Borneo, sebuah cafe dengan perpustakaan mini di dalamnya, tidak terlalu ramai. Dua orang wanita duduk berhadapan dan terlihat sangat serius. Satu wanita mengenakan topi rajut berwarna merah marun. Sementara wanita satunya hanya menyanggul rambutnya tanpa penutup kepala.
"Kau hanya perlu menemukan gadis ini." Wanita dengan topi rajut menyodorkan selembar kertas ke arah wanita satunya.
Wanita dengan sanggul rapi mengambil kertas itu dan mengamati dalam diam. Wajahnya tanpa ekspresi.
"Apa kau yakin?" Wanita bersanggul menaikkan sedikit alisnya, tidak begitu yakin dengan apa yang baru saja dikatakan wanita dengan topi rajut.
"Ramalanku tidak pernah meleset."
——
Wanita dengan topi rajut menghabiskan sisa tehnya dan segera beranjak meninggalkan wanita di hadapannya dengan kebingungan yang menggema.
"APA? Menikah?" Jemima tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Hari ini Minggu dan beberapa jam yang lalu Ibunya menyuruhnya pulang karena ada hal penting yang harus dibicarakan. Dia tidak menyangka bahwa hal penting yang tadi dikatakan Ibunya adalah ini.
"Tapi, Bu..bagaimana bisa Ibu memutuskan hal seperti ini secara sepihak?" Jemima protes. Dia tidak tahu lagi apa yang sebenarnya ada di pikiran Ibunya sehingga membuat keputusan yang menurutnya gila.
"Sudah. Jangan membantah! Ibu tidak akan berdebat denganmu. Sekali ini saja, turuti kemauan kami dan bahagiakan kami."
"Membahagiakan kalian? Demi Tuhan, ibu! Ibu menyuruhku menikah dengan orang asing yang tidak aku kenal dan ini semua demi kebahagiaan kalian. Bagaimana dengan kebahagiaanku?" Jemima berteriak, nyaris histeris.
"Pernikahanmu akan dilaksanakan 3 bulan lagi. Malam ini kamu menginap di rumah. Wanita itu beserta keluarganya akan datang kemari untuk melamarmu secara resmi."
Tanpa mengacuhkan protesnya, Ibunya membuat Jemima harus menahan emosi yang hampir meluap. Bagaimanapun juga, ini Ibunya yang berbicara.
Ibunya wanita yang keras. Satu-satunya cara untuk menghadapi Ibunya hanyalah dengan kelembutan.
"Oke. Aku akan menemui mereka malam ini. Tapi sebelumnya, Ibu harus menceritakan semua padaku. Dimulai dari pertemuan pertama Ibu dengan 'wanita' ini. "
🎬
Jemima menatap wajahnya di cermin. Tanpa bersemangat dia mulai merias wajahnya. Dia masih belum percaya dengan apa yang saat ini dialaminya.
Ibunya bertemu 'wanita' ini beberapa kali. Mereka berkenalan di sebuah kedai kopi tak jauh dari rumah.
Pertemuan tak disengaja yang berlanjut menjadi pertemuan rutin. 'Wanita' ini memiliki seorang cucu yang belum menikah. Dari sinilah ide perjodohan itu muncul.
Sekali lagi Jemima mematut dirinya di depan cermin. Shit! Bodoh sekali dirinya mau saja dijodohkan dengan lelaki asing.
"Je, keluarga wanita itu sudah datang. Keluarlah."
Oh, God. Tidak bisakah nyawanya diambil saat ini saja?
Jantungnya berdegup tidak karuan. Rasanya seperti mendapat hukuman gantung dan saat ini dia sedang menunggu giliran.
"Ah. Ini dia putri saya, Madam."
Madam? Jemima mengerutkan kening mendengar panggilan Ibunya kepada wanita itu.
Dan betapa terkejutnya dia ketika melihat siapa wanita yang duduk di sofa ruang tamunya. Seketika itu juga, wajahnya langsung pucat dan tubuhnya mendadak lemas.
🎬
"Good evening, Jemima. I hope you still remember me."
Selayaknya robot, Jemima berjalan mendekat. Tatapan matanya masih menyiratkan raut kesal. Tanpa menjawab sapaan wanita itu, Jemima duduk di sebelah Ibunya.
"Lho, jadi Madam sudah kenal dengan putri saya?"
Ada nada terkejut dan bahagia terdengar dari suara Ibunya.
Ibunya memukul lengannya pelan," Kenapa tidak bilang Ibu, Je?"
Yang ditanya semakin mendelik kesal. Today is not gonna be her best day. Ever.
"Sudahlah. Anakmu sepertinya masih terkejut melihat keberadaanku."
Wanita itu mengucapkannya dengan nada menyindir.
"Sebaiknya kita mulai saja acara lamaran ini," lanjutnya.
Crap! Umpatan sesering apapun sepertinya tetap tidak akan bisa mengubah keadaan. Jemima mati kutu. Otaknya seakan beku.
Melihat senyum bahagia kedua orang tuanya, Jemima hampir yakin bahwa dia tidak akan bisa membatalkan pernikahan ini. Dia tidak akan tega.
Tapi kenapa harus dengan keluarga nenek sialan ini?
Jemima terlalu dalam berperang dengan batinnya. Sampai-sampai dia tidak terlalu mendengarkan pembicaraan orang tuanya dengan wanita itu. Hingga akhirnya dia mendengar keputusan final yang dibuat.
Pernikahan yang dikatakan Ibunya akan dilaksanakan 3 bulan lagi, dimajukan satu bulan dari rencana awal.
Bagussssss.
"Are you sure, Jemima?"
Sahabatnya, Astrid menyodorkan sekaleng soda ke arahnya. Jemima membuka tutup kaleng dan meminum beberapa teguk.
"I am sure, Astrid."
"Jadi, dia benar-benar nenek yang pernah kita temui satu tahun lalu di London?" Jemima mengangguk.
"Apa yang akan kau lakukan selanjutnya, Je?"
Jemima mengedikkan bahu. Bingung dengan situasi yang dia hadapi saat ini.
"I have no idea, Astrid. I really have no idea."
Dengan lemas, Jemima menyandarkan kepalanya di pinggiran sofa dan menatap langit-langit. Satu masalah ini sudah membuat kepalanya serasa mau pecah. Dia bahkan tidak berangkat ke kantor hari ini.
Untungnya Astrid sedang tidak ada tugas meliput, jadi ia bisa langsung datang ke kontrakannya ketika Jemima bilang butuh bantuan.
"Apa kau membutuhkan bantuanku untuk membatalkan pernikahan ini?"
Jemima menggeleng lemah. "Aku bahkan tidak berpikir sampai sejauh itu, Astrid."
Kalimatnya sendiri membuat Jemima berhenti sejenak.
"Well. Maksudku bukan itu. Aku -jelas- memikirkannya sampai sejauh itu. Dan kemudian aku berpikir tidak akan ada gunanya. Kau tahu sendiri bagaimana Ibuku."
Astrid merasa ada yang janggal pada ucapan Jemima. Tidak biasanya ia begitu pasrah. Pasti ada sesuatu yang membuat Jemima tidak bisa membantah perjodohan ala Siti Nurbaya ini.
Alih-alih mengungkapkan apa yang ada di pikirannya, Astrid hanya mengangguk mengerti. Ditambah lagi ia tahu persis siapa rival Jemima selain Ibunya.
Wanita itu.
🎬
"Aku tidak menyukai teman lelaki kalian."
Jemima dan Astrid yang saat itu sedang berada di toilet umum menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak ada siapapun. Hanya mereka berdua-bertiga jika ditambah wanita ini.
Kalau begitu siapa yang wanita ini ajak bicara?
"Kalian. Aku berbicara pada kalian."
Jawaban wanita itu membuat mereka berdua tercengang. Mereka tidak saling kenal, bukan? Lantas kenapa wanita ini tiba-tiba saja...
"Apa kalian sudah berubah bisu? Ya Tuhan. Anak-anak jaman sekarang tidak punya sopan santun pada orang tua."
"Excuse me?"
"Oh. Punya suara juga ternyata." Wanita itu menyudahi cuci tangannya dan mematikan kran.
"Aku katakan sekali lagi. Aku tidak menyukai teman lelaki yang duduk bersama kalian. Aku merasa dia akan membawa dampak buruk pada hidup kalian."
"Are you crazy, Ma'am?" Pertanyaan ini keluar dari mulut Astrid.
Terdengar tawa yang menggema memenuhi ruang toilet yang sempit. Wanita itu menggelengkan kepala.
"Call me 'Madam', Young lady. Madam Rowena."
Dan setelah itu, wanita yang menyebut dirinya sebagai 'Madam Rowena' tersebut meninggalkan mereka berdua. Tapi sebelum pintu toilet benar-benar tertutup, mereka sempat mendengar ia berbicara.
"Trust me, Young Lady. Jauhi saja lelaki itu."
🎬
Jemima menghela napas lelah. Kamarnya sudah sepi. Astrid ada tugas mendadak dari kantornya dan pergi sejam yang lalu.
Peristiwa setahun yang lalu masih tercetak jelas di ingatannya. Pertemuan tak terduga yang dilanjutkan dengan beberapa pertemuan tak terduga lainnya.
Mengingat liburan satu minggunya di London yang lumayan singkat. Jemima tidak habis pikir, dirinya dan Astrid bisa bertemu kembali dengan Madam Rowena hari berikutnya. Di tempat yang berbeda.
Dan wanita itu masih saja mengucapkan hal yang sama. Ia mengatakan sesuatu tentang 'feeling', ramalan dan entah apalagi yang tidak Jemima dengar.
Hell. Memangnya siapa wanita itu. Mereka bahkan tidak saling mengenal sebelumnya dan ia sudah berani menyuruhnya menjauhi temannya.
Kebenarannya, selama satu tahun ini tidak terjadi apapun. Dia dan 'teman lelakinya yang harus dijauhi' itu masih berteman baik sampai sekarang.
Sudah cukup waktunya dia habiskan untuk memikirkan wanita itu. Baru satu hari dan pikirannya sudah dijajah.
Jemima menghela napas berat. Berhenti memikirkan wanita itu bukanlah solusi yang baik ternyata, karena sekarang otaknya kembali berputar pada kejadian semalam. Ketika Ayahnya, yang biasanya diam saja dalam kewibawaan, mengetuk pintu kamarnya tengah malam.
🎬
"Ayah tahu kau tidak bisa tidur, makanya Ayah datang kemari."
Kalimat pertama yang diucapkan Ayahnya ketika Jemima membuka pintu kamarnya.
Jemima mempersilahkan Ayahnya masuk. Pasti ada hal penting yang akan dibicarakan Ayahnya yang mengharuskan beliau mengetuk pintu kamar putrinya tengah malam begini.
"Kau putri Ayah yang cerdas. Ayah yakin kau sudah tahu alasan Ayah datang ke kamarmu."
Jemima mengangguk. "Masalah lamaran tadi?"
Ayahnya menepuk puncak kepalanya dengan sayang.
"Tidak adil rasanya jika kau kami paksa menikah tanpa tahu alasan sebenarnya."
Kalimat pembuka Ayahnya membuat Jemima memusatkan perhatian. 'Alasan sebenarnya'. Jadi ada alasan dibalik ini semua. Dibalik sikap diam Ayahnya sejak lamaran tadi berlangsung.
Jemima sengaja diam. Dia ingin mendengarkan penjelasan Ayahnya terlebih dahulu.
"Kau tahu di mana rumah sakit tempat Ayah bekerja, bukan?" Ayahnya membuat jeda.
Jemima menahan napas. Tidak sabar untuk mendengar lanjutan ceritanya.
"Madam Rowena merupakan salah satu donatur terbesar rumah sakit. Jadi, Ayah..."
"Jadi, Ayah tidak berani menolak karena bisa berdampak pada pekerjaan Ayah?" Potong Jemima cepat.
"Ayah hanyalah seorang perawat biasa di sana, Sayang. Bukan hanya pada pekerjaan Ayah, tapi pada rumah sakit tempat Ayah bekerja."
Jemima melihat Ayahnya berdiri dan mondar mandir di dalam kamarnya. Ayahnya sedang panik. Dia tahu itu.
"Ayah tahu ketakutan Ayah tidak cukup dijadikan alasan. Hanya saja... Ayah takut, benar-benar takut kalau seandainya Ayah menolak, apakah akan berdampak pada rumah sakit. Tidak masalah jika Ayah dipecat, tapi bagaimana jika dia jadi berhenti menjadi donatur rumah sakit. Bagaimana jika....."
"Ayah," sela Jemima. "Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa." Jemima mengusap-usap punggung Ayahnya. Beliau sudah terlalu banyak berbicara.
"Ayah tahu ketakutan Ayah sungguh tidak bisa dijadikan alasan. Tapi.."
"Sudahlah, Ayah. Aku mengerti. Tidak apa-apa."
Jemima bisa memahami posisi Ayahnya. Beliau sudah menghabiskan separuh hidupnya untuk mengabdi pada rumah sakit itu. Memang bukan rumah sakit yang besar. Karena itulah, rumah sakit masih membutuhkan bantuan dari donatur luar.
Hanya saja masih ada satu pertanyaan lagi yang belum terjawab.
"Lalu, apakah pertemuan Ibu dengan wanita..maksudku dengan Madam Rowena adalah rekayasa?"
"Tidak..tidak..Tentu saja tidak. Mereka benar-benar bertemu secara tidak sengaja tanpa sepengetahuan Ayah. Itu bukanlah kebohongan."
Jemima mengangguk lega.
"Aku akan menikah dengan cucunya, Ayah. Aku akan menikahinya. Ayah tidak perlu khawatir lagi."
Dan saat itu juga napas Jemima terasa sesak.
"Good morning, Jemima. Saya ingin bertemu denganmu nanti setelah kamu selesai bekerja. I will pick you up at 5 o'clock in front of your office."
Jemima sama sekali tidak bisa konsentrasi. Tadi pagi, dia hampir saja menjerit frustasi setelah menerima telepon dari Madam Rowena. Satu minggu setelah acara lamaran, Jemima bisa sedikit bernapas lega. Pasalnya, wanita itu tidak pernah menghubunginya.
Hal itu memberikan sedikit harapan pada Jemima bahwa ada kemungkinan pernikahannya dibatalkan. Sampai tadi pagi. It seems like the game is not over yet.
--
"Bu, ini semua naskah yang sudah selesai dan siap dikirimkan sore ini juga."
"Terima kasih." Jemima membalas ramah ketika salah seorang karyawan meletakkan satu tumpukan naskah di mejanya.
Jemima memijit kepala melihat banyaknya pekerjaan yang harus dia selesaikan hari ini. Setidaknya semua ini cukup untuk mengalihkan perhatiannya.
Selama berjam-jam Jemima sibuk dengan pekerjaannya. Dia melonjak kaget saat ponselnya berdering.
"Halo," jawab Jemima sedikit kesal.
"Good afternoon, Jemima. Where are you? It's already 5 o'clock."
Jemima sontak melihat jam di pergelangan tangannya.
Oh, shit! Jam lima lebih lima.
"Maaf, Madam. Saya akan segera turun."
Jemima segera membereskan pekerjaannya dan menyuruh salah satu anak buahnya untuk menyerahkan semua naskah yang sudah dikoreksi ke bagian percetakan. Dengan terburu-buru dia berlari menuju lift dan menekan angka 1.
"Maaf, Madam. Saya tidak melihat jam," ucap Jemima setelah dia duduk di samping Madam Rowena. Mobil yang mereka tumpangi mulai bergerak membelah keramaian Jakarta.
"Kamu terlalu keras bekerja. Kalau seperti ini terus, bagaimana bisa kamu memberikanku cicit dengan cepat?"
Uhuk!
Jemima tersedak ludahnya sendiri. Napasnya lagi-lagi terasa sesak.
"Are you okay?" Madam Rowena bertanya dengan datar.
"Kenapa? Kamu kaget mendengar permintaan saya? Tentu saja alasan saya ingin menikahkanmu dengan cucu saya salah satunya agar saya bisa segera mendapatkan cicit." Madam Rowena memandang Jemima yang masih terlihat kaget. Senyum tipis tersungging di bibirnya.
Jemima bersandar lemas pada jok mobil. Hanya dalam waktu satu minggu kehidupannya sudah berubah. Seakan hidupnya kini bukan miliknya lagi.
Seandainya saja dia tidak bertemu dengan wanita di sampingnya ini, apakah takdirnya bisa berubah? Jemima melirik Madam Rowena. Wanita itu kini memejamkan mata. Membiarkan Jemima kalut dengan pikirannya sendiri.
Lagi. Memori Jemima ditarik ke kejadian setahun lalu di London. Pada pertemuan terakhirnya dengan Madam Rowena. Pertemuan yang tidak dia ceritakan pada siapapun. Bahkan kepada sahabatnya sendiri, Astrid.
——
Mereka memasuki sebuah butik yang terletak di daerah Cilandak Tengah. Hari ini, Madam Rowena mengajak Jemima mengukur gaun pengantin.
"Griffin seorang desainer ternama Inggris. Butiknya mempunyai cabang di beberapa negara, termasuk Indonesia. Dia akan membuatkan gaun yang cantik untukmu."
Jemima mendengarkan penjelasan Madam Rowena dalam diam. Dia masih tidak percaya dengan segala hal yang dia lakukan saat ini.
Mengunjungi butik berkelas. Memilih gaun pengantin. Bertingkah seolah-olah dirinya calon mempelai wanita yang berbahagia.
"Rowena. Nice to meet you, darling."
Seorang wanita seusia Madam Rowena keluar dari sebuah ruangan. Kedua wanita tersebut saling berpelukan erat.
Jemima mengulurkan tangan sebagai tanda perkenalan yang dibalas wanita bernama Griffin itu dengan sangat anggun.
"Ah. Jadi ini gadis yang akan kau nikahkan dengan Alek?" Wanita itu memandang Jemima dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Aku pikir kau akan memilihkan seorang gadis yang lebih cantik."
Sialan!
Jemima seakan ditimpa berkarung-karung beras. Wanita di hadapannya ini jelas-jelas sedang membuat lelucon tentang dirinya.
"Do not worry. I can make her more beautiful than—this."
Tawa kedua wanita tua di hadapannya memenuhi ruangan. Mereka berdua kemudian berkeliling butik, meninggalkan Jemima yang masih saja tidak bisa berkutik.
Jemima tertawa hambar. Sempat terpikir sejenak bahwa wanita pemilik butik ini akan bersikap lebih baik daripada Madam Rowena.
Dugaannya salah besar. Mereka berdua ternyata sama saja.
——
Jemima merebahkan tubuhnya di atas kasur. Hampir tengah malam dan dia baru saja sampai rumah.
Jemima tidak pernah menyangka, menghadapi dua orang wanita berumur bisa semelelahkan ini. Dia hampir mati karena kesal melihat dua wanita tadi berdebat seakan tidak ada ujungnya.
Jemima akhirnya memberanikan diri untuk menyela dan mengungkapkan pendapatnya. Bagaimanapun juga dirinya yang akan menikah. Dia berhak ikut andil, bukan?
Tiga jam yang melelahkan bisa dia lalui dengan lancar walaupun agak sedikit menyebalkan. Jemima menghembuskan napas lega ketika akhirnya Madam Rowena mengajaknya pulang.
Dengan malas Jemima bangun dari tempat tidur. Dia harus mandi. Dia butuh mandi. Mungkin dengan membasahi seluruh tubuhnya, segala keruwetan yang dilaluinya seharian ini akan ikut hilang tersiram air.
Mungkin juga otaknya bisa berhenti sejenak dari menyebutkan nama yang secara tidak sengaja tadi dia dengar.
Alek.
Nama calon suaminya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!