Perkenalkan namaku Bahira Cantika, aku gadis desa yang lugu dari keluarga yang sederhana. Aku memiliki angan-angan segudang, hidupku bisa dibilang lebih banyak kekurangannya dari pada kecukupannya. Meskipun begitu aku tidak lelah memupuk semangatku untuk mengubah jalan kehidupanku.
Sejak SMP aku sudah bercucuran keringat bantu- bantu tetanggaku yang kaya untuk menyetrika atau bahkan jadi pesuruh jika ada yang membutuhkan untuk mendapatkan upah.
Upah yang aku dapatkan untuk aku tabung agar aku bisa melanjutkan sekolahku SMA. Saat masih kelas 1 SMP, aku tidak sengaja mendengar percakapan orang tuaku.
“ Hira suk ora sekolah SMA, barang cah wadon paling-paling mengko kawin yo dadi embok-embok penggaweane nek pawon. Ameh lopo...? ( Hira nanti tidak sekolah sampai SMA, hanya seorang perempuan saja, nanti kalau sudah nikah juga kerjaannya jadi Ibu rumah tangga dan di dapur, mau apa lagi? )” itu kata ayahku.
Dan aku mendengar ibuku berkata “Yo ora ah, wedok lanang, aku kuat nyekolahno yo tak sekolahno. Ojo nganti koyok Pak ane opo koyok Mbok e, mung nyambut gawe ngene-ngene. Disepele ra diajeni wong. Syukur-syukur anakku mbesuk biso ngangkat derajate wong tuo"( ya tidaklah, perempuan ataupun laki-laki aku mampu menyekolahkan ya akan aku sekolahkan. Jangan sampai seperti ayahnya ataupun ibunya, kerja hanya seperti ini saja. Tidak dihormati dan tidak dihargai orang lain. Mungkin saja suatu saat, anakku bisa mengangkat derajat orang tuanya )
Setelah mendengar ucapan Ibuku, aku berucap di dalam hatiku “Amien, aku anggap sebagai do’amu Bu, apa yang telah engkau ucapkan. Dan selalu do’akanlah anakmu ini. Agar bisa menjadi kebanggaanmu suatu saat nanti. Aku akan belajar dengan rajin dan aku akan mencari upah sebanyak-banyaknya agar aku bisa sekolah tanpa membebani kalian." Setelah mendengarkan percakapan mereka akupun masuk kamar. Aku jadikan apa yang aku dengar sebagai semangatku.
Aku melalui hari-hariku dengan bekerja dan belajar, setelah pulang sekolah sekitar jam 2 siang aku sampai rumah, aku ganti pakaian dan makan siang. Istirahat sejenak, sambil merapikan buku-bukuku untuk materi yang akan aku pelajari nanti untuk bahan besok. Setelah itu aku dapat panggilan untuk menyetrika di rumah sebelahku. Sampai jam setengah lima sore aku baru pulang, dan alhamdulillah dapat upah. Aku simpan uangku dalam tabungan. Setelah itu aku mandi dan melaksakan kewajibanku beribadah menghadap Penciptaku.
Alhamdulillah dari kecil aku sudah rajin beribadah dan mengusahakan agar tak pernah bolong-bolong. Karena di hadapan Allah-lah aku bisa bercerita banyak dengan sesaknya yang ada di dalam hatiku. Karena aku tidak punya teman dekat, aku juga tidak suka bergaul, aku lebih sering menyendiri. Menghabiskan waktuku untuk beribadah dan membaca buku.
Sudah pertengahan semester kelas 3 SMP, aku menengok uangku yang telah terkumpul. Aku membukanya dan terkumpullah banyak, sebelumnya aku telah mencari tahu berapa biaya masuk SMA. Dan alhamdulillah, uang yang terkumpul sudah lebih dari cukup untuk administrasi masuk SMA. “Ya Allah, alhamdulillah atas kesabaran yang Engkau berikan ya Allah. Teruslah Engkau memberikanku rezeki agar hamba bisa sampai lulus SMA dan tidak membebani orang tuaku. Amien.” gunamku sendiri sambil memegang erat uang yang ada di tanganku.
Setelah kelulusan, aku mendaftar SMA tanpa ada yang mendampingi, dengan nilai yang cukup lumayan bagus dengan rasa yang bangga di hatiku aku bisa menggunakan uang hasil jerih payahku untuk membayar administrasi sekolah. Aku sekolah, di sekolah yang bukan sekolah favorit, tapi aku sekolah di sekolah yang biasa saja. Banyak orang bergumam, tapi aku pura-pura tak mendengar. Aku hanya mempertimbangkan sekolah yang aku tempati untuk belajar adalah sekolah yang membuatku nyaman tanpa ada rasa minder karena semua siswanya anak-anak dari orang yang berada. Aku hanya ingin menuntut ilmu dan aku bisa membayar uang SPP dengan hasilku, bisa meminta penangguhan waktu pembayaran tanpa di DO. Itulah yang aku fikirkan seketika aku mendaftar di sekolah itu.
Meskipun aku sudah masuk SMA tapi aku masih menerima orderan menyetrika, aku mengumpulkan upahku untuk membayar SPP dan bisa aku gunakan untuk membeli buku-buku tambahan panduan belajar. Orang tuaku hanya memberi uang saku sehari- hari, dan memberikan uang ketika ada uang lebihan dari anggaran kebutuhan sehari-hari, katanya lumayan untuk aku simpan jika aku membutuhkan sesuatu. Ketika Ibu memberikan uang aku bilang sama Ibuku “Mboten usah Bu, aku mpun nyimpen arto kagem SPP wulan niki, kulo nggih nyimpen uang saku sing mpun Ibu paringgi mben dinten. Alhamdullillah Bu, kulo diparingi upah kalean Ibu kantin mbendinten, saged tak ngge transpot, kulo mbantu Bu Atik ting kantin pas jam istirahat. Kulo nggih diparinggi maem siang pas istirahat kedua. Dadose nggih arto saking Ibu tak simpen" ( tidak usah Bu, aku sudah menyimpan uang untuk membayar SPP bulan ini, dan aku juga menyimpan uang saku yang Ibu berikan padaku setiap harinya. Alhamdulillah Bu, setiap jam istirahat aku membantu Bu Atik di kantin. Beliau memberikan upah padaku dan memberikan makan siang pada jam istirahat kedua. Jadi uang saku dari Ibu selalu aku tabung )
“Alhamdulillah yo Nduk, selalu ono rezeki neng tiap langkahmu. Ibuk bangga karo awakmu, anak e Ibu mpun manis, cantik, santun, pinter karo wong tuo, pangerten. Mugo-mugo Allah ngampangke langkahmu, Nduk." ( alhamdulillah ya nak, selalu ada rezeki disetiap langkahmu ibu bangga padamu, anak ibu sudah manis, cantik, sayang sama orang tua, pengertian, semoga Allah selalu memudahkan langkahmu )
“Alhamdulillah tenan Bu, nyuwun dongane terus nggih Bu." ( Alhamdullillah Bu, minta do’anya terus ya, Bu )
Hari-hari aku lewati dengan penuh semangat, tidak terasa sudah masuk semester 2 di SMA. Semakin hari semakin banyak orderan dan ada juga tetangga yang memintaku untuk memberi bimbingan belajar pada anaknya, dan mereka memberiku upah tiap seminggu sekali. "Alhamdulilah, pundi-pundi rupiahku makin lancar bertambah.” gunamku sendirian sambil senyum- senyum. Ketika uang terkumpul dan aku kalkulasi ada uang lebih untuk memenuhi kebutuhanku, aku berinisiatif beli handphone. Untuk memperlancar pundi- pundi rupiah.
Beberapa hari kemudian ketika ada jam sekolah kosong, sekolah pulang pagi. Aku segera pulang mengambil uang dan kembali lagi ke shop dekat sekolah untuk membeli handphone yang sudah aku intip tiap aku nunggu bus langgananku lewat. “Alhamdulillah ya Allah, akhirnya incaranku sampai di tanganku. Hehehe," aku senyum-senyum sambil mencium-cium handphoneku, tak bisa aku menahan rasa senangku, sampai orang melihatku aneh. Mungkin mereka berfikir, "Hanya beli handphone senangnya kok kayak gitu!"
Tidak sengaja di halte bus dekat rumah aku bertemu Bu Lasmi “Permisi, Hira ya? Kebetulan mumpung bertemu denganmu."
“Iya, Bu. Benar. Ada apa ya, Bu? Ibu siapa ya?”
“Ibu ini , saudaranya orang di ujung jalan sebelum rumahmu. Mbak Hani sering bercerita tentangmu, rumah Ibu desa sebelah. Hira tolong ya, bimbing anak Ibu untuk belajar. Tolong sekali, anak Ibu agak susah belajar. Dia agak hiperaktif. Susah Ibu mengajarinya, Ibu juga sibuk sekali. Jam 4 sore Ibu baru pulang kerja. Nanti Ibu akan menambah tips untukmu. Jam 4 sore kamu bisa datang kerumahku dan jam 5 kamu bisa pulang. Dengan sifat yang kamu miliki, seperti yang aku dengar dari saudaraku. Aku rasa kamu bisa menjinakkan putraku. Hubungi ibu di nomer ini, +62..225...... dan di situ juga ada alamat Ibu ( Bu Lasmi memberikan secarik kertas kecil pada Hira ). Kapan kamu bisa memulai, tolong chat ibu dulu. Ibu sangat menunggumu nak." "O..saudaranya Bu dhe Hani, InsyaAllah Bu, aku akan segera memberi kabar. Terimakasih Bu atas kepercayaannya”
“Ya udah, Ibu duluan ya Nak, jangan lupa!”
“Nggih-nggih Bu, monggo...” Hira juga berjalan pulang setelah berbincang dengan Bu Hani di tepi jalan.
Sampai dirumah, Hira sibuk mengotak- atik handphone barunya. Begitu semangatnya ia belajar menggunakan handphone androidnya. Belajar mengikuti zaman yang sudah serba cangih ini, semua kontak yang pernah diberikan orang sudah ia masukkan semua, sudah tersimpan rapi. Begitu senangnya aku langsung menghubungi Dwi, sahabatku satu- satunya. “Hallo, assalamualaikum.”
“Wa....waallaikumsalam. Suara Hira ya?”
“Iya, ini aku Wi. Ini nomerku. Aku tadi kembali ke shop dekat sekolah untuk membeli handphone, kita bisa chatan mulai sekarang. Jangan lagi mengcopy PR lagi dipagi hari, dan membuatku tergesa-gesa berangkat sekolah. Sekarang kamu bisa call atau chat aku ketika kamu kesulitan mengerjakan tugas! Hehehe.“
“Iya..iya..., bawel! Kayak emak-emak saja. Ra, udahan dulu ya, aku mau pergi nih...entar kita lanjut lagi. Mamaku ngajak nyalon, hihihi...”
“Ya udah, nikmati aja...Bu Boss, bye..wasalam."
Setelah telponan sama Dwi, sahabat yang mulai aku kenal saat daftar ulang awal masuk sekolah. Tak ku sangka begitu asyiknya sudah jam setengah empat sore. Aku mengingat Bu Lasmi, aku berfikir mau chat saja. Karena Bu Lasmi pasti masih kerja.
To : Bu Lasmi - +62..215....
“Assallamuallaikum Bu Lasmi, saya Hira. Saya bersedia membimbing putra ibu. Semoga sesuai dengan harapan Ibu, kami berjodoh. Insyallah saya akan memulai lusa Bu, wasallam.”
Di sebrang sana, yang punya nomer melirik notif handphonenya yang menyala. Nomer tak bernama, tak dihiraukan sama sekali. Tidak terasa langit yang seolah dekat karna begitu tingginya gedung yang ia tempati terlihat gelap. Ditutuplah laptop yang dari tadi siang terus menyala. Ketika mengambil handphone, ia teringat tadi ada nomer baru masuk. Sebelum beranjak, ia kembali bersandar kembali di kursi empuknya. Dibukanya chat tadi, dibaca perlahan dengan lembutnya. Seolah memang seperti itu Hira mengucapkannya “Assallamuallaikum Bu Lasmi, saya Hira. Saya bersedia membimbing putra Ibu. Semoga sesuai dengan harapan ibu, kami berjodoh. Insyallah saya akan memulai lusa Bu, wasallam.”
“Subhanallah, santun amat wanita ini, putri siapa ini, atau ibu siapakah ini?? Adem rasanya, baru baca belum dengar secara langsung suara orangnya“ gunam pemilik nomer.
Dengan perasaan penasaran dan berniat ingin memberitahukan kepada Hira karna terlihat pesan itu penting dan mendesak. Apalagi ini sudah mau keburu malam.
Chat dibalas :
Maaf ya, Anda salah nomer.
Hira:
Maaf juga nggih, bukannya ini nomernya Bu Lasmi, saudaranya Bu dhe Hani ya, yang tadi siang bertemu?
Pemilik nomer:
Bukan, saya Ferdian. Mungkin anda salah menyimpan nomer, ada yang sama atau salah satu angka ada yang salah??
Hira :
Saya akan melihatnya ulang. Terimakasih sudah membalas chatnya. Kalau tidak mungkin saya akan mengira Bu Lasmi tidak menghiraukan pesan saya. Padahal beliau menunggu kabar dari saya. Sekali lagi terimakasih.
Tanpa terasa, Ferdian terbawa suasana. Chatan yang begitu singkat membuat Ferdian bagaikan mendapatkan air setetes di padang gurun. Dengan senyum-senyum bisa- bisanya dia membalas lagi,
To : Hira
Sama- sama
Setelah chatan sama mas atau pak Ferdian tadi, aku langsung melihat ulang nomer yang tersimpan di kontakku, atas nama bu Lasmi aku cocokkan dengan secarik kertas yang tadi di berikan bu Lasmi padaku. Oh ternyata nomer tadi ada yang salah 1 nomer. Yang harusnya angka 2 aku tulis angka 1. “Aduh Hira...Hira...gimana to tadi, jadi merepotkan orang saja! Untung dibalas kalau dicuekin gimana tadi? Pundi-pundi dolarku bisa dipatok ayam dong!" gerutuku ditengah-tengah sibuknya aku mengetik chat untuk Bu Lasmi.
bab dua lebih seru lagi....kita intip yuk....😍😍
Adzan subuh berkumandang membangunkan tidurku yang tanpa mimpi. Aku segera berlari ke kamar mandi dan segera melaksanakan ibadah. Masih dengan pakaian rumahan aku segera menuju ke dapur membantu di dapur menyiapkan sarapan. “Ndek winggi tak sawang-sawang awakmu sibuk ngingeti hape wae, Nduk. Hapemu anyar to?" ( Kemarin tak lihat- lihat kamu sibuk lihatin handphone saja, Nak. Handphonemu baru ya? )
“Nggih Buk, wangsul sekolah winggi kulo langsung mendhet arto ngge tumbas hape, ajeng pamitan kaleh Ibuk tapi Ibuk mboten enten teng ndalem. Sarapan nopo niki mangke, Buk?" ( Iya Buk, pulang sekolah kemarin aku pulang mengambil uang, mau izin Ibu tapi Ibu tidak ada di rumah. Sarapan apa nanti, Buk? )
“Sarapan sak ane lah yo Nduk, sego winggi disego goreng wae, awakmu mbantu ngoreng ndok. Pitike Bapakmu ngendok okeh ( Sarapan seadanya saja, nasi yang kemarin kita buat nasi goreng, dan kamu yang bantu menggoreng telur untuk lauk, ayamnya Bapak bertelur banyak) “Nggih, Buk" ( Iya, Buk )
Pagi-pagi aku sudah berangkat sekolah karena seperti biasa, nunggu pacarku jemput. Hehehe, bus maksudnya. Aku sama sekali belum ada fikiran ke sana, mungkin karena fikiranku yang sibuk belajar dan memikirkan pundi-pundi rupiah. Atau mungkin karena betapa mindernya aku dengan semua kekurangan yang ada dalam kehidupanku, siapa yang akan mau bersanding denganku.
Dalam bus tiba-tiba aku teringat chat yang salah kirim kemarin. Fikiranku jadi sibuk sendiri sambil melihat luar jendela aku bergunam tak jelas, “Untung kemarin nyasarnya dibalas, kalau tidak? 'kan aneh jika aku sampai di rumah Bu Lasmi secara tiba-tiba. Dikira aku tidak ada sopan santunnya lagi! Disuruh chat dulu, tidak ada kabar padahal sebelumnya sudah tapi memang lagi nyasar, tapi Bu Lasminya tidak tahu jika nyasar. Untung yang balas belum terlalu kemalaman, jadi aku bisa kirim ulang. Kalau tidak? ( mataku agak melotot panik ) Aku kirim malam-malam jadi ganggu jam istirahat orang. Untung Pak Mas Ferdian baik, ( spontan aku langsung senyum dan mataku berbinar ) udah tua apa masih muda ya? Kalau sudah tua pasti tidak balas chat, pasti langsung telepon. Atau tua tapi tidak ada kerjaan ya? Kok mau balas chat? Atau...atau...masih muda? Hem...hem...dah! Mungkin belum punya pacar ya, jadi mau balas chatku. Tapi kalau sudah punya pacar? ( bola mataku berputar meragukan ) Ah, pasti orangnya memang baik jadi tetap balas chat walaupun tidak ada hubungannya dengan dirinya” aku buang nafas agak kasar, lelah hati dan fikiranku berputar-putar membayangkan tanpa ada jawaban. “Aduh, Hira...Hira...ngapain kamu pagi-pagi! Nanti ulangan matematika.” gumamku pelan-pelan memperingatkan diriku sendiri.
Tak terasa saking sibuknya fikiranku, sekolahku hampir terlewat jauh. “Pak..pak...pak... jangan lupakan aku dong! Aku 'kan turun di sini? Masih pakai seragam sekolah nih, Pak. Bercanda Pak, terima kasih." aku bergegas turun dari bus.
“Maaf-maaf Neng, tumben Neng agak pagian. Biasanya berangkat pada putaran kedua? Maaf Neng ya? Olah raga dikit ya Neng."
"Ya, Pak tak apa-apa."
"Untung gak jauh-jauh amat, bisa kerempeng aku, pagi-pagi dah keluar keringat” gerutuku tanpa ada yang bisa dengar. Tiba-tiba notif chatku bunyi "Siapakah yang menambah jadwal pundi-pundi rupiahku, ayo dilihat," aku ngomong-ngomong sendiri karena penasaran pagi-pagi sudah ada chat.
From : +68..215...
Morning, gimana ada ketikan angka yang salah kan?
Mataku agak melotot dan berkedip-kedip berulang kali kucermati lagi nomer dan kata-kata yang ada dalam chat. Bahkan volumeku agak aku keraskan sedikit tapi tak ada yang mendengar karna sekolah masih lumayan sepi. “Morning, gimana ada ketikan angka yang salah kan?” “Heemm, asyiknya pagi-pagi dapat sapaan. ( Terasa berbunga-bunga hatiku sampai gigiku ikut absen, tersenyum terlalu lebar ) Sepertinya ini nomer yang kemarin salah, tapi hatiku kok aneh. Haruskah aku menyapanya? Berkenalan dengannya? Gimana jika dia adalah om-om kesepian? Dari kepeduliannya, peduli atau gak punya kerjaan ya? Apalah itu, tapi dia sepertinya masih muda. Jika dia sudah tua gak mungkin 'kan pagi-pagi gini chat orang yang tidak dia kenal. Aduh...aduh...( Jari telunjukku aku gerak-gerakkan ke pelipis, tak sadar sampai tuk-tuk-tuk...bunyinya, aku kebingungan sendiri dengan apa yang ada di hati dan fikiranku. Padahal simpel saja, tinggal balas. Selesai! Ngapain bingung? )
Karena terlalu lama aku bergumam sendirian, tiba-tiba Dwi merangkul bahuku dari belakang dan menyandarkan dagunya di pundakku “Hayo pagi-pagi udah gak jelas. Hayo-hayo...ngapain hayo? Ada aura-aura aneh nih, kayaknya!”
“Apaan sih, Wi. Jangan nglantur ya! Kamu nih yang gak jelas pagi-pagi. Ayo cepetan keluarin bukumu, keburu bel masuk nih! Katanya ada yang kesulitan. Soal yang mana coba?"
"Iya..iya Bu Hira...maaf sudah ngrepotin, buat kamu berangkat pagi-pagi. Tidak akan aku sia-siakan pengorbananmu, aku akan dapat nilai yang tidak jauh kalah darimu. Biar aku bisa jadi teman sekelasmu terus. Hihihi...”
Karena keburu ada Dwi yang datang dan aku langsung fokus padanya. Semalam dia chat memintaku berangkat sekolah pagi-pagi, katanya ada soal yang tidak bisa dia kerjakan. Aku sampai lupa gak balas chat Pak Mas Ferdian. “Udah terlihat jika sudah aku buka lagi! Jika tidak aku balas, dikira tidak punya sopan santun dong aku! Karena pelajaran udah mulai, nanti saat pulang sekolah saja, jam istirahat aku kan harus bantu di kantin." Gunamku sendirian tanpa terdengar oleh Dwi.
"Kamu hari ini aneh deh Ra, habis kerampokkan ya?" aku terkaget, aku kira Dwi di sampingku sibuk sendiri dengan soal yang dikerjakannya.
"Siapa yang kerampokkan?” jawabku, pura-pura tak kenapa-napa. "Apa karna ada handphone baru ya...kamu jadi kerampokkan hati?" sambil melirikku, ekspresi wajah Dwi buat aku kelabakan.
“Sudah, tak usah pusing-pusing cari jawaban untuk pertanyaanku.” kata Dwi dengan senyuman peringatan. Aku terdiam saja dan melanjutkan mengerjakan soal yang dibagikan ketua kelas, karena saat ini jam kosong.
Di sebrang kota sana, ada orang yang salah tingkah, bentar-bentar mengetuk layar handphonenya. Raut tampan wajahnya terlihat seperti orang yang gelisah. Lama-lama jari Ferdian merasa agak gatal, pengen menari-nari di atas layar handphone, dan akhirnya...
To: Hira
??
Notif handphoneku bunyi, saat mengambil buku dalam tas. Tak sengaja aku melirik sekilas +68..215.....
Chat yang masuk masih belum kubuka, setelah selesai mengerjakan soal karena masih belum ganti jam pelajaran. Akhirnya kuambil handphone dalam tasku. “Ternyata Pak Mas Ferdian...o...o..., apakah kamu menunggu balasanku? Kenapa sepertinya hatimu sama dengan hatiku?” gerutuku yang ternyata dilirik oleh Dwi karna bibirku yang tak berhenti komat-kamit, seperti baca mantra.
From : +62..215.....( Belum kusimpan namanya, karena aku kira hanya iklan lewat)
Maaf, sepertinya anda menunggu chat saya ya?
From: +62..215....
Sepertinya jadi formal ya?
Bolehkah saya bertanya?
To : +62..215.....
Karena untuk menghormati saja, mungkin saja anda lebih tua dari saya. Maaf.
Memangnya ingin bertanya apa ya?
menyambung pertanyaan tadi pagi, iya...maaf setelah saya lihat memang saya salah ketik 1 angka. Jadi sekali lagi maaf dan terimakasih anda telah balas chat saya. Karena memang chat saya di tunggu Bu Lasmi.
To : Hira
Maaf bersifat pribadi, umur anda berapa ya? (Ferdian jadi ikut-ikutan formal)
Karena sudah ganti jam pelajaran, aku memasukkan kembali handphoneku. Aku mengeluarkan buku pelajaran baru. mode sudah silent, insyaAllah aman dah! ”Tidak mungkin dia akan meneleponku karena belum aku balas chatnya” gerutuku dalam hati.
Dengan tenang aku mengikuti pelajaran, jam cepat berlalu dan jam istirahat tiba. Segera aku bergegas menuju kantin untuk membantu Bu Atik. “Alhamdulilah, Nak Hira. Nasi bungkus Ibu habis semua, jajanannya juga pada laris. Yang bantu Ibu, cantik banget sih! Pelanggan Ibu jadi makin nambah. Ibu jadi kelarisan kayak gini, deh!” kata Bu Atik, sambil menggodaku.
“Tidak seperti itu juga Bu, rezekinya Ibu yang ditambahi Allah." Setelah bantu bersih-bersih, aku segera kembali ke kelas.
Waktu berlalu dengan cepat, dan aku segera pulang. Karena nanti sore aku mulai membimbing putranya Bu Lasmi. Sampai di rumah, sambil tiduran karena kecapekkan jalan kaki dari halte sampai ke rumah yang berjarak lumayan jauh. Aku membuka-buka handphoneku, “Oy..chatnya Pak Mas Ferdian belum aku buka” aku menepuk-nepuk jidatku, sambil geleng-geleng heran. Karena tidak aku sangka, ada bertumpuk-tumpuk chat.
From: +62..215.....
???
From : +62..215.....
Kok gak di balas??
From : +62..215....
Hallo....
“ Bismillah ya Allah, semoga ini yang terbaik untukku, bukan suatu awalan yang buruk” gunamku sambil mengetik balasan.
To: +62..215......
Maaf ya, tadi ke putus ada ganti jam pelajaran dan ada gurunya. Emangnya kenapa kok Anda tanya usia?
From : +62..215......
Ketika saya tahu, mungkin saya akan tahu harus bagaimana saya bersikap.
To : +62..215......
Bersikap, maksudnya? Saya tidak mau menduga-duga ke mana arah perbincangan kita, tapi umur saya masih 16 tahun.
From : 62..215......
Positif masih sekolah ya, kelas 1 SMA berarti. Aku langsung saja jujur ya? Boleh kita berkenalan secara resmi? Karena kita kemarin kecelakaan 'kan?
To : +62..215......
Iya, masih sekolah Pak Mas Ferdian, alhamdulillah kecelakaannya tidak sampai dibawa ke RS. Masih sama seperti kemarin, nama saya Hira. Bahira Cantika, itu nama panjang saya. Bisa dicek dalam data kependudukan, tanpa ada pemalsuan, hehe...
From : +62..215......
Kamu, lucu ya? Jujur dari kemarin kamu menyita perhatianku banget, Pak Mas Ferdian, apa itu? Gelarku banyak banget. Gelar yang depan hilangin saja ya Dek, biar Mas tidak terdengar tua-tua sekali. Karena di tempat kerja Mas, Mas udah terdengar tua. Mas sudah kerja, kira-kira usia Mas sama kamu selisih 9 tahunan! Tapi jangan formal-formal dengan Mas, biar kita bisa nyaman.
To : +62..215......
Kalau pas baca chat, jangan ketawa sendirian ya? Walaupun aku lucu, padahal tak terlihat mukaku. Apanya yang lucu ya? Maaf, Mas punya sindrom percaya diri ya? Belum juga aku setuju, Mas sudah buat undang-undang.
Maaf ya Mas, kita sambung lagi entar. Aku mau pergi ke rumah Bu Lasmi, kemarin aku kan sudah janji mau membimbing putranya. Bye...
Aku segera bergegas pergi ke desa sebelah, naik montornya Ibu yang tak dipakai. Hari ini Ibu libur kerja. Putra Bu Lasmi aktif banget, hari pertama membuatku ambil nafas panjang untuk menghadapinya. Bu Lasmi suka caraku memberi pengertian pada putranya. Dan beliau berniat memperkerjakanku dalam waktu yang lama. “Alhamdulillah, seperti diterima jadi karyawan tetap, hah...beginikah rasanya? Semoga berkah barokah ya Allah” gunamku sambil mengelus dadaku.
Waktu berlalu dengan cepat, “Saatnya mengistirahatkan kepalaku heemmm, akhirnya bertemu yang empuk-empuk" keluhku mempertemukan kepalaku dengan bantal. Aku membuka hapeku dan mengendus-endus Si Empuk. “Oh ternyata ada yang menungguku” gunamku bahagia membuka Si Persegi panjang yang pipih.
From : +62..215......
Lama amat Mas ditinggalnya, Dek?
Tertera dua jam yang lalu, “ Mas satu ini, benar-benar ya membuat aku tidak bisa melukiskan perasaanku? Emm, jika aku dah nyaman, gimana jika aku berharap lebih? Gimana juga jika aku hanya digunakan untuk pengisi waktu luangnya? Gimana jika sudah punya cewek atau malah sudah punya istri?” aku bergunam sendirian banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepalaku. Bercampur aduk perasaanku sambil membalas chatnya.
To : +62..215......
Maaf mas, baru kelar semua aktivitasku, baru bisa pegang hape.
From : +62..215......
Sibuk banget kamu ya, seperti melebihi kesibukan Mas aja. Kamu bilang tadi, kamu ngampu anak Bu Lasmi, maksudnya apa tuh? Sorry, Mas kepo nih. Terus kata-katamu yang ini 'Belum juga aku setuju, Mas udah buat Undang-Undang' Apa itu maksudnya?? Secara aku dah nyaman, kamu mau kabur gitu?
To :+62..215......
Soal kata-kataku, emang benar 'kan aku belum menghiyakan, Mas sudah buat Undang-Undang
1. Panggilnya Mas, Untuk buat Mas nyaman.
2. Aku belum jawab gimana selanjutnya, Mas juga menentukan seolah kedepannya kita menjalin hubungan, 'komunikasi maksudnya' Padahal Mas tanya usiaku sebagai pertimbangan.
Bukankah hal ini seperti UU, Mas? Dibuat untuk dipatuhi, yang melanggar dihukum! Hehehe...
From : +62..215......
Oh ternyata...bisa kayak pengajuan proposal pada Pak Dosen nih. Ini nih, yang Mas suka dari kamu, udah cantik smart lagi! Untuk rujukan no.1, sepertinya Mas sudah tidak mempersalahkan ya...karena sudah ngalir, sepertinya juga sudah ada yang nyaman tuh! Terus rujukan no. 2, memangnya gimana maunya? Tapi Mas tetap minta pertanggung jawaban darimu!
To :+62..215......
Tanyanya gimana, tapi ujung-ujungnya ada unsur harusnya. Sama aja dong! Untuk kenyamanan bersama. Aku mau tanya, tapi Mas jangan bohong ya? Allah saksinya lho, boleh?
From : +62..215......
Boleh Cantik, iya Mas gak akan bohong. Asal kenyamanan ini masih bisa aku rasakan.
To :+62..215......
Ih, apaan tuh! Buat aku merinding aja! Boleh beneran gak? Entar Mas bohong lagi, karena hanya ingin nyaman.
From : +62..215......
Tidak janji, maksudnya tidak akan bohong. Bilang aja! Atau Mas vidio call atau call?
To :+62..215......
Aku mau tanya, Mas dah punya cewek? Di umur Mas, mungkin tak salah 'kan jika sudah.
+62..215......calling,
“Assalamualaikum, Cantik.”
“Waalaikumsalam Mas, kok terus call?"
“Untuk meyakinkanmu, ademnya mendengar suaramu Dek. Ok, sekarang Mas jawab ya tapi kira- kira besok kamu kesiangan bangun ngak? Jamnya dah malam banget nih. Maafin Mas ya, tapi yang pasti tadi kamu dah belajar kan?”
“Sudah belajar kok Mas, kita berbincangnya jangan terlalu lama aja dan pastinya alarmku akan aku pastikan berisik besok pagi."
“Mas, saat ini tidak lagi menjalin kasih dengan siapapun kok Dek, apalagi dalam ikatan pernikahan. Mas masih sendiri. Apakah perlu aku kirimkan foto KTP Mas?? Eem Mas tahu apa yang kamu khawatirkan. Meskipun Mas baru kenal kamu, tapi Mas tahu betul gimana kamu."
“ Jadi takut, takut dengan kata Mas yang terakhir. Aku hanya mengkhawatirkan jika aku ada ditengah-tengah hubungan seseorang. Aku tak mau ribet dengan hal-hal seperti itu Mas."
“Seperti kode nih, jangan-jangan Mas dipersilahkan memasuki istana di hatimu,"
“ Mas aneh-aneh aja deh, kenal juga kemarin. Bagaimana wajah kita masing-masing juga kita gak tahu. Bagaimana latar belakang dari kita juga gak tahu, tiba-tiba bilang gitu”
“Emangnya kenapa? Nyaman itu tidak dari wajah lho sayang,”
“Kata yang paling ekor tu, buat aku melambung! aku masih kecil ya, jangan digombalin. Entar terbuai, hanyut dah! Hehehe”
“ Ini lah yang membuatku semakin nyaman, kamu asyik banget. Mas benar-benar tak tahu harus bagaimana melukiskan perasaan Mas,”
“Mungkin hanya karena Mas kesepian kali?"
“Sepertinya bukan, karena Mas sibuk banget. Makan aja kadang sampai lupa saking sibuknya. Sepertinya ada pertanyaan di hati Mas, Mas sedikit penasaran. Bukan sedikit sih, tapi penasaran sekali. Kamu masih sekolah 'kan? Terus kemarin kamu bilang, membimbing putra Bu Lasmi. Emangnya membimbing apa?”
“ Setelah aku banyak cerita, mungkin rasa nyaman yang Mas rasakan hilang. Sebenarnya aku ini dari keluarga yang puualling sederhana, aku memberi bimbingan belajar pada putra Bu Lasmi tiap harinya dan dapat upah dari itu. Aku juga dapat kerjaan lain, menyetrikakan pakaian tetangga-tetangga. Kadang juga dapat order dari desa sebelah juga ada. Hasilnya aku gunakan untuk sekolah dan memenuhi kebutuhanku. Tiap istirahat sekolah, aku juga bantu-bantu di kantin. Alhamdulillah dapat upah dan jatah makan siang”
“Wau-wau...( sambil berdecak dan geleng-geleng) Cantik.( panggilnya dengan suara yang lembut )
Putrinya siapa ini ya? Mas terharu sekali dan Mas bangga sekali sama kamu Dek, pasti orang tuamu sangat bangga sama kamu Dek. Mas yang belum memilikimu saja rasanya bangga banget. Siapa ya yang akan dapat cewek semenakjubkan seperti ini, di zaman sekarang? Ada anak gadis berkepribadian seperti kamu. Boleh Mas bertanya?”
“Dari tadi mas juga dah bertanya, dan berbicara luas banget hasil dari panjang kali lebar ( aku menutup mulutku ). Emang mas gak malu kenal dengan gadis miskin seperti aku? Karena aura Mas, Mas bukan sekedar orang sederhana”
“Tu kan, ada bau-bau menghindar nih! Pertanyaan Mas, apa Mas boleh antri?”
“Antri apa emangnya??”
“Antri jadi calon suami, minta antrian nomer 1 ya Dek, harus langsung acc dong!"
“Mas aneh-aneh! Mas, sepertinya aku dah gak kuat menahan kantuk deh, besok disambung lagi ya?”
“ Ya udah, met bubuk ya cantik, semangat! Good night...”
“Good night too,"
lanjut bacanya terus ya....makin seru nanti ceritanya di episode berikutnya...😍
Pagi terasa begitu indah, mungkin karena pancaran dari hati yang berbunga-bunga. Tak puas dengan yang semalam, pagi-pagi sudah berbaris.
From : +62..215...... ( 05.30 )
Pagi Hira cantik.....
Sudah bangun 'kan?
Zubuhnya tidak sampai silau dengan matahari kan?
To: +62..215...... ( 06.30 )
Pagi juga, alhamdulillah aku dah dalam perjalanan ke sekolah. Jadi, ini bukti aku gak kesiangan.
From : +62..215......
Syukur, alhamdulillah deh. Mas takut entar kalau kamu menyesal Mas telepon lagi. Agar tak ada beban, jika kamu merasa Mas diluar batas, tolong ingatkan Mas ya, Dek. Mungkin Mas terlalu nyaman, hingga lupa tidak memikirkan kamu. Maafin Mas, untuk semalam. Mas janji, akan tahu waktu.
To: +62..215......
Ok.
From : +62..215......
Singkat amat, tidak ada apa-apa dengan hatimu kan?
To: +62..215......
Tidak ada apa-apa Mas, beneran.
+62..215......
Calling...
"Assallamuallaikum Mas,"
“ Waalaikumsalam Cantik, kamu masih dijalan ya? Kok berisik?”
“Iya Mas, aku ada dalam bus, aku kan bukan putri konglomerat Mas, yang pulang pergi ada yang jemput, pakai mobil mewah. Tenang, adem ber-AC”.
“Sayang, kok gitu ngomongnya,"
“ Mas, geli aku dengarnya, iya...iya...maaf. Aku sudah mau turun nih, udahan dulu ya?"
“ Dek, kamu gak marah sama Mas kan?”
“ Hayo! Pagi-pagi sudah sibuk sama siapa? Kok gak ada namanya? Siapa hayo?” kata Dwi dari sampingku. Tiba-tiba dia muncul tanpa aku sadari ketika berjalan menuju kelas.
“Suuutttt” aku mencoba menghentikan celotehan Dwi yang begitu keras. Mungkin saja Mas Ferdian dengar omongan Dwi.
“Dek, kamu dengar kan?”
“ Iya Mas. Gimana, sampai mana tadi?”
“ Ih...Mas...Mas. Ini Mas beneran, apa Mas ketemu kemarin sore ya?” Goda Dwi yang begitu kepo, mulutnya dicondongkan ke handphone yang aku pegang.
“ Mas dengar tadi, nomer Mas gak kamu kasih nama ya? Kenapa? Kan dah kenal. Oya, nomer kamu dah ku simpan, gak ada foto profilnya. Kenapa emangnya?”
“Emang belum aku beei nama, entar. Soal profil, memangbtidak aku kasih, aku malu untuk berfoto.”
“Ya sudah, entar disambung lagi ya, Mas mau parkir dulu. Sudah sampai kantor nih, semangat belajar ya Dek, good luck.”
“ Mas tadi telponan sambil nyetir?”
“ Iya, gak apa-apa. Sudah biasa lagi pula juga pakai headset kok, kalo kejar jam juga gitu. Bye...morning,"
“Emmm, good morning too.”
“Sampai kantor? Nyetir, benerkan dugaanku. Auranya sudah beda banget. Aku jadi takut, ini keberuntungan karena bisa dekat dengan bintang, atau audzubillah..." fikiranku berkelana, sambil ku tepuk jidatku.
"Ampun ya Allah." aku geleng-geleng dengan apa yang aku fikirkan. "Fikirkan yang baik-baik saja Hira, biarkan kemana dan bagaimana Allah membawamu” gerutuku di dalam hati, menenangkan diriku sendiri. Dwi masih begitu usil mengamati melihat wajahku, mencari tahu ada apa denganku. Tapi tak ku hiraukan dan aku belum bercerita.
Malam hari tiba, tak pernah absen dari notifku nama Mas Ferdian. Yang sudah aku cantumkan di penyimpanan kontakku. Takutnya ketika chatan, dijadikan bahan pembahasan. Bisa panjang tuh nanti pembahasannya!
From : Mas Ferdian ( 14.00 )
Good afternoon, lancarkan hari ini?
From : Mas Ferdian ( 16.00 )
Masih sibuk ya? Bener-bener melebihi kesibukannya Mas ya, kamu Dek."
From : Mas Ferdian ( 18.30)
Nanti kalau sudah ada waktu, tolong call Mas ya? Mas tunggu.
From : Telkomsel (18.31)
Terimakasih telah melakukan pengisian ulang dgn SN 61003669113058 senilai 100.000
From : Telkomsel (18.31)
Selamat, Anda mendapatkan kuota Tsel sebesar 20Minutes. Cek kuota di *888# atau akses My Telkomsel App.
“Ternyata notifku dah hampir sampai bawah nih, apa ini? Ada telkomsel juga, lho...lho...kok pulsa? Apa Mas ya, pasti dia. Siapa lagi juga! Kiri kanan gak mungkin, nominalnya juga banyak. Apa juga maksudnya?” gunamku sendirian. Tak lama aku langsung calling Mas Ferdian.
Calling....
Mas Ferdian
“Assallamuallaikum cantik,”
“Waalaikumsalam Mas. Cantiknya, aku anggap Mas panggil namaku ya? Nama belakangku Cantika 'kan?”
“ Terserah kamu ah, entar jadi debat lama kalau dibahas, kamu pinter ngeles. Seperti pengacara, makasih sudah membalas penantian Mas, Mas ingin kasih tahu tentang latar belakang Mas, karena hari ini malam Minggu. Besok kamu libur sekolah, Mas mau ajak kamu begadang sampai pagi. Jika menunggu kamu bertanya, takutnya kamu gak akan bertanya karena aku yakin kamu pasti akan jaga image 'kan?”
“Iya boleh. Sebelum Mas cerita, kenapa Mas kirim pulsa segala?"
“Gak kenapa-napa. Dan gak ada maksud apa- apa. Hak Mas kan, jika Mas mau berbagi rezeki? Jangan berfikiran yang aneh-aneh, cukup ucapkan terima kasih dan Mas jawab sama-sama sayang, selesai 'kan?”
“Nggih, matur suwun. Mungkin itu nominal kecil bagi Mas, tapi besar banget buatku. Butuh keringat bercucuran itu nominal segitu!”
“ Mas tadi sudah bilang. Cukup ucapkan terima kasih. Mas jawab sama-sama. Selesai.“
“Iya...iya...., terus yang mau diceritain apa, sudah siap untuk mendengarkan nih."
Sebenarnya aku deg-degan banget, fakta apa saja yang akan aku dengar. Karna diam-diam aku sudah merasa nyaman. Walaupun hanya imajinasiku yang bekerja menggambarkan perawakannya seperti apa. Aku menata nafasku, semoga tak terdengar olehnya.
“ Mas akan memperkenalkan diri Mas, secara lengkap tanpa kurang sedikit pun. Nama Mas, Ferdian Putra Aditama. Tempat tinggal, kota A. Umur kita selisih 9 tahun, seperti yang Mas bilang kemarin. Mas kerja di MANDALA GROUP, sebagai direktur personalia. Lulusan S2, Mas menyelesaikan kuliah agak cepat, dan sudah 3 tahun Mas bekerja. Ayah mas sudah tiada, tinggal ada Ibu, Kakak yang sudah nikah, adik perempuan yang masih SMA tapi tidak sedewasa kamu. Kalian seumuran tapi sikap dan sifat seperti langit bumi. Jika kalian ketemu, mungkin dia akan nyaman denganmu. Kamu ngemong banget dan dia manja sekali. Mas punya orang kepercayaan yang membantu Mas dalam segala hal, namanya Dika. Dia seumuran dengan Mas. Mungkin suatu saat ada moment yang melibatkan dia ke dalam hubungan kita."
“Hallo, hai... "
“Heemm, iya...Mas, aku masih mendengarkan kok.” terdengar suaraku agak berat dan serak karena air mataku yang jatuh ketika mendengarkannya berbicara, betapa merinding dan merasa kecilnya aku dengannya. Benar-benar seperti bintang di langit.
“Mas kira kamu tertidur Dek, Mas hanya ingin kamu tahu diriku lebih awal. Dan itu terucap dari Mas sendiri. Sebelum kamu tahu dari orang lain."
“Setelah aku tahu, aku jadi takut Mas....”
“ Why? Jangan pernah kamu berfikir karna status sosial. Status sosial seseorang tak akan menjamin akhlaq seseorang. Kita sama saja di hadapan Allah. Hanya ketakwaan kita yang membedakan. Kamu jangan pernah menghindari Mas karna perbedaan status kita, anggap saja Mas orang yang beruntung. Kamu juga mungkin suatu saat akan beruntung juga. Kamu punya semangat dan tekat yang kuat. Di zaman sekarang, tidak ada anak yang mau bekerja untuk biaya sekolah sendiri, halal lagi! Itu saja sudah nilai plus banget."
“Itu mungkin karena terjepit Mas,"
“Tu kan dibilangin serius, bisa-bisanya jawab! Kamu ada deket Mas, tak cubit beneran hidungmu! Biar tambah panjang! Mas jengkel ya sama kamu."
“Kisah cinta gimana? Bohong dong jika ngak pernah! Status sosial ok, perawakan aku gak tahu. Karena kita belum tatap muka, tapi dengan status sosial saja sudah bisa buat menarik 10 cewek dalam pelukan”
“Pedas amat ya, kata-katanya? Seperti habis makan cabe sekilo, Dek.”
“ Kena banget ya, kata-kataku?”
“Semoga ada unsur keponya hehehe, Mas dulu pernah pacaran 1×. Mas sudah kerja seperti sekarang, jabatan Mas masih sama. Tapi dia meninggalkan Mas dan lebih memilih cowok lain. Mungkin lebih segala-galanya dari Mas. Sebelum Mas tahu, ternyata sebenarnya dia menjalin hubungan dengan cowok itu sebelum putus dengan Mas. Jadi aelama itu Mas diduakan, mungkin karna Mas sibuk. Setelah tahu, Mas mengakhiri saja hubungan Mas dengannya. Dan dia melanjutkan hubungan dengan cowok itu, tanpa cowok itu tahu kalu Si Emma adalah cewekku. Cowoknya relasinya Mas, Mas tahunya juga tak sengaja ketika ada proyek bareng. Eksekutif muda, di perusahaan papanya. Mas menyadari kalau relasi Mas itu memang tampan, kaya raya, mungkin lebih mapan dari Mas, karna anak pemilik perusahaan kali ya? Tapi Mas dengar, sekarang mereka sudah putus, Emma masih sering datang ke rumah Mas, walaupun kami dah putus. Tapi Mas tidak pernah berbincang dengannya. Jika Letiana, adik Mas menyindir Emma tentang alasan kedatangannya. Emanya selalu jawab nengok Ibu katanya, kangen Ibu. Dan sekedar mampir, karna rumah buleknya satu kota dengan Mas”.
“Bener-bener kayak di sinetron ya Mas, jadi Mbak Emma namanya? Masih sakit?”
“ Ketika melihatnya terasa sakit, makanya setiap hari libur. Malam Minggu misalkan, Mas sering di kantor sampai malam. Baru malam ini nih Mas pulang sore, mungkin karna sekarang ada kamu. Kalau hari Minggu Mas pergi ke pasar burung. Atau kamu mau jadi antrian tempat Mas berteduh? Mas akan jalan-jalan ke sana."
“Emangnya Mas mau? Apakah akan nyaman, jika aku perbolehkan? Kali aja tidak akan mau menyentuh tempat kumuh. Merasa jijik gitu?"
“Dek, kamu jangan ngomong gitu. Mas gak suka ya, bahas-bahas beda sosial. Entar jika ada Dinas Mas pasti mampir. Tapi...seingat Mas, ada yang belum komplit tu, siapa yang belum memperkenalkan di mana tempat tinggalnya?"
“Iya, lupa Mas... entar tak chat alamatku."
“Sepertinya kita benar-benar begadang ya? Dah jam 1 malam Dek, tidur yuk! Tapi sholat dulu!"
“Iya Mas, good night....”
ayo kita intip terus ya... yang lagi berbunga-bunga...😍
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!