seorang Rangga yang sangat mencintaimu dengan sepenuh jiwa." Jeda, Rangga mengambil nafas dalam. "Sinta, maukah kau menjadi kekasihku?" Rangga menekuk lututnya di lantai, mengangkat setangkai bunga mawar ke arah Sinta.

"TERIMA! TERIMA!" teriakan murid di kelas mengiringi acara penembakan tersebut.

Sedangkan Sinta, ia memicingkan mata menatap kesal pada Rangga. "Gue nggak mau jadi pacar lo!” tolaknya sarkas.

Jeder.....!!

Hati Rangga hancur berkeping-keping mendengar jawaban Sinta. Sontak seluruh kelas tertawa melihat penolakan yang Sinta berikan.

"Sinta kau menyakitiku,” ucap Rangga mendramatisir. "Oh, Sinta, kau —"

Sinta jengah, ia merebut bunga di tangan Rangga dan memukul-mukul tubuh Rangga. "Rangga gila, gue benci sama lo."

"Auw, ampun, Sin, ampun," Rangga menghindari serangan Sinta.

Semua murid tertawa terbahak melihat keduanya, itu pertunjukan penolakan cinta yang sangat lucu.

Chiara bahkan sampai memegangi perutnya yang keram akibat tertawa, ia menoleh ke kiri, seketika terdiam melihat pemandangan di hadapannya, wajahnya seakan terhipnotis oleh senyuman itu. ‘Kenneth tersenyum, dia bisa tersenyum.' Atmosfer di sekitarnya seakan terhenti, hanya senyuman Kenneth yang menyejukkan hatinya. Hampir tiga hari di sekolah barunya, itu pertama kalinya ia melihat ekspresi lain dari ketos dingin. Meskipun hanya senyuman tipis namun mampu membuat Chiara terpesona. 'Andai tiap hari dia tersenyum, pasti akan jauh lebih ganteng,' komentarnya dalam hati, tersenyum memandangi wajah Kenneth.

Kenneth menoleh pada Chiara yang senyum-senyum ke arahnya, sepertinya tengah melamun. Ia menormalkan kembali raut wajahnya, berdehem keras disela murid-murid yang masih tertawa melihat pertunjukan di depan. “Ehem!”

Chiara terkesiap, mengerjapkan kedua matanya. 'Astaga, gue ketahuan lagi,' rutuknya dalam hati. Ia menggigit bibir bawahnya serta memukul pelan kepalanya. Chiara merasakan suhu wajahnya yang hangat. Kemudian ia menyembunyikan wajahnya ke dalam lipatan lengan. 'Bagaimana ini? Gue malu, astaga, Ara, lo bodoh.'

Tanpa sadar ujung bibir Kenneth terangkat melihat rona merah di pipi Chiara lengkap dengan salah tingkahnya.

...***...

"Gila lo, Rang. Sumpah sakit perut gue." Julio meminum jus pesanannya dalam sekali tegukan.

"Ngapain juga pake acara puisi-puisi gitu, lo tahu, ‘kan, cewek kayak Sinta enggak bisa di romantis-in."

Rangga menumpu wajahnya dengan kedua tangan. "Gue kira dia bakal terpesona sama puisi gue."

Deni menepuk-nepuk pundak Rangga. "Enggak usah sedih, muka lo enggak pantes."

"Bener tuh.”

"Cewek bukan Sinta doang kali,” ledek Julio memakan kacang kulitnya. Beralih menoleh ke arah Chiara. "Eh, Ra. Lo udah punya cowok belum?”

Chiara yang sedang menyesap minumannya mendongak. "Belum, kenapa?"

"Nggak apa apa sih, jadi gue punya kesempatan," Julio menyengir.

"Kesempatan pala lo," Deni menonyor kepala Julio hingga kacang yang seharusnya masuk ke mulut terjatuh di lantai.

"Kampret lo, ‘njing! kacang gue noh!” protes Julio kesal.

"Sans bray.”

"Kesempatan jadi babu,” sahut Mila terkekeh.

"Rang, lo napa dah? Patah hati gitu banget."

Rangga menghela nafas lelah. "Lo nggak ngerasain jadi gue, Den," jawabnya lesu.

"Idih, ogah gue jadi lo, cuma gara-gara satu cewek lo udah gini. Kayak gue dong, pacar gue dimana-mana,” ujar Deni pongah menaikkan kerah bajunya.

"Pacar dimana-mana tapi gue nggak pernah lihat lo jalan sama cewek," timpal Mila mencibir.

"Nah bener tuh, bener, kayak gue dong setia sama satu cewek."

"Lo punya cewek, Jul?" tanya Rangga memastikan.

"Iya, lah, emang elo pada, jomblo karatan."

"Sialan lo." Toriq menonyor kepala Julio dan lagi-lagi makanan yang hendak masuk ke mulutnya tumpah.

"Brengsek!”

Toriq tertawa melihat kenistaan Julio.

"Heh, kutil kuda! Lagian nih, ya, kalau elo punya cewek, ngapain lo bilang punya kesempatan deketin Ara? Ha?"

Semua setuju dengan pernyataan Toriq.

"Nah, nah, iya, halu lo."

Julio menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Hehe, lo, 'kan, nggak tahu siapa yang gue maksud cewek gue."

"Emang siapa?" tanya Chiara penasaran.

"Nyokap gue," Julio menyengir tanpa dosa.

"******!"

"Anjing!"

"Kampret!"

"Putus dari Icha, otaknya makin gesrek."

"Ketua kelas geblek emang."

Berbagai umpatan diterima sang ketua kelas yang otaknya hanya setengah itu. Chiara dan Mila tertawa terbahak mendengar jawaban Julio, benar-benar gila pikirnya.

📖

📖

📖

3. Ke nekad- an Clarissa

Pagi-pagi, kediaman Van Houten sudah ramai dengan aktivitas anak-anaknya. Ke empatnya sedang duduk di meja makan menikmati sarapan pagi.

"Bang, aku masuk sekolah hari ini, ya?"

"Kamu sudah sembuh beneran, Dek?" tanya Chiara memastikan.

"Sudah, Kak, aku bosen di rumah," Clarissa menekuk wajahnya lesu.

"Sembuh apaan? Bohong tuh, Bang."

"Alzayn, diem!" ancam Clarissa melotot tajam pada adik bungsunya.

"Sekalian senin aja, Cla. Nanggung, 'kan, besok juga minggu."

"Tapi Bang —“

"Abang enggak mau kamu kenapa-napa, Abang udah janji sama Bunda buat jagain kalian di sini,” potong Aiden —kakak tertua.

Chiara mengelus lengan adiknya. "Udahlah, nurut kata Abang aja."

Clarissa mengangguk lesu.

"Bang, Ara berangkat sama Abang, ya?"

"Iya, ayo berangkat sekarang, Abang ada meeting pagi,” ujar Aiden beranjak. "Al, kamu diantar sama Pak Udin."

Alzayn mengangguk sambil mengunyah rotinya.

Chiara mengusap kepala Clarissa. "Kamu baik-baik di rumah ,ya, Cla. Kakak berangkat dulu sama Abang, daah.. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Setelah Abang, kakak serta adiknya berangkat tinggal Clarissa sendirian, ia terus menekuk wajahnya lesu. Lalu sebuah ide muncul di otaknya, ia bergegas menaiki tangga menuju kamarnya.

...***...

Suasana sekolah saat itu sangat ramai. Bel istirahat sudah berbunyi satu menit yang lalu, hampir seluruh siswa siswi berbondong-bondong menuju kantin guna mengisi perut.

"Guyss, ada anak baru!” seru Toriq yang baru saja bergabung di meja kantin.

"Kelas berapa?"

"Cewek atau cowok?"

"Cewek, kelas sepuluh,” jawab Toriq.

"Lo tahu dari mana?"

"Gue barusan dari ruangannya Bu Ros, nemenin Julio, noh. Gila, ke ruangan guru aja minta nemenin, gimana waktu malam pertama nanti, ya?" celetuk Toriq menyambar minuman di meja, entah punya siapa.

"Bangsat omongan lo, anjir."

"Pake bawa malam pertama lagi."

"Vulgar, ih, Toriq,” protes Mila bergidik.

"Woi, minuman gue, anjing!" sentak Deni keras.

"Bagi lah bro, haus banget gue," Toriq menyengir ke arah pemilik minuman.

"Terus, Julio mana?" Putra celingukan tak melihat Julio di belakang Toriq.

"Gue tinggal lah."

"Lahh si kadal."

"Kenapa lo tinggal, geblek!" Gio menonyor kepala Toriq.

Sebagai info, pacarnya Mila yang bernama Putra itu sekelas sama Gio di kelas IPA 3, sedangkan Julio, Deni, Toriq, Rangga dan Alex sekelas dengan Chiara dan Mila di IPA 1. Mereka biasa berkumpul bersama di kantin, biasanya ada Kenneth juga, karena mereka dulu pernah satu kelas di kelas sepuluh, dan juga sesama komunitas di luar sekolah.

"Temen laknat lo," Julio yang datang langsung menonyor belakang kepala Toriq.

"Aduh, sakit, bego!"

"Lo ninggalin gue, bego!"

"Kelamaan. Gue udah laper, bego!”

Julio mengambil duduk di samping Alex. "Eh, lo semua udah tahu, ada anak baru kelas sepuluh?"

Mereka kompak mengangguk.

"Toriq barusan ngomong."

"Tapi gue kayaknya enggak asing sama wajah tuh cewek," Julio mengelus dagunya.

"Cantik nggak?" Rangga menyahut mengangkat kedua alisnya.

"Cantik banget, Rang. Sinta aja kalah, jauuhh.." Toriq sengaja melebarkan tangannya ke samping hingga mengenai kepala Putra.

"Biasa aja, kampret. Pala gue nih," protes Putra menepis tangan Toriq.

"Tapi di hati gue tetep Sinta yang tercantik," Rangga menumpu wajahnya dengan kedua tangan sambil membayangkan wajah Sinta.

"Huekkkk."

"Jijik gue."

"Muke lo biase aje, Bwang Rang."

Chiara yang sedari dari jadi pendengar pun bersuara, "Lo tahu namanya enggak, Jul?"

Semua mata menatap Chiara, kemudian beralih pada Julio.

Julio menggeleng. "Nggak tahu, Ra. Eh, tapi mukanya mirip sama lo. Nah, iya, bener, mirip sama lo, Ra."

Chiara menyernyit, apa mungkin? Belum selesai dengan pemikirannya, tiba-tiba sebuah suara keras memanggil namanya.

"KAK ARAAAA....!!"

Hampir seluruh penghuni kantin menatap ke satu titik, seorang gadis dengan rambut sebahu dan juga poni yang diselipkan di kedua telinga, sedang melambai ke arah meja yang diduduki Chiara.

Chiara melotot, kemudian berdiri dari kursinya.

Gadis berponi itu memeluk tubuh Chiara.

"Cla, kenapa kamu di sini?"

Gadis itu adalah Clarissa, tanpa sepengetahuan kakaknya, ia tadi bergegas memakai seragam sekolah dan meminta sopir untuk mengantarnya. Walaupun sampai di sekolah ia telat.

Clarissa menyengir. "Aku, kan, mau sekolah, Kak."

Semua yang berada satu meja dengan Chiara saling tatap satu sama lain karena terkejut mendengar anak baru memanggil Chiara dengan sebutan 'kak'.

"Tapi, ‘kan, kamu masih sakit, Cla?"

"Aku udah sembuh, Kak," bantah Clarissa.

Chiara menghela nafas panjang. "Eh, iya, kenalin ini Clarissa, adik gue,” ucapnya memperhatikan penghuni meja yang ditempati.

Mereka melongo.

"Satu Chiara aja udah cantik, ini di tambah adiknya satu lagi."

"Gilaa dua bidadari ini mah."

"Lo berdua beneran saudara?" tanya Mila yang masih sedikit waras.

"Iya, dia adik kandung gue."

Deni menyenggol lengan Rangga. "Sinta kalah jauh, Rang,” ujarnya tanpa menoleh, memperhatikan dua gadis bersaudara itu.

"Bener tuh. Jauh banget,” timpal Julio.

Chiara dan Clarissa saling tatap, mengangkat kedua bahunya masing-masing, kemudian keduanya terkekeh.

Seluruh penghuni kantin pun masih memperhatikan keduanya, ada yang berbisik-bisik tentang dua anak baru yang ternyata bersaudara. Dan memang, dua saudara itu mempunyai paras yang cantik, kaum adam pun terpesona dengan kedua makhluk bernama Chiara dan Clarissa. Sedangkan kaum hawa hanya bisa iri melihat keduanya yang terlahir sempurna.

"Primadona baru nih."

"Vanya mah lewat, ya?"

"Gilaa cantik-cantik, ya?”

"Enggak nyangka kakak adik loh."

...***...

Chiara berjalan beriringan dengan Mila menuju kelas, saat melewati lapangan, terlihat beberapa anak yang sedang berdiri hormat pada bendera, sepertinya mereka sedang dihukum.

"Mil, itu Ken?" Chiara berbisik menunjuk Kenneth yang duduk mengawasi ketiga anak yang sedang hormat bendera.

Mila mengikuti arah tunjuk Chiara. "Ho’oh, biasa si Ken lagi ngawasin Galang dkk yang kena hukum."

Chiara membulatkan mulutnya.

Galang yang sedang mendapatkan hukuman dari guru BK dengan hormat bendera tak sengaja melihat Chiara yang berjalan di depannya. Ia tersenyum. "Hai, Chia,” sapanya ramah.

Kedua temannya, Niko dan Joni serta Kenneth kompak menoleh ke arah Chiara.

Chiara dan Mila menoleh, kemudian tersenyum pada Galang, bukan apa-apa, Chiara hanya berusaha memberikan image baik sebagai anak baru.

Niko menyenggol lengan Galang. "Hstt siapa, Lang? Cakep amat."

Galang menghiraukan pertanyaan Niko, melangkah mendekati Chiara. "Kita bertemu lagi, ‘kan? Katanya kalau tiga kali bertemu berarti jodoh. Dan kita sudah bertemu dua kali, tinggal satu kali lagi,” ujarnya terkekeh menatap Chiara.

Chiara menyernyit bingung. ‘Orang aneh,' pikirnya.

"Itu mah mau lo, Lang,” sahut Mila ketus.

Ehem!

Chiara, Galang dan Mila menoleh ke arah Kenneth.

Kenneth memberikan tatapan dingin pada Galang. "Hukuman lo belum selesai."

Galang memutar bola matanya, kemudian beralih menatap Chiara. "Gue pastikan kita bertemu lagi, dah, Chia,” ia melambaikan tangan dan kembali ke lapangan menyelesaikan hukuman.

Chiara tersenyum paksa, kemudian melanjutkan langkahnya.

"Jangan dengerin omongan Galang, Ra."

Chiara menoleh.

"Dia emang gitu, awalnya modus, kebanyakan gombal. Lo jangan percaya sama omongan dia. Gue enggak mau lo jadi korban dia selanjutnya," Mila memperingati.

Chiara mengangguk setuju.

📖📖

📖

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!