NovelToon NovelToon

Hati Yang Tak Tersentuh

Catatan Penulis - Pendahuluan

Pembaca yang terhormat,

Aku adalah Meina, penulis cerita ini. Pertama-tama, terima kasih sudah mampir. Sebagai pemberitahuan awal, cerita ini termasuk slow romance, jadi kemunculan masalah, plot twist, dan sebagainya tidak akan berlangsung secepat roller coaster. Bagi yang tidak menyukai cerita dengan banyak narasi (padahal inilah ciri khas novel), karya ini akan terasa membosankan.

Jika pembaca tetap lanjut ke bab pertama, semoga suka, ya. Tokoh utama novel ini mungkin tidak akan disukai oleh pembaca karena sifatnya, cara berpikirnya, dan yang terutama, keputusan terbesar yang akan diambilnya pada puncak cerita fase pertama nanti. Jadi, bagi yang mengharapkan kisah seorang wanita manis yang baik hati dan menyenangkan semua orang, aku jamin, pembaca akan kecewa.

Buku ini akan memiliki bab yang panjang karena terdiri dari tiga fase kehidupan tokoh utamanya dengan tema besar yang sama, Hati yang Tak Tersentuh. Tetapi ceritanya tidak akan melantur atau dipanjang-panjangkan layaknya sinetron tanpa akhir. This I promise you. 🙏🏻

Aku akan mengunggah lanjutannya setiap hari, setidaknya satu bab/hari apabila platform sedang tidak ada masalah dengan sistem. Aku hanya akan absen bila cerita terlalu emosional dan mataku bengkak karena menangis. Yang mengenal ritme menulisku pasti sudah tahu ini. 😁

Untuk meningkatkan performa karya, sempatkan memberi jempol jika suka dan komentar jika ada, ya. Beri rating, dan vote, lebih baik lagi. Hehehe .... 😁🤭 Aku sangat berterima kasih atas dukungannya.

Oke, oke, aku tidak akan berbasa-basi lagi. Selamat membaca. Mahendra dan Zahara sudah siap untuk menemani para pembaca memasuki kehidupan pribadi mereka.

Salam sayang,

Meina H.

Bab 1 - Bosan

~Za~

Tidak ada penyejuk ruangan di dalam rumah kami. Kedua jendela telah dibuka lebar-lebar untuk membiarkan udara segar masuk ke dalam. Tetapi tetap saja itu tidak cukup. Aku merasakan keringat turun di bagian tengah punggung dan di antara dadaku.

Kedua tanganku terasa sakit karena aku meremasnya begitu kuat di atas pangkuanku. Sofa yang biasanya nyaman itu terasa sekeras batu dan membuatku harus mengubah posisi duduk berulang kali. Aku melirik jam tangan, tidak sabar untuk segera pergi dari tempat dudukku.

Bagian belakang rok dress putih kesukaanku pasti sudah kusut karena terlalu lama aku duduki. Aku tidak punya waktu untuk berganti pakaian. Pembicaraan ini pasti akan berlangsung berjam-jam. Aku bahkan yakin riasan wajahku akan luntur dan aku harus memperbaikinya kalau masih ingin tampil sempurna pada malam ini. Rambutku juga perlu disisir kembali. Aku terpaksa menggelungnya tadi supaya tubuhku tidak berkeringat terlalu banyak.

Sudah satu jam lebih kedua orang tuaku menasihatiku tentang hal yang sama yang sudah aku dengar selama dua bulan terakhir. Aku saja sudah bosan mendengarnya, apakah mereka tidak bosan juga membahasnya terus?

Semua ini berawal dari lamaran yang aku terima pada dua bulan yang lalu. Salah satu keluarga kaya raya dan terpandang yang ada di kota kami datang ke rumah untuk makan malam bersama. Aku jelas terkejut dengan kedatangan mereka itu.

Tanpa aku duga sama sekali, Hendra, putra emas mereka, temanku di kampus, melamarku di depan kedua orang tua kami. Adik laki-lakiku, Zach, hanya tertawa terkikik melihat wajahku memucat. Kami tidak mempunyai hubungan asmara dan dia malah melamarku?

Hendra adalah seniorku di kampus. Kami sering berpapasan di perpustakaan atau di ruang diskusi pada tahun pertama aku kuliah. Sampai akhirnya pada tahun kedua, pria itu memulai percakapan dan mengajakku berkenalan.

Ketika pada hari berikutnya kami bertemu lagi, aku tidak keberatan duduk bersebelahan dengannya. Kami berteman baik tetapi aku tidak membiarkan hubungan kami terlalu akrab. Pembicaraan mengenai hal pribadi tidak pernah aku izinkan menjadi topik pembahasan kami.

Saat pria itu wisuda dan aku menemuinya untuk mengucapkan selamat, dia malah mengatakan bahwa dia mencintaiku. Jelas saja aku terkejut. Dia tidak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa dia mempunyai perasaan yang lebih dari teman kepadaku. Dan dengan terpaksa aku menolaknya.

Awalnya, aku pikir penolakan itu akan menyelesaikan segalanya tetapi aku salah. Hendra berulang kali datang lagi kepadaku. Dia hanya berhenti ketika dia pergi melanjutkan studinya ke luar negeri. Tidak ada lagi hubungan telepon juga tidak ada lagi kemunculannya yang tiba-tiba di kampusku.

Ketika aku berpikir bahwa dia sudah melupakan aku dan melanjutkan hidupnya, dia menungguku di depan kantorku pada saat jam kerja usai. Dia mengajakku makan malam bersama yang segera aku tolak. Teman-teman kerja menggodaku berhari-hari karena mereka melihatku dijemput oleh seorang pria dengan mobil mewahnya.

Dia memang tidak tahu diri. Kami sebelumnya berteman baik, tetapi persahabatan kami berakhir seketika itu juga saat dia pertama kali melamarku. Sudah berulang kali ditolak, berulang kali juga dia mencoba lagi. Lamaran terakhirnya adalah yang dilakukannya di depan kedua orang tua kami. Yang tentu saja aku tolak juga. Sungguh hal yang memalukan.

Belakangan aku mengetahui bahwa Hendra dan kedua orang tuanya datang makan malam di rumah kami bukan atas undangan Papa atau pun Mama. Tetapi atas keinginan pria itu sendiri. Dia menelepon ke rumah dan mengaku sebagai sahabatku dan Papa dengan senang hati mempersilakan dia datang ke rumah untuk makan malam bersama.

Tetapi aku tahu alasan yang sebenarnya. Papa menjawab iya bukan karena Hendra mengaku sebagai sahabatku di kampus, tetapi karena nama besar orang tua pria itu.

Entah apa yang dilihat Hendra padaku. Dia kaya, cerdas, berasal dari keluarga yang terpandang, dia bisa mendapatkan siapa saja untuk menjadi kekasihnya. Semua kualitas itu cukup untuk menarik perhatian wanita yang tercantik dan terbaik di negeri ini. Mengapa harus aku yang dipilihnya?

Aku menolaknya bukan karena aku sombong atau sok cantik. Aku sudah punya pacar sejak duduk di bangku SMU dan kami saling mencintai. Hendra tahu itu. Kami bahkan berniat akan menikah pada awal tahun depan. Umur kami sudah cukup, begitu juga tabungan kami berdua. Tidak ada lagi yang ingin kami tunggu, maka kami siap untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius.

Aldo sudah menyatakan maksud baiknya untuk melamarku, tetapi kedua orang tuaku menolak sebelum kekasihku sempat menyelesaikan kalimatnya. Namun kami tidak menyerah dan terus berusaha sampai papa dan mamaku memberi restu.

Sampai pada suatu hari, Aldo takut dan khawatir kedua orang tuaku tidak akan pernah merestui hubungan kami. Tetapi aku terus meyakinkannya bahwa kami tetap akan menikah, dengan atau tanpa restu kedua orang tuaku. Itu membuatnya merasa sedikit tenang.

Aku bisa mengerti ketakutan yang dirasakannya. Jauh di dalam hati, aku juga sangat khawatir. Tetapi aku sudah bertekad. Kami akan menikah apa pun yang terjadi. Kedua orang tuaku tidak punya hak menentukan dengan siapa aku akan menikah.

Pembicaraan kami pada saat ini tidak ada gunanya sama sekali. Aku tidak akan berubah pikiran, apa pun yang akan diucapkan oleh orang tuaku. Aku tidak peduli sekaya apa pria itu, sehebat apa nama keluarga mereka di mata masyarakat, setinggi apa pendidikan terakhirnya, atau sebesar apa cintanya. Aku tidak akan menikahi Hendra. Titik.

“Ara, apa kamu dengar?” ucap Papa dengan kesal. Aku mendesah pelan.

“Mau sampai kapan kita membahas ini, Pa? Aku akan tetap memberikan jawaban yang sama. Aku tidak mau menikah dengan Hendra. Aku sudah punya pacar,” ucapku dengan tegas.

“Kamu tidak akan punya masa depan bersamanya.” Kalimat itu lagi, itu lagi. Aku sudah bosan mendengarnya. Apakah mereka yang mempunyai masa depan hanyalah mereka yang memliki banyak uang? Lalu mereka yang hidup sederhana tidak akan bisa bertahan dalam pernikahan?

“Karena dia bukan dari keluarga kaya raya? Apa Papa lupa bahwa kita juga bukan dari keluarga yang berada? Atau Papa mulai berhalusinasi karena orang tua Hendra sekarang begitu dekat dengan Papa?” ucapku kesal.

Seharusnya kami segera menemui mereka begitu kami berniat untuk menikah. Kalau bukan karena ketakutan Aldo yang besar, dia yang akan lebih dahulu datang menyampaikan maksudnya daripada Hendra. Dengan begitu, Papa tidak akan melihat pilihan lain selain merestui pernikahan kami.

Kedatangan pria tidak tahu malu itu yang lebih cepat dalam melamarku daripada Aldo membuatnya mendapat hati orang tuaku tanpa usaha keras.

Tentu saja alasan utama Papa segera memihak kepada Hendra adalah latar belakang keluarganya. Ayah mana yang tidak mau mempersunting anak perempuannya dengan pria terpandang dan kaya raya? Apalagi pria itu sudah melamarku dengan sopan di depan keluargaku. Menikah dengannya juga akan ikut mengangkat martabat keluarga kami. Tawaran yang tidak akan ditolak oleh Papa.

Bab 2 - Bujukan

Dengan sepenuh hati, aku mencintai Papa dan Mama. Papa adalah seorang pria yang pekerja keras. Belum pernah aku maupun Zach kekurangan apa pun. Kami mempunyai tempat tinggal yang nyaman, meskipun bukan rumah yang besar dan mewah.

Setiap hari kami makan makanan yang enak. Untuk urusan sekolah, kami mengecap pendidikan di sekolah terbaik, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dalam hal penampilan, kami tidak pernah kalah dengan teman-teman kami.

Mama adalah seorang ibu yang baik dan penuh kasih sayang. Meskipun kami sering dititipkan karena mereka berdua bekerja, Mama selalu hadir untuk kami. Merawat kami bila kami sedang sakit, mendengarkan setiap keluhan kami, bahkan mendatangi rumah anak yang telah menyakiti kami untuk membuat perhitungan.

Pengorbanan mereka begitu besar bagiku dan Zach. Hal yang membuatku semakin menyayangi mereka. Kami belajar dengan tekun dan tidak pernah mencari masalah di sekolah. Kami juga menjaga diri dan pergaulan dengan baik sekalipun tidak selalu dalam pengawasan orang tua.

Meskipun aku begitu sayang dan menghormati mereka, tidak jarang aku kesal dengan campur tangan mereka terhadap hidup atau keputusanku. Pada saat aku berusia tiga belas tahun, mereka melarang aku pergi menghadiri acara ulang tahun teman. Hanya karena aku harus menggunakan transportasi publik dari rumah menuju rumah sahabatku itu.

Ketika berusia lima belas dan pertama kalinya mengenal cinta, Papa menyuruhku untuk memutuskan pacarku. Menurutnya, aku masih terlalu kecil untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Aku membuktikan kepada mereka bahwa aku dan Aldo bertanggung jawab dengan hubungan itu dan menjaga diriku dengan baik.

Yang tidak bisa aku lupakan adalah saat aku mempertimbangkan mengambil jurusan apa di kampus, mereka juga turut campur. Pada akhir diskusi, pilihan mereka yang dipaksakan kepadaku. Aku tidak diperbolehkan memilih jurusan yang aku inginkan. Syukur saja aku bisa lulus dan tidak menjadi gila karena mempelajari sesuatu yang tidak aku sukai.

Setelah perdebatan panjang terakhir kami dua tahun lalu mengenai perusahaan apa yang sebaiknya aku kirimi lamaran kerja, campur tangan mereka berikutnya adalah mengenai pilihan suamiku. Aku memilih Aldo, tetapi kedua orang tuaku, tidak mengherankan, menjatuhkan pilihan kepada Hendra.

“Jaga mulutmu, Ara!” Intonasi suara Papa meninggi. Aku tidak takut lagi dengan itu. Aku sudah bukan anak kecil yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan orang tuaku. Aku sudah bekerja dan bisa hidup mandiri andai mereka benar-benar mengusirku dari rumah.

“Aku tidak mencintai Hendra, Pa. Aku mencintai Aldo. Kami akan menikah. Aku tidak peduli siapa laki-laki yang datang melamarku, hanya lamaran Aldo yang aku terima,” ucapku dengan tegas.

“Dengar, Nak. Bila kamu menikah dengan Mahendra, kamu akan hidup nyaman dan aman. Dia mencintaimu dan menghormatimu. Keluarga mereka juga terkenal baik dan santun. Kamu beruntung dia memilihmu dan orang tuanya setuju,” kata Papa dengan lembut.

“Kamu akan hidup bahagia bersamanya. Percayalah. Dia bisa memenuhi semua yang kamu inginkan. Bahkan mimpimu untuk berjalan-jalan keliling Eropa bukan impian lagi. Apa kamu tidak mau mempertimbangkan semua itu?” bujuk Papa berusaha meyakinkan aku.

“Pa, pernikahan itu bukan tentang jalan-jalan atau mewujudkan mimpi.” Aku menjaga intonasi suaraku tetap tenang. Tidak ada gunanya berdiskusi dengan kepala panas. Papa akan terus memaksa bila aku terus melawan.

“Pernikahan itu mengenai bersatunya dua jiwa yang ingin hidup bersama selamanya,” lanjutku. “Itu yang aku inginkan bersama Aldo. Aku tidak akan pernah menemukan pernikahan yang bahagia bersama Hendra karena aku tidak mencintainya.”

“Cinta itu hanya masalah waktu, Ara,” ucap Papa sama sabarnya dengan tekanan suaraku tadi. “Kamu pasti akan bisa mencintai Mahendra seperti yang kamu rasakan kepada Vivaldo. Bahkan bisa jadi lebih. Kamu tidak memberi kesempatan kepadanya untuk mencoba. Bagaimana kamu bisa tahu bahwa Mahendra bukan pria yang tepat untukmu?”

“Bagaimana dengan Papa sendiri? Bagaimana Papa bisa tahu bahwa Mama adalah wanita yang tepat untuk Papa?” tantangku. Papa melihat ke arah Mama lalu meraih tangannya.

“Aku mencintainya,” jawabnya sambil menatap istrinya. Mama tersenyum mendengarnya.

“Dan itu yang aku rasakan kepada Aldo. Aku tidak mencintai Hendra. Karena itu aku tahu bahwa dia bukan pria yang tepat untukku,” ucapku bersikeras.

“Ara, kamu tidak mengerti. Saat ini kamu berpikir bahwa kami hanya mementingkan diri sendiri. Tidak. Kami memikirkanmu.” Papa meraih tanganku. Diskusi ini hanya sia-sia belaka.

“Kalau Papa dan Mama memikirkanku, kalian akan merestui hubunganku dengan pria pilihanku. Bukan malah memaksaku menerima pria pilihan Papa dan Mama. Kalian bahkan tidak mengenal siapa dia yang sebenarnya.” Aku berdiri dan menyandangkan tas ke bahuku.

“Maaf, Pa. Aku harus pergi. Kita tidak akan pernah satu kata bila membahas tentang Hendra. Berhenti bicara tentang dia dan lamarannya. Aku sudah menolaknya dan akan terus menolaknya. Aku tidak akan berubah pikiran hanya karena Papa dan Mama terus mendesakku menerima dia.”

“Ara,” panggilnya saat aku bergegas mendekati pintu depan.

“Sudah, Pa. Biarkan dia pergi,” ucap Mama kepada Papa.

“Tapi, Ma ....” Aku masih bisa mendengar kalimat terakhir Papa sebelum menutup pintu depan rumah.

Pria arogan itu boleh berpikir bahwa dia berada di atas angin karena kedua orang tuaku menerima lamarannya. Dia boleh menikahi mereka kalau dia mau. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menerima lamarannya.

Sudah saatnya aku bicara lagi dengan pria tukang pamer itu. Hendra harus berhenti menggunakan Papa dan Mama untuk membujukku menerima lamarannya. Cara itu tidak akan mempan sama sekali. Yang rugi hanya aku karena hubungan kami jadi rusak.

Hampir satu jam dalam perjalanan, aku tiba di depan rumah Hendra. Aku membayar ongkos ojek yang aku naiki lalu mendekati pagar raksasa yang melindungi rumah itu dari tamu yang tidak diundang. Aku menoleh ke kanan kiri untuk mencari bel tetapi tidak ada.

Seorang pria keluar dari pos satpam dan menyapaku dengan ramah. Aku menyebut namaku dan nama pria yang ingin aku temui. Setelah dia bicara dengan seseorang lewat telepon yang ada di pos jaga, pria itu tersenyum kepadaku dan pagar terbuka secara automatis. Dia mempersilakan aku masuk. Aku berterima kasih dan berjalan masuk dengan pagar kembali menutup di belakangku.

Jauh melebihi dugaanku, rumah milik keluarga Hendra sangatlah besar. Bangunannya mengikuti gaya rumah mewah yang sering aku lihat pada film Inggris kuno. Rumah yang indah. Aku harus melewati pekarangan depan yang cukup luas saat berjalan kaki dari pagar depan menuju teras.

Setelah menekan bel, seorang pria membukakan pintu. Dia mempersilakan aku masuk dengan senyum ramah di wajahnya. Bagian dalam rumah itu sama indahnya dengan bagian luar. Kami menuju sebuah pintu dan memasuki sebuah ruangan. Tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Dia memintaku untuk menunggu dan pria itu meninggalkan aku sendiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!