Author's Pov
Kaina mengusap embun di kaca yang menghalangi pandangannya ke luar angkot yang sedang dia tumpangi. Lagi-lagi Bandung diguyur hujan. Jalanan di depannya basah. Tidak banyak orang yang lalu lalang, sekalipun di kawasan mall yang biasanya ramai sampai-sampai membuat jalanan macet. Ibu-ibu di sebelahnya sedang asyik mengobrol dengan anaknya lewat telepon. Si supir sibuk dengan pikirannya sendiri sambil mengontrol setir. Asap rokoknya mengepul ke seluruh ruang angkot lantaran semua kaca ditutup karena hujan. Penumpang di belakangnya pura-pura batuk berharap si supir mengerti, tapi nihil. Kaina sendiri berusaha menghirup udara segar dan lembab dari celah kaca di sebelahnya.
Gadis itu kembali menatap jalanan basah di luar dengan pandangan yang kabur. Terkadang hujan sedikit menyebalkan. Dia sama sekali tidak bisa melihat apa-apa.
Lamunannya buyar saat getar ponsel terasa di dalam saku celananya. Dia buru-buru melihat siapa yang menelepon. Rayshaka. Dia menarik nafas dalam-dalam sebelum menggeser tombol hijau di layar.
"Kamu dimana? Masih di kantor?"
"Sudah pulang, Pak. Ada apa, Pak?"
"Saya mau minta tolong carikan berkas penting di ruangan saya."
Kaina langsung bergidik. Sebentar lagi atasannya itu pasti akan mengamuk.
"Aduh, maaf Pak. Bagaimana dong, Pak?"
"Kamu jam segini sudah pulang. Kerjaan kamu sudah beres?"
Bibir Kaina kelu. Respon yang sudah bisa ditebak. "Sudah Pak," jawabnya pelan.
"Semua berkas yang saya minta kamu urus sudah beres?"
"Sudah Pak ...."
Sejenak sunyi. Mungkin saat ini Ray sedang memaki Kaina di dalam hati. Tanpa sadar perempuan itu menggigit bibir sambil menahan nafas.
"Ya sudah."
Klik.
Kaina melepas nafasnya. Oh Tuhan, aku harus resign secepatnya. Kalau tidak, aku bisa mati karena terlalu sering makan hati. Keluhnya dalam hati.
*****
Seakan tidak bisa diajak kompromi, kesialan Kaina hari ini masih berlanjut. Namun kali ini tentang kekasihnya yang sedang berada di kota lain. Long distance relationship. Mereka sudah menganut sistem hubungan ini selama satu tahun, sejak Kaina memutuskan untuk pindah ke Bandung. Hans adalah warga asli Jakarta dan sudah punya kerjaan tetap di sana.
Entah apa masalahnya, akhir-akhir ini Kaina merasa hubungan mereka sangat hambar. Hans sudah jarang mengunjunginya, jarang menghubunginya. Setiap dia memulai komunikasi, seringkali kekasihnya itu terkesan menghindar dan mengabaikan dirinya. Malam ini pun dia kembali nelangsa karena panggilan yang tidak kunjung dijawab oleh pria bernama Hans Setiawan di seberang sana.
"Kak, keluar yuk, temani aku beli cemilan," Rosa adik kosnya seperti bisa membaca kegalauan Kaina. Dia pun mengiyakan dengan cepat dan membuang pikiran tentang Hans jauh-jauh.
Mereka memasuki sebuah supermarket dan membeli beberapa jenis cemilan. Rosa mengajak Kaina untuk membeli Pop Mie dan dinikmati langsung di lounge kecil-kecilan yang ada di pojok supermarket itu. Lagi-lagi Kaina setuju dan mengikuti Rosa ke corner fastfood untuk menyeduh Pop Mie mereka.
"Kak, Hans masih belum angkat telepon ya?" sebagai teman satu kos, meskipun beda kamar, Rosa sudah pasti tahu sedikit banyak kehidupan pribadi Kaina, termasuk tentang Hans. Selain karena Hans seumuran dengannya –dua tahun di bawah Kaina– mereka juga sempat beberapa kali bertemu kalau Hans main ke Bandung.
"Hm-m ... aku dicuekin lagi. Hehehe."
"Sabar ya, Kak. Kak Kaina enggak mau samperin dia ke Jakarta?"
“Kalau ada libur nanti deh," jawabnya.
"Keburu kelamaan loh, Kak."
"Iya Ros, nanti sajalah. Mungkin dia hanya lagi sedang sibuk."
Rosa tersenyum kecil, "Stay positive ya, Kak? Walau sebenarnya dalam hati gelisah?" adik kosnya itu menggoda.
"Haruslah, Ros. Memangnya enak negative thinking terus? Makan hati."
Obrolan mereka kembali bergulir ke topik lain sembari menikmati Pop Mie yang mulai membengkak.
*****
Ray berdiri di depan meja Kaina dengan kedua tangan bersidekap di dada. Kaina yang tadinya menunduk karena sedang mengisi pembukuan, menengadah karena cahaya lampu yang tiba-tiba gelap dihalangi sesuatu.
"Ke ruangan saya."
Tiga kata yang lagi-lagi membuat dunia gadis itu langsung terasa jungkir balik. Fany yang ada di sebelahnya melirik dengan wajah penasaran.
"Bawa laporan kamu," pria itu menambahkan.
Kaina menurut dan mengekor atasannya itu ke dalam ruangannya. Dia sudah tahu apa yang akan mereka lakukan. Ray akan membedah update laporan tentang customer kantor. Bagaimana penjualan, kendalanya apa, solusinya bagaimana. Maklum, Kaina adalah telemarketing yang menjadi bawahan Rayshaka, si Sales Executive. Kaina yang selalu stay di kantor diharapkan bisa membantu pekerjaan Ray yang lebih sering turun ke lapangan, untuk melakukan follow up terhadap customer.
Ray biasanya akan bertanya seperti seorang polisi yang menginterogasi seorang tahanan. Tidak bersahabat sedikit pun. Kenapa pelanggan A tidak melakukan transaksi atau order, kapan pelanggan B minta kirim barang, kenapa begini kenapa begitu. Biasanya Kaina akan menjawab dengan sejujur-jujurnya, namun tak jarang Rayshaka tetap menunjukkan keraguannya. Menganggap Kaina mengada-ada dengan laporan itu. Membuat Kaina sering jengah dan kesal. Hingga saat ini, dia sama sekali belum menemukan sisi baik dari atasannya itu.
"Kai, sehat?" tiba-tiba kepala cabang mereka, Sebastian, masuk ke ruangan Ray dan menyapa Kaina.
"Ehm, sehat Pak," untuk bos yang satu ini Kaina memang belum terlalu dekat. Masih banyak segannya, karena merupakan bos utama di kantor. Masih tergolong muda sih, umur empat-puluh-satu. Tapi karena kharisma dan wibawanya, Kaina jadi sedikit segan.
"Eh, Ray ... aku mau laporan yang kemarin dong, yang diminta sama orang pusat."
"Sebentar, Pak," Rayshaka langsung mengalihkan perhatiannya dari laporan Kaina dan menggeser mouse komputernya. Screensaver-nya berganti menjadi lembar kerja excel yang sedang aktif terbuka.
"How's your job, Kai? Ada customer yang bawel?" sembari menunggu Ray, Sebastian mengajak Kaina mengobrol.
"Ehm ... sebagian ada, Pak. Sebagian lagi aman-aman saja, Pak," Kaina tersenyum.
"Syukurlah. Kalau ada yang bawel, coba minta tolong Ray saja. Dia ahlinya merayu customer," Sebastian menepuk pundak Ray dan laki-laki itu tersenyum. Untuk pertama kalinya Kaina melihat pria dingin itu tersenyum.
"Ehm, iya Pak ...." Kaina menjawab lagi. Setelah itu dia tidak terlibat dengan pembicaraan Sebastian dan Rayshaka.
Beberapa menit kemudian, Kaina keluar dari ruangan Ray dan kembali ke mejanya. Fany yang sudah hafal dengan raut wajah itu tersenyum dan menghampirinya.
"Diomelin lagi sama pak Ray?"
"Iya, Fan. Sebel ...."
"Sabar ya, dia memang kayak gitu. Egois," Fany mengelus pundak Kaina dengan penuh pengertian.
Ngomong-ngomong, Fany ini salah satu admin di kantor. Sejak awal bekerja disana, Kaina sudah tahu bahwa Fany dijodoh-jodohkan dengan Ray. Setiap kali Ray masuk ke ruangan admin juga pasti tidak segan-segan mengumbar kedekatannya dengan Fany. Mungkin dia sudah terlalu mengenal Ray sampai bisa menilai laki-laki itu egois. Sekalipun dia sangat menyukainya.
*****
Kaina's PoV
Hans masih belum menjawab telepon dariku. Kalau dihitung-hitung, itu sudah dua minggu sejak Rosa mengajakku makan Pop Mie di supermarket. Semua sosial medianya tidak aktif. Sangat bertentangan dengan Hans yang kukenal aktif di dunia maya. Aku sudah mencoba menghubungi adik dan kakak Hans, tapi seolah-olah sudah diberi ultimatum juga, mereka mengabaikanku.
Celakanya aku tidak dapat menyembunyikan kesedihanku. Tampak jelas wajahku muram setiap hari. Rekan kantor terdekatku, Keisha, bahkan menyadari itu dan turut memberi kekuatan dan masukan untukku. Aku bersyukur masih bisa melupakan kesepianku walau sesaat setiap berada di kantor. Setidaknya gairahku bekerja masih bisa terjaga dan tidak mengganggu produktivitas di kantor.
"Kaina, sudah coba hubungi Pak Arif lagi?" Ray yang sedari tadi duduk berdua di meja Fany -dia menarik kursi cadangan ke sebelah Fany- memanggilku dan menyebutkan nama salah seorang customer.
"Sudah, Pak. Katanya masih belum mau order lagi."
"Kenapa? Kamu tanya stok barangnya ada berapa lagi?"
Aku terdiam. Aku memang selalu lupa menanyakan hal itu. Padahal Ray sudah berkali-kali mengingatkanku akan poin penting yang perlu ditanyakan saat follow up customer.
Dia pun menghela nafas dan bergerak ke arahku, bersama dengan kursinya. Aku menahan nafas. Bersiap untuk kena semprot lagi.
"Kaina, kamu sudah berapa bulan kerja disini? Kenapa masih sering lupa hal detail seperti itu? Kalau kamu terus-terusan seperti ini, saya tidak yakin pak Sebastian mau memperpanjang kontrak kerja kamu."
Ruangan langsung hening. Aku hanya menunduk sambil menatap lembaran buku laporan. Kepala rasanya sedang ditimpa batu seberat satu ton. Berat sekali untuk digerakkan bahkan cuma satu senti.
"Kamu follow up semua sekarang, laporannya saya tunggu satu jam lagi."
Masih dengan wajah kesal, Ray meninggalkan ruangan kami.
Aku masih tidak berani bergerak. Malu terhadap seisi ruangan divisi ini.
"Sudah Kai, enggak usah didengar. Dia memang suka begitu," Ibu Arni, kepala divisi oprasional memecah keheningan dari belakang.
Ya, siapa yang tidak tahu karakter Ray? Seantero kantor juga tahu dia egois dan suka tidak mikir kalau bicara. Apesnya, aku adalah salah satu korban dan sasaran empuk semua amarahnya itu. Setiap hari.
Persetan dengan masa percobaan enam bulan. Empat bulan saja aku sudah tidak tahan dengan sikapnya.
Aku harus segera mencari pekerjaan baru!
*****
Author's PoV
Kaina memang masih tergolong baru di kantor tempatnya bekerja sekarang. Satu tahun lamanya dia menggantungkan harapannya supaya bisa menjadi seorang jurnalis, lamar kerja sana sini, keluar masuk stasiun televisi, namun tidak membuahkan hasil. Kalau bukan karena tuntutan mamanya, dia tidak akan menyerah dan mau jadi seorang marketing. Benar-benar diluar kemampuannya.
Sekalipun menurut orang-orang enam bulan adalah waktu yang cukup untuk menyatukan hati dengan sebuah pekerjaan, tidak demikian dengan Kaina. Bahkan sampai saat ini belum ada chemistry antara dia dengan semua customer-nya. Sulit baginya untuk beradaptasi. Wajar kalau dia selalu kena teguran Ray.
Kaina kembali menikmati ramen pedas di hadapannya. Asap yang mengepul dari mangkoknya semakin menambah selera. Sekalipun sudah lama Kai tidak ketempat ini, dia selalu hafal dengan cita rasa ramen yang begitu khas. Gurih, pedas. Pokoknya Kai selalu puas dengan masakan si koki.
Terakhir dia dan Hans ke Engkong Ramen ini empat bulan yang lalu, merayakan pekerjaan barunya di Nagata. Setelah itu Kaina tidak sempat singgah karena selalu pulang kemalaman.
Karena kebetulan hari ini Sabtu, kantor libur, dia memutuskan untuk makan ramen saja ketimbang meringkuk di kos. Rosa yang kebagian kerja shift pagi di supermarket di ujung komplek harus rela menelan air liur karena tidak bisa ikut.
"Permisi teteh ... maaf, sendiri?"
Kai mengangkat kepalanya dan mendapati seorang laki-laki tampan berdiri di depan mejanya.
"Semua meja penuh, boleh bergabung?"
Tanpa sempat berpikir panjang, Kai mengangguk dengan linglung. Tas yang tadinya ada di atas meja segera disingkirkannya ke sisa sofa yang didudukinya. Pemuda tadi mengangguk tersenyum sambil berterimakasih.
Setelah kembali sadar, suara alunan musik kembali terdengar mengalun di telinga Kaina.
Oh Tuhan! Syukurlah! Kai bersorak di dalam hati. Earphone yang masih melekat di telinganya tiba-tiba menjadi malaikat penolong. Ternyata dia tidak perlu bersusah payah memikirkan harus bagaimana dengan pemuda itu. Dia hanya perlu terlihat hanyut dengan lagu dari earphone-nya supaya orang di hadapannya itu tidak terpikir untuk mengajaknya bicara.
Setelah selesai dari restoran itu, Kaina beranjak memasuki perpustakaan yang berada persis di seberang jalan. Dia kembali menyusuri rak dengan kategori jurnalistik. Mengambil sejumlah buku dan membawanya ke meja baca.
Menikmati bacaan dengan serius, membuat ia tidak sadar bahwa ada orang yang sedari tadi memperhatikannya. Duduk tepat di seberang meja besar tempatnya duduk.
"Kamus suka jurnalistik?"
Suara itu membuat kepala Kaina terangkat cepat. Seingatnya dia sedang di perpustakaan daerah, bukan di kantor.
"P... Pak Ray?" Kaina terkejut bukan main. Dia langsung gugup, menutup bukunya, menegakkan badan dan menatap ke arah laki-laki itu.
"Kamu harusnya baca buku yang begini," Ray mendorong salah satu buku kehadapan Kaina. Tentu saja itu tentang sales dan marketing. Gadis itu menelan ludah. Menatapi buku yang diberikan Ray dengan seksama, seolah-olah dia sangat tertarik.
"Kalau bisa praktekin cara marketing-nya, omset kantor pasti bisa naik."
Kaina mengangguk-angguk. Ray memperhatikannya dengan serius. Pria itu tau Kaina tidak mengerti apa yang dianggukinya.
"Senin akan ada sales baru. Sudah tau?"
Kini Kaina menggeleng. Dia cuma dengar isu, bukan berita yang sudah pasti. Dia menunggu Ray berbicara lagi, tapi pria itu cuma menatapnya seperti biasa. Sebagaimana tatapan dingin dan kosong yang sering dilemparkannya di saat jam kantor. Dan itu membuat Kaina merasa tidak nyaman. Akhirnya dia kembali menunduk menatap buku marketing itu.
Alunan musik lembut kembali terdengar di dalam telinga gadis itu. Dia baru sadar kalau earphone-nya masih terpasang. Tapi kenapa kali ini dia tidak bisa berpura-pura sibuk di depan Ray?
*****
Rosa sedang membaca dengan santai di atas kasurnya, saat dilihatnya Kaina lewat dari depan pintu kamar. Kakak kos yang sudah setahun lebih akrab dengannya itu tidak berpaling seperti biasanya. Rosa mengekori Kaina ke kamarnya. Tepat di sebelah kamar Rosa sendiri.
"Kak Kai ... kemana saja hari ini?"
"Heii ...." Kaina yang melihat sebuah bayangan bergerak mendekatinya, berbalik dan menemukan Rosa di balik punggungnya. Dia pun melepas earphone yang tersembunyi di balik rambutnya yang panjang. Rosa menebar senyum.
"Aku kira kak Kaina kenapa-kenapa makanya enggak singgah di kamarku. Dengar musik ternyata."
"Ah iya, ini earphone nempel sejak pagi loh," Kaina mendorong pintu kamar yang barusan ia buka. Kini keduanya sudah masuk ke kamar itu. Rosa langsung melompat ke kasur double Kaina. Gadis itu suka suasana kamar Kaina yang bersih dan wanginya yang khas. Sangat menunjukkan karakter pemiliknya yang cool. Berbeda dengan kamarnya sendiri. Meskipun dia hanya berbeda dua tahun dari Kaina, bisa dibilang dia masih sangat cildish dan berantakan.
"Oh ya? Bahaya loh kak, bisa bikin budek," nasihat Rosa sambil memeluk guling.
Kaina tertawa sambil menyambar handuk.
"Aku mandi dulu ya, gerah," katanya.
Rosa membaca kembali buku yang ada di tangannya. Beberapa menit kemudian Kaina sudah keluar, lengkap dengan piyama yang sudah melekat di tubuhnya.
"Kamu enggak kencan memangnya?" dia menghampiri Rosa dan mengambil bantal juga untuk dipeluk.
"Andre lagi sibuk, Kak. Kerjaannya banyak katanya."
"Oya? Tapi chat tetap lancar kan?"
Rosa mengangguk dan langsung mengerti arah pembicaraan Kaina.
"Hans masih belum ada kabar, Kak?"
"Belum ...." Kaina menatap satu titik langit-langit kamarnya. Pikirannya kembali melayang kepada laki-laki yang berada di jantung ibu kota, yang sampai detik ini belum berkenan mengangkat teleponnya. Bahkan apa masalah yang sedang terjadi di dalam hubungan mereka pun dia tidak tahu. Andai saja Hans mau mengangkat teleponnya, sekali saja.
"Ke Jakarta yuk, Kak."
"What? " Kaina terbangun dengan spontan, "ngapain? " katanya. Matanya spontan sedikit melebar.
"Libur Lebaran nanti aku enggak mudik. Kak Kaina mudik enggak?"
"Mudik, tapi paling hanya Lebaran satu sama dua. Kan Tasikmalaya deket ini. Memangnya mau ngapain ke Jakarta?"
"Aku mau ke Dufan. Belum pernah ke sana. Aku ajak Andre, dia enggak bisa, karena Lebaran ketiga ada gathering kantor sampai liburan usai." Rosa memasang bibir manyun. Semanyun dia saat pertama kali mendapat kabar itu dari Andre.
Kaina memutar otak sejenak, mengingat schedule dan janji yang mungkin sudah dibuatnya dengan orang lain. And lucky Rosa, dia belum ada jadwal dan sepertinya tidak akan ada, mengingat orang yang sangat diharapkannya akan berkunjung ke Bandung sudah tidak ada kabarnya.
"Boleh deh ...."
"Serius? Aaaaaaaa!!" Rosa langsung memeluk Kaina dan menciuminya dengan brutal, sampai Kaina meronta-ronta minta dilepas.
"Duh Ros, aku harus cuci muka lagi nih," candanya. Rosa terpesona sendiri, senyum-senyum seperti tidak sabaran menunggu libur Lebaran tiba.
"Kenapa tiba-tiba kepikiran mau ke Jakarta pas lagi ngebahas Hans?" Kaina mengeringkan wajahnya dengan tisu.
"Ya mau sekalian nemuin kak Hans lah."
"What? " Kaina tertawa tidak percaya. Rosa jelas bercanda.
Tapi itu bukan ide yang buruk. Hans perlu diberi sedikit kejutan.
*****
Author's PoV
Suasana hening di kantor terpecah oleh kehadiran Sebastian dengan seorang karyawan baru. Semuanya sudah tahu dia adalah sales yang akan ber-partner dengan Rayshaka dan Kaina. Pertama-tama, Sebastian dan Ray memperkenalkan orang itu ke divisi AR, kemudian ke bagian admin di mana ada meja Kaina juga.
Saat melihat karyawan baru itu, Kaina langsung membesarkan matanya.
"Kaina," gadis itu mengulurkan tangan seraya menyebutkan namanya.
Sebagaimana tebakannya, pria itu pun bereaksi sama sepertinya, membesarkan mata tanda terkejut.
"Ferdi," balas pria itu sambil tersenyum, tidak kalah manis.
Setelah selesai sesi perkenalan, Kaina langsung ikut ketiga laki-laki itu menuju ruangan Sebastian. Sang sales baru akan diberi pengenalan lebih jauh tentang product knowledge, marketing plan, dan job desc.
Saat berada di antara ke tiga pria itu, Kaina merasa sangat spesial. Teman-temannya di luar sana pasti semakin iri kepadanya dengan bertambahnya cogan (cowok ganteng) di tim mereka. Tapi jelas sekali rasa spesial itu hanya ilusi Kaina semata, karena masih ada si arogan dan pemarah, Rayshaka.
Ferdi banyak tersenyum dan mengangguk. Sebastian dan Ray juga demikian. Kaina sangat bisa menangkap senyum palsu di wajah Rayshaka. Jelas-jelas tersenyum tidak ada dalam kamus pria itu.
Obrolan mengenai pekerjaan kantor kemudian beralih menjadi obrolan yang lebih mengarah ke pribadi Ferdi. Meskipun Sebastian sebelumnya sudah banyak bertanya saat sesi wawancara, tapi pertanyaan-pertanyaan itu seperti masih hangat untuk diperbincangkan.
Kaina yang merasa mulai tidak nyambung - karena ketiga pria itu kebanyakan membahas hobi- mengundurkan diri dan ingin kembali ke mejanya. Tapi Rayshaka kembali membuatnya jengkel dan sedikit malu.
"Kamu mau kemana? Kita masih ada meeting tim setelah ini," omelnya. Membuat Sebastian tertawa kecil.
"Hahaha, sepertinya Kaina sudah lelah dengan obrolan para lelaki. Ya sudah, kalian silahkan meeting lagi. Sekali lagi, welcome on team, Ferdi," Sebastian menepuk pundak Ferdi sebanyak dua kali. Ferdi mengangguk sambil menebar senyumnya.
Setelah itu, Ferdi dan Kaina langsung mengekor Rayshaka ke ruangannya. Ray mapping lapangannya dan Ferdi. Membagi daerah-daerah yang menjadi wilayah kunjungan mereka berdua. Setelah selesai, Ray meminta Kaina menjelaskan karakter-karakter setiap customer yang menjadi bagian Ferdi.
Meskipun Kaina sudah memberikan hard copy data pelanggan kepada Ferdi, Ray tetap menyuruhnya untuk menjelaskan secara lisan. Benar-benar membuat Kaina jengah dan mau muntah. Dia tahu Ray sedang mengujinya soal pendalaman karakter semua pelanggan. Untuk itu dia memfokuskan semua perhatiannya kepada Ferdi saja.
"Sudah dijelaskan semua Kai?"
"Sudah Pak," jawab Kaina singkat. Namun nadanya tetap sopan. Mana berani dia menunjukkan kejengkelannya.
"Oke. Kamu bisa kembali ke meja kamu. Lu ikut gua bro, kita kunjungan."
"Oke. Gua ke toilet bentar Ray," Ferdi ikut bergerak cepat dari kursi dan menyambar ranselnya.
Lu? Gua? Bro? Kaina seperti disambar geledek mendengar kata-kata itu. Seorang Rayshaka yang selama ini formal, judes, angkuh, pemarah, ternyata kenal dengan bahasa gaul itu? Kenapa dia bisa berbicara nonformal begitu ke Ferdi? Ferdi juga barusan memanggilnya hanya dengan namanya saja, Ray.
Kaina mendadak bingung, tapi diabaikannya dan tetap keluar dari ruangan Rayshaka.
Di persimpangan antara toilet dan ruangan admin, Ferdi tiba-tiba muncul dan nyaris menabrak Kaina.
"Eh, sori," untungnya pria itu bisa menahan diri sehingga tidak jadi menabrak gadis itu.
"Eh, enggak apa-apa Fer," Kaina yang sebenarnya juga sedikit kaget langsung melempar senyum.
"Eh, Kaina ...."
"Ya?"
"Glad too see you again."
Kaina langsung tertawa, "Glad to see you too, Fer. Kayaknya bakalan seru punya teman yang hobi makan ramen juga."
Ferdi tertawa kecil. Dia tidak menyangka Kaina akan memberikan respon yang sangat baik. Dikiranya gadis itu akan stay cool seperti di Engkong Ramen akhir pekan lalu.
"Ya sudah, jalan dulu ya. Ditungguin Ray nih."
"Oke," Kaina kembali melempar senyum. Dirinya bertahan untuk tidak segera bertanya kenapa Ray dan Ferdi bisa langsung akrab begitu.
Baru saja masuk ke ruangan admin, Kaina langsung diserbu dengan seabrek pertanyaan tentang Ferdi. Oh, tentu saja dia sudah menduga hal itu. Apalagi ada si biang gosip, Fany.
*****
Ferdi dan Ray terjebak macet di kawasan Jalan Asia-Afrika. Bandung ternyata sudah tidak ada bedanya lagi dengan kota Jakarta. Macet dimana-mana, hawa sejuk yang biasanya menjadi ciri khas Kota Kembang ini pun sepertinya sudah berkurang. Padahal tujuan Ferdi kembali ke kota kelahirannya ini salah satunya karena bosan dengan kemacetan dan panasnya Jakarta.
"Bokap nyokap lu sehat?" Ray menyambung pertanyaannya kepada Ferdi. Sejak mereka meluncur dari kantor tadi, Ferdi kembali seperti diwawancara untuk yang ke-sekian kalinya.
"Sehat, mereka baru balik dari Paris, habis honeymoon untuk yang kesekian kalinya."
"Hahahaha... gua kangen nih sama Om Tio. Kangen tanding catur lagi."
Keduanya tertawa.
"Bokap juga nanyain lu tuh. Sekalian mau tagih janji lu supaya join di perusahaannya."
Ray tersenyum kecil, "Kenapa bukan lu saja, Fer? Dari pada jadi sales enggak jelas di kantor gua."
"Ah, malas gua. Jadi bonekanya bokap terus. Ini juga gua ke Bandung enggak pamit."
"What? Gila lu bro! Ehh, nanti gua enggak mau dibawa-bawa loh kalau ada apa-apa."
"Hahaha, tenang saja, Bro. Enggak bakalan lah."
Sejenak keduanya diam. Setelah itu Ferdi memulai lagi.
"Eh bro, lu percaya takdir enggak?"
"Kadang. Kenapa memangnya?"
"Sepertinya gua sama Kaina ditakdirkan jodoh deh," Ferdi tertawa sendiri mendengar kalimat yang terucap dari bibirnya.
"Hah? Kaina? Kaina mana?" Tidak mungkin Ferdi sedang membicarakan Kaina Larasati, fikir Ray. Soalnya mereka baru bertemu hari ini.
"Ya Kaina telemarketing kita."
"Hah? Gimana bisa? Ge-er banget sih lu?" Ray sedikit terkejut namun mencoba menutupinya dengan tawa sambil mulai menjalankan mobil karena jalanan sudah mulai lancar.
"Sabtu pagi kemarin gua ketemu dia di restoran ramen langganan gua. Tau enggak, selama makan ramen, dia sambil denger lagu pakai earphone. Meskipun gua duduk di depannya, gua dicuekin. Sibuk sama musik dan ramennya. Bisa banget dia stay cool kayak enggak ada siapa-siapa di depan dia," kenang Ferdi sambil memandang langit-langit di balik kaca mobil.
Ray tertawa mendengar nada kecewa Ferdi. Dia juga mengalami hal yang sama saat di perpustakaan beberapa hari yang lalu. Ray bahkan bisa menghitung berapa lama dia memperhatikan Kaina membaca sambil mendengarkan musik. Sangat tenang, tidak terganggu oleh apa pun. Bahkan menggeser duduknya sesenti pun tidak pernah. Nyaris 20 menit, sampai akhirnya Ray menyerah dengan mengganggu Kaina waktu itu.
"Kenapa bisa satu meja memangnya?"
"Kebetulan semua meja full, gua lihat dia sendiri. Ya nyoba doang sih awalnya. Kebetulan saja dia izinin. Ya jadi duduk satu meja."
"Tapi sama sekali enggak mengobrol?"
Ferdi menggeleng sambil tertawa lagi, "Tapi tadi sempat mengobrol sebentar pas gua ke toilet dan sepertinya kita bakal atur jadwal makan ramen bareng."
Ray melihat jelas kegembiraan yang terpancar di wajah Ferdi. Dia pun melengkapinya dengan ikut tertawa sambil geleng-geleng kepala.
"Parah parah parah. Awas saja kalau lu malah jadi pacaran ya, kejar omset dulu," candanya. Sisa tawa masih mewarnai wajahnya.
"Tenang saja, Bro. Gua bakalan profesional."
"Good. " Ray mengerlingkan mata dan kembali fokus ke jalan yang ada di depannya.
Percakapan mereka kembali bergulir dari satu topik ke topik lain sebelum akhirnya mereka tiba ke customer yang akan mereka kunjungi.
*****
Kaina's PoV
Tanpa harus bertanya langsung ke Ferdi, aku sudah tahu kalau dia dan Rayshaka adalah teman semasa kuliah di Jakarta. Fany yang menyebarkan fakta itu di ruangan kami. Katanya dari narasumber yang bisa dipercaya seratus persen kebenarannya, alias staf HRD yang punya data-data semua karyawan.
Saat berbincang dengan pak Sebastian beberapa hari yang lalu, saat hari pertama Ferdi masuk, aku baru ingat kalau beliau mengucapkan sesuatu yang tidak aku mengerti, tapi aku abaikan saja. Pak Sebastian bilang agar mereka bisa bekerjasama dengan baik di kantor ini, bukan sebagai pesaing seperti dulu.
Sekarang aku baru mengerti arah kalimat tersebut. Ray dan Ferdi sepertinya pernah punya hubungan dekat sebelumnya, tapi bukan sebagai teman. Melainkan lawan.
"Hey Kai, melamun saja," Keisha mengejutkanku dengan menepuk di salah satu pundak. Keisha adalah salah satu admin stok yang mejanya bersebelahan dengan mejaku. Dibandingkan dengan yang lainnya, aku lebih dekat dengan Keisha. Lebih sering sharing tentang ini itu. Mulai dari yang penting sampai yang enggak penting sekali pun.
Keisha lebih muda dua tahun dariku, mungkin dia sebaya dengan Rosa. Tapi bergaul dengannya lebih baik daripada dengan Fany dan yang lainnya. Mereka spesies yang hobi gosip, kepo dengan urusan orang lain. Aku merasa tidak sejalan dengan mereka.
Tapi bukan berarti aku membatasi diri. Aku tetap berusaha menjalin pertemanan wajar dengan mereka, sebagaimana rekan kerja yang semestinya. Namun untuk hal-hal yang lebih pribadi, aku memilih untuk tidak terlalu dekat, apalagi untuk menggosip soal orang lain. You know, ketika kamu dan yang lain berkumpul untuk membicarakan tentang seseorang, tidak menutup kemungkinan kalau suatu saat nanti kamu akan diperbincangkan juga saat kamu enggak ada. Itu sudah pasti.
"Iya nih, enggak ada kerjaan."
"Enggak ada yang mau ditelepon?"
"Sudah semua, Sha. Tapi pada belum mau order. Maklum, masih awal bulan. Akhir bulan yang lalu masih baru pada kirim."
"Nanti diomelin Ray lagi loh."
Aku mengangguk lemah dan sedikit malas. Siang ini Ray dan Ferdi sedang keliling. Biasanya Ray juga akan menelepon untuk mengawasi pekerjaanku. Hampir tidak ada bedanya dia ada di depan mata atau hanya di seberang telepon. Marahnya tetap terasa menusuk di hati.
Terkadang anak-anak sering mendukungku dengan menjelek-jelekkan Ray, membeberkan semua karakter jeleknya. Pelit, pemarah, egois dan suka berlagak bos. Aku adalah bukti hidup korban sifat nge-bossy-nya. Paling tidak aku masih punya banyak teman yang seia-sekata tentang ini dan itu cukup menghibur.
"Eh, pak Ferdi sudah merried belum?" Keisha setengah berbisik ke arahku.
"Katanya sih belum, Sha. Kenapa?" Mataku menyipit menangkap maksud lain dari pertanyaan bisik-bisik itu.
"Nanya doang ...." Keisha tersenyum simpul.
"Nah loh, ada apa hayooo?"
"Nanya doang ih ...." Wajah perempuan manis berhijab itu pun bersemu merah karena godaanku.
"Eh, kamu hobi makan ramen kan? Ferdi juga loh. Bisa dong makan bareng."
"Kok tahu? Perasaan baru seminggu, tapi sudah ngomongin hobi?"
"Emang sudah, pas pertama datang waktu itu kita ngobrol banyak sama pak Sebastian. Tapi yang ramen itu, asli pas sabtu sebelum dia masuk, kita ketemu. Enggak disengaja. Satu meja lagi. Lucu kan? Ehhh, tau-tau dia sales baru disini," aku bercerita sambil geleng-geleng kepala seperti masih tidak percaya ada kebetulan yang demikian.
"Wah, jodoh banget kalian."
"Jodoh kepalamu! Enggak percaya sama yang begituan, Sha," kataku sukses menjitak jidat Keisha dan dia memekik kesakitan.
"Ya siapa tau saja, Kai. Sudahhh, move on daja dari si Hans itu."
Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, aku juga cerita tentang Hans ke Keisha dan dia sangat simpati atas nasibku. Setidaknya kalau aku pengen curhat di kantor, ada dia yang siap mendengarkan.
"Jahat banget sih, Sha. Gitu-gitu juga Hans kan masih pacarku," kataku sambil memanyunkan bibir.
Keisha sukses tertawa keras. Tapi tiba-tiba tawanya berhenti karena seseorang muncul di ambang pintu ruangan kami. Tanpa menoleh pun, aku sudah tahu itu siapa. Karena bulu kudukku mendadak berdiri sekarang. Eh, bukannya dia dan Ferdi kunjungan lapangan? Batinku.
"Kamu sudah selesai kerjanya?"
"Em ...." aku langsung gugup dan tidak tahu harus berbuat apa di hadapan laki-laki yang sedang bersandar di kusen pintu itu. Seisi ruangan alhasil mencuri pandang ke arahku dan dia secara bergantian.
"Kamu Ray, kayak polisi saja ...." Ibu Arni menegur sembari bercanda. Alih-alih mendengar dan menanggapi perkataan Ibu Arni, Ray malah berjalan mendekati aku dan meletakkan kertas kosong beserta pulpen.
"Kamu masih belum paham ya cara perhitungan harga nett produk kita? Customer komplain ke saya karena harga tidak sesuai dengan yang tertera di invoice."
Aku sangat terkejut dan membalas tatapan Rayshaka dengan takut-takut.
"Sebelumnya maaf, Pak. Boleh tahu customer yang mana? Setahu saya, setiap kali menginformasikan harga, saya sudah pastikan benar tidaknya."
"Lingga Trader. Pak Hasyim bilang orderan tisunya yang terakhir tidak ada untungnya. Malah rugi."
"Maaf Pak, saya cek report saya sebentar," ujarku. Aku dengan cepat membuka file report harian dan mencari nama customer yang dimaksud Ray. Aku tidak terima seenaknya dituduh salah kasih harga.
"Ini, Pak. Saya menginformasikan harga ini dengan jelas."
Ray sejenak memperhatikan layar komputerku dan perlahan wajahnya melembut. Seisi ruangan masih tergoda untuk curi-curi pandang. Ibu Arni bahkan ikut melihat komputerku sanking penasarannya.
"Kamu info by call atau WhatsApp? " tanya Ray lagi.
"By phone, Pak," jawabku pelan.
"Kai, lain kali pastikan lagi lewat WhatsApp dan screenshoot sebagai bukti. Kalau customer kamu complain lagi, kita bisa lawan dengan bukti. Agar tidak terulang seperti ini lagi." Ibu Arni menimpali penuh iba.
Ray menatapku dengan tatapannya yang khas itu. Masih dengan kedua tangan yang didekap di dada. Sangat jelas aura kesombongan menguasai laki-laki itu.
"Mengerti?" dia bersuara lagi. Aku mengangguk pelan dan membalas tatapannya dengan yakin.
"Ya sudah. Sekarang kamu telepon pak Hasyim dan klarifikasi," katanya dengan enteng. Kemudian berlalu dari ruangan admin bahkan sebelum aku menjawab 'iya'.
*****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!