NovelToon NovelToon

The Handsome Evil CEO

THECEO 1

Di kantor tempat Tiffany Clandezo bekerja sedang ramai membicarakan pergantian CEO perusahaan, Hamin Corp. Bahkan para media sudah menyiarkan berita itu langsung baru saja.

“Tiffany....”

Cara Lunox, teman sekantornya menghampirinya dan duduk di kursi sebelah yang sedang kosong. “Tiff, kau tahu CEO kita ganti? kira-kira apa yang terjadi. Tapi kenapa tiba-tiba begini?” lanjutnya dengan tanya penasaran.

Tiffany menghela napas, ia sudah terlalu pusing dengan pekerjaannya yang mepet deadline malah dicekoki pertanyaan itu. Ditambah yang bertanya ini adalah Cara Lunox, wanita yang tingkat keingintahuannya yang tinggi. Jika Tiffany tidak segera menjawab atau menjawab tapi dengan dalih tidak tahu, maka Cara Lunox akan langsung memborbardir pertanyaan yang sama hingga dia mendapat jawaban yang diinginkannya dan (harus) masuk akal.

Oh ayolah. Ia masih harus bekerja. Tapi... daripada ia tidak bisa melanjutkan pekerjaannya. Ia harus membuat Cara Lunox pergi merecokinya.

Akhirnya setelah perdebatan dengan otak dan hatinya, Tiffany memilih logika untuk menjawab. Ia menatap Cara Lunox dan berkata, “Menurutku, CEO sebelumnya adalah orang yang tidak cekatan dalam mengambil keputusan, Cara. Jadi perusahaan mengalami sedikit kerugian mungkin. Dengan begitu, mau tidak mau harus ganti pemimpin kan?” jelasnya, tapi tentu saja perkataan Tiffany ini bohong. Lebih tepatnya ia tidak tahu alasan pastinya, karena ia mengarang demi kelangsungan pekerjaannya yang harus ia selesaikan.

“Begitu? setelah dengar darimu aku jadi tahu, Tiff. Kau cerdas. Seharusnya orang-orang melakukan konsultasi pada setiap pertanyaan di otak mereka kan. Agar tidak mati penasaran. Aku juga jadi bisa tidur nyenyak karena sudah tahu alasannya.”

Benarkan apa yang dipikirkan, logikanya memang begitu. Tiffany tersenyum puas dan ia lega setelah Cara Lunox pergi dari sisinya, meninggalkannya sendirian. Tiffany kembali menghadap layar komputernya dengan malas. Oke, selesaikan dengan cepat.

•••

Tiffany akhirnya menyelesaikan pekerjaannya. Setelah ia menatap sekeliling yang sudah tidak ada orang, ia mendengus sebal. Karena hanya tinggal dirinya saja di sini. Lainnya sudah pulang meninggalkan kantor satu jam yang lalu. Bahkan sekuriti sudah berkeliling beberapa menit yang lalu mengecek ruangan lantai 40 ini. Setelah Tiffany memberitahukan bahwa ia akan selesai dalam 30 menit kedepan, sekuriti itu pergi berkeliling ke tempat lainnya.

Tiffany sudah keluar dari ruangan sepi itu, ia berhenti di depan lift. “Jika aku naik lift, apalagi sendirian dan tidak ada orang lain selain sekuriti. Misal saja, aku terjebak karena lift rusak. Maka...,” gumamnya pada diri sendiri, pikirannya mulai negatif.

Terbayang di otaknya. Jika lift yang ia tumpangi mati? hm ia kan masih ada ponsel! Tapi jika ternyata tidak ada sinyal? lalu ketika ia memencet tombol panggilan darurat di lift dan lagi, kesialan datang dan ternyata tombol itu tidak bisa digunakan bagaimana? maka matilah ia, terjebak di dalam lift sampai pagi.

Tiffany menengok ke kanan, jalan alternatifnya ia turun pakai tangga darurat. Setelah ia berpikir. Lebih baik begitu, Tiffany membuka pintunya dan menatap ke bawah, untung lampu di tangga ini belum dimatikan.

Tiffany menuruni tiap anak tangga dengan sedikit lebih cepat. Ini tidak melelahkan karena bukan mendaki, jadi tidak masalah. Setelah melihat papan yang tercetak angka 36, Tiffany mendesah kesal. Ternyata sama saja lelahnya, ia merasa tidak sanggup karena napasnya yang sudah tersengal. Mungkin karena ia berjalan cepat, jadi Tiffany putuskan, ia akan berjalan biasa. Santai saja Tiffany, daripada kau terjebak dalam lift yang akan membunuhmu, pikirnya negatif lagi.

Tiffany melanjutkan menuruni anak tangga. Tapi tunggu, Tiffany berjalan pelan tanpa membuat bunyi. Ia menginjak lagi anak tangganya ke bawah, sampai di pertengahan tangga menuju lantai 35. Tiffany melongok ke bawah, tidak ada orang. Tapi suaranya terdengar masih berbicara.

“Sudah kau selesaikan? bersihkan tempat itu. Agar tidak ada jejaknya.... Ya. Kau harus teliti. Karena satu saja kesalahan bisa membuat semuanya berantakan.... Kutunggu kabar baik darimu, Rico.”

Tiffany semakin melangkah turun. Suara berat pria itu sudah tidak terdengar lagi.

“Brengsek! Sudah kubunuh tapi masih saja, antek-anteknya setia juga. Dexian Peros, kau pasti tenang di neraka.”

Tiffany terkejut, ia menegang di tempat. Apa kata pria itu tadi? jadi... jadi alasannya tidak seperti yang Tiffany duga. Digantinya CEO sebelumnya—yang ia tahu namanya, Dexian Peros—karena dibunuh! Fakta apa yang baru ia dengar barusan? apakah itu benar?

Tiffany membuka tasnya, mencari ponselnya. Ia tidak bisa berpikir panjang, malah tidak bisa berpikir. Ia harus menghubungi seseorang yang bisa membantunya, ia tidak bisa menggerakkan kakinya pergi. Ia juga tidak bisa biarkan pria itu kabur dari tanggung jawabnya. Pria itu harus mendapat ganjaran yang setimpal.

Tiffany menggenggam ponselnya dengan tangan bergetar, ia membuka kontak dan menggulir nama tujuan yang akan ia hubungi. Cara Lunox! Ya wanita itu yang saat ini hanya ada dipikiran Tiffany. Tiffany menyentuh tombol memanggil.

“Siapa kau?!”

Ponselnya diambil tiba-tiba oleh seseorang. Tiffany tidak bisa berkutik, ia juga tidak berani menatap pria yang sudah ia duga adalah pelaku pembunuh CEO sebelumnya.

Tiffany diam kaku. Ia hanya bisa memejamkan matanya, sambil berdoa dalam hati. Tuhan, aku mohon... tolong aku... aku—aku akan selalu mengabdi menyembahmu... Tuhan jangan biarkan pria pembunuh itu membunuhku... aku masih harus mencari banyak uang agar bisa membayar pria tua pemilik apartemen itu... Tuhan tolong...

“AAAaaa!!!” Teriak Tiffany karena tangannya digenggam oleh pria pembunuh itu.

Tiffany tidak mau menatap pria pembunuh itu. Tiffany juga tidak bisa berbuat apa-apa. “Si-siapa pun Anda.... A-aku mohon.... Le-lepas... lepaskan aku...,” cicit Tiffany, tubuhnya kaku namun bergetar takut. Telapak tangannya juga terkepal karena takut.

“A! Aku mohon....” Tangannya ditarik hingga Tiffany bergerak. Hingga Tiffany sudah bisa mengendalikan tubuhnya, ia bisa menggerakkan tangannya.

Tapi saat ia menarik tangannya dari pria pembunuh itu, Tiffany tidak kuat melepas cengkraman pria pembunuh itu. Bagaimana ini? ia sudah terjebak. Sebentar lagi nyawanya pasti melayang. Ini lebih buruk dari pikiran negatifnya tentang naik lift. Ini bahkan terjadi nyata padanya. Sekali lagi... ini nyata!

Tangan kirinya menahan di tembok, tubuhnya bahkan sudah memepet tembok. Seakan-akan ia melindungi tubuh belakangnya agar tidak diserang tiba-tiba.

“Aku tanya kau siapa?!” Bentakan dari pria pembunuh itu semakin membuat kaki Tiffany seakan tidak kuat menahan tubuhnya sendiri, bergetar, seluruh tubuhnya bergetar hebat.

“A-aku takut...,” cicit Tiffany semakin menundukkan kepalanya dalam. “A-aku takut... aku mo-mohon... le-lepaskan a-aku...,” bicaranya juga tidak lagi lancar. Pikiran kosong. Rasa takut menjalar ke seluruh hati dan darah jantungnya semakin menambah rasa takut, berdesir ke tiap organnya, menyalurkan rasa takut yang besar.

“Aku tidak akan membunuhmu.”

The Handsome Evil CEO ©YAKIYA

THECEO 2

Cara Lunox menatap meja dan kursi tempat Tiffany yang masih rapi, bahkan tidak ada tas wanita itu di kursinya. Apa dia tidak berangkat hari ini? pikirnya.

Cara Lunox melihat Dave dan menghampirinya, pria itu terkejut, sedikit mundur memberi jarak karena ia muncul tiba-tiba. “Dave, apa kau tahu dimana Tiffany?” tanya Cara Lunox, ia melihat Dave mengecek tempat Tiffany yang tidak ada orangnya.

Dave berjalan ke tempat Tiffany. “Dia tidak berangkat?” tanyanya kepada Cara.

Cara mendengus, padahal ia duluan yang bertanya begitu tapi Dave malah balik bertanya. “Aku kan bertanya padamu. Kukira kau tahu dimana Tiffany. Berarti dia tidak berangkat ya?” tanyanya lagi.

Dave mengangkat bahunya, ia tidak dengar bahwa Tiffany izin hari ini. Apa ia lupa mengecek email dan ponselnya ya? Dave mengambil ponselnya di saku dan membuka pesan, tapi tidak ada pesan apa pun dari Tiffany, terakhir tiga hari yang lalu.

“Kemana dia ya?” gumamnya, bertanya pada dirinya sendiri.

“Maka dari itu. Kenapa dia tidak berangkat, tapi juga tidak menghubungimu. Apa dia sakit?” tebak Cara dengan nada ragu. “Kemarin dia baik-baik saja padahal.”

Dave berjalan ke ruangannya dan Cara mengekori pria itu di belakang.

Dave duduk di kursinya dengan tangan menumpu dagu. Ia menatap Cara yang duduk di sofa dengan alis mengernyit. “Apa yang kau lakukan di sana?”

Cara mengangkat alisnya, tentu saja ia sedang duduk. Apalagi yang Dave lihat, Cara hanya duduk diam menunggu pria itu memberitahunya kenapa Tiffany tidak berangkat. “Aku duduk di sini, Dave....”

“Iya, aku tahu kau sedang duduk. Tapi kenapa kau di sini? pergilah. Kembali bekerja,” usir Dave, ia menyalakan layar komputernya dan melirik Cara yang berbicara.

“Aku menunggumu memberitahuku tentang Tiffany yang tidak ada di sini. Kira-kira dia kemana? kenapa tidak datang? apa dia sakit, Dave? jika iya, kenapa dia tidak mengirim pemberitahuan dirinya atau surat izinnya ke kantor? kau tidak menerima pesan apa pun darinya, Dave?”

Cara mulai memberikan pertanyaan yang banyak pada orang yang menurutnya tahu jawabannya dan kali ini Dave adalah korbannya.

Matilah kau, Dave.

Dave memijat kedua sisi keningnya. Lalu menghembuskan napas kasar, ia menatap tajam Cara. “Tiffany tidak berangkat, Cara. Kau bisa melihat tempatnya yang rapi, tidak ada barang yang biasanya kau lihat di sana, seperti tasnya yang sering dia letakkan di kursinya. Mejanya tidak berantakan, tempatnya terlihat tidak tersentuh sedikit pun. Kau bisa lihat. Tapi aku tidak tahu kenapa Tiffany tidak berangkat, dia tidak mengirim pesan apa pun kepadaku, jadi aku tidak bisa memberi tahumu,” jawab Dave dengan jelas. Ia tahu kelakuan wanita rambut pendek itu jika sudah kepo.

Cara mendesah lelah. “Apa aku nanti jenguk dia saja?” pikirnya. “Ah, jangan-jangan Tiffany tidak berangkat karena dikurung oleh pria tua yang menyebalkan itu,” tuduhnya.

“Pria tua? siapa itu?” tanya Dave, ia berhenti mengetik keyboard karena perkataan Cara Lunox mengalihkan perhatiannya.

“Pria tua pemilik apartemen yang ditinggali Tiffany. Tiffany pernah mengatakan satu hal padaku tentang pria tua yang menyebalkan. Jadi awalnya begini, Tiffany belum bisa membayar apartemennya bulan lalu dan bulan sekarang hampir jatuh tempo lalu pria tua itu menagih terus hingga Tiffany harus bersembunyi. Jangan sampai Tiffany tertangkap oleh pria tua itu. Tapi... eh. Tunggu dulu. Apa benar begitu ceritanya ya?” Cara mengetuk dagunya dengan telunjuk, mengingat cerita Tiffany tentang dirinya sendiri yang telat membayar sewa apartemennya. “Ah, tapi intinya. Pria tua pemilik apartemen yang disewa Tiffany itu menyebalkan. Pasti Tiffany tidak bisa pergi dari apartemennya karena pria tua itu menunggunya di depan pintu,” jelas Cara yakin. Cara berpikir bahwa sekarang ia sudah seperti Tiffany yang cerdas. Bisa menemukan titik masalahnya sendiri.

Dave menatap Cara dengan menyipitkan matanya dan sedikit meringis mendengar cerita Cara, menurutnya Cara melebih-lebihkan tentang pria tua pemilik apartemen yang disewa Tiffany menunggu Tiffany di depan pintunya. “Cara, kau lebih baik melanjutkan pekerjaanmu. Pergilah, aku juga harus menyelesaikan pekerjaanku.”

“Baiklah, Dave. Aku juga sudah tahu alasan Tiffany tidak berangkat kerja,” kata Cara terdengar bangga. Ia berdiri, berjalan ke pintu dan menarik gagang pintu tapi saat ia teringat sesuatu ia berbalik menatap Dave. “Dave, artinya Tiffany membutuhkan kita kan? dia terjebak di sana. Tidak bisa keluar. Aku akan menjenguknya pulang nanti,” putus Cara Lunox, ia ke luar dari ruangan Dave.

Sedangkan Dave menatap pintu yang sudah tertutup dengan geleng-geleng kepala. Cara memiliki pemikiran yang luas dan ajaib, bagaimana bisa otaknya bekerja dengan berlebihan, memiliki opininya sendiri yang aneh menurut Dave.

•••

Cara melihat jam di pergelangan tangannya, ia sudah melirik jamnya seribu kian kali. Menunggu tepat jam pulang kerja, rencananya yang ia beritahu Dave. Cara akan menjenguk Tiffany dan menanyakan langsung alasan sebenarnya, kenapa wanita itu tidak mengirim surat ke kantor jika tidak berangkat?

Cara mendesah senang, jam sudah menunjukkan pukul 09.00 yang artinya jam normal karyawan Hamin Corp pulang. Cara langsung mematikan komputer dan memasukkan semua barang-barangnya yang berserakan di meja ke dalam tasnya.

Cara berjalan ke arah lift dengan tasnya yang sudah menyender di pundaknya. Cara bergabung bersama karyawan lain yang juga naik lift menuju lantai dasar.

“Ah... sesak sekali. Hei, salah satu keluar dulu.”

“Iya. Aku di belakang juga terhimpit.”

“Hei, hei. Jangan injak sepatuku! Aku susah-susah menyemirnya tadi pagi.”

“Hei, keluar salah satu. Pintunya tidak bisa tertutup. Terlalu banyak penumpang.”

“Hei, kau keluar sana.”

“Kau saja. Lihat. Kakiku lebih mundur daripada kakimu yang mendekati pintu. Kau yang mengalah.”

“Aduh... cepatlah. Aku harus sampai rumah tepat waktu, jika tidak dinner-ku dengan kekasihku terlambat.”

Para pria mau pun wanita sama-sama tidak mau mengalah. Cara yang sudah berdiri dengan sekuat tenaga karena terdorong dan tergeser, hingga terhimpit di tengah-tengah tubuh orang-orang lainnya mulai sesak.

··

Cara mendesah lega saat kakinya yang pegal sudah menginjak area luas lantai dasar, ia sudah turun dari lift dan saat ini ia harus segera ke luar mencari taksi.

Cara berdiri di pinggir jalan raya yang ramai dan tangannya terangkat melambai dengan semangat menghentikan laju taksi yang menampilkan warna hijau di atasnya.

Cara masuk ke dalam taksi dan menyebut alamat tujuannya, beberapa menit kedepan Cara ke luar dari taksi setelah sampai di depan bangunan tingkat 3 di depannya dengan gaya klasik warna putih serta daun-daun yang menjalar di temboknya.

Cara berjalan menaiki anak tangga yang pendek dan mengetuk pintu di depannya. “Aku baru melihat apartemen yang tidak ada belnya dan harus mengetuk dulu...,” gumamnya setelah melihat tulisan di samping pintu.

Tamu harap sopan, ketuk lebih dulu.

Lalu pintu terbuka, pria tua menyebalkan yang Cara tahu itu menatapnya dengan kacamata yang bertengger. Pria tua itu membenarkan letak kacamatanya.

“Cari siapa?” tanya pria tua itu.

Setelah melihat aslinya Cara jadi tidak bisa mengumpat, ia merasa ada belas kasihan di hatinya yang selalu baik. “Tiffany... apa dia ada di apartemennya?”

“Oh teman Tiffany. Dia tidak pulang dari kemarin,” kata pria tua itu.

“Oh tidak pu—apa?! Tidak pulang?!”

Pria tua itu mengerutkan keningnya yang keriput mendengar teriakkan Cara. “Iya.”

•••

Cara berdiri mengetuk-ngetuk heelsnya pelan ke trotoar, ia masih berdiri di depan apartemen Tiffany. “Kemana Tiffany?”

Lalu ia berpikir untuk menghubungi Dave, ia harus beritahu Dave tentang Tiffany yang menghilang.

Deringan ketiga juga tidak diangkat oleh Dave dan Cara mengulangi panggilannya.

“Ah Dave. Akhirnya kau mengangkat teleponku... Oh apa?... Oh iya! Dave, Dave oh my God! Aku sudah menjenguknya tapi Tiffany tidak ada di sini. Bagaimana ini? dimana dia, Dave? apa dia diculik?... Baiklah, baiklah. Kita harus membahas ini besok di kantor.”

Cara menutup panggilan dan memasukkan ponselnya ke dalam tasnya.

The Handsome Evil CEO©YAKIYA

THECEO 3

Kemarin malam. Walaupun Tiffany mendengar perkataan pembunuh itu yang tidak akan membunuhnya tidak membuatnya menjadi tenang, tubuhnya tetap bergetar takut.

Tiffany semakin takut saat pria pembunuh itu menariknya berjalan mengikuti langkah pria itu. Ia sudah memohon kepada pria itu dan ia memberi jaminan, ia tidak akan melakukan apa-apa. Bergerak saja Tiffany susah. Tapi pria itu tetap menariknya dan mereka masuk menaiki lift. Pemikiran Tiffany jadi kalut, saat sekelebat terbayang pria pembunuh itu akan membunuhnya di dalam lift.

Tapi ternyata tidak, pria pembunuh itu membawanya ke dalam mobil, menyuruh Tiffany menurut. Jadi Tiffany hanya diam saat pria itu mengemudikan mobilnya ke jalan yang Tiffany tidak tahu arah tujuannya.

Sampai di sinilah Tiffany. Ia dibawa ke sebuah mansion mewah, tapi ia tidak terperangah melihat interior yang akan membuat orang yang melihatnya terkagum-kagum. Bagaimana bisa ia melakukan itu saat dirinya diculik? nyawanya menjadi taruhan. Bahkan ia sendiri tidak tahu berapa lama pria pembunuh itu memberinya waktu untuk menikmati akhir hayatnya. Iya, pria pembunuh itu bisa saja membunuhnya sewaktu-waktu.

Tiffany beralih menatap pintu yang terbuka. Satu lagi yang tidak membuatnya terperangah, pria pembunuh itu ternyata tampan, sangat tampan. Tiffany bahkan tidak bisa menikmati keindahan ciptaan Tuhan itu karena ia tahu dibaliknya pria tampan itu adalah seorang pembunuh.

“Makanlah,” kata pria itu.

Tiffany bahkan tidak sadar pria itu membawakan piring besar dengan isian penuh; nasi, daging, sayuran. Ia hanya menatap diam piring itu tanpa berniat tangannya menyentuhnya sedikit pun. Pikiran kembali terbayang, jika pria itu membunuhnya dengan racun yang dia campur ke dalam makanan yang diberikan...

“Aku tidak menyuruhmu memakan daging manusia yang aku bunuh. Lihatlah...,” pria itu menunjuk daging matang kecoklatan yang menggiurkan.

Tapi jika Tiffany tidak sadar bahwa ia sedang disekap, maka Tiffany juga akan tergiur ingin mencobanya.

“Daging manusia tidak begini hasilnya. Aku tahu hal itu karena aku pernah memasaknya. Jika kau tidak ingin berakhir seperti korbanku yang se—bagus. Habiskan,” pria itu pergi ke luar kamar setelah melihat Tiffany memakan makanan yang ia berikan.

Tiffany menelan dagingnya yang terasa hambar ke dalam perutnya, terbayang jika ia memakan daging manusia yang sudah dibuatkan untuknya. Rasanya Tiffany....

Tiffany berlari ke kamar mandi dan langsung membuang isi perutnya. Ia mual, ia membayangkan hal yang menjijikkan. Ia beralih dari closet ke westafel, ia mencuci mulutnya dan berkumur.

Tiffany bercermin, menyentuh bawah matanya yang mulai menghitam. Ia tidak tidur semalaman karena ia memikirkan nyawanya, bisa saja saat ia tidur pria itu menikam jantungnya.

Gedoran pintu terdengar keras, Tiffany yang melamun langsung tersadar melihat pintu itu bergetar. Ia mendesah, apa yang pria itu inginkan sebenarnya?

Tiffany berdiri di belakang pintu yang masih digedor keras, samar terdengar suara pria itu yang menyuruhnya membuka pintu dan menanyakan keadaannya... apa? menanyakan keadaan Tiffany?

Tiffany menekan tuas pintu ke bawah dan menariknya. Ia kini bisa melihat wajah dengan kerutan di alisnya itu menatap tajam.

“Apa yang kau lakukan di dalam?”

Suara pria itu langsung masuk mengenai gendang telinga Tiffany yang bisa rusak karena saking keras teriakkannya. Tanpa menjawab Tiffany berlalu melewati pria itu dan mendudukkan dirinya di pinggiran kasur.

“Jawab pertanyaanku, wanita bodoh! Apa yang kau lakukan di dalam sana?”

Tiffany mengangkat wajahnya dengan mata kilatan takut lalu ia mengalihkan pandangannya. Jika ia melawan maka pria itu bisa tambah emosi dan membunuhnya. “Aku hanya ke kamar mandi seperti orang-orang pada umumnya. Memangnya apa yang bisa aku lakukan selain melakukan aktivitas semacam itu?”

“Kau tidak berniat kabur kan? jangan berani mengambil langkah ke luar tanpa seizinku.”

Pria itu pergi meninggalkan kamar dan menghilang dari pandangan Tiffany.

Tiffany menjatuhkan punggungnya ke kasur. Ia meringkuk menyamping dan tangannya melingkar memeluk lutut.

Siapa yang tahu jika ia di sini?

Siapa yang bisa menyelamatkannya?

Pria itu seperti membuat mansion khusus untuknya. Pintu keluar hanya ada satu untuk pintu masuk juga, itu pun pria itu sering berjaga di sana. Jika lewat jendela, ia tidak bisa melompat karena tinggi sekali.

•••

“Kau masih menyanderanya?” tanya Rico Black yang sedang duduk menatap Jason Zuruno muncul dari arah tangga.

Jason Zuruno duduk di depan Rico, menumpuk kakinya. “Pertanyaan bodoh macam apa itu? kau tahu, dia menguping saat kau meneleponku. Untung telingaku tajam,” resah Jason Zuruno, rencananya akan sia-sia jika publik tahu pewaris keluarga Zuruno membunuh orang. Tidak, Dexian Peros bukan orang.

Brengsek. memikirkan namanya saja membuat Jason Zuruno tersulut emosi lagi. Pria bajingan itu padahal sudah mati, seperti hewan yang Jason buru—bajingan tengik itu tercicit kesakitan saat ajalnya diujung, menyenangkan melihat wajah bajingan itu. Hanya tinggal nama saja, masih tidak cukup bagi Jason. Ia ingin segalanya tentang bajingan itu lenyap.

“Kau sudah menemukan semua nama dan latar belakang antek-anteknya?” tanya Jason Zuruno, sudah ia genggam janjinya pada dirinya sendiri bahwa ia akan melenyapkan semuanya. Ia sudah melenyapkan akarnya, tinggal batang hingga daun yang paling kecil akan Jason lenyapkan.

“Sudah. Mereka tidak sesetia yang kau pikirkan, Jason. Yang aku lihat dari latar belakang semua anteknya itu, karena Dexian mengetahui kelemahan mereka. Jadi mau tidak mau mereka ikut andil dalam hal itu, membantu Dexian,” kata Rico. Rico bisa melihat bahwa Jason sedang emosi saat ini, rahang temannya itu menggertak dan tangannya terkepal kuat hingga uratnya terlihat timbul di balik kulitnya.

Bajingan tengik sialan! Brengsek. Umpatan semacam itu seperti kurang rasanya, Jason ingin membuat Dexian hidup kembali dan membunuhnya kembali hingga ia puas membiarkan bajingan itu bahagia di neraka.

“Rico, jaga wanita itu. Aku ingin ke luar,” ucap Jason, ia berjalan ke arah pintu dengan kedua tangannya terkepal di dalam saku kainnya.

Rico mendesah kasar, ia tahu bagaimana rasanya jika hal seperti itu terjadi pada dirinya. Jason yang malang, temannya itu pasti memendam perasaan sakit lebih dalam. Bahkan Rico sendiri ingin ikut andil membunuh Dexian Peros, pria itu pantas mendapat lebih dari kesakitan yang diterima Jason.

Sayang sekali, Jason mengambil alih Dexian sepenuhnya.

Rico mengangkat wajahnya dan melihat wanita itu berdiri di ujung tangga yang sedang menatapnya juga. Rico tersenyum, mengangkat tangan melambai—menyapa wanita sandera itu. “Hallo, cantik. Butuh bantuan?”

Wanita itu tidak mengeluarkan kata apa pun. Ia melihat wanita itu melangkah ke arahnya dengan kaki terseret.

“Kau mau membantuku?” tanya wanita itu akhirnya.

“Tentu saja, aku mau. Tapi sebelum itu bukankah lebih baik kita saling tahu nama masing-masing?” imbuh Rico. Ia mengulurkan tangannya dan menyebutkan namanya. “Rico Black, aku tipe pria humoris. Siapa tahu kau tertarik dengan tipe pria sepertiku dan yang aku tahu wanita lebih nyaman dengan pria yang sepertiku,” puji Rico tentang dirinya. Oh, ayolah... seorang wanita memang gampang jatuh hati pada pria humoris dan Rico tahu itu karena pengalaman. Buktinya lebih banyak wanita yang akhirnya dekat padanya daripada dekat dengan Jason yang lebih tampan tapi tidak pedulian.

“Tiffany,” balas Tiffany pendek tanpa memberitahu nama belakangnya dan tanpa menerima uluran tangan Rico yang sudah pegal terlalu lama menahan.

Rico tepuk tangan sekali menghalau rasa canggung. “Baiklah, kita sudah berkenalan. Lalu apa yang bisa aku bantu, Tiffany?” tawar Rico.

“Bantu aku keluar dari sini,” pinta Tiffany.

The Handsome Evil CEO © YAKIYA

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!