Gelap, semuanya gelap. Aku merangkak mencari jalan keluar. Mencari secercah sinar yang menuntunku keluar. Hanya suara napasku
sendiri yang terdengar jelas, seperti di dalam kotak yang tersegel rapat.
Aku hanya berada di dalamnya dan hanya terdengar napasku yang tersengal-sengal. Aku benci gelap dan sama sekali tanpa bias cahaya. Mengapa rumah ini begitu gelap.
Perlahan dan pelan, jangan sampai aku menyentuh sesuatu yang menakutkan. Seakan bayangan itu berada mengepungku dari kiri dan kanan. Dan terparah adalah bayangan yang paling menakutkan dan berwajah mengerikan, berusaha mengejar dari arah belakang.
“Ibu, tolong aku.”
Aku tidak sanggup lagi merangkak lebih jauh, ketakutanku mencekik pernapasan. Hingga aku terjungkal dan hilang kesadaran. Jangan biarkan
bayangan itu menangkapku, kumohon. Berikanlah aku cahaya harapan agar aku bisa keluar dari sini. Tetapi kegelapan ini semakin menarikku kearah yang semakin pekat, lekat dan hampa.
“Enggar, kamu tidak apa-apa Nak? Ayah tolong Enggar.” Sembari berteriak memanggil Ayah. Ayah datang melayangkan tamparan-tamparan kecil ke pipi yang memucat dan memeriksa keadaannya yang tidak bernapas.
Mencoba memompa paru-paru dan memberi napas buatan. Usaha itu berhasil. Bangkit dari dunia lain yang menyeretku.
“Enggar seharusnya kamu tidak memperdaya dirimu dengan ketakutan akan gelap, kamu hampir mati hanya karena gelap. Kamu harus berani
Enggar,” pungkas Ayah yang memarahinya ketika tersadar.
“Enggar kamu tidak apa-apa?” Ibu sangat khawatir sambil memeluknya.
“Enggar takut gelap Bu.” Mendekap lebih dalam kepelukannya.
“Maafkan Ibu Nak, mati lampu tengah malam begini. Ayah dan Ibu tidak sadar karena terlalu nyenyak,” lirih Ibu.
“Ibu, boleh Enggar tidur di kamar bersama Ayah dan Ibu?”
“Enggar, kamu sudah SMP. Masa tidur dengan orangtua. Ya sudah tidur lagi ya, Ibu akan ambilkan lampu darurat, tidak akan gelap lagi
sampai pagi.”
“Bagaimana jika baterenya habis Bu?”
“Tidak, Ibu sudah colok sangat lama.”
Memandang wajah Ibu yang sedang merapihkan sisi tempat tidurku. Aku melihat wajahnya yang letih dan kuyu.
“Ibu, apa Ayah marah padaku? Karena aku penakut?”
“Ayah tidak marah Enggar, hanya khawatir padamu. Ketakutanmu ini berlebihan karena di keluarga kita belum pernah ada yang takut seperti ini karena sesuatu hal.”
“Jadi aku aneh ya Bu?”
“Sedikit. Mudah-mudahan semakin besar kamu akan menghilangkan ketakutanmu itu.”
Ibu meninggalkanku di kamar yang semakin dingin itu. Dan pertengkaran itu dimulai … bapak tidak senang tidurnya terganggu karena sikap yang berlebihan menurutnya, ketakutan terhadap gelap.
“Kau terlalu memanjakannya. Ini semua salahmu, sampai kapan dia akan ketakutan seperti ini!”
suaranya meninggi melebihi suara petir yang menggelegar dilangit memecah angkasa.
“Kenapa menyalahkanku terus, kau yang terlalu keras dan menganggap ini kelemahan. Tidak semua anak bisa sekuatmu!” ibu tidak terima dan membalasnya.
“Kelemahan itu menurun darimu, itu sudah sangat jelas seperti adik laki-lakimu yang sampai hari ini masih saja menumpang.” Sembari keluar dari kamar.
“Apa? Tega sekali kau mengungkitnya dan … adikku tidak bersalah, dia lemah berpikir ... sudahlah kau hanya akan semakin membuatku kehilangan rasa kantuk.” Ibu membanting pintu itu.
Sedangkan aku mendengarkan semua pertengkaran itu dengan jelas. Seringkali mereka bertengkar hanya karena kelemahan ini. Semua salahku yang tidak bisa menghilangkan ketakutan terbesar akan gelap.
Menutup kedua telinga dan berpura-pura tidak mendengar apa-apa.
Aku kembali tidur dengan selimut yang dibalurkan menutupi tubuh yang menggigil dan berkeringat dingin. Diluar turun hujan sangat deras dan petir yang menyalak dengan dahsyatnya. Membuatku semakin bergidik ketakutan dan merasakan dinding-dinding yang memunculkan bayangan paling mengerikan,
Detik-detik jam dinding yang berdetak mengikuti alunan musik horor ditelingaku, hingga akhirnya menarik selimut menutup kepala. Mata yang mengintip keadaan dibalik selimut, berjaga-jaga jika ada yang mencoba menangkap. Sebuah pemotong kertas yang kupegang erat, sekiranya ada yang mendekat. Aku tidak segan untuk membela diri.
***
Part 1: Penguntit
Tahun 1985-an
Berjalan ke sekolah bersama temanku Dian. Teman sepermainan karena rumah kami bertetangga dan sekolah kami sejak taman kanak-kanak hingga sekarang selalu bersama-sama.
Entah mengapa aku selalu bersamanya dan tidak pernah bertengkar mengenai apapun. Dian orang yang lincah dan menyenangkan. Teman yang banyak bicara sedangkan aku lebih senang mendengarkan.
Pagi itu seperti biasa aku menghampiri rumah Dian untuk berangkat kesekolah bersama-sama. Dan setiap pagi dan sepulang sekolah aku harus melewati rumah Pak Abi yang membuatku tidak nyaman. Aku berusaha untuk tidak menoleh atau melihat kearah rumahnya, hanya jika terpaksa disapa oleh Ibu Abi yang memanggil namaku. Sekedar berbasa-basi melempar senyuman.
Sebenarnya aku hanya tidak ingin dibicarakan
tetangga sebagai anak yang kurang sopan jika aku tidak membalas sapaannya. Jika itu aku lakukan, pasti Ibu akan mendengar dari obrolan tetangga hingga aku akan dimarahinya. Aku hanya ingin kedamaian tanpa keributan ketika aku pulang dari
sekolah.
Seperdetik lagi langkahku akan menginjak wilayah aspal depan rumahnya. Aku hanya menunduk dan pura-pura tidak melihat. Namun, entah selalu ada bisikan yang membuatku ingin menoleh. Sudut mataku menangkap sesuatu yang bergerak mencurigakan dijendelanya. Akhirnya aku menoleh dengan keraguan. Aku melihat tirai
jendelanya tersibak dan ada sosok yang paling memuakkan muncul disana. Pak Abi dengan senyumannya yang licik seakan mengejekku.
Sontak aku membuang muka dan berlari kecil agar lebih cepat sampai kerumah Dian yang berada disebelahnya. Tanpa basa-basi aku
langsung membuka pagar dan masuk kedalam rumahnya dan memanggil Dian dengan keras.
“Ada apa sih teriak-teriak begitu?”
“Tidak apa-apa, aku tadi dikejar anjing gila.”
“Masa? Mana anjingnya?”
“Yah, sudah pergilah.” Dengan santainya berdalih.
Oh!
Dian membalasnya dengan kepercayaan penuh atas ucapanku.
Kamipun berjalan kaki hingga kedepan perumahan. Ketika memasuki belokan pertama dari blok rumahku, selalu saja aku merasa merinding. Rasanya seperti ada yang mengawasi, ada yang mengikuti. Akupun merasa ada derap
langkah yang terdengar. Aku yakin seseorang itu mengikutiku.
“Eh, dari tadi kenapa sih nengok kebelakang terus?”
“Tidak. Tidak ada apa-apa, cuma rasanya ….” Aku ragu mengucapkannya.
“Seperti ada yang ngikutin yah?” Dian ingin menegaskan.
“Iya, koq kamu tahu, kamu merasakan juga kan?”
“Tidak. Aku cuma bikin kamu senang saja hihi.”
“Dasar kamu yah, isengin aku terus!”
“Habis kamu tuh kaya curigaan terus, memangnya artis ada yang ngikutin hehe.”
“Ih, kamu. Bukan begitu. Aku takut kalau ada orang jahat!”
“Ya sudah kalau ada orang jahat, kita keroyok
bareng-bareng, bagaimana?”
“Memang kamu berani?”
“Tidak juga sih hehe.”
“Huhu … dasar!”
Lalu kami naik angkot dan setelah menunggu agak lama, menanti hingga angkot ini segera penuh. Datang seorang laki-laki berseragam SMA
menaiki angkutan yang sama. Aku sering melihatnya didalam angkutan ini. Pasti
setelah kami naik, setelahnya laki-laki ini yang naik. Tetapi anaknya sangat cuek dan tidak pernah menyapa bahkan tersenyum. Tapi aku sering memergokinya sedang melihat kearahku dan memperhatikan, namun aku tidak menggubrisnya.
Kehilangan Barang Pribadi.
Ketika pulang sekolah biasanya aku langsung pulang tidak keluyuran kemana-mana.
Jika ada teman yang ingin mengajak untuk bermain, biasanya aku selalu menawarkan rumahku untuk dijadikan tempat tujuan. Aku tidak ingin berada di luar rumah berjam-jam
dan pulang dengan berjalan sendirian.
Aku merasakan kengerian dengan hanya membayangkannya saja. Bahkan Ibu menyukai jika ada teman-teman yang berkunjung
kerumahku.
Biasanya Ibu bersemangat untuk mengeluarkan seluruh stok cemilan yang ada. Terkadang memasakkan kami hidangan ataupun memanggilkan tukang dagangan yang lewat depan rumah.
Namun, sepertinya teman-teman bosan jika di rumahku terus. Akhirnya aku tidak pernah ikut jika mereka ada rencana bermain. Lagipula aku
tidak terlalu bisa mengerti percakapan mereka. Aku hanya tersenyum, mendengarkan dan tertawa sedikit jika ada yang lucu. Selebihnya hanya diam
saja. Seperti itulah aku.
Hingga suatu siang aku menyadari sesuatu, celana dalam dan minisetku tidak ada dilaci pakaian dalam. Aku mencarinya keseluruh lemari
pakaian dan dijemuran belakang tidak ada. Padahal pakaian dalam itu sangat kusukai karena itu pakaian dalam termahal yang pernah dibelikan Ibu. Sangat nyaman dan sangat indah kupakai.
“Ibu. Ibu, apa Ibu melihat pakaian dalamku yang berwarna pink itu?”
“Tidak. Ibu tidak lihat. Lagipula pakaian itu tidak
pernah kamu kenakan, padahal Ibu membelikannya dengan harga yang mahal.”
“I-iya. Aku hanya memakainya sesekali dikamar. A-aku hanya sayang untuk mengenakannya keluar,” Padahal aku sangat malu untuk mengenakannya, itu terlalu indah dan aku takut orang lain melihat keindahan itu.
“Coba tanya mbok Darni sana!”
“Mbok tadi pagi cuci kepunyaan mbak Enggar. Mbok tinggal sebentar untuk membalik gorengan, eh koq waktu disetrika tidak ada dijemuran.”
“Berarti diambil orang Mbok?”
“Kayanya mbak Enggar, mbok juga kurang tahu,”
“Ya sudah Mbok,” ujarku berpikir keras. Apa mungkin ada orang yang mengambilnya?
Rasanya aneh sekali baru kali ini aku kehilangan barang pribadi. Padahal sebelumnya belum pernah ada kejadian seperti ini. Lagipula mbok
Darni tidak mungkin mengambilnya, untuk apa, anaknya bertubuh besar semua tidak mungkin cukup memakainya.
Mbok Darni tidak pernah berbohong apalagi melakukan pencurian dirumah ini. Aku percaya pasti ada orang lain yang mengambilnya.
***
Setiap tengah malam ketika jam burung hantu diruang tengah berbunyi.
Kukuk!
Kukuk!
Kukuk!
Selalu saja datang langkah kaki yang mendekati
pekarangan rumah. Aku yakin ada orang di luar jendela kamarku. Derapnya sama seperti malam-malam sebelumnya. Bahkan suara napasnya yang menghela seperti menahan sesuatu.
Aku pernah mengintipnya dari jendela namun hanya sosok gelap seperti bayangan yang kulihat. Makanya aku selalu menyalakan lampu kamar
dan tidur dalam keadaan menyala, meskipun itu pada siang hari. Bayangan gelap itu seperti menungguku atau seperti inginkan diriku.
Aku pernah mengatakan ini kepada Ayah, namun bayangan itu tidak ada apalagi sesosok manusia. Aku tidak pernah lagi menceritakannya kepada
Ayah dan Ibu karena mereka sudah menganggapku sangat berlebihan. Aku hanya bersembunyi didalam selimut hingga tertidur.
***
Pencet Like, Rate 5, Vote, Tambahkan ke favorit kalian dan komen yang sopan ya )
Dukung aku di kontes #ceritaseram
*Bayangan masa lalu seringkali mengikuti kemanapun aku pergi. Sejauh pun aku melangkah, ingatan itu akan menjadi bayang-bayang yang
tidak akan keluar.
Pikiran yang mencoba paksa untuk melupakannya, akan semakin menjajah hingga binasa. Menghancurkan jati diriku perlahan hingga kosong. Menjadikanku seseorang yang berbeda, yang bukan kehendakku menginginkannya.
Aku hanya bisa memilih untuk memberontak atau berubah menjadi monster, seperti keinginan alam bawah sadar*.
***
Tahun 1980-an
Ketika bel pulang berbunyi nyaring, semua murid keluar serentak dari kelasnya masing-masing. Bel itu seperti suara kebebasan untuk mereka. Masih di kelas tiga sekolah dasar dengan seragam putih dan rok merah menutupi lutut. Dengan lugunya
menyusuri lorong antar kelas dengan tas ransel berwarna pink dengan karakter The Snoopy. Dari belakang seorang teman memanggilnya sejak tadi.
“Enggar, tunggu!”
“Apa?” Enggar berbalik.
“Aku bawa karet, kita lompat tali yuk.”
“Tapi aku harus pulang Dian.”
“Sebentar saja lagipula rumah kita deketan!”
“Hmm … baiklah, sebentar saja yah!”
“Asyik!”
Beberapa teman sudah menunggu di dekat kelas satu untuk bermain lompat tali. Kelas satu dekat dengan gerbang utama sekolah. Mereka berempat asyik bermain secara bergantian. Lalu ada seorang pemuda dengan sepeda roda duanya mendekati mereka yang masuk dari gerbang. Pemuda itu mungkin masih tingkat menengah pertama.
Diatas sepedanya dengan kaki satu di atas tanah dan satunya berada dipedal dan tangan yang melipat diatas dada, seraya menebar senyum kearah anak-anak yang sedang asyik bermain. Anak-anak itu tidak peduli dengan kehadirannya, hingga seorang anak yang memperhatikannya dengan teliti.
“Enggar, kakak itu lihatin kamu terus dari tadi.”
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu.”
Enggar hanya memandangnya sekilas dan melihat pemuda itu tersenyum kepadanya. Enggar hanya berbalik dan meneruskan bermain.
“Kita pulang yuk!”
“Ayuk,” jawab semuanya
“Aku mau ke kamar kecil dulu yah, sudah kebelet nih,” sahut Enggar.
“Ya sudah sana kita tunggu disini yah.”
Enggar berjalan kearah belakang kantin yang berdekatan dengan kamar mandi sekolah.
Enggar tidak mencurigai apapun, dirinya tidak tahu jika pemuda itu mengikutinya dibelakang. Setelah keluar dari kamar mandi, tiba-tiba pemuda itu dengan cepat menyergapnya dan menyingkap rok merahnya dengan paksa dan mendorongnya
kelantai.
Enggar hanya kebingungan dengan kejadian itu. Tidak tahu apa yang terjadi, hingga dirinya merasakan tidak nyaman, mulai menangis. Tangisannya yang kencang hingga seseorang datang. Pemuda itu melesat dengan cepat dan terjatuh hingga penutup kepalanya menyingkap, terlihat ada noda putih di tengkuknya. Pemuda itu melarikan diri dengan sepedanya.
“Kenapa nangis, kenapa?” seorang wanita datang menolongnya.
Enggar hanya bisa menangis. Syok, bingung apa yang harus diucapkan. Wanita itu membawanya masuk kerumah dan memberinya minum teh hangat. Enggar tetap bungkam. Setelah tangisannya reda wanita itu mengantar Enggar kepada temannya yang masih menunggunya.
“Enggar darimana saja, aku sudah bosan disini.”
Masih berbekas noda tangisan diwajahnya.
“Enggar kamu kenapa, koq nangis?” tanya Dian.
Enggar hanya menggelengkan kepala. Enggar tetap bungkam hingga sampai di pintu rumahnya. Enggar terlalu lelah hanya bisa berbaring diatas kasur busa yang tipis di depan televisi. Pintu rumah tidak pernah terkunci karena pada jaman itu jarang ada tindak kejahatan. Mama belum pulang bekerja begitu juga dengan Papa,
sedangkan mbok Darni sudah pulang.
Di atas kasur lipat tipis itu Enggar mengurai lelahnya menjadi mimpi. Tidurnya tidak nyenyak,
tetapi kelelahan yang membuatnya tidak bisa bangun. Enggar bermimpi pemuda itu datang lagi melewati pintu rumahnya yang tidak terkunci dan memandanginya yang sedang terlelap. Melihat sekujur tubuhnya yang mungil, terlihat jelas kakinya yang terbuka.
Pemuda itu tergiur dan mendekatinya, namun entah mengapa ada rasa kasihan dengan anak
kecil itu. Dia hanya membelai rambutnya dan menyentuh bibirnya, lalu mengecupnya. Enggar merasa terganggu dan merasakan sesuatu yang nyata. Enggar terbangun merasakan basah di bibirnya, lalu mengikuti sosok yang berlari kearah pintu dan melihat dari jendela, pemuda bersepeda itu telah menggerayanginya sekali lagi.
"Kamu cantik sekali."
Enggar langsung mengunci pintu itu rapat-rapat dan masuk kedalam kamar Mama dan menguncinya. Entah apa yang harus diceritakan kepada Mama. Enggar tidak sabar menunggu kepulangannya.
Ketika sore menjelang, suara Mama mencoba membuka pintu, namun terkunci.
“Enggar Mama pulang, buka pintunya.”
Dengan tidak sabar Enggar segera membuka pintu itu dan berniat menceritakan semuanya.
“Mah, tadi ada laki-laki masuk rumah kita naik sepeda, terus Enggar diciumnya!”
“Hehe .…” Mama hanya tersenyum mendengarnya.
Mama sibuk menaruh tas dan melepas sepatu pada tempatnya.
Anak ini sedang puber.
“Mah, benar Enggar tidak bohong!”
“Benar Enggar, coba dilihat apa ada yang hilang.” sahut Mama dan sembari mengecek kotak perhiasan dan barang elektronik lainnya.
“Mah, laki-laki itu mencium Enggar!”
“Masa Enggar, kamu tidak sedang berkhayal kan, mungkin itu hanya mimpi.”
Mendengar jawaban darinya hati Enggar seakan teriris, merasa tidak dipercaya dan tidak dibela. Sejak hari itu Enggar tidak pernah menceritakan apapun yang terjadi dalam hidupnya. Enggar merasa tidak ada yang bisa mempercayai perkataannya. Tidak ada yang bisa dipercaya. Enggar tidak menceritakan apa yang sebelumnya terjadi di sekolah, karena itu akan sia-sia saja.
Malam harinya Enggar mendengar Mama bercerita dengan Papa tentang yang diceritakan
Enggar tadi sore. Enggar semakin kecewa karena Mama berkesimpulan bahwa dirinya sedang pubertas. Enggar hanya bisa menangis di kamarnya yang dingin. Seakan kehilangan kehormatannya dengan mudah, kehilangan jati dirinya yang dicap sebagai pembohong, direnggut jiwanya dengan istilah pubertas.
Sebenarnya ada hal yang terjadi disekolah, dan itu menyakitiku. Entah apa yang telah terjadi padaku tadi siang, pengalaman yang sangat menyeramkan. Aku menangis dan semakin menangis mendengar reaksimu setenang itu. Aku bisa mendengarmu dari ventilasi pintu kamarmu yang terhubung dengan ruang cucian. Di tempat inilah aku sering menyendiri agar tidak diketahui ketika aku meneteskan airmata. Kuurungkan niatku untuk menceritakannya.
***
Pencet Like, Rate5, Vote, Tambahkan ke favorit kalian dan komen yang sopan ya )
Dukung The Shadow Fears dalam kontes #ceritaseram
Kemana perasaan seperti diawasi itu, kemana rasa was was itu pergi, kemana rasa merinding itu, kini semua menghilang, kemana langkah misterius ditengah malam itu meninggalkanku, namun ketakutanku akan gelap belum sirna.
Tahun 1993-an
Bayangan itu selalu menghantuiku kemana pun. Aku selalu berjaga jikalau dia menyergapku ketika aku lengah. Sambil mendekap erat tubuhku dengan bersidekap dan melihat situasi sekitar sampai terasa aman. Begitulah aku hingga sedewasa ini, masih saja ketakutan ketika berjalan sendirian. Meskipun pada siang hari, terlebih malam aku tidak akan berani melangkahkan kaki keluar.
Usiaku kini 22 tahun, aku hanya lulusan SMA yang pernah berkuliah dan tidak pernah selesai. Aku mengambil jurusan perpustakaan, karena jadwal kuliah yang tidak menentu. Terutama jadwal pada sore hari hingga malam, hingga tidak pernah datang.Terlalu banyak kuliah yang harus kuulang karena kurangnya persentase kehadiran. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak meneruskan kuliah dan langsung melamar kerja.
Sebagai pekerja paruh waktu disebuah perusahaan swasta, PT. BPP yang bergerak dibidang pertambangan dan energi sumber daya alam, seperti anugerah untukku. Tidak mungkin aku bisa masuk keperusahaan hanya lulusan SMA. Siapa sangka memiliki tetangga seorang kepala cabang membuatku bisa masuk kesana. Kebetulan Ayah meminta tolong kepada Pak Hari Budiman sebagai manager keuangan eksekutif, terlebih karena hubungan mereka sangat baik.
Aku hanya bekerja dalam pengarsipan perpustakaan diperusahaan ini, sesuai dengan jurusan yang tidak pernah kuselesaikan. Namun,
aku sangat menyukai pekerjaan ini, terbilang sangat tenang dan tidak pernah ada masalah selama aku bekerja. Aku sangat senang menyusun buku ataupun arsip berdasarkan kepemilikan koleksi, pemberian nomor, membangun database, sampai pemusnahan arsip-arsip.
Namun, aku belum pada tahap pengelolaan arsip-arsip penting. Letak pengarsipan yang penting itu atau dokumen-dokumen rahasia adanya diruang rahasia dengan pintu berlapis baja, istilahku. Sebab pintu-pintu itu sangat besar dan kokoh serta kedap suara, hanya dua orang yang boleh mengakses kesana, pak Wahyu dan pak Warih yaitu seniorku disini.
Terkadang aku penasaran dengan apa yang ada di sana, arsip seperti apa yang begitu penting hingga harus dikelola khusus. Hingga suatu hari, Pak Wahyu tidak hadir karena sedang sakit.
Sedangkan hari itu tiba-tiba sangat sibuk karena esok hari akan ada penyelidikan internal terkait
penggelapan. Pak Warih masuk kedalam ruang arsip itu dan memanggilku tiba-tiba dengan suara sedikit keras.
Beliau menyuruhku untuk masuk kedalam, ruangan rahasia yang hanya orang-orang tertentu saja boleh masuk. Aku hanya tertegun di samping
pintu berlapis baja itu ragu.
“Kenapa berdiri disitu?”
“A-aku tidak boleh masuk kedalam!”
“Aku yang akan bertanggung jawab, sekarang kamu masuk dan bantu aku memusnahkan beberapa arsip ini.”
“B-baik Pak.”
“Jangan banyak bertanya dan tidak perlu dibaca.”
Aku hanya menganggukkan kepala.
Ratusan kertas arsip dimusnahkan dengan cepat dengan mesin penghancur itu. Ketika beberapa kertas dimusnahkan tidak sengaja aku melihat dengan jelas, nama-nama yang tercantum disana dan salah satunya kukenali, "Hari Budiman". Namun, aku tidak paham namanya yang disebut itu apa kaitannya dengan hari yang sangat sibuk ini.
Pak Warih mengawasiku yang tertangkap membaca. Aku pura-pura merapihkan kertas itu karena sedikit lecek, lalu menaruhnya dalam
antrian mesin penghancur. Pak Warih mendekatiku dan memancarkan pandangan
curiga. Dengan sorot matanya yang menakutkan sambil menarik lenganku dan memberi penekanan.
“Jangan bermain api, lakukan saja apa yang kuperintahkan.”
Kurasakan ketakutan yang luar biasa, jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya, ancaman ini sungguh terasa, padahal aku hanya tahu
sedikit informasi.
Pak Warih meninggalkan bekas merah di lenganku. Aku sedikit mengaduh, tapi bisa kutahan, ini tidak seberapa dibanding dengan ucapannya yang membuatku bergidik ketakutan. Lalu setelah selesai dihancurkan menjadi serpihan kertas yang sulit diterjemahkan, aku harus memasukkan seluruhnya kedalam kantong-kantong besar tak berlabel.
Kertas-kertas itu menjadi delapan kantong kertas yang harus kubuang sendiri kebelakang gedung.
Padahal belum pernah aku melakukan itu, biasanya dokumen yang dihancurkan hanya
di masukkan ke kantong dan menunggu petugas kebersihan yang mengambilnya. Kali ini tidak, aku harus memastikan semua limbah itu sudah pasti lenyap tak tersisa dari gedung ini.
Tidak terasa sudah pukul tujuh malam, aku tidak pernah bekerja sampai selarut ini. Dan harus ke belakang gedung membuang semua limbah.
Bagaimana jika ada yang mengikutiku dan berbuat jahat di belakang sana. Pikiran itu membuatku merinding. Aku hanya duduk di bangkuku dan semakin ketakutan mengingat aku sendirian di perpustakaan ini. Kuberanikan diri membawa semua limbah itu empat kantong sekali jalan, tidak berat sama sekali.
Turun dari lift ke lantai satu dan sebelum keluar
menuruni tangga ke lantai basemen. Pintu itu belum terkunci, parkiran basemen sangat sepi hanya beberapa mobil yang masih tersisa. Termasuk mobil Pak kepala cabang tetanggaku.
Kulangkahkan kaki dengan cepat, aku hanya ingin segera pulang. Empat kantong sudah di masukkan kedalam tempat sampah, aku hanya harus mengambil sisanya.
Ketika memasuki perpustakaan, ternyata disana sudah ada empat orang berpakaian rapi dengan label nama mereka. Aku hanya terkejut mereka
tertarik dengan empat kantong yang tersisa. Aku sedikit panik dan bingung karena itu seharusnya tugasku untuk membuangnya.
“Bapak dari divisi mana?”
“Kami dari penyelidikan internal, oiya ini kantong apa?”
“Oh, i-itu hanya dokumen yang tidak terpakai,” jawabku terbata-bata.
“Ada berapa kantong?”
“Delapan.”
“Sisanya dimana?”
“Sudah kubuang.”
“Baiklah kamu boleh pulang,” sahutnya tegas.
Aku hanya mencoba menenangkan diri yang semakin kupikir semakin sulit dibayangkan. Bagaimana jika mereka tahu apa yang ada di dalam dokumen itu, dan aku ikut terseret di dalamnya karena mencoba memusnahkannya.
Aku hanya bergegas mengambil tas dan segera turun dengan lift.
***
Pencet Like, Rate5, Vote, Tambahkan ke favorit kalian, komen yang sopan ya )
Dukung The Shadow Fears dalam kontes #ceritaseram
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!