...♡♡♡...
...MOHON BIJAK DALAM MEMBACA....
...¤ CERITA INI BERGENRE ROMANSA HOT 21...
...¤ TERDAPAT UNSUR *EKSUAL DAN KEKERASAN...
...¤ BUKAN UNTUK ANAK DI BAWAH UMUR...
...PLEASE, BERI LIKE JIKA KAU MENYUKAI TULISANKU....
...HAPPY READING!...
...♡♡♡...
"Aku mau bertemu Reza."
Aku menatap tajam pada Salsya yang langsung bicara tanpa basa-basi. "Mas Reza tidak ada," kataku.
"Kok bisa? Dia ke mana?"
Aku berdeham. "Aku yang membuka pesanmu dan aku langsung menghapusnya."
Salsya mendesa* keras. Jelas dia sebal dan kesal terhadapku. "Aku--"
"Aku ingin bicara denganmu," potongku. "Ayo, duduk di ruang tamu."
Salsya mengangguk, lalu mengikutiku masuk dan kami duduk di ruang tamu.
Aku tersenyum. "Sebenarnya aku ingin meminta maaf padamu atas semua sikap kasarku selama ini. Sejujurnya aku--"
"Aku akan memaafkanmu asal kamu mengizinkan aku menikah dengan Reza. Jangan coba-coba menjadi penghalang untuk kami."
Ya Tuhan, wanita ini. Sabar, Nara. Tahan dirimu. "Justru itu, aku ingin memintamu -- meminta dengan baik-baik -- tolong, jauhi suamiku. Aku mohon?"
"Tidak akan, Ra. Cinta sejati Reza itu aku. Reza itu milikku. Aku tidak akan--"
"Sya, Mas Reza sudah menikah. Dia laki-laki beristri. Sebentar lagi aku lahiran, aku tidak ingin anak-anakku kehilangan ayahnya."
"Kamu egois! Aku bahkan tidak meminta Reza untuk menceraikanmu. Aku juga rela jadi istri kedua. Istri siri. Kenapa kamu egois mau menguasainya sendiri? Jangan egois, Ra."
Hmm... sepertinya memang percuma bicara denganmu. Dengan cara baik-baik pun kamu seperti ini. "Sya, kamu tidak sadar atau bagaimana? Mas Reza mati-matian menghindarimu. Apa kamu tidak kasihan pada dirimu sendiri harus jatuh bangun mengejarnya? Jelas-jelas dia menghindar, Sya. Kamu--"
"Tapi Kayla bilang Reza sekadar menunggu sampai kamu melahirkan, setelah itu dia akan menikahiku. Dia sudah janji."
Astaga... jadi begitu. "Begini, Sya. Sebelum aku dan Mas Reza menikah, aku mengajukan syarat pranikah kepadanya, bahwa dia tidak boleh berpoligami. Dan seandainya itu terjadi, maka itu berarti sama saja dia menjatuhkan talak atas diriku. Dan kupastikan, Mas Reza tidak akan pernah melakukan itu. Dia akan setia kepadaku sampai kapan pun. Jadi tolong, sebagai sesama perempuan dan sebagai sesama ibu, tolong kamu jauhi suamiku."
Seolah tidak percaya, Salsya nampak shock dan mulai meneteskan air mata. "Jadi, selama ada kamu -- aku tidak akan pernah bersatu dengan Reza? Begitu?"
"Sya...."
"Well, kalau begitu...."
"Syukurlah kalau--"
"Aku akan menyingkirkanmu."
Aku tertegun. Aura Salsya berubah dalam sekejap. Sosok pembunuh berdarah dingin terpancar dari wajahnya. Matanya menatapku dengan penuh kebencian. Sesaat kemudian, dia merogoh ke dalam tasnya, dan...
Sebuah pisau.
Salsya mengacungkan benda tajam berujung lancip itu ke arahku -- ke perutku.
"Pi--pisau?"
"Kenapa? Hmm?"
"Ka--kamu...?"
"Kamu takut?" Dia mulai mengeluarkan suara tawa cekikikan. Jelas wujud orang dengan gangguan jiwa yang sekarang berada di depanku -- mengancam untuk membunuhku.
Ya Tuhan, jadi ini wujud aslinya. "Sya, tenang. Aku mengajakmu bicara baik-baik. Tolong, kita bisa bicarakan ini dengan kepala dingin."
"Terlambat, Sayang. Kamu pikir aku akan selalu diam dan selalu bisa kamu tindas? Hmm? Kamu bisa melakukan itu di depan Reza, Nara. Tapi sekarang... kita hanya berdua."
Deg!
Bagaimana ini? Tolong aku, Tuhan. "Sya...," kataku hendak membujuknya.
"Nara... Nara. Aku sudah pernah membunuh tiga orang. Dan kali ini... giliranmu. Oh, ya, aku ingat. Kamu hamil anak kembar, kan? Itu artinya... aku bisa menghabisi tiga nyawa sekaligus. Bukan begitu, Sayang? Sekarang katakan, kamu ingin kutusuk di mana? Jantung? Hati? Lambung? Atau... oh, aku tahu, bagaimana kalau kita mulai dari perutmu? Asyik, kan?"
Tuhan... tolong lindungi aku dan anak-anakkku.
Aku bersiaga. Salsya pun mulai menyerang, tapi aku berhasil menghindar hingga pisau tajam itu menancap ke sofa dan sofa itu pun bergeser dari tempatnya.
Keadaan ini membuat Salsya lebih marah. Dia mengeran* dengan beringas dan melakukan penyerangan berikutnya. Kali ini aku berhasil menahan tangannya hingga pisau itu terlepas. Dan demi pertahanan diri, aku terpaksa -- melawan dan menghajarnya yang tidak punya kemampuan beladiri sedikit pun. Sayangnya, aku hanya mampu mengandalkan kekuatan tanganku, aku mencoba menghantamnya dengan kakiku sekali, tetapi itu justru memberikan efek sakit terhadap perutku, hingga Salsya terlepas, dia menubruk meja dengan vas bunga yang cukup besar. Mejanya bergeser, vas itu jatuh dan pecah berserakan di lantai.
Salsya yang tersungkur secepat kilat berusaha mengambil pisaunya, tapi beruntung aku bisa melumpuhkannya lagi dan refleks menarik rambutnya dan menghentakkan kepalanya ke lantai. Dia pingsan.
Tapi hanya pura-pura.
Aku yang lengah dan mengira dia sudah lumpuh dengan susah payah hendak berdiri, di saat itulah Salsya menendangku hingga aku terlentang.
Ctek!
Lampu di ruangan itu padam. Ruangan seketika menjadi gelap.
Dalam keadaan menahan sakit dan dengan keadaan ruangan yang gelap itu -- samar-samar aku melihat sekelebat bayangan hitam datang dan langsung menyerang Salsya. Aku sama sekali tidak bisa mengenali orang itu, pakaiannya serba hitam dan ia mengenakan penutup kepala hingga yang terlihat hanya mata dan bagian mulutnya, bahkan aku tidak tahu apakah dia lelaki ataukah seorang perempuan.
Aku memiringkan tubuhku -- berusaha untuk berdiri, tapi tidak bisa. Perutku sakit seolah mengalami kontraksi. Dan di saat itu pula -- meskipun samar-samar -- aku melihat sosok hitam itu dengan sadis menghunjamkan pisau ke dada Salsya. Senjata itu memakan tuannya sendiri. Dan dengan sengaja pula sosok malaikat pembunuh itu meraih tangan Salsya dan menggenggamkannya ke gagang pisau. Melihat adegan itu aku hanya bisa menahan suaraku, membekap mulut dengan kedua tangan karena merasa shock. Dan sesaat kemudian, sosok hitam itu menghampiriku. Aku sempat berteriak, tapi dengan cepat dia membekap mulutku.
"Ssst... tenanglah," katanya pelan. Dia menggunakan sebuah alat untuk menyamarkan suaranya. Hingga aku tidak mengenali suaranya, bahkan tipe suara lelaki atau perempuan, aku tidak bisa membedakannya.
Sambil menangis dan menahan sakit, dan dengan suaraku yang tersendat, aku memohon kepadanya. "To-tolong, tolong jangan... jangan bunuh aku. Ak-aku... aku sedang hamil."
Dia tersenyum -- senyuman dalam suasana gelap namun tetap bisa kulihat dengan pendaran cahaya dari ruangan lain. Senyuman itu sangat asing. Aku merasa tidak pernah melihatnya di bibir siapa pun. Lalu...
Dia mengelus perutku. "Kamulah pemenangnya."
"Siapa kamu?"
Dia menggeleng. "Katakan pada siapa pun yang bertanya bahwa kamu tidak tahu apa-apa. Akui kalau kamu sudah pingsan lebih dulu sebelum semua ini terjadi. Mengerti?"
Aku mengangguk setuju.
"Sekarang tidurlah." Dia mengusap wajahku dengan tangannya yang terselubung sarung tangan. Lalu...
Perlahan...
Aku mulai kehilangan kesadaranku. Dia membiusku.
"Hai, Bocah-Bocah, bertahanlah. Kalian akan baik-baik saja. Percaya atau tidak, kalian akan terlahir sebagai jagoan. Asalkan ibu kalian ini bisa diajak kerja sama. Kalau tidak...."
Aku ketakutan -- di ujung kesadaranku. "Kamu... mau... apa?"
Lalu...
Dia mengarahkan pisau itu ke perutku.
Srettt!
"Jangaaaaan...!"
Aku terbangun dengan napas terengah. Sialan!
Aku duduk tegak di tempat tidur, darahku mendesir dan wajahku basah oleh peluh. Jantungku berdebar sangat kencang, seolah-olah hendak meledak keluar dari dadaku. Jam menunjukkan saat itu pukul 03.12 dini hari, tapi itu tak mungkin benar. Rasanya aku baru tertidur selama beberapa menit.
Aku terus menatap jam di ponselku. Mengerjap. Mencoba memfokuskan pandangan dan berusaha membuat segalanya terasa lebih masuk akal. Tapi tetap tidak bisa. Aku ketakutan.
"Sayang? Kamu baik-baik saja?"
Mimpi tadi kembali membanjiriku, dan tiba-tiba saja kamar rawat itu terasa lebih sempit, udaranya pun terasa lebih tipis. Dadaku terasa sesak, dan kucoba untuk menarik napas dalam-dalam. Aku seperti orang yang mengidap asma.
"Sayang, apa kamu baik-baik saja?" Reza bertanya lagi, lalu ia memelukku. Bisa kulihat raut kekhawatiran di wajahnya. "Tenang," katanya. "Tenang. Kamu hanya mimpi buruk, oke? Rileks."
Tatapi aku masih saja ketakutan.
"Apa soal kejadian kemarin? Kamu mimpi itu lagi?"
Aku mengangguk, lalu menggeleng tidak jelas. "Aku...," tidak ada lagi kata-kata yang keluar. Kutekan kepalaku kuat-kuat karena kesal -- kesal pada mimpi buruk yang berhasil menggangguku. Air mataku mulai menetes.
Reza melepaskan pelukan, lalu ia berdiri dan mengambilkan air putih untukku. Aku meminumnya, dan merasa lebih baik setelah meneguk hampir setengah gelas air dari tangannya.
Baru kusadari, bajuku -- baju pasien -- basah kuyup dan membuatku merasa tidak nyaman. "Aku ingin ganti pakaian, Mas."
"Biar kubantu."
Aku mengangguk. Reza pun mengambilkan pakaian ganti dari dalam koper dan membantuku berganti pakaian. Sebenarnya aku bisa melakukan itu sendiri, tapi aku suka perhatiannya -- sekecil apa pun itu. Sesaat kemudian, Reza kembali duduk di sampingku setelah menaruh baju pasien itu ke kamar mandi. "Mau membicarakannya?"
"Hm." Aku bergidik. Kemudian berubah pikiran. "Tidak." Kurebahkan kepalaku ke bahunya. "Entahlah. Aku bahkan tidak...." Aku menggeleng lagi.
Alis Reza bertaut. Dia menatapku dengan tanda tanya. "Apa? Ceritakan saja. Hmm?"
"Tidak ada gunanya membicarakan mimpi tadi, Mas. Cuma mimpi bodoh. Tidak berarti apa pun dan tidak mengubah apa pun. Lupakan saja."
Reza mengangkat bahunya, dan merangkulkan tangannya ke tubuhku. Kini aku bersandar di dadanya. "Kadang-kadang akan terasa lebih melegakan jika kita membicarakannya."
"Tapi mimpiku itu tidak masuk akal." Lalu aku menceritakan potongan mimpi yang masih kuingat. "Dalam mimpi itu aku juga ditusuk. Perutku, Mas. Aku tidak bisa melawan. Aku...."
Lagi-lagi kalimatku terputus. Hanya beberapa kalimat saja tapi membuatku terengah. Kuhela napas dalam-dalam, tapi itu justru membuat dadaku semakin terasa sesak.
"Tenang...." Reza mengelus perutku. "Itu tidak akan terjadi. Orang itu tidak melakukannya kemarin. Tidak juga ke depannya, karena aku akan selalu bersamamu, setiap detik, setiap menit, dua puluh empat jam. Kalau perlu, kita pakai jasa bodyguard selamanya. Oke? Demi kebaikanmu, juga demi anak-anak kita."
Aku tersenyum setengah hati. "Ya, kuharap begitu."
"Sayang, dengarkan aku, cobalah untuk tidak menjadikan semua ini sebagai beban. Cukup jalani semuanya. Nikmati saat ini, dan di sini. Ada aku. Kita bisa melewati ini bersama, oke?"
Aku mengangguk, Reza tampak lega. Kami duduk dalam diam beberapa saat. "Aku tidak mau tidur lagi," akhirnya aku menggumam. "Aku tidak mau mimpi buruk lagi."
"It's oke. Kalau yang itu aku bisa membantu." Dia tersenyum, lalu mencium bibirku dengan lembut. "Kita bisa melakukan apa pun untuk menunggu pagi. Apa pun yang kamu inginkan. Ada aku bersamamu. Hmm?"
"Kamu sudah diperbolehkan pulang."
Aku mengangguk. "Kita akan pulang ke mana, Mas? Bukan...?"
"Tidak, Sayang. Kita tidak akan pulang ke rumah. Lagipula rumah kita masih disegel police line." Reza yang tadinya beberes barang-barang kami yang hendak dibawa pulang -- langsung duduk di hadapanku. Dia menggenggam tanganku dan menatap mataku dengan lekat. "Untuk sementara kita tinggal di mes resto, ya? Sampai kita diperbolehkan pulang ke Jakarta."
Aku mengangguk lagi. Jelas aku setuju. "Kurasa itu lebih baik."
"Em, tentu. Oh ya, tadi... Bunda, Tante, Oom, mereka minta kita tinggal di rumah mereka sementara. Tapi... aku khawatir kamu tidak mau. Tapi kalau kamu mau--"
Aku menggeleng. "Tidak usah, Mas. Aku tidak mau merepotkan mereka. Apalagi kondisiku seperti ini. Aku tidak mau mereka mengkhawatirkan aku terus nanti."
"Tepat seperti dugaanku. Kamu hanya mau berduaan denganku, kan?"
Hah! Dia mulai kumat. "Dasar! Percaya diri sekali kamu."
"Fakta."
Aku tersenyum. "Iya, iya. Aku... maunya berduaan terus denganmu. Disayang-sayang... dimanja-manja... dielus-elus... di--"
"Diterapi cinta terus, kan?"
Ck! Spontan aku ngakak. "Kamu... selalu bisa membuatku tertawa. Terima kasih."
"Sudah? Hanya seperti itu?"
"Maksudnya?"
"Caramu berterimakasih pada suami. Cuma seperti itu?"
Aku mengangguk. Aku paham betul apa yang ia maksud. "Oke," kataku. Yap, dalam sekejap bibir kami pun saling bertaut sempurna. Seperti biasa, dia suka sekali menikmati rasa kenyal dari bibirku.
Ceklek!
"Eh, Bund, Tant. Sori, maaf," kata Reza. Dia malu tertangkap basah sedang memonopoli bibir istrinya di depan mata mertuanya.
Ibuku dan bibiku mesem-mesem. "Santai kelles...," kata bibiku. "Kan halal. Lanjut, gih! Lanjut...! Pura-pura tidak ada orang."
Hah!
Ibuku yang juga super jahil tidak mau kalah. "Iya, monggo dilanjut. Atau mau yang lebih? Sana, ke kamar mandi."
"Yey! Ayo, Mas! Capcusss...!" seruku dengan tampang cengengesan.
Wajah Reza langsung merah menahan malu. "Kamu malah ikut-ikutan."
"Aku serius, Mas! Ayo... gendong aku. Kita seru-seruan di kamar mandi. Ya, ya, ya?" Kugigit bibir bawahku dengan sensual, dengan wajah tersenyum, dan menaikkan alis beberapa kali. Menggodanya.
Reza mendelik, mencubit gemas kedua pipiku, lalu berbisik, "Kamu sama dengan mereka."
"Bunda...," pekikku.
Spontan Reza hendak menutup mulutku yang ingin mengadu.
Aku pun menepisnya lalu nyengir. "Hanya bercanda, Mas," kataku.
Semoga tidak berdosa, ya. Kan aku cuma bercanda. Peace....
"Kalian mending tinggal di rumah Tante dulu," ujar bibiku menyelip canda tawa kami. "Lebih banyak orang yang menjaga kan lebih aman. Ya, Sayang. Mau, ya?"
Aku dan Reza saling melirik. Saling menyampaikan pertanyaan melalui tatapan dan mimik muka. Hanya dengan dua alis terangkat, kami berdua saling mengerti pertanyaan masing-masing.
"Kalau Reza oke oke saja, Tant. Tergantung Nara."
Eit dah, nih laki....
"Oke, berarti fix, ya! Ayo, kita pulang."
Eh? Jawabanku tidak penting, kah?
"Kamu dilarang menolak. Tante ke sini khusus untuk menjemputmu. Karena Tante menyayangimu."
Hmm, baiklah. Aku mulai terbiasa dengan cara mereka semua menyayangiku -- dengan menyetirku, mengharuskan aku untuk menuruti semua keputusan yang mereka tetapkan.
Reza mengangguk dan merema* lembut jemariku. "Menurut saja," pintanya.
Ya sudahlah. Aku pun balas mengangguk. Satu yang pasti, aku harus bersyukur karena orang-orang di sekitarku benar-benar peduli dan sayang padaku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!