Aku Senja Aprilia. Aku seorang ibu muda walaupun aku belum pernah menikah dengan siapapun. Kejadian kelam yang merenggut kesucian ku meninggalkan benih di rahimku. Diriku yang hancur. Masa depanku hancur bahkan pernikahanku dengannya yang terindah juga hancur karena kehamilan ini. Malang memang nasibku.
Jika saja tidak pernah ada kejadian itu. Aku pasti sudah bahagia dengannya. Lelaki terbaik yang pernah hadir dalam hidupku. Dia yang selalu mengisi hatiku. Walaupun kini aku tidak akan mungkin bersamanya lagi karena dia telah memilih sahabatnya untuk jadi pendamping hidupnya.
Saat hari pernikahannya, adalah hal yang paling menyakitkan untukku tetapi aku harus ikhlas melepasnya untuk kebahagiannya. Sekarang, aku sudah bisa hidup berdampingan dengan mereka sebagai sahabat, saudara. Tidak lebih. Aku tahu sifatnya. Dia akan menjauh jika aku berniat tidak baik pada hubungan mereka. Aku lebih memilih berdamai dengan takdirku. Menerima mereka sebagai bagian dari hidupku dengan caraku.
☀️☀️☀️
Suasana dapur di buat gaduh oleh kelakuan aku dan Ayuna. Mengajari wanita ini memasak adalah tugas besar untukku. Sebelum menikah, dia tidak pernah menyentuh dapur sama sekali. Alhasil, beginilah.
" Senja ini udah mateng belum?" Tanya Ayuna setengah berteriak padahal aku berada di dekatnya.
Aku segera menengok wajan yang di atasnya ada ikan yang sedang di goreng. " Sebentar lagi. Kalo udah kuning keemasan baru angkat." Kataku singkat.
" Ini emang harus banget meletup begini ya minyaknya?" Keluh Ayuna yang terkena cipratan minyak goreng.
" Emang begitu, Na. Makanya agak jauhan." Seruku yang tersenyum melihat Ayuna sedang berperang melawan ikan goreng buatannya.
Aku masih asik memotong sayuran untuk ku jadikan capcay. Aku yang menyiapkan semuanya, Ayuna yang mengeksekusi masakan kami. Dia bilang, ingin usaha sendiri demi suami tercinta.
" Nah, itu udah siap di angkat." Perintahku. "Sekarang tumis ini. Masak capcay ya. Jangan lupa tambahin garam dan teman- temannya." Perintahku santai dan pergi meninggalkan Ayuna sendirian sibuk di dapur.
Dia sudah mulai mahir dalam memasak. Ya walaupun masih dengan campur tanganku. Aku tidak pernah keberatan membantunya.
Aku menemani anakku, Gio sedang asik menonton kartun kesukaannya di tv. Gio sangat betah jika berada di rumah ini. Dia bilang, kalo disini ada Papa. Jadi Dia senang. Walaupun sebenarnya dia bukanlah ayah dari Gio.
Satu jam sudah berlalu. Hasil masakan Ayuna juga sudah siap terhidang di atas meja. Siap menyambut dan memanjakan lidah sang suami.
" Udah hampir setahun nikah. Masih aja ga bisa masak." Keluh Ayuna.
" Nanti juga bisa. Semua resep yang aku tau. Udah aku catat ya." Ujarku menyemangatinya.
" Assalammu'alaikum." Sapa seseorang yang sejak tadi kami tunggu.
Mendengar suara itu, Gio langsung berhambur turun dari sofa. Berlari ke arahnya menyambut kedatangannya dengan riang.
" Papa." Seru Gio senang lalu langsung berhambur ke pelukannya.
" Gio ada disini. Kok gak bilang Papa." Ucapnya sambil menatap Gio penuh kasih sayang.
" Kata mama, biar jadi kejutan." Jawab Gio dan membenamkan wajahnya di tengkuk Nathan yang kini tengah menggendong Gio.
" Sini sayang. Papa baru pulang kerja. Masih capek." Ucapku pada Gio.
" Gak papa. Kan jarang- jarang ketemu papa ya." Ucapnya lagi. Gio semakin erat memeluknya.
" Istriku diam aja. Ada apa sayang?" Katanya pada Ayuna yang sejak tadi hanya menatap kami.
" Senang liat kalian. Seperti keluarga bahagia." Ujarnya dan ada keperihan di wajahnya.
Nathan menyerahkan Gio padaku dan mendekat pada Ayuna yang tengah cemburu. Walaupun dia sering merasa cemburu jika melihat kedekatan kami. Dia pulalah yang selalu mencari alasan agar aku selalu main ke rumahnya ini. Jujur saja, terkadang aku merasa tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.
Nathan mengecup mesra kening Ayuna dan memeluknya. Memberikan kenyamanan pada istrinya. Aku yang merasa tidak enak melihat kemesraan mereka memilih menjauh dengan Gio. Aku ke dapur sekalian mengecek apakan sudah semua di siapkan Ayuna. Gio menatapku penuh tanya. Selalu wajah itu yang dia tunjukkan jika dia melihat kemesraan Nathan dan Ayuna. Entah apa yang ada dipikiran Gio, aku enggan untuk bertanya.
" Papa kok gak pernah cium mama?" Tanyanya polos.
Pertanyaan itu lolos begitu saja terlontar dari anak kecil ini. Yang dia tahu kecupan pada kening adalah rasa sayang tidak lebih. Mungkin dia berpikir. Apakah Nathan tidak menyayangiku. Ya mungkin dia sudah tidak menyayangiku. Tapi itu semua sudah tidak penting lagi. Gio adalah hal terpenting dalam hidupku sekarang.
Gio masih menatapku penuh tanya. Gio memang anak yang memiliki pemikiran yang terkadang jauh di atas anak seusianya. Dia selalu memiliki penalaran tersendiri tentang suatu peristiwa yang dia lihat ataupun dia dengar. Jika jawaban yang dia terima, dia akan selalu bertanya sampai hal terkecil sampai dia puas dengan jawaban yang dia dapat. Dia anak yang sangat kritis.
Seperti saat ini. Gio masih menatapku penuh tanya tentang perbedaan sikap Nathan terhadapku dengan Ayuna. Jelas berbeda. Aku mantan kekasihnya sedangkan Ayuna dia istrinya. Tapi Gio tidak bertanya tentang status kami di hadapan Nathan. Dia bertanya kenapa Nathan tak pernah mencium keningku. Memberitahu statusku pada Gio hanya akan membuatnya ingin tahu lebih banyak. Sejenak aku berpikir. Kata apa yang akan aku lontarkan pada bocah ini. Matanya masih terus saja menatapku penuh tanya.
" Mama gak tau. Tapi yang jelas. Papa kan sayang sama Gio." Ucapku setenang mungkin
" Yaudah." Ucap Gio singkat dan berlari menghampiri Nathan dan Ayuna tadi.
Aku segera mengejar Gio yang sudah ada di gendongan Nathan. Nathan memang sangat memanjakan Gio. Itulah sebabnya Gio sangat senang berada di sini.
" Papa sayang sama Mama gak?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Gio.
Nathan terdiam dan beralih pandangan menatap sekilas Ayuna dan aku.
" Kenapa Gio tanya begitu?" Nathan balik bertanya.
" Papa gak pernah cium kening Mama." Ucap Gio polos.
Nathan terlihat menghela nafas berat. " Papa gak boleh cium Mama Senja. Karena istri Papa sekarang kan Mama Ayuna." Terang Nathan lembut dan duduk di kursi meja makan memangku Gio yang masih menatapnya.
" Tapi papa sayang mama?" Gio masih belum puas karena pertanyaannya belum terjawab.
" Gio. Kita pulang sekarang ya. " Bujukku merasa tidak enak dengan Ayuna yang sejak tadi menatap mereka sedih.
Terkadang memang itulah yang terbersit di benakku. Apakah aku masih ada di hatinya. Tapi aku selalu menampikkan hal itu. Egois rasanya jika aku masih ingin berada di hatinya sementara dia dan istrinya sudah sangat baik pada aku dan anakku.
Gio menggeleng cepat.
" Ayo sayang." Ajakku lagi sedikit memaksa Gio dan mengambil Gio dari pangkuan Nathan.
" Biar Nathan antar, Senja." Ucap Ayuna lembut. Aku tahu hatinya masih perih. Ayuna lebih sensitif sejak mereka menikah. Entah kenapa.
" Aku naik ojek aja." Tolakku halus dan segera menggandeng Gio keluar dari rumah Nathan.
Ayuna dan Nathan mengantar kami sampai pintu depan.
" Salim sayang sama Mama una dan Papa." Titah ku pada Gio. Gio pun menuruti dan kami berlalu menunggu ojek online yang sudah ku pesan di depan rumah Nathan.
Rasa tak enak hati masih bergelayut pada Ayuna atas pertanyaan Gio. Maafkan aku, Na. Yang masih menyimpan rasa untuk suamimu. Batinku dalam hati sambil menatap mereka yang masih menunggu kami naik ojek.
" Dadah Papa" Seru Gio riang pada Nathan saat kami sudah berada di atas motor abang ojol.
Nathan dan Ayuna melambaikan tangan mereka sambil tersenyum. Aku hanya menyunggingkan senyum tipis pada mereka.
*****
" Baru pulang, Senja?" Tanya mamaku saat mendapati kami baru saja masuk ke rumah.
" Iya, Ma." Jawabku singkat.
" Jangan terlalu sering ke rumah Nathan. Nanti orang kira kamu mau ganggu rumah tangga mereka." Nasihat ibuku dan duduk di sampingku yang duduk di sofa ruang tamu.
" Sudah aku coba. Tapi Ayuna yang selalu saja maksa aku datang. Alasannya ada aja. Sudah ku tolak tapi yaa begitulah. Dia akan gunakan Gio sebagai umpan agar kami ke sana." Ucapku menjelaskan kenapa terkadang sulit sekali menolak ajakan Ayuna untuk ke rumahnya.
Mama menghela nafas dalam dan berat. Matanya sejenak menerawang jauh. Aku tahu yang dia pikirkan saat ini. Aku memilih diam berpura- pura sibuk main hp.
" Semoga kamu bisa segera melupakan Nathan." Harap ibu.
Aku hanya diam. Bagaimana aku bisa lupa jika istrinya selalu saja membuatku bertemu dengannya. Bagaimana aku bisa lupa jika sikapnya masih selembut dulu. Bagaimana aku bisa lupa jika namanya sudah terukir jelas di sanubariku. Dia mungkin bukan yang pertama hadir dalam hidupku. Tapi dia adalah yang terbaik yang telah hadir dalam hidupku.
Saat perjumpaan pertamaku dengannya masih terekam jelas dalam otakku. Bagaimana aku secara diam- diam memandangnya yang sedang berolahraga di sore hari. Sesekali aku ke rumahnya untuk memesan beberapa kue pada ibunya. Walaupun itu sebenarnya hanya sebuah alasan agar aku bertemu dengannya. Tetapi sialnya setiap kali aku memesan kue. Dia selalu tidak ada di rumah. Hingga Mama mengajakku berkunjung ke rumah teman sekolahnya dulu.
Awalnya aku terpaksa mengikuti kemauan mama tetapi ternyata teman Mamaku adalah ibunya. Bagaimana aku tidak bahagia. Peluangku untuk dekat dengannya semakin bertambah lebar. Di tambah lagi ibunya cerita jika dia belum punya calon istri. Awalnya aku tidak percaya. Bagaimana mungkin lelaki setampan dia tidak ada yang melirik. Setelah melihat langsung bagaimana sikapnya yang canggung saat berkenalan denganku. Bisa dipastikan. Nathan adalah sosok pria yang tidak mudah dekat dengan lawan jenisnya.
Entah kenapa hal ini kembali terngiang dalam pikiranku. Semakin aku mencoba melupakan. Semakin jelas ia dalam ingatan. Aku segera menuju kamarku dan menghempaskan tubuh lelahku. Bertarung dengan hati memanglah tidak mudah.
" Mama." Sapa Gio saat masuk ke kamarku. Bajunya sudah diganti. Mama memang selalu mengurus Gio tanpa kuminta.
Gio membaringkan tubuh mungilnya di sampingku.
" Mama boleh minta sesuatu sama Gio?"
Gio mengangguk cepat.
" Mama mau minta tolong. Gio jangan tanya- tanya tentang mama ke papa lagi ya." Pintaku lembut.
" Kenapa, Ma?"
" Karena mama bukan istri Papa. Kasian kan Mama Una sedih." Jawabku sekenanya saja.
" Kenapa Mama Una sedih?" Gio semakin penasaran. Inilah Gio.
Sejenak aku berpikir agar tak ada lagi pertanyaan ' Kenapa' dari Gio.
" Mama Una sayang banget sama Papa. Dan Papa juga sayang banget sama Mama Una. Kalo Gio tanya Papa sayang sama Mama. Papa pasti sayang sama Mama. Tapi sayangnya cuma sedikit. Makanya Papa gak pernah cium kening Mama." Terangku lembut.
" Jadi Papa lebih sayang ke Mama Una?" Tanya Gio ingin memperjelas. Aku hanya mengangguk. " Yaudah kalo gitu Gio juga akan sayang Mama lebih banyak daripada ke Mama Una. Gio gak mau cium Mama una." Ujar Gio polos.
Aku hanya terdiam mendengar ucapan Gio yang seakan tidak terima. Aku hanya menghela nafas dalam. Membiarkan Gio dengan pemikiran polosnya. Entah bagaimana harus aku jelaskan padanya.
Aku hanya menatap langit- langit kamarku yang berwarna biru langit. Pikiranku kembali terbang jauh menembus waktu.
Pov. Nathan
Ayuna masih saja berdiam diri sepeninggal Senja dan Gio. Aku tahu saat ini dia cemburu. Tapi aku harus apa. Pertanyaan Gio lolos begitu saja dari mulutnya. Aku dan Ayuna sudah tahu bagaimana kritisnya Gio jika dia bertanya. Jika diberikan jawaban yang tidak sesuai dengan yang ada dipikirannya dia akan terus bertanya sampai dia dapat jawaban yang memuaskan hatinya. Bukankah yang membawa mereka ke rumah ini Ayuna sendiri. Saat pulang kerja tadi aku sangat terkejut mendapati Gio menyambut ku dengan riang dan berhambur memelukku.
" Kamu masih sayang sama Senja?" Tanya Ayuna sedikit ketus.
" Sudah aku jelaskan berulang kali. Senja hanya masa lalu aku." Ucapku mencoba Ayuna mengerti.
" Kamu masih sayang sama Senja?" Ayuna malah berbalik arah menatapku tajam. Amarah dan cemburu sudah menguasainya hingga dia berbicara lantang padaku.
" Jangan bahas ini lagi, Na." Ucapku mengalihkan pembicaraan.
" Kamu gak jawab itu artinya kamu masih ada rasa sama Senja. Lalu kenapa kamu tetap ngotot ingin menikahi aku, Nath?!" Selalu kalimat ini yang aku dengar dari Ayuna saat kami bertengkar. ' Kenapa aku menikahinya'.
Aku menghela nafas panjang. Memegang lembut bahunya dan perlahan aku memeluknya.
" Kita cicipi masakanmu hari ini." Ujarku berbisik lembut.
" Nath."
" Ada apa?"
" Jika aku dan Senja dalam kesulitan. Siapa yang lebih dulu kamu bantu?"
" Tentu saja kamu. Kamu itu istriku. Teman hidupku." Ucapku mempertegas status Ayuna dalam hidupku. Walaupun aku memang belum sepenuhnya melupakan Senja.
Bagaimana aku bisa lupa jika cinta pertamaku selalu hadir di rumah ini.
" Kamu masih mencintai Senja?" Pertanyaan itu lagi yang terlontar dari mulut Ayuna.
" Itu sudah tidak penting, Na. Sekarang yang terpenting adalah aku berusaha mencintai kamu sepenuhnya hingga tak ada lagi orang lain." Jawabku lembut berharap bisa memuaskan dari pertanyaan Ayuna.
" Maafkan aku, Nath." Ayuna tertunduk.
Aku tersenyum menatap lembut Ayuna yang menatapku penuh rasa penyesalan karena menuntutku untuk segera menyingkirkan Senja dari hatiku.
Harus aku akui. Itu semua tidak mudah. Aku butuh waktu. Saat bersama Senja. Aku terlanjur memberikan sepenuh hatiku untuknya. Aku begitu mencintai Senja hingga tak ada lagi wanita yang bisa aku cintai. Tetapi, melihat sikap Ayuna yang begitu baik terhadapku ataupun ibuku. Aku mencoba membuka hati untuknya. Aku ingin ibuku bahagia. Aku juga ingin Ayuna bisa menggapai cinta pertamanya. Aku tahu dari buku diary nya bahwa aku adalah cinta pertamanya dan tak ada lagi lelaki lain yang hinggap di hati Ayuna. Itulah sebabnya aku memutuskan memilih Ayuna. Dia gadis yang sangat baik. Dia pantas mendapatkan apa yang dia inginkan. Walaupun itu adalah diriku yang masih belajar sepenuhnya mencintai dia.
" Aku lapar." Bujuk ku lagi dan menarik lembut tangan Ayuna menuju meja makan.
Tanpa banyak bicara kami makan dengan tenang. Masakannya sudah mulai enak. Semakin pintar dia memasak. Aku sangat menghargai dia. Itulah sebabnya aku tak pernah melarang Ayuna meminta Senja ke sini untuk mengajarinya memasak.
Aku tahu setiap dia melihat kedekatan ku dengan Gio membuatnya terluka. Karena sampai saat ini, Ayuna tak kunjung hamil. Untukku tak jadi soal. Aku menikah bukan semata ingin punya anak.
" Aku mau langsung tidur ya." Ucap Ayuna yang tidak menghabiskan makanannya.
" Iya. Biar nanti aku yang bereskan." Ujarku menanggapi sikap Ayuna.
Aku hanya bisa memaklumi keadaan Ayuna. Pernikahan ini tidak sepenuhnya membuat Ayuna bahagia. Entah apa yang salah.
Saat awal menikah, kami tinggal di rumah ibuku. Aku anak satu- satunya. Jadi aku memutuskan untuk tinggal bersama ibu agar aku masih bisa menjaga ibu yang sudah mulai tua. Tetapi baru satu bulan kami di rumah. Ayuna sudah merengek minta pisah rumah. Ibuku pun mendukung keputusan Ayuna. Ibu memang wanita yang sangat pengertian.
Untuk mengikuti keinginan Ayuna. Akhirnya aku membeli rumah ini. Ibu sangat bahagia akhirnya aku bisa punya rumah sendiri.
Sesekali aku mampir ke rumah ibu setelah pulang dari kantor. Entah kenapa Ayuna selalu menolak jika aku mengajaknya ke rumah ibu. Berbanding terbalik dengan Senja yang masih sering datang sekadar menengok ibu. Aku tahu itu dari Bi Sumi.
*****
" Sarapan dulu, Nath." Ucap Ayuna padaku yang baru saja menuju meja makan.
Telah terhidang roti bakar dan segelas kopi capuccino di meja.
" Aku sarapan di kantor aja. Ada meeting pagi ini." Tolakku halus dan menyeruput sedikit kopi capuccino itu. Tak lupa ku kecup lembut kening Ayuna.
Ayuna hanya menatapku kecewa. Tapi mau bagaimana. Aku sudah di kejar waktu. Pagi ini jika memang berhasil. Aku akan memegang proyek besar. Semoga saja berhasil. Karena tender yang bersaing denganku juga perusahaan yang memang juga perusahaan besar.
Aku segera melajukan kendaraanku secepat yang ku bisa. Ya tahu sendirilah bagaimana jalanan di Jakarta seperti apa.
Seperti biasa Silvi sudah menyambut kedatanganku di depan lobby dengan beberapa berkas yang ia bawa.
" Langsung masuk aja, Sil." Ujarku terburu- buru.
Aku segera melajukan mobil kembali menembus kemacetan. Meeting ku kali ini agak jauh dari kantor.
" Semuanya sudah siap kan?" Tanyaku memecah keheningan.
" Sudah, Pak." Jawab Silvi singkat. Tak seperti biasanya dia akan menjelaskan semua informasi yang aku butuhkan tanpa diminta.
" Kamu ada masalah?" Tanyaku sedikit penasaran.
" Engga, Pak." Jawab Silvi ragu. Raut wajahnya tampak gelisah.
" Ok." Ujarku memilih diam dan melanjutkan perjalanan.
*****
Hari sudah menunjukkan pukul Lima sore. Saatnya aku pulang. Tetapi hari ini aku ingin berkunjung sebentar ke rumah ibu sekaligus memberikan baju yang baru saja ku beli siang tadi.
" Assalammu'alaikum." Sapaku riang saat memasuki rumah ibu.
" Wa'alaikumsalam." Sahut ibuku dari dalam.
" Maasya Allah.. Anak ibu." Seru ibuku gembira menyambut kedatanganku.
Segera kucium punggung tangan ibuku dan ku peluk dia melepas rindu.
" Buat ibu." Ucapku menyodorkan paper bag yang aku bawa.
" Apa ini?" Tanya ibuku dengan wajah gembira. " Ya Allah. Bagus sekali." Ujarnya riang.
" Suka gak?"
" Tentu saja ibu suka. Dari anak tercinta." Ucap ibuku lagi. " Ayuna mana?" Selalu itu yang ditanyakan ibuku.
" Di rumah, Bu. Aku langsung ke sini dari kantor." Jawabku.
Ibu hanya mengangguk pelan.
" Aku menang tender, Bu." Ujarku gembira memberi kabar hasil meeting pagi tadi.
" Alhamdulillah. Tapi kok senang banget. Ada apa sama tender ini?"
" Ini proyek besar, Bu. Aku bisa menyerap tenaga kerja lebih banyak lagi." Ceritaku antusias.
" Syukur Alhamdulillah. Ibu bangga sama kamu. Jangan lupa sebagian keuntungannya kamu sumbangkan untuk anak yatim dan fakir miskin juga pembangunan masjid. Biar berkah." Ujar ibuku selalu mengingatkanku agar tidak lupa bersedekah. Karena apa yang kita dapat ada hak mereka yang dititipkan Allah pada kita.
" Insya Allah, Bu." Ucapku lagi dan memeluk ibuku erat. " Semua yang aku capai sekarang. Tidak lepas dari doa ibu. Terima kasih banyak, Bu." Ujarku dan kembali memeluknya erat.
" Assalammu'alaikum." Sapa seseorang dari luar.
" Wa'alaikumsalam." Sahutku dan ibu bersamaan.
Ibu segera keluar menemui sang tamu yang entah siapa. Aku hanya memperhatikan.
" Ealah.. Kedatengan tamu agung." Sambut ibuku riang. " Masuk.. masuk." Ibu segera mempersilahkan.
Aku masih memperhatikan dari jauh. Ternyata tamu ibu malam ini adalah Pak David dan Angel. Ada apa mereka datang?
Tanpa banyak berpikir, aku menghampiri mereka dan menyalami Pak David.
" Tambah Gagah anak ini." Ujar Pak David bangga. Aku hanya tersenyum tipis menanggapi pujian dari Pak David.
" Temani dulu, Nath. Ibu mau buatin minum." bisik ibu padaku.
Aku hanya mengangguk dan duduk di hadapan Pak David.
" Gimana kabarmu?" Tanya Pak David berbasa basi.
" Alhamdulillah, baik Pak."
" Masih ingat Angel, Putri saya?" Tanya Pak David.
" Masih, Pak."
" Terus terang saja, Nathan. Saya kesini masih dengan maksud yang sama." Ujar Pak David membuatku tak mengerti.
" Maksud apa ya, Pak?" Tanyaku.
" Silahkan diminum, Pak." Ujar ibu mempersilahkan setelah menyuguhkan teh hangat di meja.
" Ada perlu apa ya Pak? Kok tumben sekali." Tanya Ibu yang sudah duduk di sampingku.
" Begini, Bu Fitri. Saya masih menginginkan Nathan menjadi menantu saya."
Deg!
Seketika mataku dan ibu beradu pandang. Bukankah Pak David tahu aku sudah menikah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!