Buku ini aku tamatkan di sini secara prematur. Maaf ya karena membuat kalian kecewa. Kalian bisa cek IG @novelnarazwei atau page FB narazwei untuk cek pengumumanku tentang ini, juga tentang cerita Jose yang baru di sana, judulnya Avarice (kisah dia kutulis dalam versi lain, jadi yang ini nggak ada kelanjutannya). Terima kasih banyak atas dukungan kalian selama ini. Mohon maaf banget kalau aku mengecewakan.
Bisakah hantu membunuh?
Ada cerita-cerita dan bisikan, ada rumor, tapi hanya sebatas itu. Blake Krücher tidak pernah melihat hantu membunuh. Ia bahkan tidak pernah melihat hantu. Itu kalau bayangan-bayangan dingin yang terlihat di sudut matanya dan menghilang setiap ia menengok tidak dihitung sebagai hantu.
Blake merasakannya lagi, perasaan bahwa ia tidak sendirian. Seseorang di belakangnya, tapi itu bukan manusia. Setiap manusia selalu punya hawa yang khas. Tumbuh besar di Redstone, bergulat dengan tiap manusianya mulai dari yang paling kotor sampai paling bersih, membuat Blake bisa mencium hawa keberadaan manusia dan merasakannya bahkan dari jarak beberapa meter jauhnya.
Yang ini bukan manusia.
Blake menoleh ke belakang dengan tiba-tiba, hanya menemukan jalan becek yang lengang di malam hari, satu gelandangan yang tidur di bawah gerobak, serta perempuan penghibur yang lewat sambil berbisik-bisik dengan rokok lintingan di sela jari. Tidak ada yang aneh.
Konyol, pikir Blake sambil menggeleng, berusaha mengenyahkan perasaan tak nyaman yang melandanya dengan mencemooh diri sendiri. Ia berbelok ke tikungan di sebelah kanan dan mempercepat jalan menuju kedai yang dikenal semua orang—yang tuaknya murahan, tapi tempatnya selalu ramai karena harganya yang murah. Semua orang tahu Todd mengoplos tuak dengan cairan entah apa dan menaikkan dasar gelas untuk membuat minuman kelihatan penuh, tapi tak ada yang terlalu memedulikannya. Di Stonard, kedai minum miliknya yang paling murah dan Todd membayar jasa perlindungan pada Blake tiap minggu—bahkan pada saat kedai sepi dan tak ada laba. Itu sudah cukup.
Kedai yang dimaksud terletak di jantung Stonard, membelakangi kanal dangkal yang berlumpur. Bangunan tersebut terdiri dari dua lantai dengan tambahan satu ruang bawah tanah dan satu loteng yang ditutup dengan atap kubah model Roma. Dua patung Qilin berjaga di kiri dan kanan pintu. Siapa pun yang dulu mendesain tempat ini mungkin merasa dirinya eksentrik, Blake berpendapat orang itu tuna selera. Namun di sinilah tempatnya pulang sekarang. Ini rumahnya yang ia beli dengan sekantung dukat emas pertama yang didapatnya ketika berumur empat belas tahun.
Begitu Blake memasuki pintu ganda, suasana berubah dalam kedai. Orang-orang yang tadinya mabuk menjadi sadar dan yang masih sadar melirik ke arahnya dengan waswas. Sambutan itu sudah biasa bagi Blake. Malahan, ia puas karenanya. Semua orang memang sepatutnya bergetar takut setiap ia lewat. Begitulah seharusnya seorang pemimpin geng Abysmal.
Todd menyapanya dari balik meja bar, menawarkan sesloki tuak. Blake hanya berkata, "Nanti saja," lalu berjalan lurus ke arah tangga logam berpilin yang menuju lantai dua.
Jika lantai satu berbau tuak murah yang menyengat hidung, muntahan, serbuk abu, kayu basah, serta selokan, lantai dua benar-benar seperti surga. Wangi lavender, tinta basah, dan bubuk kopi hasil jarahan menyambut Blake.
Di lantai dua yang menunggunya hanya Lucy. Gadis itu berumur enam belas tahun, dua tahun lebih muda dari Blake. Rambut cokelatnya yang gelap diikat rapat dan rapi tanpa meninggalkan sehelai pun di sisi wajah. Lucy mengenakan pakaian katun dan celana panjang hitam yang ujungnya dimasukkan ke dalam sepatu bot hitam lusuhnya. Gadis itu duduk di sofa panjang di pinggir jendela, sedang menyesap kopi panas di gelas beling.
"Mana Devon?" Blake melepas topi pet yang ia kenakan dan menyisir rambut hitam lembapnya dengan jari.
"Belum kembali sejak tadi." Lucy mengangkat kedua bahunya yang mungil. Matanya mengamati Blake yang sedang menuang segelas air putih. Setelah diam beberapa detik, gadis itu tiba-tiba menceletuk, "Aku masih berpikir kau seharusnya menjual relik itu kemarin, Blake."
Blake mereguk air dalam gelas sampai habis. Ia menoleh, balas menatap Lucy tanpa emosi. "Kau ingat aku pernah minta pendapatmu, Luce? Karena aku tidak ingat."
"Pemilik sebelumnya mati terbunuh."
"Oleh manusia," sahut Blake tangkas. "Dan aku sendiri bukan ingin memiliki relik itu. Aku cuma menyimpannya."
"Sampai kapan?"
Blake suka berdebat dengan Lucy, tapi tidak suka menceritakan apa saja rencananya, jadi ia tidak menjawab. Matanya justru terarah pada jendela di belakang Lucy, menatap bayangan hitam yang melompat dari atap ke atap mendekati rumah kubahnya.
Lucy mengikuti arah pandang Blake dan menyapa bayangan hitam yang mendarat pada birai jendela. Itu Devon. Dia yang paling tua dari mereka bertiga. Umurnya dua puluh tahun. Demi kepraktisan bergerak di malam hari, Devon selalu mengenakan pakaian serba hitam. Kali ini lelaki itu mengenakan celana hitam ketat dengan kaos katun yang dilapis jaket hitam bertudung. Rambut cokelat gelapnya dipotong cepak supaya tidak menghalangi mata.
"Sebenarnya jalan masuk itu namanya pintu, bukan jendela," gurau Lucy ketika Devon melompat masuk ke dalam kamar.
Devon mendarat dengan mulus di lantai kayu tanpa suara. Ia tertawa. "Bagi pencuri, jendela adalah pintu masuk." Sekarang ia berpaling pada Blake dengan cengiran miris. "Marquis yang baru menaikkan pajak untuk tuak dan lager."
"Aku tahu," tukas Blake datar. "Itu bakal jadi masalah yang dipikirkan Todd, bukan kita. Cuma itu yang kau dapat setelah seharian pergi?"
"Sabar dong. Kau habis menelan kereta atau bagaimana? Buru-buru sekali." Devon mengempaskan tubuh rampingnya ke sofa di sisi Lucy. "Bakal ada sepeti dukat emas untuknya datang dari Aston, diantar dengan kereta kuda yang disamarkan jadi kereta barang."
Blake mengerutkan kening. "Dukat emas? Untuk apa? Dari siapa?"
Devon menggeleng. "Yang itu, aku tidak tahu. Tapi aku mendapat infonya dari orang dalam. Orang terpercaya."
Blake tidak meragukannya. Ia tahu bisa mengandalkan Devon. Selama ini informasi yang dikumpulkannya selalu benar. Namun Blake tetap saja merasa ada yang ganjil. Biasanya marquis baru tersebut tidak memberi celah. Apakah ia memandang terlalu tinggi sang marquis?
"Kapan keretanya datang?" tanya Lucy.
Devon menggosok telapak tangan dengan senyum gelisah. "Besok," jawabnya. "Besok sore."
"Itu mendadak sekali," komentar Blake, mengerti kenapa Devon terlihat merasa bersalah. Tambang emas seperti ini seharusnya tidak terlewatkan dari radar Devon.
"Marquis yang ini sangat berhati-hati," Devon beralasan. "Dia selalu bergerak tiba-tiba seolah tidak direncanakan padahal ternyata sudah menyiapkan segala hal. Kau ingat semua orang mengira dia sedang bermalas-malasan lalu tahu-tahu perbatasan dipagari?"
Blake duduk di salah satu kursi kayu di samping nakas. Awalnya semua orang berpikir marquis yang datang tak akan ada bedanya dengan orang sebelumnya, yang akan mengurung diri di kastil sambil minum dan main perempuan lalu hanya setor muka ke publik sekali-sekali. Namun Jose Argent bekerja dengan serius. Mengabaikan protes banyak orang, Jose membetulkan banyak sarana publik dan membangun jalan mulai dari pusat Redstone. Perbatasan dengan negara tetangga diperketat, hal yang menyulitkan banyak penyelundup dan menjadikan Jose dibenci kalangan gelap Redstone. Meski membangun banyak hal, yang dikerjakannya tentu saja tidak gratis. Jose menaikkan pajak dan mengumpulkan pundi-pundi dengan rajin, membuatnya makin dibenci makin banyak orang.
Namun sekolah, waduk, jembatan, jalan, tidak mungkin semua itu bisa dibangun dalam setahun hanya bermodal anggaran dari Aston serta uang pajak. Blake memang sudah menebak ada kucuran dana tambahan, mungkin Jose meminjam dari keluarganya di Argent. Selama setahun ia berusaha melacak dari mana uang Jose. Jika tebakannya benar, dari kereta besok ia bisa mendapatkan lebih banyak jejak—juga emas.
"Lewat jalan mana? Berapa orang yang akan mengawal keretanya?" Mata Blake terangkat ke arah Devon.
"Kurang dari lima puluh." Devon tersenyum. "Mereka melakukannya setiap bulan, mengambil rute yang berbeda-beda, tapi kali ini mereka akan lewat jalan yang aman. Jalan Emas."
Jalan Emas adalah jalan utama yang menghubungkan Redstone dengan Aston. Dinamakan begitu karena dulu keluarga kerajaan pernah menjatuhkan emas atau sesuatu yang lain, Blake tidak ingat dongengnya. Yang sedang dipikirkannya sekarang adalah rute Jalan Emas. Akan ada persimpangan jalan yang menghubungkan dengan pegunungan tandus Stone Mountains. Mereka bisa menyergap dari situ, tapi lawan mereka pasti orang-orang terlatih yang mahir. Ia perlu gambaran yang lebih konkrit lagi.
Bisakah hantu membunuh?
Entah kenapa, pertanyaan Lucy kemarin terngiang kembali ketika mata hitam Blake membentur iris cokelat gelap gadis itu. Blake memejamkan mata agak lama kemudian membukanya kembali dengan sorot keras. Sekarang bukan waktunya memikirkan soal hantu. Sekarang waktunya memikirkan sepeti penuh dukat emas.
"Siapa informanmu kali ini?" Blake bertanya.
Devon mengerutkan kening. Itu bukan pertanyaan yang biasa diajukan padanya. "Kau tidak percaya padaku?"
Blake bisa saja menjelaskan bahwa ia hanya berhati-hati, bahwa perasaannya tidak enak sejak awal dan ada rasa ganjil yang mengganggunya sejak awal ia mendengar berita soal dukat emas ini, ia bisa saja berkata bahwa yang tidak dipercayainya bukan Devon tetapi Jose Argent. Namun Blake hanya mendengus.
"Semua orang berbohong," tukasnya dingin. "Kalau mau percaya, aku akan pergi ke gereja, bukan berkeliaran di Stonard dan membuat Abysmal."
***
Maria tahu bahwa meski sama sekali tidak menunjukkannya, Jose pasti lelah. Lelaki itu baru saja pulang dari perjalanan jauh ke Bjork. Maria benar-benar merindukannya. Ia merindukan bagaimana tangan mereka bertaut, ia rindu merasakan rambut hitam berombak itu di jarinya, ia merindukan rasa kulit mereka bertemu. Ia berharap mereka akan menghabiskan waktu bermesraan setelah seminggu berpisah.
Namun pada Maria yang menyambut dengan senyum gembira, Jose hanya memberi pelukan singkat dan mengecup keningnya sekilas lalu buru-buru berlalu ke kamar kerja di lantai dua untuk menelepon setelah Edwin, kepala pelayan mereka, datang membisikkan sesuatu.
Meredam kekecewaan, Maria masih mencoba mengerti. Mungkin pemilihan waktuku buruk, mungkin ada urusan penting. Tidak ada yang perlu diributkan. Ia menyusul ke lantai dua sambil membawa teh herbal seduhannya sendiri, berharap mereka bisa mengobrol sebentar sebelum tidur. Jose sudah selesai menelepon, tapi sekarang sedang membaca surat-surat yang datang sejak pagi untuknya. Surat sialan itu selalu datang menumpuk. Kebanyakan hanya berisi undangan pesta, undangan makan malam, atau basa-basi meminta uang. Kebanyakan tidak terlalu penting, tapi Jose tetap membaca semuanya dengan disiplin.
Sambil berjalan, Maria mencuri pandang ke arah bayangannya yang terpantul pada kaca lemari, memastikan penampilannya malam ini sedap dipandang. Ia mengenakan gaun tidur baru. Bahannya lembut dan tipis, membuat garis tubuhnya yang langsing tampak jelas. Rambut cokelat madunya ikal ia ikat tinggi, membuat leher putihnya terlihat lebih jenjang. Ia juga memoleskan sedikit wewangian samar di belakang telinga dan di belahan dada.
"Sayang," sapanya manis sambil meletakkan cangkir teh di meja kerja. Maria tidak bisa mencium aroma parfumnya sendiri karena hidungnya sudah terbiasa, tapi ia yakin wangi itu masih ada. Ia harap masih ada. "Kubuatkan teh chamomile. Istirahatlah dulu."
"Nanti saja," sahut Jose tanpa mengangkat wajah dari surat di tangannya. "Aku perlu memilah dan membalas beberapa surat sebelum makin menumpuk. Tidurlah duluan."
Tidur duluan?! Bagaimana bisa? Maria ingin merentetkan protes, menarik Jose sekarang juga, memberi tahu lelaki itu bahwa ia sangat merindukannya. Namun Maria menahan diri, tidak ingin membuat suasana hati Jose terganggu. Mereka tidak sempat mengalami bulan madu, bahkan tidak ada yang namanya bulan madu karena seminggu setelah mereka menikah, proyek kincir angin yang dibuat Jose dirusak geng-geng vandalis dan lelaki itu jadi sibuk mengurusnya.
Redstone mengalami kekosongan kekuasaan terlalu lama, membuat pemimpin-pemimpin kecil lahir dalam bentuk geng-geng liar. Mereka merampok, menjarah, membuat kerajaan mini di Redstone, merampas dagangan dan merampok lumbung-lumbung, menarik pungutan liar dan uang perlindungan dari beragam kedai dan rumah-rumah biasa, memberi Jose kesulitan membangun Redstone.
Belum genap setahun sejak Jose mengambil alih Redstone atas perintah Ratu, tapi kebijakan dan pembangunan yang dibuatnya begitu banyak. Menggusur rumah-rumah tanpa izin bangun, merelokasi hunian yang telah lama dibangun, semua ia lakukan tanpa peduli kumpulan orang yang menangis di kakinya atau mengamuk karena tak punya tempat tinggal lagi. Jose juga menaikkan pajak, membangun jalan dan kincir-kincir angin yang dicemooh banyak orang karena dianggap tak berguna. Dalam kekecewaan dan kemarahan, kincir-kincir tersebut dirusak dan dihancurkan sebelum sempat berfungsi. Aksi vandalisme baru berhenti setelah orang-orang Jose menangkap beberapa pelaku utama dan mematahkan tangan mereka di depan umum sebagai tontonan.
Sedikit yang sempat melihat Jose secara langsung. Lelaki itu terlalu sering pergi ke sana-sini sedangkan orang-orang selalu menghindari dan baru keluar setelah kereta kudanya lewat hanya agar bisa meludahi jejak yang ditinggalkannya.
Maria tahu kebanyakan penduduk menebak Jose adalah pria uzur berwajah pucat dan berpakaian perlente seperti tuan tanah Redstone yang sudah-sudah.
Jose Argent adalah mayat hidup dari Bjork, mungkin karena rumor itulah kebanyakan penduduk Redstone mengira Jose sudah tua, padahal Jose baru berumur dua puluh empat Agustus tahun ini, setahun lebih tua dari Maria. Mayat hidup memang sering dikaitkan dengan nama Argent karena peristiwa sebelumnya di Bjork.
Rasanya seperti baru kemarin semua masalah dengan iblis di Bjork selesai, pikir Maria. Ia masih diam di depan meja kerja Jose, memandangi garis rahang tegas suaminya, posturnya yang ramping dan tegap, serta mata hitamnya yang tekun membaca surat. Maria memahami bahwa Jose benar-benar ingin memenuhi ekspektasi yang diberikan Ratu.
Meski berasal dari keluarga bangsawan tua yang terhormat, Jose sendiri awalnya bukan ningrat dan tidak punya gelar apa-apa. Hanya anak keempat. Namun Jose melakukan keajaiban di Kota Bjork, keajaiban yang membuat Ratu membuat taruhan besar dengan memberi gelar marquis pada Jose, menuntutnya untuk membetulkan Redstone.
Maria tahu bahwa taruhan itu jelas bukan hal yang ringan. Jose dengan sukarela menceburkan dirinya ke dalam lumpur di Kerajaan Albion Raya, menjadi bangsawan gelap yang mengurusi hal-hal kotor di balik layar.
Karena itulah Maria berusaha mengerti pengabaian Jose barusan. Bahkan meski ia setengah mati merindukan kehangatannya di tempat tidur. Bahkan meski ... ia menggigit bibir, menyuruh kepalanya berhenti mengasihani diri sendiri.
"Baiklah. Kutunggu di kamarmu, ya?" Maria belum menyerah, masih berharap Jose mengerti isyaratnya. Jika mereka tidak bisa bermesraan malam ini, setidaknya ia ingin ditemani dan dipeluk saat tidur.
Jose menggeleng. "Tidak perlu menungguku. Sebentar lagi aku mau pergi ke luar, Luke bilang—" Lelaki itu berhenti ketika mengangkat wajah. Ekspresinya membeku sedetik. "Eh ... Mary? Kenapa?"
Awalnya Maria tidak mengerti maksud pertanyaan itu. Kemudian ia bisa merasakan pandangannya buram dan air matanya meleleh panas.
Jose segera bangkit dari meja kerjanya dan berjalan mendekat, mengusap basah di pipi Maria. "Kau sakit?" bisiknya cemas. "Ada masalah? Seseorang mengganggumu? Siapa?"
Dari jarak sedekat ini pun Maria bisa merasakan kehangatan tubuh Jose, hawa panas yang diinginkannya, aroma yang ia rindukan.
"Tidak ada orang yang menggangguku, tidak apa-apa," gumam Maria cepat. Jantungnya berdegup cepat dalam antisipasi. Ia mengusap air matanya dengan punggung tangan. "Ini karena ... a-aku sedikit kangen."
Sedikit? Maria menertawakan dirinya sendiri dalam hati. Yang dirasakannya bukan sedikit. Ia merindukan Jose setengah mati sampai rasanya sakit. Bagaimana bisa perasaan menyakiti secara fisik? Aneh sekali. Namun memikirkan hal tersebut malah membuat Maria kesal sekarang. Ia kesal karena Jose tidak mengerti. Ia kesal karena Jose tidak mau meluangkan waktu untuknya meski mereka akhirnya menikah dan baru bertemu lagi setelah seminggu berpisah. Ia kesal karena Jose tidak peka. Dan yang paling membuat Maria jengkel adalah dirinya sendiri karena meski marah pada Jose, ia tetap berharap lelaki itu akan membujuk dan menenangkannya.
"Kau menangis karena kangen padaku?" Jose memastikan.
Maria mengangguk dua kali sebagai jawaban.
"Hanya itu?"
"HANYA?!"
Jose mengerjap kaget, jelas-jelas tak mengerti apa yang salah. "Yah ... maksudku, kalau masalahnya hanya kangen, itu bukan hal besar kan?"
Bukan hal besar! Maria tertawa. Suaranya bergemerincing manis. "Baiklah, my lord," katanya sambil mundur selangkah dan bersedekap dengan defensif. Bibirnya bergetar ketika memaksakan diri tersenyum. "Kalau perasaanku sekadar 'hanya' bagimu dan bukan masalah besar, aku mengerti. Sangat mengerti."
"Mary, kau kan tahu maksudku bukan begitu."
Para pria dari keluarga Argent memang tidak peka, Maria sudah diperingatkan sebelumnya. Ia dan Jose berteman sejak kecil, jadi ia juga mengenal bagaimana cara kerja lelaki itu. Nanti, setelah semua urusannya selesai, barulah Jose akan menemuinya untuk menikmati waktu bersama. Namun Maria tadinya berharap mereka akan bercengkerama sebentar karena sudah seminggu tidak bertemu. Ia berharap setelah mereka menikah akan ada perlakuan yang lebih spesial.
"Selamat malam," pungkas Maria dengan sisa harga dirinya. Ia berbalik cepat dan berjalan keluar kamar kerja, makin kecewa ketika Jose tidak mengejar.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!