NovelToon NovelToon

KISAH TAK BERUJUNG Bad Senior In Love

1. Dio, The First Love Never Die

Dio, The First Love Never Die

(Dio, cinta pertama yang tak pernah mati (hilang))

------- 

Anggi

"Lho, kok masih di rumah?" Mamah kaget melihatnya masih duduk malas di sofa, sambil memainkan remote televisi. Padahal tadi sebelum Mamah berangkat ke pasar, ia sudah pamit mau pergi jam delapan dengan teman-teman.

"Nggak jadi pergi?" Mamah menyimpan tas yang terbuat dari jalinan rotan berisi belanjaan pasar ke atas meja dapur. Ada tahu, tempe, fillet dada ayam, hati sapi, ceker, kangkung, bayam, jagung ... hmmm, sepertinya mamah mau masak besar minggu ini. Nyam nyam.

"Ayo! Kita sarapan ...." Seloroh Papah yang masuk sambil membawa sapu lidi, pancong, kusan, dan sejumlah pot kecil.

"Papah beli apa aja banyak banget?" Ia terheran-heran.

"Nggak tahu ini Mamahmu, mau nanem anggrek katanya," Papah meletakkan barang-barang yang dibawanya ke atas meja dapur, kecuali sapu lidi dan pancong, disimpan di dekat pintu belakang.

"Masih penasaran, Mah?" Ia menyeringai.

Mamah pernah beberapa kali mencoba menanam anggrek, tapi selalu gagal berkembang.

"Banget, Bu Seno loh jago nanemnya, bisa tumbuh banyak subur-subur semua. Katanya besok mau kesini ngajarin Mamah," sambil menyimpan sayur mayur ke dalam kulkas. "Gimana, nggak jadi pergi?"

"Jadi kok Mah. Nunggu Fira mau jemput ke sini," Ia pindah duduk ke meja makan, mengambil 2 lembar roti gandum, mengolesnya dengan Nutella, menangkup sambil di penyet-penyet pinggirannya, lalu menggigit dan mengunyahnya perlahan. Hm, enak.

"Rame-rame ikut semua?"

"Iya, mumpung liburnya barengan. Biasanya suka beda-beda."

"Temen kamu yang tinggi itu ... ikut?"

Ia langsung keselek mendengar pertanyaan terakhir Mamah. Sepotong roti gandum ukuran besar meluncur tanpa permisi ke kerongkongan.

"Siapa namanya? Mamah lupa."

"Yang mana?" Ia buru-buru meraih segelas air putih dan langsung meneguknya. Pertanyaan Mamah membuatnya grogi seketika.

"Yang dulu sering belajar kelompok di sini. Itu loh yang badannya paling tinggi, pakai kacamata, kalau ke sini seringnya naik sepeda. Aduh, kok Mamah jadi lupa ya?"

"Chris? Yang suka ngelawak," tebak Papah yang baru selesai mencuci tangan, ikut duduk di meja makan. Langsung menghadap sepiring gudeg beli di pasar tadi yang telah disiapkan oleh Mamah.

"Chris putrane Pak dokter Setyono? Kalau itu Mamah hapal, wong sering main ke sini. Kalau yang kacamataan ini udah jarang main."

Adit yang baru masuk ke rumah langsung menyambar roti di tangannya.

"Ish, Adiiit!" Ia menggerutu kesal. "Mamah ini loh Adit main rebut."

"Nih," Adit mengembalikan roti gandum isi Nutella yang telah digigitnya sedikit ke tangannya. "Nggak butuh."

"Idih," ia merengut kesal.

"Yang satu lagi itu siapa ... Bayu?" tebak Papah lagi, mulai menyantap gudeg.

"Cenil mana cenil, Mah?" Adit ikut bergabung di meja makan. Namun mereka berdua masih saja saling melempar pelototan.

Mamah menyorongkan sepiring bungkusan daun pisang berisi cenil ke hadapan Adit. "Punya Adit yang tusuknya dua ya. Isi lopis sama klepon. Mba Anggi yang daunnya disobek, lopis sama ketan."

"Punya Papah mana?" Papah ikut nimbrung. "Papah lengkap ya."

Mamah menyorongkan sebungkus daun pisang yang telah dibuka diatas piring kecil, "Ini punya Papah."

"Makasih, Mah," Papah tersenyum menerima cenil kesukaannya.

"Siapa namanya tadi?" Mamah kembali membereskan belanjaan yang masih berantakan.

"Bayu ... bener kan yang tinggi?" jawab Papah sambil terus mengunyah gudeg.

"Bayu putrane Pak Kusman? Bukan. Ini yang paling tinggi. Yang rumahnya di ... mana itu ... di jalan Kampus."

Ia harus menelan ludah lebih dulu sebelum menjawab, "Oh ... Dio?" sambil membayangkan tawa renyah mantan Ketua OSISnya itu.

"Oh, yang itu sih pacarnya Mba Anggi, Mah," seloroh Adit jahil, yang langsung mendapat pelototan darinya.

"Pacar opo," Papah mengernyit. "Kecil-kecil pacaran."

"Loh, Mba Anggi kan udah kuliah Pah, udah gede," Adit semakin menjadi. Heh.

"Ya kamu yang masih kecil, bukan Mba Anggi," Papah menggerutu.

"Aku juga udah SMA, udah dewasa ...."

"Idiiiih," cibirnya cepat. "Dewasa dari Hongkong!"

"Pokoknya ... aku pernah lihat foto Mas Dio di diarynya Mba Anggi. Apa namanya kalau bukan pacar. Iya kaaaan ...." Adit mengedip-ngedipkan sebelah mata penuh kemenangan.

"Heh, kamu gelatakin kamar aku ya!" Ia kembali memelototi Adit. Tapi yang dipelototi malah semakin tertawa lebar.

"Iya ... Dio!" Mamah memotong pertengkarannya dengan Adit sambil menertawakan diri sendiri. "Kuliah di mana sekarang? Dia ikut?"

"Bandung," Ia kembali meraih gelas berisi air putih lalu meminumnya. "Nggak tahu ... nggak ada kabar."

"Dia paling jarang ngumpul ya? Lebaran kemarin juga nggak ke sini kan waktu temen-temenmu pada ke sini semua?"

Ia menyuap potongan roti gandum yang terakhir, "Sibuk dia. Keliling Indonesia, ke luar negeri."

"Wah, hebat dong!" mata Mamah membulat, rasa kagum jelas menguar-nguar. "Acara apa?"

"Lomba-lomba mewakili kampusnya gitu deh."

"Oh, Papah inget ... Papah inget ...." Papah menghentikan suapan gudegnya. "Yang dulu pernah bantuin Papah nanam cabe itu ya?"

"Nah iya yang itu," Mamah kegirangan. "Pernah nganterin Mamah juga jenguk Bu Zaenudin di Geriatri, waktu Papah lagi dinas ke Padang itu loh."

"Yang bungsunya Pak Rasdan?"

"Iya ... iya ... yang itu," Mamah tambah semangat menjawab. "Pak Rasdan kan putrane tiga to. Tio, Rio, Dio. Nah, ini yang paling kecil."

Ia hanya memutar bola mata mendengar Mamah begitu fasih menerangkan silsilah keluarga Dio.

"Berarti buah jatuh tak jauh dari pohonnya," seloroh Papah. "Buapaknya sering riset sana sini sama nerbitin jurnal ilmiah. Anaknya ya kemungkinan besar nggak jauh-jauh dari prestasi."

Ting Tong Ting Tong!

Semua menoleh ke arah ruang tamu.

"Fira kayaknya, Mah," ia segera beranjak dari duduk menuju ruang tamu.

"Ya. Nanti suruh sarapan dulu ya sebelum berangkat."

Mamah selalu menyuruh siapapun temannya yang datang ke rumah untuk makan. Tak peduli itu pagi, siang, sore, bahkan malam, Mamah siap menyediakan makan untuk mereka semua.

"Enak bener deh berteman sama kamu. Kalau laper tinggal maen ke rumah kamu," seloroh teman-temannya seringkali.

Namun lamunannya tentang teman-teman langsung menguap begitu membuka pintu dan melihat siapa yang berdiri di depannya.

"Hai?"

DIO?

Ya ampun, mimpi apa semalam sampai tiba-tiba orang yang begitu ingin ia temui sudah berdiri di depan pintu rumah? Dream come true. So true.

"Masuk nak Fira, ayo sarapan dulu," teriak Mamah dari arah dapur.

Dio masih tersenyum, "Mamah kamu nggak berubah ya, dari dulu selalu nyuruh kita makan."

Ia hanya bisa bengong, tak tahu harus bagaimana.

"Aku disuruh berdiri di sini seharian nih?" Dio tertawa kecil, memperlihatkan deretan giginya yang rapih. Persis seperti yang dibayangkannya tadi. Ugh.

Ia pun meringis malu. "Masuk ... masuk ...." Ujarnya gagap.

"Nak Fira, Tante lagi tanggung di dapur, langsung makan aja sama Anggi ya," begitu instruksi Mamah dari dapur. Untung rumahnya tak terlalu besar, jadi meski berbeda ruangan, Mamah tak harus berteriak 7 oktaf.

"Duduk," Ia masih meringis kaku. Hampir dua semester tak bertemu membuat rasa canggung lebih mendominasi.

Dio duduk sambil masih tersenyum.

"Kamu mau makan seperti kata Mamah atau ...." Belum selesai ia menawarkan, Mamah muncul dari dapur dengan tergopoh-gopoh.

"Owalah, bukan nak Fira, tapi nak Dio? Iya bener kan nak Dio?" Mamah memandang Dio takjub lalu beralih ke arahnya. "Yang barusan kita obrolin?"

Kalimat Mamah membuat ruang tamu tiba-tiba mengecil, menyudutkan dirinya, membuat tubuhnya tertelan lantai ruang tamu bulat-bulat. Aduh, Mamah, jangan bikin malu anak gadismu dong.

"Cieee ... suit ... suit ...." Seloroh Adit dari ruang makan. Sepertinya tuh bocah mesti digetok, sungutnya kesal.

"Apa kabar Tante," Dio berdiri, mengambil tangan Mamah lalu menciumnya takzim. Somethings never change. Hatinya mendadak menghangat melihat apa yang Dio lakukan.

"Ini ada bingkisan untuk Tante," lanjut Dio sambil mengangsurkan sebuah paperbag bertuliskan toko oleh-oleh khas Bandung terkemuka.

"Waduh, Tante dapat oleh-oleh nih?" Mamah jelas tak dapat menyembunyikan kekagetan sekaligus ketakjubannya. Jauh berbeda dengan ekspresinya yang malah kabur ke dalam. Di ruang makan ia langsung menjitak kepala Adit.

"Aduh!" Adit merengut.

"Baik, kabar Tante baik. Nak Dio apakabarnya? Makasih loh oleh-olehnya," Mamah masih tersenyum lebar sambil mendudukkan diri di ruang tamu, lupa akan belanjaan pasar yang belum selesai dibongkar.

"Saya baik Tante," Dio tersenyum geli sambil melirik ke ruang dalam, membuatnya yang kebetulan sedang mengintip dari balik gorden menjadi kian salah tingkah.

Rupanya Mamah tanggap dengan isyarat Dio. "Anggi, lagi ngapain di dalam? Ayo duduk di sini."

Ia masih mengintip namun buru-buru menghampiri Adit yang terus menggoda, "Cie ... cieee ...."

"Aduww!" Adit mengerang kesakitan saat ia mencubit adik tak ada akhlak itu. Lalu tanpa ragu Adit juga membalas cubitannya. Akhirnya mereka pun saling mencubit.

"Lama nggak kesini ya nak Dio. Fira sama Chris sama Bayu sering kesini kalau libur. Kecuali Inne ya Nggi? Loh, Anggi ... kamu di mana, ayo ke sini?"

Ia pun terpaksa keluar dari persembunyian sambil meringis malu. Yang disambut Dio dengan senyum tertahan.

"Om ada di rumah Tante?" Dio kembali melirik ke arah dalam.

"Ada ...ada. Baru sarapan," Mamah tertawa. Mamah tertawa terus dari tadi hmm. "Sebentar. Papah, ini ada nak Dio."

Tak lama Papah muncul sambil mengelus perut yang membuncit tanda kekenyangan.

"Sehat, Om?" Dio menghampiri Papah, dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan ke Mamah tadi, mencium tangan takzim.

"Sehat alhamdulillah," Papah tersenyum. "Kapan pulang dari Bandung?" Papah mendudukkan diri di kursi.

"Dua hari lalu, Om."

"Bapak ibu sehat?"

"Sehat Om, alhamdulillah."

Tapi setelah semua duduk di ruang tamu, obrolan justru didominasi oleh Mamah dan Papah, terutama Mamah. Semua ditanyakan. Mulai dari kuliah, orangtua Dio, saudara-saudara Dio, Bandung, seolah Mamah punya sederet pertanyaan yang tak ada habisnya. Padahal ia juga ingin bertanya,

"Apakabar Dio?"

"Kamu kelihatan lebih berisi."

"Jadi makin keren ...." Kali ini ia sambil tersipu sendiri.

"Bandung dingin bikin kamu pingin makan terus, ya."

"Gimana perjalanan keliling Eropa kemarin?"

"Aku baca di berita online, tim dari kampus kamu juara di event internasional lagi. Hebat!"

Namun hanya dalam hati. Karena kini, Mamah dan Papah bahkan sedang tertawa terbahak-bahak bersama Dio. Entah membicarakan apa. Hmm.

Sampai ketika Fira menelepon karena dia dan yang lain sudah hampir sampai di pantai, sementara mereka masih duduk di ruang tamu sambil makan ketan susu buatan Mamah.

"Mah, kayaknya kita pergi dulu," ia dengan terpaksa menyetop obrolan seru itu.

Dengan wajah tak rela Mamah melepas kepergian mereka. Sementara Papah sudah masuk lagi ke dalam.

"Kapan-kapan mampir kesini lagi ya nak, Dio," Mamah tersenyum memperhatikan mereka yang sedang memakai helm.

Ish kenapa Mamah jadi ganjen begini.

"Iya, Tante," Dio menjawab sambil tersenyum.

"Kamu senyum terus dari tadi. Lagi hepi ya?" ia penasaran ingin bertanya ke Dio, namun lagi-lagi cuma dalam hati. Yang ada ia malu setengah mati, karena Mamah menanyakan semua hal ke Dio, dari pertanyaan normal yang penting sampai yang absurd. Perasaan kalau Bayu sama Chris main ke rumah nggak gitu-gitu amat.

***

Catatan :

Kusan. : sejenis gerabah terbuat dari anyaman bambu berfungsi untuk menanak nasi atau mengukus.

Pancong : alat untuk berkebun, biasanya untuk mencabuti rumput liar.

Cenil. : makanan yang terbuat dari pati ketela pohon, berbentuk bulat-bulat kecil atau kotak kemudian diberi warna sesuai selera sebelum direbus. Cenil biasanya disajikan dengan parutan kelapa dan ditaburi gula pasir atau kuah kinca. Pelengkap tambahannya ada ketan, lopis, klepon, gethuk, dll.

2. Di Pasir Putih

Anggi

Ia lebih banyak diam sepanjang satu jam perjalanan menuju ke pantai. Meskipun Dio selalu berusaha mengajaknya mengobrol di antara deru suara mesin motor dan desau angin. Hingga pertanyaan sering tak terdengar atau jawaban yang ia berikan sama sekali tak nyambung. Benar-benar alur komunikasi yang cukup kocak.

Apalagi pikirannya justru dipenuhi oleh hal aneh, seperti mengagumi punggung Dio yang tegap dan harum. Pastinya bisa jadi tempat yang nyaman untuk bersandar. Eaa.

"Kamu jadi pendiam," ujar Dio saat mereka sama-sama membuka helm di tempat parkir.

"Ah, masa sih?" ia hanya bisa meringis. Berarti biasanya ia ceriwis?

"Kecapaean?"

Kenapa sih kamu selalu perhatian. "Lagi libur cape ngapain," ia mencoba tertawa.

"Nah, gitu dong, ketawa."

Membuatnya tersipu. Anggi! Please deh! Ini kan Dio teman sekelas pas SMA. Kenapa jadi ganjen gini sih!

Huhu tapi memang pesona Dio jadi bertambah berkali lipat dibanding waktu SMA. Ada aura berbeda yang memancar. Aura kecerdasan, percaya diri, tanggung jawab, sekaligus masa depan cerah.

"WOIII! TELAT KALIAN!!"

Teriakan cempreng Fira membuyarkan lamunannya yang semakin melantur tak karuan.

"Sori sori ...." Ia pun bergegas menghampiri mereka dan langsung cipika cipiki dengan Fira.

"Mesti mangan disit neng umaeh Anggi (pasti makan dulu di rumah Anggi)?!" tuduh Bayu ke arah Dio yang langsung tertawa.

"Ora lah (enggak lah)," Dio masih tertawa lebar. Dan ia benar-benar tak sanggup untuk melewatkan pemandangan indah ini.

"Mangan ketan susu tok, ora mangan sega ora (makan ketan susu aja, nggak makan nasi enggak)."

"Lha kuwe mangan (nah, tuh makan)!" sembur Chris.

"Iya iyaa," Dio masih terus tertawa. Membuat matanya tak berani untuk berkedip sekalipun. Seolah enggan melewatkan tawa renyah khas Dio. Yang membuat keseluruhan hatinya menghangat dalam sekejap.

Oh, ya ampun.

"Eh, Nggi, apa kabar? Ko dadi gering cungkring (kamu jadi kurus cungkring gini sih)? Ora tau mangan ya neng Jogja (nggak pernah makan ya di Jogja)?" Chris beralih bertanya ke arahnya. Membuatnya buru-buru mengalihkan pandangan dari Dio yang juga sedang menatapnya.

"Enak aja! Ko ndean sing ora tau mangan (kamu kali yang nggak pernah makan)."

Chris dari dulu tak pernah berubah, selalu paling slim di antara mereka berenam.

"Aku emang udah dari sononya kek lidi begini," Chris tertawa, sementara ia hanya mencibir.

"Kapan balik?" Bayu mengangkat alis. "Kalau bisa bareng biar ada temen ngobrol," mereka sering berkereta berdua. Ia turun di Jogja, Bayu di Surabaya.

"Dua harian lagi kayaknya. Udah mulai workshop sama gathering soalnya. Kamu kapan?"

"Semingguan lagi deh. Masih ada yang perlu ku urus di sini."

"Nggak bisa bareng dong," ia tertawa.

"Jadi ngospek?" Fira memotong percakapannya dengan Bayu.

"Hah ... ya jadi lah. Udah ikut oprec."

"Lumayan bisa ngecengin maba yang uwu uwu," Chris menggoda.

"Dih!" ia kembali mencibir.

"Motivasi utama apa niat terselubung nih?" Bayu tertawa. "Kalo kamu kan buat ...."

"Buat menuh-menuhin CV," tebak Fira yakin.

"Anjay, ambis detected," Chris geleng-geleng kepala.

"Salah satunya. Aku kan mau ngajuin beasiswa semester ini," ia pun mengakui, sedang memerlukan banyak poin tambahan sebagai nilai plus.

"Beasiswa?" Dio menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.

"Iya, doain ya. Sainganku anak hits semua. IPK sama portofolionya ngeri," ia bergidik membayangkan harus bersaing dengan Rayyan, Galin, dan sederet BA fakultas lainnya.

"Kamu bukannya ngospek juga?" Bayu beralih ke arah Dio.

"Iya, besok balik," jawab Dio.

"Liburr liburr, nugas melulu," Chris mencibir.

"Bener bener," Bayu ikut menggelengkan kepala.

"Ada diklat. Kalau bukan Bunda nyuruh pulang juga, aku mending stay di sana, lagi banyak kerjaan."

"Iyaaa ... calon Menristek mah bedaaa, liburan bukannya hore hore malah mikirin kampus," seloroh Fira yang justru diaminkan dengan sungguh-sungguh olehnya meski hanya di dalam hati.

Tak terbayangkan andai kelak Indonesia memiliki Menristek seperti Dio, pasti langsung viral di media dan dijuluki, most eligible state minister of research and technology ever. Ia jadi tersipu sendiri membayangkan hal tersebut.

Dio hanya tertawa menanggapi cibiran anak-anak. Kemudian mereka mulai saling melempar candaan, ejekan, hinaan, hingga lama-lama berubah menjadi obrolan yang lebih tenang dan serius. Kebersamaan 3 tahun di SMA membuat mereka merasa saling memiliki satu sama lain.

"Inne apakabar ya?" mata Fira menerawang mengingat satu di antara mereka tak lagi bisa sering bersama.

"Bukannya di Bandung?" Chris yang menjawab, sambil melirik Bayu yang wajahnya berubah mendung.

"Kamu pernah ketemu nggak?" Fira bertanya kearah Dio.

"Aku juga nggak tahu Inne tinggal di mana," Dio menggeleng.

"Bilangnya sih tinggal sama Pakdenya di Lembang," ia ingat waktu terakhir kali bertemu dengan Inne hampir setahun yang lalu. "Lagi sibuk bimbel, mau nyoba ikut SBM lagi."

"Aku doain dari sini, semoga Inne lulus di tempat yang diinginkan," Fira membuat tanda di dahi, bibir, kemudian dada dengan mata terpejam. "Amen."

"Gosip-gosip Inne udah kewong bener nggak sih?" Chris melempar pertanyaan sambil melirik tak enak ke arah Bayu yang sedari tadi diam seribu bahasa.

"Ah, yang boneng! Kan katanya mau kuliah masa kawin sih!" Fira mengernyit.

"Habis terakhir Mamiku ketemu sama ibunya Inne, bilang minta doa restu gitu. Kata tetangganya mau dijodohin sama bapak-bapak tua gitu. Terus kalau nggak salah inget, Niken pernah ngobrol Papinya dapet undangan resepsi pernikahan Inne di Bandung. Papinya Niken kan dinas di Bandung.

"Bapak-bapak tua gimana?" Fira makin mengernyit.

"Selisih umur jauh, sampai 20 tahunan gitu," jawab Chris sotoy.

"Jangan nggosip!" Fira melotot. "Masa tega orangtua Inne."

"Nggak segitunya kali. Usia mungkin jauh berbeda tapi nggak sampai puluhan tahun lah," Bayu mencoba menengahi dengan nada pahit. Membuat mereka berempat menoleh.

"Kalau beneran udah nikah, kok nggak ngabarin kita ya?" ia selalu merasa sedih tiap kali mengingat sahabatnya yang satu itu. Sepertinya nasib baik enggan mendekat pada Inne.

"Ntar aku cari info, siapa tahu bisa ketemu Inne," Dio tersenyum. Yang entah mengapa, ia merasa senyum itu khusus untuknya. Ya ampun Anggiiii!!

"Ganti topik dong, jangan yang bikin sedih," Fira mencoba mencairkan suasana. "Kita main di pantai aja yuk."

"Ayo!"

Akhirnya mereka berkejaran di tepi pantai sambil tertawa. Statusnya mahasiswa, tapi begitu berkumpul dan bertemu air, berubah menjadi anak kecil semua.

Namun saat sedang asyik menikmati keindahan senja di pantai sambil tertawa-tawa, ponsel di sakunya tiba-tiba menggelepar-gelepar tanda ada panggilan masuk.

"Nggi! Kamu di mana?! Barang-barang mau di kemanain?!" suara Sinta panik di seberang sana.

"Barang apaan?!" ia mengernyit bingung.

"Kamu lupa?! Tempat kost kita kan harus kosong hari ini!!"

"APA?!?!"

Dan kacau lah suasana liburan bersama. Karena dengan panik ia harus segera pulang ke rumah.

"Anterin aku pulang duluan dong," bujuknya pada semua, tapi tak ada yang menggubris, semua asyik menikmati suasana pantai dengan selfie dan foto-foto.

"Payah ah Anggi!"

"Iya ... kebiasaan deh ...tiap lagi asyik mesti buru-buru pulang!"

"Emang Mamah kamu masih strict juga sampai sekarang?!"

"Bukaan! Bukaan Mamah aku!"

"Terus siapa yang nelpon tadi kalau bukan Mamah kamu nyuruh pulang?"

"Ini Sinta ... temen aku di Jogja ... aku lupa kalau hari ini kost udah harus kosong!" ujarnya panik.

"Aku mesti ke Jogja hari ini juga!"

"Ah yang bener kamu! Udah sore gini!"

Ia pun mengutuki kebodohannya sendiri. Padahal ia yakin 100% kevalidan tulisan di buku agenda, jika jadwal pengosongan kost maksimal tanggal 13 bukan tanggal 3 seperti hari ini.

"Pulang sama aku aja, Nggi!" ujar Dio, cepat dan tangkas.

Yakin deh, sejak SMA, Dio memang selalu bisa diandalkan. Mulai dari mengerjakan tugas kerja kelompok trio horror matematika, fisika, kimia untuk mereka semua. Sampai Dio lah satu-satunya orang yang selalu bersedia menolong siapapun, di manapun dan kapanpun.

"Aku besok udah harus ke Bandung. Biar nggak kemalaman pulangnya ...."

"Heemmm ... heeeemmm ...." Seloroh yang lain, mencoba meledek mereka berdua.

***

Catatan :

Oprec : open recruitment

Workshop & gathering : (disini berarti) proses untuk persiapan ospek

CV. : curriculum vitae, daftar riwayat hidup

Diklat. : pendidikan dan latihan (disini berarti) salah satu syarat masuk organisasi kemahasiswaan

BA : Brand Ambassador

Otw. : on the way, jalan

Ambis : berambisi, terlalu semangat

SBM : SBMPTN

3. Mencari Kost Baru

Anggi

Ia menarik resleting jaket yang dipakai hingga menutupi leher. Jaket berwarna biru tua berbahan tebal namun halus, dengan logo timbul gambar Ganapati berukuran kecil, nyaris tak terlihat tepat di bawah kerah bagian belakang. Dengan inisial nama di dada sebelah kiri.

DK, pastinya inisial dari Dio Kamadibrata.

Kemarin sore sepulang dari pantai, di tengah jalan hujan turun dengan lebatnya. Dio terpaksa membelokkan motor ke sebuah restoran cepat saji.

"Besok kamu mau pindahan kan, harus jaga kondisi," ujar Dio yang tanpa meminta pendapatnya, telah memesan dua paket spesial.

Hampir satu jam hujan tak kunjung reda. Selama menunggu, mereka pun mengobrol ke sana kemari. Tentang kuliah, kampus, rencana masing-masing, teman-teman, Bandung, Jogja, dan hal remeh lain.

Dan selama mengobrol, ia tak pernah berhenti tersenyum. Ah, Dio memang selalu menyenangkan menjadi teman bicara. Karena Dio anaknya memang asyik, atau karena 'Dio' nya obrolan jadi semakin menyenangkan? Entahlah.

"Aku pingin komunikasi kita lebih lancar."

"Ini udah lancar."

"Lancar saat kamu di Jogja dan aku di Bandung."

"Ada Line, WA, telepon, Skype?" ia mencoba diplomatis, padahal hati berdebar tak karuan.

"Tapi aku nggak ada waktu. Nelpon orang rumah aja kadang suka lupa," Dio tertawa.

"Percaya ... percaya ... orang sibuk kayak kamu, mana ada waktu kosong. Memangnya aku kaum rebahan," ia mencoba melucu untuk menutupi nervous.

Tapi di antara mereka bahkan tak ada yang tertawa. Hanya bisa saling berpandangan dalam diam.

"Jaga diri, jaga kesehatan, makan yang teratur," Dio tersenyum sungguh-sungguh.

"Kalau badan udah ngerasa nggak enak, langsung istirahat. Jangan tunggu sakit dulu."

"Siap komandan!" ia memberi tanda hormat dengan tangan, seolah itu hal yang lucu. Padahal hati bersorak kegirangan.

Yes Yes Yes, dudududu segitu care nya Dio. Begini rasanya mendapat perhatian dari most wanted to die for.

Di tempat parkir sebelum menstater motor, tanpa diduga Dio melepas jaket yang sedang dipakai.

"Pakai ini ya, dingin," Dio meminta ijin.

Ia pun bingung harus menjawab apa, awkward time. Akhirnya tanpa menunggu jawaban terlontar dari mulutnya, Dio sudah memakaikan jaket biru yang hangat dan halus itu padanya.

"Masih gerimis, kamu gimana?"

"Ada jas hujan."

Dan tadi pagi mereka pergi ke Stasiun berdua. Dio menjemput ke rumahnya menggunakan Taxi. Jadwal keberangkatan kereta yang hampir bersamaan, jelas menjadi alasan paling make sense, kalau nggak mau dibilang sengaja biar bisa berduaan lagi.

Hanya berselisih waktu 30 menit. Keretanya menuju Jogja berangkat lebih dulu dibanding kereta Dio menuju ke Bandung. Dan dari balik jendela kereta, jelas terlihat Dio tersenyum sambil melambaikan tangan. See you again.

Ah, kini ia semakin mengeratkan pelukan ke tubuhnya sendiri. Kombinasi bahan halus jaket dan aroma Hugo Boss yang tertinggal berhasil membuatnya merasa hangat, nyaman dan terlindungi.

"Jaket buat kamu ... kalau mau," begitu Dio bilang saat mereka sampai di depan pagar rumahnya.

"Bandung dingin, pasti sering pakai jaket. Perlu banyak jaket," ia berniat melepas jaket hangat itu. "Kalau dibawa aku satu, kamu gimana?"

Dio tersenyum, "Jangan khawatir. Aku ada banyak."

"Koleksi jaket?" ia tertawa.

"Kalau semester awal koleksi id card panitia, terus meningkat jadi koleksi kaos kepanitiaan. Sekarang malah jaket yang numpuk."

Iya juga ya, lalu mereka berdua tertawa bersama. Belum Jakang (Jaket angkatan), Jahim (Jaket himpunan). Wah, banyak juga ternyata.

Kini matanya tak berhenti memandangi air hujan, yang mengalir deras melalui jendela kaca besar, tepat di samping tempat duduknya. Membuat matanya tak mampu melihat dengan jelas ke arah jalan raya. Hanya terlihat pendar cahaya berasal dari lampu kendaraan yang lalu lalang.

Sejak pukul 10 pagi saat pertama menginjakkan kaki di Stasiun Lempuyangan, hujan sudah mengguyur di hampir seluruh kota. Merata. Musim penghujan belum juga tiba, namun hujan sudah sering turun.

Tadi, setelah meminta maaf pada pemilik kost lama, karena salah mencatat jadwal pengosongan kamar di agendanya. Ia pun langsung memesan jasa pengangkutan barang.

"Aku titip barang di tempat kamu boleh, ya," pintanya pada Sinta, yang pindah tak jauh dari tempat kost lama.

"Barangku nggak banyak kok."

"Sampai aku dapat kost baru."

"Hari ini langsung nyari. Doain bisa nemu kost yang enak ya. Syukur-syukur deket sini."

"Iya nggak apa-apa," Sinta memang sebaik Dewi Sinta dalam kisah Ramayana. Selalu bersedia membantu siapapun tanpa pamrih. "Mau kutemenin nyari?"

"Nggak usah Sin, makasih banyak. Udah boleh nitip barang aja, aku udah seneng banget. Aku udah janjian sama Mala nyari kostnya."

"Iya deh. Semoga cepet nemu yang pas. Eh, Mas Kamto fotokopian depan biasanya tahu kost yang kosong di daerah sini."

"Iya, ntar aku tanyain."

"Kamu tenang aja. Barang di sini aman. Nggak usah buru-buru."

"Makasih banyak ya, Sin. Bilangin sori ke Ipras. Udah bikin kost an kamu jadi sempit." Ipras adalah pacar Sinta.

"Lagi sibuk ngurus ospek dia. Bakalan lama nggak ke sini," Sinta tersipu.

Dari kost Sinta, ia langsung pergi ke fotokopian depan gang. Tempat dimana Mas Kamto bekerja. Orang yang mengetahui hampir seluruh info penting di daerah sekitar sini.

"Yah, telat ... baru aja ada yang ngisi. Tuh barang-barangnya baru dateng."

"Yah, Mas ... kenapa nggak bilang-bilang?"

"Kamu nggak nanya."

"Iya juga sih," ia meringis.

"Ada juga di daerah sana tuh. Agak jauh memang. Rada mahal juga, bebas, campur cewek cowok."

"Yang penting dapet dulu, Mas. Masalah lainnya nomer sekian. Ntar kalau nggak betah, bisa nyari lagi. Nggak enak nitip barang lama-lama."

Kemudian Mas Kamto memberinya alamat beberapa tempat kost yang masih kosong. Namun begitu didatangi, ternyata semua telah terisi.

Dari tempat elite yang mahal dengan berbagai fasilitas tambahan, sampai kost alakadarnya di daerah pinggiran, semua penuh tak bersisa.

"Mba salah waktu nyarinya. Musim mahasiswa baru gini bakalan penuh semua," ujar seorang bapak di tempat terakhir yang ia datangi.

"Iya, Pak," ia hanya bisa meringis.

Akhirnya karena sudah lelah, ia pun memilih melipir ke restoran cepat saji. Sambil menunggu hujan reda dan Mala yang berjanji akan menemaninya mencari kost.

"Haiiii ...." Seseorang mengagetkannya dengan sebuah tepukan.

"Lama banget sih!" gerutunya begitu tahu itu adalah Mala.

"Macet tahu. Uh, Jogja sekarang di mana mana macet. Aku pesen makan dulu dong, laper nih."

"Ya udah, jangan lama-lama, habis makan langsung cabut."

"Sabi."

Saat pesanan Mala datang, ponsel di sakunya bergetar. Notifikasi Line masuk. Beberapa orang di Line Grup kelas dan HMJ memberinya informasi tempat kost yang kosong.

Ia pun langsung berusaha menghubungi contact person yang tercantum, menanyakan apakah masih ada tempat yang kosong. Namun tetap saja, hasilnya nihil.

"Gimana? Dapet?" Mala baru menyelesaikan suapan terakhir.

Ia menggeleng lemah.

"Hari gini ya pasti susah. Lagian kamu kenapa bisa lupa sih? Bukan 'Anggi banget' deh."

"Emang yang gimana 'Anggi banget' tuh?" ia mencibir.

"Ya jelas, langganan Sekum masa lupa nyatet tanggal. Aib."

"Tahu, ah. Habis ini temenin nyari langsung ya. Barusan dapet info dari Cahyo, deket kostnya ada yang kosong."

"Siap."

***

Catatan :

Jakang. : jaket angkatan

Jahim. : jaket himpunan

Sekum. : sekretaris umum, jabatan dalam organisasi kemahasiswaan

Ponsel. : telepon seluler, handphone

HMJ. : himpunan mahasiswa jurusan, salah satu bentuk organisasi di kampus

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!