NovelToon NovelToon

CEO Dadakan Dan Putri Bangsawan

Prolog

Arfan Alhusayn adalah seorang pria lulusan pesantren. Ia juga telah menyelesaikan kuliahnya di salah satu kampus yang ada di Yogyakarta. Wajahnya tampan, etikanya juga baik. Anak yang sangat rajin pula. Dia memiliki seorang adik nan cantik dan cerdas.

Siapa yang akan mengira, bahwa nasib malangnya akan berubah dalam waktu yang tak di sangka-sangka?

Tidak ada!

Tuhan memang memiliki jalannya sendiri untuk memberikan hamba-Nya kebahagiaan. Kita tidak pernah tahu hal apa yang akan terjadi ke depannya. Tugas kita hanyalah berdoa dan berusaha!

...*****...

Derap langkah kaki membawa pria tampan yang tengah sibuk dengan pekerjaannya saat ini, menuju teras rumahnya. Niatnya, ingin sekedar menyapa sang ibu yang sudah bersiap-siap ingin pergi.

"Arfan ...!" tegur seorang wanita yang hampir kepala empat itu pada anaknya.

"Iya, Bu'e. Ada apa?" tanyanya lembut dan halus.

"Kamu ndak jadi pergi ke pasar, Le? Siapa tahu, ada yang mau membeli karya seni mu itu." ucap Sanah Mufidah pada anaknya.

"Arfan rasa tidak perlu, Bu'e! Nanti, 'kan ada orang yang menjemputnya ke sini, Bue. Sudahlah, Bue ndak perlu cemas! Insha Allah, Allah akan mempermudah segala sesuatunya nanti." timpal Arfan penuh keyakinan.

"Oh, gitu. Ya, sudah kalau begitu Bu'e mau ke pasar dulu. Apa kamu mau nitip sesuatu, Le?" tanya Sanah lagi pada anak tampannya itu.

"Ndak, ada Bu'e. Kalau begitu, Arfan lanjut kerja lagi, ya! Bue hati-hati di jalan! Jangan, pulang malam-malam, Bu'e! Ndak, baik anak gadis pulang malam-malam. Hehehe ...," kelakarnya menggoda ibunya yang sudah punya anak dua.

"Hush ... mulut mu itu! Bu'e sudah punya anak dua masih di bilang anak gadis. Le ... Le ... mbok yo buruan nikah toh, ben Bue punya mantu!" ucap sarkas Sanah yang mengundang gelak tawa di antara anak dan ibu itu.

"Hihihi ... kalau bahas masalah itu. Arfan ngaku belum siap, Bu'e! Soalnya, Arfan belum percaya diri untuk melamar anak gadis orang, Bu'e. Bu'e doakan saja, ya! Supaya, Bu'e bisa punya mantu sebentar lagi. Kalau bisnis yang Arfan rintis ini berjalan lancar. Bu'e boleh, deh ... berharap punya mantu ayu!" ucap Arfan dengan tawa renyahnya.

"Wis ora usah berkhayal tinggi-tinggi, Le! Bu'e cuma kepengen kamu sukses dan hidup bahagia. Yo wis, Bu'e ke pasar sekarang. Udah mau siang ini. Gara-gara koe Bu'e jadi telat, deh!" Sanah pun segera berjalan buru-buru.

"Pelan-pelan, Bu'e ...!" teriak Arfan yang khawatir pada langkah ibunya yang terlalu terburu-buru itu, dia takut ibunya akan jatuh.

Namun, Sanah hanya melambaikan tangannya tanda mengerti.

"Bu'e ... Bu'e ...! Mimpi Bu'e untuk punya mantu nampaknya akan lama terwujudnya. Hahhh ... usia ku sudah 25 tahun. Tapi, aku masih belum bisa sukses. Sudahlah! Lebih baik aku kembali bekerja lagi." ucapnya yang kembali mengerjakan pekerjaan membuat berbagai macam produk furniture di samping rumahnya.

...*****...

Di salah satu rumah mewah dan megah seantero kota Yogyakarta. Rumah yang di huni oleh keturunan keluarga ningrat ternama.

Adiwangsa Maheswara adalah pria keturunan keluarga ningrat yang ada di kota Yogyakarta. Bisnisnya sudah tidak di ragukan lagi. Berbagai jenis perusahaan ia tangani. Termasuk bisnis mebel yang sukses membawa namanya terkenal hingga ke luar negeri.

Saat ini, pria yang sudah berkepala empat itu tengah menikmati hangatnya secangkir kopi buatan sang istri. Dengan nuansa dingin yang membawa ketenangan dan kedamaian.

Namun, sungguh di sayangkan! Sebab, suasana tenang dan damai itu harus berakhir dengan secepat kedipan matanya memandang.

"Wah, nikmat sekali menyeruput kopi di pagi hari, Sayang!" ucapnya pada sang istri yang duduk setia mendampingi di sisi.

"Iya, habiskan kalau begitu, Mas! Aku ingin kembali lagi ke atas. Anak gadismu belum bangun juga dari tadi. Permisi, Mas!" ucap Aneira Hazna.

Saat Hazna membalikkan badannya, ia mendapati sang putri telah berdiri tepat di depan wajahnya saat ini.

"Nggak perlu repot-repot, Ma. Aku udah bangun." lalu, gadis itu berjalan menuju ayahnya berada.

Kemudian, dia mengambil posisi duduk dan mulai bersikap manja pada sang ayah.

"Pa ... aku ingin mobil baru. Boleh, ya Pa? tanyanya sambil meminta.

"Loh ... memangnya, mobilmu yang warna merah itu kenapa? Rusak?" tanya Adi dengan sedikit berkerut kening. Pasalnya, belum lama ini ia telah membelikan sang putri mobil baru. Dan sekarang, putri manjanya itu ingin minta di belikan, lagi?! Oh, tentu saja Adiwangsa tidak akan langsung menurutinya!

"Bukan, Pa! Mobilnya baik-baik, aja. Tapi, aku ingin yang lebih bagus lagi dari yang kemarin, Pa ...." rengeknya seperti anak bayi saja.

"Tidak! Papa tidak akan membelikan kamu mobil baru lagi. Mobil mu itu saja belum ada satu bulan kamu pakai. Masa kamu minta belikan lagi, sih?! Tidak, Papa tidak mau!" tolak Adi dengan tegas dan lugas terhadap permintaan sang putri padanya.

"Papa jahat! Mas Raynar bebas meminta apa saja! Sedangkan aku ...? Apa? Papa terus saja memanjakan mas Raynar di bandingkan aku dan mbak Savina. Ini nggak adil! Papa jahat! Jahat ...!!" teriaknya berulang-ulang kali dan kembali lagi ke atas.

Adiwangsa hanya bisa menghela nafasnya berat.

"Mas ...?" sapa Hazna pada suaminya.

"Biarkan saja! Aku sudah sakit kepala menghadapi sikap manja anak itu. Kenapa di usianya yang sudah 23 tahun, dia belum juga bisa bersikap dewasa?! Benar-benar membuat ku tambah stres saja anak itu!" ujar Adi merasa terhimpit beban yang berat di kepalanya.

"Apa perlu aku nasihati dia, Mas?" tanya Hazna lemah lembut dan halus.

"Pergilah! Katakan padanya, agar ia bersikap dewasa mulai dari sekarang. Sebab, aku tidak mau melihat kelakuan putri kita itu menjadi contoh yang tidak baik nantinya. Kau mengerti, 'kan, maksud ku, Sayang?"

"Iya, Mas. Kalau begitu, aku akan menemuinya sekarang juga. Permisi, Mas!" Hazna pun berjalan menaiki anak tangga itu dengan anggun. Sebab, keluarganya telah menerapkan sikap seorang wanita bangsawan padanya sejak dini.

Sungguh, sikap putrinya berbanding terbalik dengan sikapnya yang lemah lembut.

Tok ... tok ... tok ...

Pintu tidak terkunci, Hazna pun masuk ke dalam. Melihat wajah sang ibu, gadis yang tengah duduk di atas ranjangnya langsung membuang pandangannya ke arah lain.

"Fayra, Sayang ...! Kamu kenapa tiba-tiba ingin minta di belikan mobil baru lagi, hum? Memangnya, mobil kamu yang sekarang kurang bagus? Itu juga, 'kan, pilihan kamu sendiri. Kenapa, Sayang? Coba jelaskan pada Mama sekarang!" pinta Hazna lemah lembut dan penuh perhatian.

Fayra tetap bergeming!

Hazna kembali menasihati anak gadisnya itu.

"Fayra ... jangan bersikap seperti tadi pada papa mu! Nanti, bisa-bisa dia akan memarahi kamu lebih dari ini. Apa kamu mengerti, hum? Mama harap, ini terakhir kalinya kamu meminta hal yang sudah kamu miliki. Mengerti?! Ingat! Jangan, sekali-kali kamu ulangi lagi hal seperti ini lagi! Paham?!"

"Fay mau tidur lagi, Ma. Sebaiknya, Mama pergi saja. Jika sudah selesai melaksanakan tugas yang diberikan oleh presiden di rumah ini!" ucap ketus Fayra pada sang ibu. Kemudian, ia menenggelamkan tubuhnya hingga di tutupi seutuhnya oleh selimut.

"Hahhh ... susah sekali mengurus anak gadis ku yang satu ini." keluh Hazna sebelum kakinya melangkah ke luar daun pintu.

Ketika ibunya telah pergi, Fayra bangkit dari posisi tidurnya dan mulai berjalan ke kamar mandi.

Entah apa yang tengah ada di kepalanya saat ini! Sepertinya, ia tengah merencanakan sesuatu dari sorotan wajahnya yang menampilkan senyuman menawan.

Wajahnya tiba-tiba terlihat sangat bahagia, hal itu terjadi ketika ia baru saja selesai membaca pesan di ponselnya. Pada saat ia berada di dalam selimut tebalnya tadi, ia mendapat sebuah pesan. Hal itulah yang membuat mood buruknya menjadi baik lagi.

Semoga, apa yang akan Fayra lakukan nanti. Tidak akan mengundang amarah yang jauh lebih besar lagi dari sang ayahanda tercintanya.

...*****...

Jadilah pribadi yang dapat disenangi

Bukan malah di benci

Jadilah orang yang ramah

Bukan malah mengundang amarah

...*****...

Pertemuan

Fayra bergegas mandi dan bersiap-siap untuk pergi. Tak lupa ia memoleskan make-up pada wajah cantiknya. Kemudian, dia buru-buru keluar dari kamarnya.

Setelah merasa situasi cukup aman. Ia pun berniat melangkahkan kakinya dengan berjinjit. Agar suara langkah-langkah kakinya tak berbunyi. Tak lupa pula ia menjinjing sepatu heels yang akan ia pakai nanti setibanya ia di mobilnya.

Benar saja!

Suasana rumah memang mendadak sepi. Sehingga hal itu memudahkan ia untuk segera kabur dari rumah.

"Asyik ...! Pak Presiden sedang tak ada di sini. Ini hari keberuntunganku, akan lebih bagus lagi kalau aku dapat segera keluar sekarang juga!" ucap Fayra berbisik-bisik lirih.

...*****...

Setibanya gadis itu di luar rumah, ia segera tancap gas menuju mobilnya berada. Dan detik itu juga ia langsung mengambil alih setir mobil dengan sigapnya.

Mobil Fayra pun melaju kencang membelah jalanan aspal hitam itu, dengan kecepatan maksimum.

"Wuhuuu ... akhirnya ...! Aku bebas juga, yey ...!" ucapnya merasa bahagia tak terkira.

Lalu, di ambilnya ponsel yang ada di dalam tas sandangnya dan kemudian mulai mencari kontak seseorang di sana. Matanya tertuju pada satu kontak, yang tadi mengirimkannya sebuah pesan singkat yang mengundang bahagia.

"Halo ... apa kamu masih di sana, hum? Aku udah OTW (On the way), nih! Kamu jangan kemana-mana sebelum aku datang, ya!" perintahnya pada seseorang yang ada di balik telpon itu.

"Iya, cepatlah datang! Aku akan menunggu kamu dengan setia di sini. Love you ...!"

"Love you too." jawab Fayra dan ia pun mematikan ponselnya.

Senyum semakin merekah di bibir Fayra. Tampaknya, ia amat sangat bahagia saat ini.

...*****...

Dorongan hasrat untuk segera bertemu dengan seseorang. Membuat Fayra tak bisa mengemudikan mobilnya dengan pelan. Sehingga, tanpa ia sadari dirinya ternyata menabrak seseorang.

Chiiittt ...

Suara rem mobil Fayra terdengar amat sangat kencang. Lalu, di lihatnya seseorang yang sudah terbaring tak berdaya di depan mobilnya berada.

"Duh, pakai nabrak segala, lagi! Wah, kacau ini urusannya! Nggak, bisa! Aku nggak akan buang-buang waktu untuk berdebat di sini. Kasihan, 'kan dia pasti udah nunggu aku lama di sana." keluh Fayra yang sama sekali tak peduli pada kondisi seseorang yang tergeletak di depan mobilnya.

"Sebaiknya aku kasih uang ganti rugi terus pergi." ucapnya berujar sesuka hati.

Fayra pun turun dari mobil dan membuka tas sandangnya. Lalu, ia mulai menghitung uang kertas berwarna merah muda itu. Dan dengan cepat ia mengambil setumpuk uang dalam dompetnya. Lalu, mengulurkan uang itu pada orang yang sudah di tabrak nya barusan.

"Mas ... Mas ...! Ini, uang untuk ganti rugi kerusakan motor si Masnya, ya! Saya nggak ada waktu untuk anterin Masnya ke rumah sakit. Jadi, Mas pergi ke rumah sakitnya sendiri aja, ya!" ucap Fayra tanpa kenal rasa manusiawi sama sekali.

"Auh ... sakit!" keluh pria itu dengan mata yang masih terpejam menahan sakit.

Terik matahari membuat silau pandangan matanya. Sehingga, ia tak begitu jelas melihat wajah Fayra. Apalagi, gadis itu menggunakan kaca mata pula.

Pria itu berusaha untuk berdiri dari posisi tidurnya. Dan mencoba membicarakan peristiwa tabrakan itu, pada si gadis yang berdiri tepat di hadapannya saat ini.

"Maaf, Mbak! Tapi, ... saya tidak butuh uang Mbak ini! Saya lebih butuh rasa tanggung jawab Mbaknya pada saya. Jika memang tidak bisa mengantarkan saya ke rumah sakit. Paling tidak ... Mbak bisa, 'kan, meminta maaf dengan tulus pada saya?!" ucap pria itu dengan masih menyunggingkan senyuman manisnya.

Bukannya meminta maaf, Fayra justru semakin menaikkan nada bicaranya.

"Aduh ... Mas ... Mas ...! Jangan, drama, deh! Udah, ya! Saya nggak ada waktu untuk ladenin Masnya. Saya ada janji temu yang jauh lebih penting dari pada ini! Jadi, jangan berharap saya akan meminta maaf, oke?! Ini uangnya, silakan pergi sekarang juga! Bye ...!" ucap Fayra ketus seketus ketusnya!

Lalu, gadis itu langsung pergi tanpa menghiraukan keadaan orang yang di tabrak olehnya itu.

"Auh ... sakit! Tapi, sikap Mbak itu jauh lebih menyakiti hatiku. Luka ini tidaklah seberapa. Namun, luka di dalam sini jauh lebih sakit rasanya!" ucapnya, sembari memegangi letak jantungnya berada yang terasa perih tak terhingga.

"Kok, ada ya manusia sekejam itu?! Dan lagi ... dia perempuan pula! Hahhh ... benar-benar sial aku hari ini. Semua pigura ku hancur, badan sakit dan hatiku juga ikutan sakit." keluh Arfan Alhusayn yang tengah meratapi nasib malangnya saat ini.

"Kalau nanti aku bertemu dengannya lagi, aku akan kembalikan uang ini padanya. Aku tidak sudi menerima uang dari orang yang tidak tulus seperti gadis itu." tekad Arfan kuat.

"Syukur tadi aku masih sempat melihat plat nomor mobilnya. Kalau otakku ini tidak cerdas, mungkin saja aku sudah lupa berapa nomor plat mobil gadis itu tadi." imbuh Arfan lagi yang masih kesal sendiri, sejak di tinggal pergi oleh gadis cantik tapi, menyebalkan tidak terhingga.

Tak ada pilihan lain, Arfan harus mampir ke klinik terdekat. Sebab, ia harus segera mengobati lukanya sekarang juga.

Dengan langkah lemah, ia berjalan dengan sisa-sisa tenaga yang ia punya. Akhirnya, ia sampai jua pada tempat tujuannya. Syukurlah, klinik itu membutuhkan semua yang di perlukan oleh Arfan.

"Alhamdulillah ... akhirnya selesai juga." Arfan lalu memutuskan untuk pulang ke rumah.

...*****...

Di perjalanan pulang, Arfan sudah terbayang akan wajah sang ibu yang akan sangat khawatir bila melihat kondisinya saat ini.

"Semoga, saja. Bu'e tidak akan sedih melihat kondisiku saat ini. Aamiin ...!" pintanya dalam hati.

Untuk sementara waktu, terpaksa sepeda motornya ia titipkan di bengkel. Sebab, motornya mengalami sedikit kerusakan saat di tabrak tadi. Ia harus rela meninggalkan sepeda motornya dan pulang dengan menggunakan kendaraan umum.

...*****...

Setelah cukup lama mengendarai mobilnya, Fayra akhirnya tiba di tempat tujuan. Ia segera keluar dari mobil tepat setelah ia memarkirkan mobilnya di parkiran.

Dengan anggun ia melangkah menuju kafe tempat ia berjanji untuk bertemu seseorang yang telah lama ia rindukan.

"Hah ... akhirnya! Hari ini pun tiba, aku semakin tak sabar ingin melihat wajah tampannya lagi." ucap Fayra lirih berbisik dalam di relung hatinya.

Langkah demi langkah, Fayra pun tiba di depan pria yang amat ia rindukan selama ini. Tampak sepasang bola mata indah milik sang tambatan hati saat ini.

Pandangan mata Fayra tak bisa beralih menatap wajah tampan yang terpampang di hadapan. Senyum terukir indah di bibir gadis cantik itu, seakan tak ada lagi yang dapat menghentikan dirinya, untuk memadu kasih yang telah lama tak bersua. Selama ini, mereka hanya melakukan komunikasi melalui via telepon genggam saja.

"Hai ... Fay! Kamu ... apa kabar?" kalimat tanya langsung terucap kala Fayra hadir di hadapannya.

Bukannya menjawab, Fayra langsung berhamburan ke dalam pelukan prianya. Dengan sikap kikuk, pria itu membalas pelukan dari Fayra.

"Aku sangat ... sangat merindukan kamu! Kamu kenapa baru pulang sekarang, hum?!" ujar Fayra sembari menepuk-nepuk pelan punggung si prianya.

"Maaf! Di sana, aku sibuk. Jadi, tidak bisa cepat-cepat pulang ke sini. Ku harap, kamu bisa mengerti, ya?!" ucapnya meminta belas kasih pada gadis yang tengah memeluk erat tubuhnya saat ini.

Fayra segera melepaskan pelukannya, setelah ia mengingat sesuatu.

"Oh, iya. Apa kamu tidak jadi membelikan ku oleh-oleh, hum?!" tanyanya dengan tatapan penuh harap.

"Jadi, dong! Sini, aku pakaikan langsung, ya!" ucapnya dan membalikkan badan gadisnya.

Fayra pun pasrah, ia mengikuti instruksi dari sang prianya. Saat pria itu memasang kalung di lehernya, Fayra merasa sangat bahagia sekali.

"Ini ... ini untukku, Sayang?!" ucapnya girang.

"Em, ini kalung yang khusus aku desain untuk kamu, Sayang. Apa kamu suka?" tanyanya.

"Suka! Aku suka banget, Sayang! Makasih, ya Vin! Kamu memang yang terbaik!" ucap Fayra yang kembali memeluk prianya itu dengan penuh kasih dan sayang.

"Kalau begitu, pakailah untuk selamanya, ya!" pinta sekaligus perintah keluar dari bibir Ervin.

Pria itu seakan tak puas-puasnya, menatap lekat wajah cantik nan imut bagaikan sang Dewi dari surga. Ya, seperti itulah perumpamaan Fayra di mata Ervin saat ini.

Ervin Adicandra adalah anak konglomerat yang cukup tersohor di kota ini. Sama halnya dengan keluarga ningrat Fayra. Tapi, kabar buruknya ialah kedua orang tua mereka merupakan rival.

Mungkinkah Adiwangsa Maheswara akan menerima jalinan kasih sang putri manjanya itu?

Tampaknya, hal itu akan sangat sulit untuk di wujudkan oleh Fayra dan Ervin saat ini! Mengingat, ayah mereka saling bermusuhan sejak lama. Tentunya, hal itu sangat mempengaruhi hubungan di antara mereka berdua.

Lalu, apa yang akan terjadi jika Adiwangsa Maheswara tahu, tentang jalinan kasih antara si anak manjanya dengan anak dari musuhnya?

Entahlah!

Bisa saja bencana akan segera melanda tanah Jawa. Oh, semoga saja hal itu tak akan terjadi!

...*****...

Kemarahan Adiwangsa Maheswara

Kafe tempat Fayra dan Ervin berada, tengah merasakan perasaan yang berbunga-bunga. Sedangkan suasana di rumah gadis cantik itu, justru berbanding terbalik dengan apa yang di rasakan oleh dua sejoli itu.

Hal apakah yang terjadi?!

...*****...

Adiwangsa Maheswara tengah mengenakan pakaiannya yang akan ia pakai di hadapan semua rekan-rekan maupun koleganya. Ia berencana untuk menghadiri pertemuan para pebisnis kelas kakap. Ia tentu tak ingin ketinggalan gosip yang tengah ramai di perbincangkan saat ini.

Pasalnya, saat ini bisnis mebel tengah mengalami kenaikan pesat. Sebagai perusahaan yang juga menggeluti bidang tersebut, sudah barang tentu Adiwangsa tak mau absen akan hal itu.

"Sayang, buatlah aku terlihat seperti seorang raja yang akan memerintah dan mengendalikan semua orang nantinya!" ujarnya penuh ambisi yang tak pernah mati pada sang istri.

"Iya, tenang dan rileks saja, Sayang! Ini, sebentar lagi juga akan selesai, kok." sahut Hazna pada suaminya yang tergesa-gesa itu.

Sejenak, otak Adiwangsa berotasi memikirkan sang putri manjanya yang tadi pagi, ia tolak mentah-mentah keinginan sang putri manjanya itu.

"Sayang ...?! Apa Fayra masih marah padaku?" tanyanya dengan ekspresi wajah yang sulit untuk diterka.

"Hahhh ... sepertinya masih, Mas. Cobalah kamu saja yang langsung menasihati dia! Aku tadi sudah menasehati dia, tapi ...,"

"Tapi, kenapa?" sambar Adi cepat.

"Tidak, dia tidak mau menerimanya. Itu terlihat jelas pada wajahnya, Mas. Dia sangat sulit sekali di atur!" jelas Hazna yang sudah mulai kewalahan menghadapi sikap sang putri.

"Baiklah, aku sendiri yang akan menemuinya di kamarnya. Kalau begitu, Mas pergi dulu, ya!" ucap Adi yang kemudian mengecup puncak kepala sang istri sebelum ia pergi.

Hazna selalu merasa bahagia dengan sikap manis dan lembut yang di ciptakan oleh Adi padanya. Dia pun tersenyum bahagia, sebab ia mendapatkan kecupan hangat.

Adiwangsa mulai berjalan menuju kamar putri manjanya. Tinggal beberapa langkah lagi, Adi akan mencapai pintu kamar sang putri.

Tok ... tok ... tok ...!

Tak ada jawaban, Adi pun masuk tanpa berkata apa-apa. Dia buka pintu dan dia pun terkejut bukan kepalang.

Rahangnya mengeras dan jari jemarinya mulai mengepal kuat.

"Anak itu ... sungguh mencari-cari amarahku! Tunggu ... tunggu saja sampai kamu kembali Fayra! Papa akan mengajarkan padamu, bagaimana caranya memberontak dengan benar!" sarkas Adi berujar sendiri.

Buru-buru dia membawa dirinya pergi untuk menghadiri pertemuan para pebisnis tersohor seantero Yogyakarta itu. Dia mencoba untuk mengendalikan emosi yang sudah mencapai batas tinggi! Kepalanya terasa mendidih, sebab kemarahan telah sukses menyalakan api. Bahkan sampai ke ulu hati!

Adi masuk ke dalam mobilnya dan memerintahkan pada sang supir untuk segera pergi.

"Jalan, Pak!" ucapnya.

"Baik, Tuan!" sahut si supir kemudian.

...*****...

Arfan berjalan dengan sangat hati-hati, takut kalau ibunya melihat kondisi tubuhnya yang terluka. Diam-diam dia ingin langsung masuk ke kamar.

Dia mengucapkan salam hampir tak terdengar sama sekali.

"Assalamualaikum," ucapnya dengan berbisik lirih.

Kemudian, dia pun berjalan lagi dengan hati-hati dan sangat pelan sekali. Diseretnya kaki yang masih lagi terasa perih. Lalu, di bawanya beranjak pergi dan mencoba untuk segera melarikan diri.

Tapi ... sungguh malang!

Ada kejadian yang tak bisa ia hindari lagi.

"Loh, Mas ...?! I-itu ... kakinya Mas, kenapa? Kok, bisa di perban begitu, Mas?" tanya sang adik yang sudah pulang kuliah.

"Shuuuttt ...! Pelan-pelan ngomongnya, Dik Manis! Mas ndak mau kalau bu'e sampai dengar nanti," ucap Arfan dengan memberikan kode menggunakan telunjuknya yang di letakkan di bibirnya.

"Bu'e ... di mana, hum? Tumben, suaranya tidak kedengaran?" tambahnya lagi.

"Bu'e ada di dapur, Mas. Lagi ... masak," jawab adiknya.

"Eh, Mas kok, pertanyaan aku belum di jawab, sih? Itu loh ... kaki Mas kenapa, hum?" tanyanya lagi.

"Tadi ... Mas jatuh dari sepeda motor, Dek. Kamu jangan bilang-bilang ke bu'e, ya?!" titahnya pada sang adik yang masih terlihat khawatir.

"Apa?! Jatuh dari motor?!" teriak histeris sang adik yang pada akhirnya membuat sang ibu pun jadi tahu.

Bergegas Sanah berlari dari dapur menuju ruang tamu.

"Siapa yang jatuh dari motor, Nad?!" tanya Sanah dengan nada bicaranya yang memburu ingin tahu.

"Bu'e ...?!" ucap bingung kedua kakak beradik itu, sembari memegang tengkuk mereka masing-masing.

Arfan menatap jengah ke arah sang adik yang sudah tertunduk diam.

"Loh, Fan! Kok, kakimu ...," Sanah menatap lekat kaki sang anak yang telah berbalut perban.

"Bu'e ... aku ndak apa-apa, kok! Ini cuma luka sedikit tadi.

"Kok, bisa toh, Le ...? Memangnya, kamu itu mikirin apa, sih di atas motor, tadi?" tanya Sanah yang tak habis pikir, melihat tingkah sang anak yang masih bisa tertawa cekikikan seperti sekarang ini.

"Hehehe ... aku tadi sempat berkhayal bertemu bidadari, Bu'e! Tapi ... sayangnya bidadari itu galaknya minta ampun! Hehe ...," kelakar Arfan agar ibunya berhenti khawatir akan dirinya.

"Wis, toh! Ndak, usah berkhayal yang ndak-ndak! Begini, 'kan jadinya? Ya, udah. Sekarang, kamu mandi terus makan dan nanti Bu'e akan oleskan obat untuk lukamu itu!" seru Sanah yang tak bisa di ganggu gugat lagi.

"Iya-iya, Bu'e. Siap laksanakan, Bu'e!" Arfan pun lekas pergi ke kamarnya untuk mengambil handuk.

Chayra Nadhifa yang masih lagi setia dengan kepalanya yang menunduk, segera di tegur oleh sang ibu.

"Nad ...? Kamu, kenapa masih bengong, di situ, hum?! Sudah sana pergi carikan obat untuk mas mu, ya!" titah Sanah pada sang putri.

Arfan yang bersiap-siap mau mandi, berhenti sejenak di tengah-tengah ibu dan adiknya.

"Eh, mau kemana kamu, Dek?" tanyanya.

"Mau pergi beli obat untuk Mas di apotik dekat sini," sahutnya pula.

"Ndak perlu! Mas sudah beli tadi. Jadi, kamu ndak perlu lagi capek-capek ke sana, ya! Mendingan, sekarang kamu bantuin Bu'e siapin makan siang." ucap Arfan sembari mengusap-usap lembut puncak kepala sang adik satu-satunya itu dengan kasih.

Dia melakukan itu, sebab tahu bahwa adiknya merasa bersalah padanya. Itu sebagai jawaban dari rasa takut sang adik padanya.

"Mas, ndak marah sama mu, Dek!" ucapnya yang langsung membentuk senyuman di wajah sang adik.

"Beneran, Mas?" ucapnya girang.

"Iya, kalau gitu Mas mau mandi sekarang, ya! Bu'e ... jangan lupa senyum!" ucapnya yang sempat-sempatnya menggoda ibunya.

"Kamu ini ...! Ada ... saja kelakuanmu yang akan membuat Bu'e mu ini ketawa, Le ... Le ...!" ucap Sanah geleng-geleng kepala.

...*****...

Sampailah Adiwangsa di salah satu gedung elite di kota Yogyakarta. Tampaknya, suasana bising telah memenuhi ruangan diadakannya pertemuan mereka.

Adiwangsa tak sabar ingin segera memasuki gedung tersebut. Langkah gagahnya yang di ikuti oleh beberapa orang kepercayaannya pun menelusuri gedung mewah itu.

Kedatangan Adiwangsa pun di sambut hangat oleh beberapa orang kalangan konglomerat kelas kakap yang ada di sana.

"Hai Tuan Adiwangsa Maheswara yang terhormat! Akhirnya, Anda muncul juga. Kami sudah lama menunggu kehadiran Anda, Tuan Adi!" ucap salah satu koleganya di tempat itu.

"Ah, Tuan Bramantyo ini bisa saja. Mari, lanjutkan lagi cicip mencicipi hidangannya!" ajak Adi pada koleganya itu.

Mereka pun berjalan beriringan bersama menuju yang lainnya berada.

Suasana yang kental akan glamor dan dunia bisnis pun begitu terasa di sana. Rasanya, hampir semua orang yang hadir adalah para pemilik perusahaan yang disegani oleh banyak orang.

Tak terkecuali dengan Erwin Adicandra, ia juga ikut bagian dalam pertemuan kali ini. Banyak juga yang ingin bekerjasama dengan perusahaannya.

Namun, Adiwangsa Maheswara tak akan pernah sudi untuk bekerjasama dengannya. Sebab, dendam di masa lalu di hatinya terhadap Erwin belum lagi sirna.

Obrolan antara Bramantyo dengan Adiwangsa pun mulai menyinggung tentang ranah pribadi Adiwangsa. Sebab, pertanyaan dari Bramantyo sontak membuat mood Adiwangsa menjadi drop.

"Saya dengar-dengar, putri Anda menjalin hubungan dengan putra dari Tuan Erwin Adicandra. Apakah itu benar adanya, Tuan Adi, hum?! Atau ... jangan-jangan, ini hanyalah sebuah bentuk kerjasama di antara kalian berdua, ya?" tanya Bramantyo yang semakin membuat Adiwangsa mengeraskan rahangnya.

"Hahaha ... itu berita hoax, Tuan Bramantyo! Jadi, Anda tidak perlu mempercayai berita yang tidak jelas asal-usulnya itu!" sanggah cepat Adiwangsa terhadap tuduhan yang di layangkan oleh koleganya itu.

"Tapi, apakah berita itu benar-benar cuma sekedar hoax, Tuan Adiwangsa? Coba, ini Anda lihatlah sendiri unggahan putri Anda, Tuan Adiwangsa!" Bramantyo pun menunjukkan foto-foto kedekatan Fayra dan Ervin yang saat ini tengah bersama di salah satu kafe ternama.

Mata Adiwangsa sempat melotot tak percaya. Tapi, sebisa mungkin dia tetap memasang sikap tenangnya. Seolah-olah, tidak terjadi apa-apa saat ini. Walaupun sebenarnya hatinya tengah mengutuk sang putri manjanya di relung hati terdalam.

"Fayra ...! Awas nanti kamu di rumah. Papa akan berikan pelajaran yang sangat berharga untukmu!" gumamnya membara di dalam hati.

Tak sampai di situ, Bramantyo pun juga menunjukkan foto-foto yang baru saja di unggah oleh Fayra pada Erwin Adicandra, yaitu ayah dari Ervin.

Bramantyo berjalan dengan cepat menuju Erwin berdiri saat ini. Dia rela meninggalkan Adiwangsa sendirian, hanya demi memuaskan batinnya untuk melihat ekspresi apa yang akan tampak dari seorang Erwin nantinya.

"Tuan Erwin! Apa kabar, Tuan? Saya harap Anda baik-baik saja, ya!"

"Ya, saya sangat baik, Tuan Bramantyo. Ada perlu apa Anda mencari saya kemari? Sampai-sampai, Anda rela meninggalkan kolega Anda demi menemui saya," tanya Erwin dengan sedikit nyinyir.

"Tentu saja hal ini menyangkut masa depan perusahaan Anda dan juga perusahaan tuan Adiwangsa, Tuan Erwin Adicandra," ucap Bramantyo gamblang.

"Maaf, maksud Anda apa, Tuan?! Saya tidak mengerti sama sekali," sahut Erwin bingung.

"Ah, ini ... lihatlah! Betapa mesranya anak-anak kalian, bukan?!" ujar Bramantyo dengan senyum penuh misteri.

Sama halnya dengan Adiwangsa, Erwin Adicandra pun tak bisa menerima kenyataan bila anak-anak mereka menjalin hubungan.

"Ini ... ini pasti salah! Ya, ini pasti sebuah kesalahpahaman saja, Tuan Bramantyo! Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu!" pamitnya pada Bramantyo.

Saat Bramantyo ingin kembali menemui Adiwangsa. Ternyata, ia tak melihat sosok itu berdiri lagi di tempat yang sama.

Setelah mendapat kabar tak baik itu, baik Adi maupun Erwin. Mereka sama-sama memutuskan untuk pulang dan menunggu kedatangan anak-anak mereka di rumah masing-masing.

...*****...

"Jalan, Pak! Kita pulang sekarang juga!" titah Adiwangsa yang sudah melonggarkan dasinya karena merasa gerah.

"Baik, Tuan!"

Mobil pun melaju dengan kecepatan tinggi. Membelah jalanan kota yang padat berisi kendaraan.

Tak jauh berbeda, Erwin juga mulai kegerahan dengan kelakuan sang anak yang diam-diam berhubungan dengan anak dari rivalnya semasa mudanya dulu.

"Kurang ajar! Benar-benar anak durhaka kamu Ervin! Papa sengaja menyekolahkan kamu jauh-jauh ke luar negeri. Demi supaya kamu mendapat jodoh di sana dan syukur-syukur mendapatkan rekan bisnis juga di sana. Ini apa yang kamu berikan pada papa, hah?! Dasar tidak tahu di untung kamu itu, Ervin!" bentaknya kesal sendiri di dalam mobil.

Sementara, sang supir hanya menjadi pendengar setia saja.

...*****...

Setibanya di rumah, Adi langsung memanggil seluruh penghuni rumah dan mengumpulkan mereka semua.

"Bagi siapa saja yang ada di dalam rumah ini. Tolong segera tampaknya diri kalian!" teriak Adiwangsa tanpa jeda.

Semua orang berbisik-bisik dan bertanya-tanya.

"Apa yang terjadi?"

"Ada apa ini?"

"Kenapa kita di kumpulkan, begini?"

Kurang lebih seperti itulah bisik-bisik yang di ucapkan oleh beberapa pembantu rumah tangga tersebut.

"Di mana Fayra ...?! Apa kalian tidak ada yang tahu kemana anak itu pergi, hah?!" jerit Adiwangsa semakin menjadi-jadi.

Hazna yang baru saja keluar dari kamarnya, langsung menghentikan keributan yang suaminya perbuat.

"Sayang ...! Ada apa kamu mencari putri kita, hum? Mungkin, dia sedang pergi mengerjakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin perusahaan, Sayang. Memangnya, apa yang telah terjadi, hum?!" tanya Hazna yang semakin takut melihat mata elang sang suami, yang sudah memerah. Dan tatapan matanya seakan menusuk ulu hati yang memandangnya.

"Cepat kamu hubungi dia suruh dia segera pulang sekarang juga ...!!" titah Adiwangsa dengan nada yang amat tinggi, sehingga suaranya terdengar nyaring dan memekakkan telinga.

"Ba-baik-baik! Aku akan ... menghubunginya sekarang," sahut Hazna semakin ketakutan.

Tut ... tut ... tut ...!

"Ayo, angkat telpon mu, Nak!" gumam Hazna lirih.

"Apa dia belum juga mengangkat telponnya?" tanya Adiwangsa semakin mengerang dan semakin berang.

"Be-belum, Mas. Tapi, tapi ... aku akan coba terus menghubunginya."

"Tidak perlu! Aku akan setia menunggu dia pulang. Kalian semua bubar sekarang juga! Tapi, ingat satu hal baik-baik! Mulai hari ini, biarkan Fayra mengurus dirinya sendiri! Ini adalah hukuman kecil dariku untuknya. Apa kalian, mengerti?!" sergah Adiwangsa pada semua pembantunya.

"Ba-baik, Tuan!" sahut mereka semua serempak.

Hazna tak berani untuk sekedar bertanya kesalahan apa yang sebenarnya telah di perbuat oleh putri mereka. Sehingga, suaminya menjadi amat sangat marah seperti sekarang ini.

...*****...

Beberapa jam kemudian ...

Adiwangsa masih setia menunggu kedatangan sang putri manjanya. Bahkan, ia sampai tertidur di sofa.

Ketika Fayra baru saja masuk ke dalam rumah, tampaklah wajah sang ayah yang sudah sangat jelas memasang wajah penuh amarah.

"Pa ... Papa!" ucap Fayra kikuk seketika.

"Akhirnya ... kamu pulang juga anak pembuat onar!" ucap ketus Adiwangsa pada sang putri manjanya.

"Kemarilah!" pekik Adiwangsa dengan suara yang menggema.

"Ba-baik!" jawab Fayra semakin gugup dan takut.

Pasalnya, selama ini Fayra belum pernah melihat ayahnya semarah itu padanya. Ia pun bertanya-tanya dalam hatinya.

"Sebenarnya, kesalahan apa yang sudah aku lakukan?! Kenapa, papa terlihat begitu marah padaku?!" ucapnya gusar di dalam dada.

...*****...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!