Pasti ada yang salah!
Aku meringis melihat nilai ulangan matematika kemarin. Ini gila! Semua materi yang muncul sudah dipelajari hingga dini hari. Jadi bagaimana bisa nilai di kertas ini jadi 10/100?
Oke, baiklah aku mengaku. Tiga puluh menit aku pakai belajar dan sisanya aku sibukkan membaca buku novel di kamar sampai tengah malam. Namun, seharusnya aku bisa mendapat nilai di atas rata-rata.
Demina pasti akan menertawakan aku atau malah menceramahi tentang pentingnya ikut ekskul Math Club. "Ini akibat kamu bolos ekskul."
Demina, salah satu orang yang paling dekat denganku. Kami bersahabat, tapi perbedaan kami sangat jauh. Termasuk peringkat kelas. Dia menduduki peringkat paling awal, sedangkan aku paling akhir. Dia itu aktif, aku sendiri pasif. Jauh beda, 'kan? Namun, kami tidak bisa jika tidak bersama. Rasanya selalu ada yang kurang. Teh manis tanpa gula jadinya teh pahit, itulah kami.
Aku melipat kertas ulangan asal-asalan, yang penting bisa masuk ke kantong rok biru. Bahaya kalau ada yang lihat. Kelas tujuh masih dimulai dua jam lagi, jam 13:00 WIB. Serius enggak ada enaknya sekolah di siang bolong sampai jam 17:00 WIB.
Terus untuk apa aku di sini? Pertanyaan bagus! Aku ke sekolah cuma ingin ngambil nilai ulangan lebih awal dari Bu Farah. Lalu ke perpustakaan sebentar untuk mengembalikan buku yang kemarin dan ditukar dengan bacaan baru. Oh, jangan lupa aku juga akan meminjam buku novel. Kali ini fantasi, bosan baca drama terus. Hidupku sudah penuh dengan drama sejak bertemu ulangan matematika.
Perpustakaan ada di atas, berarti aku harus naik tangga di ujung koridor kanan. Butuh sepuluh menit sampai kalau jalan biasa. Lima menit kalau jalan cepat. Tapi bisa lebih kalau mampir ke kantin di sebelah tangga.
"Nadira," tegur suara berat Pak Hisam, guru IPS menggema di koridor. Pasti karena sepi suaranya jadi menggelegar, bukan karena aku buat gara-gara lagi.
Aku berbalik arah, alih-alih kaku. Berjalan seperti layaknya anak-anak pramuka yang sedang melakukan PBB, takut kalau Pak Hisam ingin menghukum. Padahal aku memang tidak berbuat salah.
"Ada apa, Pak?" tanyaku.
Pak Hisam kelihatan membawa beberapa tumpukan buku paket pelajaran. Mungkin ada 10-15 buku, aku enggak bisa tebak. "Bapak tahu kamu mau ke perpus, kan? Sekalian saja titip buku-buku sejarah ya. Tolong ya, simpan di tempat biasa."
Aku tertegun mendengar ucapan Pak Hisam yang memperhatikan kebiasaanku ke perpustakaan tiap belum masuk kelas. Sadar kedua tangan besar itu mengulur ke arah tanganku. Aku menerimanya. Lalu tidak lama, Pak Hisam pergi dengan langkah cepat ke koridor yang terhubung dengan kelas delapan.
Aku tidak mau menunggu lama lagi, jadi aku segera menaiki anak tangga setelah melewati kantin di sebelahnya. Ada satu hal yang unik dari tembok yang membatasi luasnya tangga. Tembok dicat dengan sedemikian rupa, dengan nuansa bhineka tunggal ika. Ketika berada di satu tangga terakhir, pemandangan indah dari langit biru dengan suara bising dari salah satu ruangan.
Di sekitar koridor atas ada beberapa tanaman hias yang di gantung dekat dinding kelas. Cuma berbeda sepuluh sentimeter jaraknya dengan pintu kelas, bisa mencegah ada yang jahil nantinya. Namun, tanaman yang dipajang cukup indah dan memanjakan mata.
Aku menaikkan sedikit pegangan pada buku paket. Sebentar lagi sampai, tepat satu meter lagi, tinggal simpan sepatu di samping pintu perpustakaan lalu masuk. Mudah sekali.
Sayangnya itu cuma ada di dalam pikiranku. Entah mungkin karena nilai tes matematika kemarin sangat tidak memuaskan ataupun karena memang tidak ada orang di dalam; perpustakaan ditutup. Bukan, bukan dikunci. Jadi aku tetap memutuskan masuk, tentunya setelah menyimpan sepatu.
Krieet.
Pintu kayu berlapis cat cokelat baru saja terbuka. Kepalaku lebih dulu tampak ke dalam, mencari penjaga perpustakaan. Tapi tidak ada siapa pun. Mungkin jika aku menyapa akan ada yang datang.
"Permisi."
Belum ada jawaban.
"Permisi, Miss Ann? Saya izin masuk."
Baru aku melangkahkan satu kaki masuk ke perpustakaan, ada suara yang menyahut.
"Boleh kok."
Aku nyaris menjatuhkan seluruh buku sejarah. Beberapa buku yang lolos dari peganganku menimbulkan suara gaduh, khususnya pada perpustakaan yang sepi pengunjung. Aku memilih menoleh ke belakang, ada guru muda dengan rambut disanggul sambil membawa sebuah buku yang tebalnya melebihi buku paket. Guru itu Miss Ann, penjaga perpustakaan sekaligus guru bahasa inggris.
"Maaf, Miss ... aku enggak sengaja jatuhin buku. Soalnya aku lihat di perpustakaan enggak ada siapa-siapa." Miss Ann hanya tersenyum lalu meminta aku untuk membereskan kekacauan yang kubuat. Tentu aku menurutinya dan menyimpan buku di tempat seharusnya. Namun, diam-diam aku penasaran dengan buku yang Miss Ann bawa.
Miss Ann berhadapan kembali dengan meja yang di atasnya berisi beberapa jam. Penjaga keamanan dan ketertiban buku tersebut memang gemar memperbaiki jam—katanya— sekalian menunggu siswa ke perpustakaan daripada hanya duduk-duduk saja. Aku mendekatinya, mungkin Miss Ann perlu bantuan. Tentu dengan sukarela tidak butuh balasan apa pun.
"Ah ... jam ini benar-benar rusak," keluh Miss Ann. Aku tidak melihat ada kerusakan apa pun di sana. Jam berwarna biru bercampur ungu dan terdapat corak bunga-bunga. Indah. Sangat indah. Lalu dari sisi mana yang rusak? Kecuali mesin yang kemungkinan sudah tua.
Miss Ann mendorong pelan jam tersebut setelah memasukkannya ke dalam kotak.
"Miss? Ada yang bisa aku bantu?" Aku melihat Miss Ann menatapku dan mengangguk Dia menyerahkan kotak tadi untuk aku letakan di atas lemari dekat pintu masuk.
Aku berjalan sambil meneliti jam cantik tersebut. Lagipula tidak ada siapa-siapa selain aku dan Miss Ann—
Bruk!
—aku cabut kata-kataku tadi. Entah siapa yang sudah aku tabrak, hingga jam berpisah dengan kotaknya di lantai. Hidungku juga sakit karena menabrak. Tidak ada waktu untuk menggerutu! Aku segera mengambil jamnya.
Jam yang aku pegang tiba-tiba mengeluarkan cahaya, silau, aku tidak bisa melihat apa yang terjadi. Pendengaranku masih berfungsi baik setelah mendengar suara Miss Ann berkata dengan nada setengah tertahan di tenggorokannya. "Bagaimana bisa?!"
"Di mana aku?" Miss Ann dan satu orang lainnya berkeringat dingin. Mata mereka membelalak terkejut melihat tubuhku. Sejujurnya aku juga, bahkan lebih terkejut.
Aku tidak bisa menggerakkan apa pun. Namun aku bisa merasakan seseorang mengendalikan tubuhku. Jari tangan dilihatnya intensif, entah mengapa. Lalu melihat kedua orang di sana tampak akrab.
"Ini tidak bisa dipercaya! Hana ... kamu kembali?" Apa? Mereka memanggilku Hana? Siapa dia? Percuma saja, semua pertanyaanku tidak mungkin keluar dari bibir sendiri.
Sebaliknya ujung bibirku menarik senyum. "Sepertinya, begitu, Ann."
"Tapi, ini tidak mungkin. Kenapa harus Nadira?" tanya suara berat yang sepertinya sangat aku kenal. Dia ... Radja. Wakil ketua kelasku, sekaligus orang yang dikatakan paling menyebalkan seantero jajaran kelas satu. Eh, kenapa Radja juga tahu soal Hana?
"Oh, jadi anak yang sejak tadi banyak pertanyaan di dalam kepala ini namanya Nadira? Bisakah kamu lebih tenang di dalam sana?" ucapnya padaku.
Tunggu dulu, memangnya ini tubuh siapa? Geram!
"Ann ... kenapa kamu menyiapkan wadah reinkarnasi seperti ini untukku? Dia sangat berisik. Apa kalian tidak memberitahukan padanya kalau tubuh ini milikku sekarang?" Angkuh benar! Sejak kapan pula hak milikku dengan mudahnya dia ambil? Bukankah HAM dimiliki semua orang?
"Hana ... kamu salah pahan," bisik Miss Ann dengan lirih. Kedua mata wanita itu begitu lembut tetapi lembap, seakan-akan tetesan bening dapat mengalir dari sana. Bibirnya bergetar seolah orang yang mengendalikan tubuhku cukup berbahaya. Radja tidak bergeming, tidak ada lagi sepatah kata yang keluar dari mulut itu. Lalu Miss Ann melanjutkan kata-katanya, "Nadira bukan reinkarnasi ataupun wadah sementara kamu. Dia hanya murid biasa tanpa kekuatan. Benar, kejadian hari ini di luar dugaan."
"Jadi ini kesalahan teknis? Ya, sepertinya benar. Nadira jauh dari kriteriaku, kalau berperang menggunakan satu atau dua jurus saja tubuhnya bisa hancur." Kasar memang, walaupun aku tidak paham tetapi aku menyetujuinya. Buat apa juga aku membantu dirinya? Berperang pula! Pasti akan menyusahkan.
Miss Ann mengerutkan dahi, telapak tanganya menghentikan apa yang menjadi niat Hana. Rasanya dia belum mengucapkan niatan apa pun. Namun, Miss Ann seakan tahu apa yang ingin Hana lakukan. Sayang meskipun aku berteriak, tidak ada yang dapat mendengarnya kecuali dia.
"Hana, tidak ada waktu lagi ... Walaupun Nadira bukan reinkarnasimu, kita membutuhkan jasanya. Kamu tahu, Azumi telah kembali," lirih Miss Ann. Aku tidak mengenalnya, sama sekali tidak. Memang apa hubungannya Azumi, Hana dan jasaku?
Aku yakin Hana mendengarkanku. Dia lebih banyak diam dibandingkan sebelumnya. "Aku rasa Nadira kebingungan, Ann."
"Biar aku yang menjelaskan pada Nadira. Lalu, bagaimana cara kalian bertukar jiwa lagi? Maksudku, agar Nadira di sini dan kamu di dalam," jelas Radja. Aku termenung di dalam tubuhku sendiri, aneh, aku tahu. Hana mengangkat bahu, tapi dia mencoba menutup mata. Tiba-tiba saja aku merasa ditarik. Tanganku, kakiku, seluruh tubuhku seolah ditarik ke atas!
Saat membuka mata, di hadapanku berdiri Radja dan Miss Ann yang memandang khawatir. Aku coba menggerakkan tanganku, melambai-lambaikannya sampai kedua dahi insan di hadapanku berkerut, kebingungan. Aku kembali. Aku kembali dan dapat menggerakkan tubuhku sendiri.
"Kamu lagi apa, Dira?" tanya Radja bingung.
Bukannya menjawab, aku malah menatapnya. "Tadi itu apa? Siapa Hana? Kenapa aku tidak bisa mengendalikan tubuhku seolah-olah aku terkunci di dalam tubuh sendiri?"
"Nadira, jam istirahat pertama ke perpustakaan lagi ya? Miss akan menjelaskannya untukmu." Aku kecewa. Tentu saja aku berharap untuk mendapatkan jawaban dari kejadian beberapa menit tadi. Radja bahkan tidak berkata apapun. Sebenarnya ada apa?
oOo
Harusnya waktu tidak berlalu dengan cepat. Radja mengajakku ke kelas bersama. Sial, aku baru ingat. Bagaimana aku menjelaskan tentang ulangan matematika pada Demina nanti? Masa aku harus berbohong.
Satu buku fantasi cukup tebal aku pinjam. Miss Ann mempersilakan padahal belum melihat judulnya, dan aku sendiri tertarik dengan cover bukunya. Hanya cokelat dengan tinta emas bertulis 'Twins Knight'. Pasti ceritanya menarik.
"Dira!!!" seru Demina. Dia berlari ke arahku sambil memamerkan senyum. Sayangnya, bagiku itu sangat menyeramkan. Serius, apa yang harus aku katakan?
Aku melirik ke segala arah, mencari jejak Radja di sekitar koridor kelas. Nyatanya dia sudah berlalu lalang, tidak terlihat lagi. Hanya ada Demina dan murid kelas lain yang tidak aku kenal. Sahabatku yang kelewat cerewet pasti menanyakan nilai.
"Kamu cari siapa? Ah ... gak penting! Nilai ulangan hari ini berapa? Ulangan kemarin kamu cuma dapet 50, 'kan?" Aku mengangguk menyetujuinya. Debaran jantungku tidak terkendali, sementara matanya berbinar-binar seakan mendesak untuk memberitahu.
"Dapat sepuluh," balasku cepat.
Wajah Demina berubah masam, kedua dahinya berkerut, lalu berkata, "Tunggu ... sepuluh nilai sempurna atau sepuluh dari seratus?"
"Sepuluh dari seratus, Na." Demina tidak terkejut, sebaliknya dia menutup mata dan mencoba mengatur napasnya.
Ketika matanya terbuka, itu yang paling aku takutkan. "Kok malah turun sih? Udah sekarang kamu gak boleh baca buku fiksi dulu! Duh kamu udah minjem buku lagi aja."
Demina mengambil buku novel yang aku pegang. Aku mencoba meraihnya, tapi sahabatku sudah berlari ke kelas lebih dulu. Oke waktunya negosiasi ....
"Nilai buruk, kamu tidak belajar?"
Aku mengabaikan apa yang pikiranku katakan. Oke ini terdengar sangat aneh, tapi begitu nyata. Kalau aku bercerita pada Demina, apa dia akan percaya? Dengan otaknya yang sangat logis, aku rasa tidak.
Jika bercerita dengan Naira —sahabatku selain Demina— di kelas sebelah, pasti dia lebih mengerti. Kami sama-sama dipenuhi imajinasi, aku rasa dia akan percaya. Sebaiknya setelah mendengar cerita dari Miss Ann aku akan kembali menurunkannya ke pada Naira.
"Jangan, itu sangat bahaya."
Aku sangat tidak peduli. Aku punya hak untuk bercerita. Suara itu hilang, lenyap. Namun, kepalaku sakit. Seakan ada yang mendobrak masuk ke dalam akal sehatku.
oOo
"Namanya Hana, dia ratu alam di dunia kami. Kehadirannya di masa ini hanya untuk menyelamatkan bumi dari Azumi. Dia ratu jahat yang nyaris meluluhlantakkan dunia kami." Miss Ann menatapku sungguh-sungguh. Di sampingku ada Radja yang menyibukkan dirinya dengan buku sejarah.
"Jadi maksud kalian aku memiliki alter ego?" tanyaku, tapi Miss Ann menggeleng.
Radja menoleh. "Maksudnya, roh Hana hinggap di tubuhmu untuk sementara sampai kami menemukan reinkarnasinya."
"Tapi dia bisa menggerakkan tubuhku! Mengurung aku di dalam tubuh sendiri. Ini gila!" kilahku. Aku tidak habis pikir dengan mereka, juga orang bernama Hana yang hinggap di tubuhku.
"Itu pula menjadi pertanyaanku. Selama lebih dari 500 tahun aku mencari reinkarnasinya dan mencoba ke manusia biasa sepertimu, tapi hasilnya sangat berbeda darimu. Dengan mata kepalaku aku melihat mereka jadi gila, atau bahkan meninggal dunia begitu saja. Aku mohon, bantu kami, Dira." Aku mengerutkan dahi, antara percaya dan tidak percaya. Tidak masuk akal.
"Aku tidak mau terlibat pada konflik orang lain. Lalu, ini sangat ...." Sulit bagiku melanjutkan kata-kata. Debaran jantung berdetak lebih cepat, terlalu takut untuk mengungkapkan jika ini tidak masuk akal.
"Perlu bukti?" tanya Radja padaku. Dia tidak perlu menunggu apa jawaban yang akan aku berikan.
Anak laki-laki itu menutup buku, berhadapan denganku. Radja menyuruh aku melihat telapak tangannya, tidak ada apapun di sana. Aku baru saja akan tersenyum tapi sebuah kumpulan cahaya berwarna biru berkumpul di atas telapak tangannya.
Mataku melebar, mulutku terbuka tidak percaya. Aku mencoba menyentuhnya. Ada hawa panas dan rasa menyengat yang membuat tubuhku sakit. Aku tidak percaya jika hal itu nyata!
"Bagaimana? Kamu sudah percaya?" tanya Radja lagi. Aku tetap terdiam, rasanya sulit bagiku untuk percaya.
"Aku ... beri aku waktu untuk berpikir! Ini benar-benar di luar logika dan bahkan melebihi imajinasi!" balasku pada keduanya. Radja mengangguk sementara Miss Ann menggigit bibir bawahnya.
Aku menunggu salah satunya bersuara. Baik Radja ataupun Miss Ann tidak ada yang menanggapi. Aku melangkah pergi dari perpustakaan sebelum akhirnya Miss. Ann mengeluarkan suara lagi, "Baiklah, Nadira. Hanya satu minggu. Kami harus segera bertindak."
Aku diam. Satu Minggu ... cukup apa?
Waktu bagiku untuk berpikir dimulai sejak aku keluar dari perpustakaan saat istirahat pada sore hari. Orang bernama Hana di dalam tubuhku tidak sedikit pun memaksakan kehendaknya. Namun, semua ini masih di luar logika manusia normal. Apa aku harus percaya?
Jam pelajaran terakhir baru saja selesai dan aku menunggu Demina. Dia janji akan mengembalikan buku cerita yang direbutnya dariku. Aku melihat penunjuk waktu pada dinding kelas, tepat di atas papan tulis. Pukul 18.05 WIB, ini sudah lewat sepuluh menit dari jadwal pulang biasanya. Aku mengembuskan napas dan masuk lagi ke kelas.
"Demina, kenapa lama banget? Aku udah lumutan nih," tanyaku pada gadis di ujung sana. Bahunya bergetar, apa dia menangis? Aku tidak tahu.
Perlahan aku mendekati dan memegang pundaknya, barulah dia membalas dengan nada yang begitu lirih, "Dira ...."
Demina berbalik menatapku. Kedua tangannya memeluk buku fantasi yang kupinjam. Dia menyerahkannya begitu saja, tanpa berucap ataupun mengomel padaku.
"Dengar, Dira. Aku mau minta maaf jika selama ini aku selalu memaksamu dalam segi pelajaran. Terima kasih telah menjadi sahabatku." Aku semakin tidak mengerti. Tangannya belum juga lepas dari buku. Aku memandangnya heran; dia sukses membuat perasaanku tidak enak.
"Kamu ngomong apa sih?" tanyaku sambil tertawa hambar, tapi dia tidak tersinggung sedikit pun.
"Aku terlaku takut," ucapnya. Aku memandang bingung ketika Demina menunduk ke bawah dan melanjutkan kata-katanya dengan lirih, "takut ketika besok terbangun ... aku sudah tidak ada lagi di sisimu, Dira."
Kenapa tiba-tiba sekali?
"Kamu aneh, jangan bilang kamu mabuk soal matematika ya? Lihat aku yang nilainya paling buruk, sangat santai kok." Aku mencoba tertawa, meredam seluruh perasaan aneh di dalam hati.
Demina ikut tertawa lepas bersamaku. "Iya deh kayaknya. Yuk pulang."
Aku berjalan lebih dulu ke arah pintu kelas. Walaupun tawa Demina masih terdengar, entah kenapa tidak sedikitpun menghapus keresahanku. Di luar kelas aku berbalik melihat Demina hanya tersenyum. Mataku terbelalak, debaran jantungku begitu cepat. Atmosfer bumi lebih terasa menyesakkan. Tidak dapat disangkal jika tubuhku bergetar hebat.
Sejak kapan?
"Kamu kenapa, Dira?" tanya Demina yang masih berjalan ke arahku.
"I ... itu ...." Mulutku berhenti bicara ketika aku melihatnya. Tidak. Ralat! Bukan Demina, tapi sosok perempuan berambut pirang terang yang tersenyum di belakangnya. Mata gadis itu merah darah, seakan-akan dirinya telah menghisap darah segar makhluk hidup. Namun, gadis itu tidak berkutik, hanya memamerkan senyum dengan tatapan tajamnya.
Demina dalam bahaya, aku harus menolongnya!
"Hentikan, Nadira! Jangan ke sana!"
Aku menuliskan telinga, tentu saja. Rasa khawatir dan ketakutan menjadi bayang-bayang langkahku. Aku nyaris saja masuk ke kelas ketiga gadis itu memperlihatkan telapak tangan kirinya ke depan. Sinar merah berkumpul jadi satu dan berterbangan ke arah pintu.
Brak!
Ada dorongan kuat yang membuatku terjatuh. Begitu saja aku menangis mendengar suara pintu tertutup. Berulang kali aku meneruskan nama Demina. Aku takut, aku harus memanggil guru!
"Jangan bertindak gegabah, Nadira!"
Demina dalam bahaya dan aku harusnya menolong dia! jawabku dalam pikiran.
"Dira tolong! Tolong aku!!!" Teriakan itu semakin kencang ketika aku mendengar suara ketukan pintu yang makin cepat dan tidak beraturan.
"Demina!" teriakku. Aku bangun dan menerjang pintu. Beberapa kali aku mencoba membukanya, tapi tidak bisa. "Demina!"
Aku diam membisu. Mengapa sekolah menjadi menakutkan? Aku berbalik. Di hadapanku berdiri seorang gadis yang sebelumnya berada di dalam ruangan bersama Demina. Aku mundur beberapa langkah hingga punggungku membentur pintu kelas.
"Biarkan aku menemuinya!" seru Hana. Sebagian diriku masih menolak eksistensinya.
Gadis itu mendekatiku. Dari bawah hingga bahuku mulai bergetar seakan mewakili ketakutan di hati. Aku menggigit bibir bawahku. "Aku tidak memintamu diam. Jawab aku."
"Tutup matamu, biarkan aku menemuinya!" seru Hana lagi, tapi aku tidak menurut. Pikiranku berpusat pada orang di dalam ruang kelas, Demina.
Aku mencoba menatap lantai, membiarkan air mataku membasahi pipi. Padahal aku bisa saja kabur meninggalkan Demina. Berarti pula aku lari dari masalah. Tidak, malah masalah yang lebih besar akan menimpaku dengan pertanyaan-pertanyaan dari orangtua Demina. Aku tidak bisa kabur.
"Nadira!!!" Aku mendongak saat Demina kembali memanggilku, bersamaan pula ketika gadis itu berusaha mendekatiku. Apa yang harus kupilih? Mana yang terbaik?
Gadis itu memiringkan kepala dan menyentuh rambutku. Hana dingin memaksa diriku untuk diam. "Kamu yang memintaku memakai cara kasar."
Aku merasakan dia menarik tangannya dari rambutku. Beberapa kali dirinya menjentikkan jari. "Valvous."
"Argh. Nadira!!!"
Rasa terkejutnya bertambah ketika mendengar teriakan Demina. Aku berbalik menghadap pintu, berulang kali memutar kenop pintu dan mengetuknya. Tangisku semakin pecah, bahkan rasa takutku menjadi berlipat-lipat. Aku berteriak, "Demina! Demina!"
"Di mana Hana?" ucap gadis itu lagi.
"Nadira, aku minta tutup matamu. Tenangkan dirimu di dalam." Kali ini aku menurut. Kupejamkan mata, dengan rasa campur aduk di hatiku.
Lalu setelahnya aku tidak dapat mendengar dan melihat apapun, seakan aku tuli dan buta karena gadis tersebut.
oOo
Saat aku terbangun ... aroma asing terhirup ke hidungku. Mataku sembab, badanku sakit, mungkin saja bisa remuk kalau disentuh. Ada seorang laki-laki, berambut panjang acak-acakan hingga dagu. Dia duduk di samping kasur sambil membaca buku fantasi. Rasanya aku familier dengan buku itu itu ....
"Sudah sadar?" tanyanya ketika menutup buku dan menyimpan di atas meja.
Aku mengangguk. "Demina di mana?"
"Aku membawamu ke dunia lain, tapi yang pertama kamu tanyakan adalah sahabatmu. Aku tidak mengerti, bahkan kamu tidak bertanya siapa aku." Laki-laki itu menggeleng seolah aku melakukan kesalahan besar dengan tidak bertanya hal yang diucapkannya. Aku tahu harusnya aku juga mewanti-wanti keadaaan ini.
"Memangnya ini di mana?"
"Akhirnya kamu bertanya juga. Kita di kamar kerajaan. Sebelumnya aku sudah bilang kalau kita ada di dunia lain, bukan bumi, tepatnya Twins," jelasnya, "jujur aku kecewa, kamu belum juga menanyakan siapa aku."
Aku mengerjapkan mata, aku hanya butuh informasi tentang Demina. "Maaf, aku rasa keadaan sahabatku lebih penting daripada namamu."
"Tidak masalah, lain kali aku tidak akan membantumu lagi," balasnya sama kasar denganku. "Jika keadaan Demina lebih penting, maka keadaan Hana sama pentingnya."
Alisku terangkat sebelah. Kenapa rasanya jadi berputar-putar? Aku menatapnya tajam, coba saja tubuhku memiliki tenaga normal untuk memukulnya.
"Kenapa kamu sangat menyebalkan? Memangnya kamu siapa? Kenapa harus menolong aku dan Demina?" Aku berteriak. Anak laki-laki itu terlihat kaget. Seumur-umur, baru kali ini ada orang yang membuatku kesal sampai berteriak seperti sekarang.
Dia mengembuskan napas. "Aku satu-satunya teman sebaya yang tahu identitas kamu sebagai Hana, aku kenal Demina, seorang wakil ketua murid harus ingat teman-temannya."
Kali ini aku yang dibuat kaget, "Radja? Tapi kamu sangat beda ...."
"Memang penampilanku di sini berbeda."
"Bukan penampilan, itu salah satunya," kilahku, "tapi sifat kamu juga beda."
"Gimana kamu tahu sifatku sementara kamu saja tidak mengenalku dengan dekat? Ya ampun!" Dia menepuk jidatnya. Aku tersenyum geli melihatnya, karena kalau di kelas dia tidak pernah bertingkah seperti ini.
Radja berbeda, terkesan dingin tapi nyatanya cerewet. Dia menyerahkan buku fantasi di atas meja. Aku bisa melihatnya. Itu buku yang aku pinjam dari perpustakaan. Terakhir kali aku memegangnya mungkin sebelum aku terjatuh dan pintu kelas tertutup. Sesak menemaniku saat aku menerima buku tersebut.
"Radja, apa yang terjadi? Aku ingin tahu soal Demina," tanyaku memberanikan diri. Padahal aku sadar kalau hatiku belum sepenuhnya siap mendengar kejadian yang telah dialami Demina.
"Peringatan pertama dari Azumi, dia ingin menghancurkan bumi dan dunia ini, lalu membuat seluruh manusia menjadi budaknya. Aku terlambat datang, Hana babak belur, dan sahabatmu ...."
"Apa yang terjadi?" Aku menggigit bibir.
"Saat aku datang, Demina nyaris tidak bernyawa. Namun, Miss Ann sedang mengobatinya. Demina masih punya harapan hidup," jelas Radja.
"Syukurlah kalau begitu ... aku mohon selamatkan dia," ucapku lirih.
Radja lalu tersenyum, "Jika kamu sudah merasakan baikan, aku akan mengantarku pulang. Ini sudah jam tujuh malam."
Aku mengangguk. Ibu dan ayah tidak akan tahu anaknya pulang larut malam, mereka sibuk bekerja. Namun, rasanya aku tidak tega meninggalkan Demina. Orangtuanya pasti kebingungan dan tentunya aku yang mereka tanyakan lebih dulu. Apa yang harus aku ucapkan?
"Oh, kalau orangtua Demina bertanya anaknya ke mana ... taburkan bubuk ini di depan mereka. Setidaknya mereka akan lupa untuk sementara. Itu juga untuk orangtuamu, jika mereka curiga dengan kejadian hari ini," jelasnya. Dia memberikan sekantung bubuk yang menyerupai pasir bedanya berwarna biru laut, tidak tahu namanya apa. Aku hanya mengangguk lalu menarik tali di sekitar kantung dan mengikatnya dengan simpul hidup agar pasir di dalamnya tidak berhamburan.
Apa lagi yang akan terjadi kira-kira?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!