NovelToon NovelToon

LAST STAND

1. THIS IS BEGIN

Beep... beep... beep... Suara alarm dari ponsel Gilang berbunyi nyaring, memecah kesunyian subuh dan membangunkannya dari tidur lelap. "Arghh… bangke, masih ngantuk," racau Gilang dengan suara serak, tangannya meraba-raba nakas, berusaha menggapai ponsel yang terus meraung itu.

"Woy, bangun! Sudah siang nanti telat masuk kerja!" Suara teriakan seorang wanita dari balik pintu kamarnya semakin menambah "gangguan" yang menjauhkannya dari alam mimpi. Itu adalah ibunya, yang memang selalu punya cara untuk memastikan Gilang tidak terlambat.

"Arghhh… ini lagi! Alarm hidup, pintu digedor-gedor. Iya, sebentar, Mah!" jawab Gilang, menyerah pada usahanya untuk kembali tidur. Dengan malas, ia menaikkan badannya dari kasur, mengumpulkan sisa-sisa kesadaran, dan melangkah gontai keluar dari kamarnya.

Saat berjalan menuju dapur, pandangannya tak sengaja terpaku pada layar televisi di ruang keluarga, tempat neneknya biasa menghabiskan pagi. Sebuah berita sedang disiarkan, mengabarkan bahwa kota mereka baru saja dilanda bencana: jatuhnya meteor yang menghancurkan satu desa di kaki gunung setempat. Gambar-gambar reruntuhan dan warga yang terluka memenuhi layar, menciptakan suasana pilu.

"Astagfirullah, kasihan sekali orang-orang di sana… Sampai segitunya musibah, rumah pada hancur, warganya pada masuk rumah sakit. Semoga…" Neneknya belum selesai berucap, namun Gilang sudah menyela dengan pikiran pragmatisnya yang khas.

"Lumayan tuh meteor kalau dijual jadi uang, Nek. Buat biaya berobat sama ganti bikin rumah juga," celetuk Gilang sambil mendudukkan badannya di kursi, pandangannya masih terpaku pada televisi.

Neneknya melirik tajam. "Sudah sana cepat mandi! Sudah siang! Sana, ganggu saja orang tua nonton berita!" hardiknya, membuat pagi Gilang semakin terasa buruk. Dengan mendengus, Gilang bangkit dan bergegas menuju kamar mandi.

Perjalanan Pagi dan Obrolan Ringan

Setelah mandi, Gilang langsung bersiap untuk pergi bekerja. Ia memutuskan untuk berjalan kaki pagi itu, menikmati udara sejuk meski masih diwarnai sedikit kekesalan sisa pagi. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan tetangganya, Pak RT, yang sedang memandikan burung peliharaannya dengan semprotan air.

"Mandiin burung, Pak RT? Kasihan, masih pagi sudah dimandiin begitu," sapa Gilang, menghentikan langkahnya untuk menyapa tetangga.

"Iya, Gil, biasalah. Sudah kebiasaan mandiin burung kesayangan pagi-pagi begini sebelum kerja, ‘kan biar santai dengar kicaunya pagi gini…" jawab Pak RT sambil terus menyemprot burungnya dengan telaten.

"Mau ke mana, Gil? Pagi-pagi begini sudah mau kerja? Biasanya juga siangan berangkatnya?" tanya Pak RT penasaran.

"Iya, Pak RT. Kejar target motong kayu, takutnya keburu hujan lagi kayak kemarin," jawab Gilang, lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju tempat kerja.

Sesampainya di tempat kerja, sebuah bengkel kayu yang sederhana, Gilang langsung membereskan beberapa perkakas yang berserakan. Ia juga menyalakan musik dari ponselnya. "Lumayan biar enggak sepi-sepi amat nih tempat," gumamnya sambil mengetuk-ngetuk layar ponsel. Tak lama berselang, datanglah dua rekan kerjanya, Fajar dan Acep, yang segera menyapanya dengan riuh.

"Oi, Gilang! Wedehh, pagi amat lo, Gil, ke sini?" sambut Fajar, seraya bercanda. "Bisa nih ngutang kopi segelas," tambahnya, tersenyenyum nakal.

"Sudah, sudah, kebiasaan si Fajar pagi-pagi sudah ngutang ke warung orang," timpal Acep sambil melepas helm dari kepalanya.

"Ke rumah saja, Jar! Bilang saja ke emak gue, beli kopi dua tar dibayar sama gue!" sahut Gilang sambil menyimpan sapu di sudut ruangan.

"Gue sekalian, Jar, nih duitnya," kata Acep sambil memberikan uang lima ribu rupiah kepada Fajar.

Fajar pun melesat pergi dan tak lama berselang, ia kembali membawa tiga gelas kopi dan sepiring gorengan lengkap dengan cabai rawit.

"Sudah ngelantur nih anak! Disuruh bawa kopi tiga gelas, malah tambah gorengan," ucap Acep sambil berdiri membantu Fajar menurunkan barang bawaannya.

"Dikasih emaknya Gilang, Cep… katanya buat sarapan anak-anak… gratis, kok," jawab Fajar sambil memegang gelas kopi dengan bangga.

"Gil, lu tahu meteor yang jatuh tadi malam di gunung mana sih? Katanya di Tasik," tanya Fajar kepada Gilang, serius.

"Enggak tahu, Jar… Cuma lihat di berita katanya memang ada. Tapi kalau gunungnya, enggak tahu dah gunung mana," jawab Gilang sambil menyalakan sebatang rokok.

"Gunung kembar, Jar… Meteornya kayak bentuk lemper isi celana lo," jawab Acep dengan nada mesum, terkekeh.

"Eh, si goblok! Ditanya bener-bener malah mesum! Enggak dikasih jatah lo sama bini lo apa gimana?!" seru Fajar sambil melemparkan bekas gorengan pada Acep, yang langsung dimarahi oleh Gilang karena mereka malah bercanda di jam kerja.

"Siniin tuh amplas 600! Malah bercanda melulu! Kayu tuh belah sana! Malah bercanda melulu, enggak bakal beres-beres pesanan kita kalau begini!" tegur Gilang, suaranya sedikit meninggi. Seketika itu juga, kedua temannya langsung berhenti bercanda dan kembali fokus pada pekerjaan mereka.

Tengah Hari dan Berita Semakin Serius

Tak terasa waktu berlalu, dan tiba saatnya tengah hari, waktu istirahat bagi para pekerja. Gilang memutuskan untuk pulang ke rumah terlebih dahulu untuk makan dan membersihkan dirinya dari serbuk kayu yang menempel di tubuhnya.

"Jar, gue balik dulu sebentar, mau makan di rumah. Kalau kalian lapar, ke rumah saja, ada nasi-nasi doang sama… lauknya beli sendiri. Sekalian, tuh gelas kosong sama nampan siniin, biar gue simpan ke rumah," ucap Gilang, menawarkan makan siang di rumahnya.

"Sudah, Gil, enggak apa-apa… Kita bawa bekal kok… Bawa saja nih gelas sama nampan," jawab Acep sambil berdiri menyodorkan nampan dan gelas pada Gilang.

"Ya sudah… gue balik dulu," tutur Gilang sambil melangkah keluar dari tempat kerjanya.

Sesampainya di rumah, ia langsung menuju dapur dan segera mengambil piring untuk makan siang. Serta tak lupa menyalakan televisi, dan segera duduk untuk menyantap makanan sambil menonton acara berita.

Berita terkini mengabarkan update terbaru tentang jatuhnya meteor di kota mereka. Dalam siaran tersebut, diinformasikan bahwa banyak warga yang terkena dampak telah dilarikan ke beberapa rumah sakit. Yang mengejutkan, aparat menemukan bahwa beberapa patahan meteor tersebut telah hilang. Bahkan, sebagian dari meteor yang besar sudah tidak utuh, dikarenakan banyak warga yang berusaha mengambil sedikit bagian meteor tersebut untuk dijual secara pribadi, mengingat harganya yang mungkin cukup mahal.

Banyak media yang meliput, dari mulai media nasional maupun media lokal, terus memberikan update tentang meteor yang jatuh. Tak hanya itu, banyak ahli juga memberikan pendapat bahwa meteor yang jatuh di daerah mereka membawa banyak zat-zat atau bahkan organisme luar angkasa yang belum diketahui. Oleh karena itu, diperlukan ahli dari badan antariksa untuk memeriksa apakah meteor tersebut bisa dinyatakan 'aman' atau tidak.

Tidak sedikit pula media yang menyiarkan bahwa meteor itu adalah pertanda akhir zaman, menambah nuansa misteri dan ketakutan di tengah masyarakat. Gilang terdiam, memandangi layar televisi dengan pikiran campur aduk. Apa yang akan terjadi selanjutnya dengan meteor ini? Dan bagaimana dampaknya bagi kota kecil mereka?

2. BEFORE DISASTER

Setelah istirahat sejenak di rumahnya, Gilang kembali bergegas menuju tempat kerja. Saat melangkah di jalanan yang mulai ramai, telinganya menangkap suara-suara yang semakin akrab belakangan ini: raungan sirine ambulans yang lalu-lalang tanpa henti. Suara-suara itu seolah menjadi penanda ada sesuatu yang tidak beres di kota ini.

"Buset dah, ngiung-ngiung mulu dari tadi… sampai pengang nih kuping," gumam Gilang dalam benaknya. Firasat tak enak mulai merayapi pikirannya. Sesampainya di bengkel kayu, ia mendapati kedua temannya, Fajar dan Acep, sedang serius menatap layar ponsel mereka, membaca berita.

Berita yang mereka tonton mengabarkan adanya wabah keracunan massal. Hal itu terjadi karena air yang dikonsumsi warga sudah tercemar. Sebuah zat aneh, yang diyakini berasal dari meteor yang jatuh, telah masuk ke saluran penampungan air dan sungai.

"Kemarin meteor… sekarang keracunan… Besok apaan, wabah zombie?" celetuk Acep, nadanya bercanda namun mengandung kegelisahan yang sama-sama mereka rasakan. "Makin dekat nih ke akhir zaman…"

"Husss… jangan gitu lu! Nanti kejadian lu! Jadi orang yang pertama jadi zombie, mampus lu!" Fajar memperingatkan Acep, ekspresinya sedikit tegang.

"Tapi seru anjir… Bisa berasa main game survival zombie… Bener enggak, Gil?" Acep menyangkal ucapan Fajar, malah balik bertanya pada Gilang, matanya berbinar seolah membayangkan skenario game favoritnya menjadi kenyataan.

Gilang menanggapi dengan gelengan kepala. "Kayaknya nih anak kebanyakan main game dah… Lu kalau benar ada zombie, bukannya survival malah koid! Sudah, gue yakin… Dikira bunuh zombie gampang kayak di game." Gilang melanjutkan pekerjaannya, tak terlalu ambil pusing dengan fantasi Acep.

Acep tidak menyerah. "Gampang… tinggal gini, sing… sing…" Ia memperagakan gerakan mengayun-ayunkan balok kayu, seolah sedang menebas kepala zombie. Tanpa sengaja, balok itu malah mengenai kaki Andi, pemilik bengkel, yang baru saja masuk dan berdiri di belakang mereka.

"Sang… sing… sang… sing… Sok-sokan pengen ada zombie… Memang ini di mana, hah?!" ucap Andi, mengelus-elus pahanya yang terkena sabetan balok, raut wajahnya meringis kesakitan.

"Di mana apanya? Jelas-jelas kita di Tasik, Bos!" jawab Fajar polos, tidak menyadari maksud Andi.

"Di mana isi otak lo!" jawab Gilang, Acep, dan Andi serentak, lalu diakhiri dengan tawa mereka berempat, menyadari keluguan Fajar.

Potongan Meteor dan Insiden Tak Terduga

"Kerjaan sudah sampai mana, Gil?" tanya Andi, menyalakan sebatang rokok, mengalihkan pembicaraan dari insiden kecil barusan.

"Baru segini nih… Paling lima puluhan yang sudah beres… Tiga puluh baru dibelah sama si Fajar… Dua puluh lagi baru dikawatin si Acep…" tutur Gilang, berusaha menjelaskan sejauh mana pekerjaan mereka.

"Gue tadi dapat barang bagus… dari saudara gue. Mau coba gue bikinin gantungan kunci bentuk ikan, ah…" ucap Andi sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

Di tangannya, tampak sepotong meteor yang kemarin malam menjadi berita utama. Warnanya hitam gelap, dengan tekstur kasar dan beberapa kilauan aneh.

"Buset! Dapat dari mana tuh meteor?! Lumayan tuh… Daripada lu bikinin gantungan motif ikan, mending lu jual! Mahal tuh barang!" ucap Acep, matanya membelalak. Ia mencoba meraih meteor tersebut dari tangan Andi.

"Goblok! Ngapain gue jual?! Gue pengen dong sekali-kali pakai barang bagus. Gue jual, besoknya gue ditangkap yang ada… Gue dapat dari saudara gue yang aparat… Kan lumayan, lu mau pada buat enggak sekalian? Biar gue yang polain dah. Gil, lu mau?" tawar Andi, menyorongkan potongan meteor itu ke Gilang.

Gilang menggelengkan kepala, menolak dengan sopan.

"Lu, Jar?" tanya Andi lagi pada Fajar, yang langsung dijawab dengan anggukan antusias.

"Lu mah… pasti mau! Sudah, gue yakin seratus persen. Cep, polain tuh sekalian sama lu terus potong… Awas kena tangan!" titah Andi sekaligus himbauan agar Acep tidak gegabah.

Acep pun mengambil potongan meteor itu dengan hati-hati. Ia mulai mempolanya dan bersiap memotongnya dengan mesin pemotong. Fajar ikut mendekat, penasaran. Gilang tetap fokus pada pekerjaannya, sesekali melirik ke arah mereka.

Namun, ketika mereka sedang fokus, tiba-tiba mereka dikagetkan oleh suara teriakan Acep dari arah belakang mereka. Sontak, Gilang dan Fajar menghentikan pekerjaan mereka dan langsung mendatangi Acep.

Terlihat Acep sedang memegangi tangannya yang mengeluarkan cukup banyak darah. Potongan meteor yang tadinya dipegangnya kini tergeletak di lantai, terbelah menjadi dua.

"Dih… lu kenapa, Cep?" buka Andi sambil mematikan mesin pemotong yang masih menderu pelan.

"Nih meteor patah… terus kena tangan gue! Anjir lah… perih gini!" jawab Acep sambil menahan kesakitan di tangannya. Wajahnya memucat.

"Sudah, sini obatin… Banyak debu tuh! Masih nempel di tangan lu… Keburu lu jadi zombie tar, gigit…" canda Fajar, mencoba mencairkan suasana tegang, sambil berusaha menuntun Acep ke tempat yang lebih terang.

Setelah diobati oleh Fajar dengan antiseptik dan plester, Acep terdiam sesaat, menatap tangannya yang berdarah. Ia kemudian kembali ingin melanjutkan pekerjaannya, bermaksud memotong meteor itu lagi, namun langsung dilarang oleh Andi.

"Kerjain saja kerjaan lu saja sana! Biar ini gue yang kerjain! Nanti kepotong jari lu… repot gue!" titah Andi, suaranya tegas. Acep pun mengangguk patuh dan kembali ke meja kerjanya, meninggalkan Andi di ruang potong kayu.

Tak lama berselang, Andi kembali dari ruang potong kayu. Ia membawa dua potongan meteor yang sudah rapi, berbentuk gantungan kunci ikan.

"Nih, satu punya gue… Nih, satu bentuk ikan, bebas dah buat siapa… Satunya patah sama si Acep… Sudah gue buang, enggak kepakai soalnya," tutur Andi pada mereka berdua.

"Buat si Acep saja tuh! Kasihan, ngebet banget sampai berdarah-darah gitu…" jawab Fajar pada Andi, mengusulkan agar potongan meteor itu diberikan kepada Acep sebagai 'kompensasi'. Andi pun mengangguk setuju.

Pulang ke Rumah dan Kekhawatiran yang Kian Menjadi

Tak lama, jam menunjukkan pukul empat sore. Waktu kerja sudah usai. Gilang, Fajar, dan Acep segera membereskan perkakas dan bersiap pulang. Suasana di bengkel terasa lebih lengang, namun pikiran Gilang masih dipenuhi oleh kejadian-kejadian hari ini.

Setelah Gilang sampai rumah, ia sekilas melihat berita yang mengabarkan bahwa kasus keracunan di kotanya itu benar-benar diakibatkan oleh tercemarnya air. Instansi terkait sedang mendalami kasus ini. Yang lebih mengkhawatirkan, korban yang dilarikan ke rumah sakit memiliki gejala yang sama: kejang-kejang, serta disertai dengan muntah cairan berwarna biru tua yang masih diteliti oleh paramedis.

"Buset! Makin parah saja… sekarang, mana mulai banyak ambulans lalu-lalang di jalan. Semoga saja enggak sampai nyebar ke sini…" gumamnya dalam hati. Gilang benar-benar khawatir. Rumahnya tidak jauh dari rumah sakit, dan ia cemas dengan kesehatan keluarganya di tengah situasi yang semakin tidak menentu ini. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Dan apakah wabah ini akan menyebar lebih jauh, hingga ke rumahnya sendiri?

3. THIS IS THE DAY!!!

"A… bangun! Sudah siang… sudah jam delapan!" Suara lembut namun tegas ibunya kembali membangunkan Gilang. Ia terlonjak, matanya langsung melirik jam dinding.

"Buset… kesiangan! Gara-gara mabar sama si Fajar sampai subuh," gumamnya dalam pikiran, menyalahkan teman kerjanya yang mengajaknya begadang bermain game semalaman. Tanpa membuang waktu, ia langsung berlari menuju kamar mandi, membersihkan diri secepat kilat, mengenakan pakaian, dan bersiap berangkat kerja.

Namun, langkahnya terhenti saat ibunya mencegahnya untuk sarapan terlebih dahulu. "Tuh, makan dulu! Nanti lemas di tempat kerja!" titah ibunya sambil menyodorkan piring berisi nasi putih panas yang mengepul.

Saat Gilang mulai menyuapkan makanan, matanya tertuju pada tangan ibunya. "Mah, tangan itu kenapa? Kok diplester begitu?" tanyanya penasaran.

"Tadi… Mamah di jalan ketemu kucing lagi kejang-kejang di tengah jalan, Mamah kepinggirin malah digigit sampai berdarah," tutur ibunya, menjelaskan.

"Dih, enggak jelas tuh kucing!" jawab Gilang sambil berusaha mengunyah makanannya. Ibunya langsung menegurnya karena berbicara sambil makan.

Setelah sarapan, Gilang bergegas berangkat kerja. Ia berjalan kaki, seperti biasanya. Namun, langkah kakinya terasa aneh kali ini. Sepanjang jalan menuju jalan raya, ia tidak mendengar satu pun suara kendaraan, padahal ia hanya terhalang satu rumah dari jalan besar itu.

"Sepi banget, aneh? Perasaan sekarang hari Rabu," gumamnya, melirik sekeliling. Ia melihat tetangganya di dalam rumah sedang memperhatikan burung dalam sangkar dengan tatapan kosong, mengikuti setiap gerak-gerik unggas itu seolah-olah burung itu adalah satu-satunya hal yang penting. Firasat Gilang semakin tidak enak.

Ia terus berjalan dan akhirnya sampai di tempat kerjanya. Pintu bengkel terbuka, dan ia segera masuk, meletakkan gembok di dekat pintu, dan mulai membereskan perkakas.

Tak lama berselang, Fajar tiba dengan motornya. Ia langsung masuk ke dalam dan menyapa Gilang. "Oi, Gil! Ngopi lah, diam-diam saja lu!" sambut Fajar sambil meletakkan helmnya di meja.

"Mana si Acep, enggak ke sini? Sakitkah?" tanya Gilang pada Fajar, karena tidak biasanya Acep tidak ikut datang.

"Sakit, kata bininya," jawab Fajar sambil duduk di depan Gilang dan menyalakan sebatang rokok.

"Masih ada enggak? Gue mau dong sebatang! Asem nih mulut," pinta Gilang, berharap Fajar memberinya rokok. Namun, Fajar menolak. Rokoknya habis, dan malah menyuruh Gilang untuk membeli rokok ke warung menggunakan motornya.

"Enggak ada, babon! Habis rokok gue… Ini saja sisa semalam! Beli saja sana ke warung lo! Gue nitip kopi!" ucap Fajar, langsung menyodorkan kunci motornya pada Gilang.

"Dasar kisamak! Ya sudah, gue balik dulu bawa rokok sama kopi ke warung emak gue!" ucap Gilang sambil mengambil kunci motor, dan segera berjalan menuju motor Fajar untuk membeli rokok dan kopi titipan temannya.

Pertanda Kekacauan dan Horor di Rumah

Di jalan menuju rumahnya, Gilang bertemu dengan Andi, pemilik bengkel, yang sedang berjalan kaki menuju tempat kerja. Namun, ada yang aneh dengan Andi. Ia seperti menatap kosong ke jalanan, dan terkadang sesekali menempelkan liontin aneh di kupingnya, seperti orang gila.

"Woy, Di! Ngelamun melulu! Kesambet apaan luh?" sapa Gilang. Andi hanya menjawab dengan anggukan pelan, dan terus melaju menuju tempat kerja.

"Dih… aneh si Andi! Kenapa tuh anak?" gumam Gilang, terus melajukan motornya menuju rumah. Perasaan tidak enak semakin kuat mencengkeram.

Sesampainya di rumah, Gilang langsung membawa satu bungkus rokok dan sekantung camilan yang sudah ia beli. Ia juga segera menyeduh kopi kemasan, serta tak lupa membawa gelas plastik untuk Fajar dan termos mini untuk kopinya. Barang-barang itu ia letakkan di motor Fajar.

"Sudah, tinggal tulis di buku bon utang. Tapi kok Mamah ke mana ya? Kok enggak ada di rumah?" tanyanya dalam hati.

Tak lama, terdengar seperti ada sesuatu yang jatuh dari kamar neneknya. Suara yang keras, disusul keheningan yang mencekam. Jantung Gilang berdegup kencang. Ia langsung mendatangi sumber suara tersebut.

Alangkah terkejutnya Gilang. Di kamar neneknya, pemandangan horor terpampang nyata di depan matanya. Neneknya sudah tergeletak tak bernyawa, dengan bagian leher yang mengerikan, seolah digerogoti. Dan yang paling mengejutkan, ibunya lah yang sedang berada di sana, dengan wajah dan mulut yang berlumuran darah.

"Mamah! Kenapa?!" raung Gilang, suaranya tercekat. Otaknya gagal memproses apa yang ia lihat. Sekujur badannya gemetar hebat, tidak percaya dengan kejadian di depan matanya itu.

Sontak ibunya berbalik, matanya merah menyala, tatapannya kosong namun penuh nafsu. Ia hendak berlari menuju Gilang, namun ibunya terjatuh karena menginjak banyak darah di lantai, kesulitan untuk berdiri. Momen itu dimanfaatkan Gilang. Ia berbalik dan lari sekuat tenaga dari sana, meninggalkan ibunya yang mengerikan itu.

Tak lupa, ia menutup pintu rolling door warungnya, berharap itu bisa sedikit menghambat jika ibunya ingin mengejarnya. Dengan panik, ia segera menaiki motor dan tancap gas, pergi sejauh mungkin dari rumah itu.

Dalam benaknya, ia tak habis pikir tentang apa yang baru saja terjadi. Baru beberapa saat yang lalu ia mendengar raungan ambulans, kini jeritan terdengar di mana-mana. Itu menandakan bahwa hal yang terjadi bukan hanya di rumahnya saja, namun di sekitar area rumahnya juga terjadi hal serupa. Ia menyadari ini bukan hanya wabah keracunan biasa. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih mengerikan.

Ia memutuskan untuk kembali ke tempat kerjanya, dengan satu tujuan: menyelamatkan Fajar.

Kengerian di Bengkel dan Misi Penyelamatan

Sesampainya di tempat kerja, Gilang langsung masuk dan segera mengambil gembok yang ia simpan di dekat pintu. Tangannya gemetar saat ia memegang kunci, lalu masuk ke dalam untuk mencari temannya.

"Jar! Fajar, di mana lo?!" teriaknya memanggil nama temannya. Semakin masuk ke dalam, ia melihat ceceran darah di lantai. Keringat dingin membasahi punggungnya. Ia mengikuti jejak darah itu sampai ke tempat pemotongan kayu.

Pemandangan di depannya membuat napasnya tercekat. Terlihat Andi, pemilik bengkel, sudah kehilangan satu tangannya, tergeletak tak berdaya. Sementara itu, Fajar bersimbah darah dan terluka cukup parah, berusaha mati-matian menyelamatkan diri dari Andi yang sudah berubah menjadi monster, mencoba terus menggigit lehernya.

Sontak Gilang berteriak memanggil nama Fajar, "Fajar…!!!" Namun, teriakan itu justru mengagetkan Fajar, membuat fokusnya terpecah. Di saat itulah, Andi berhasil menggigit leher Fajar dengan kuat.

Gilang pun sontak mencoba mengambil sebuah balok kayu terdekat, ingin membantu. Namun Fajar yang tersadar, dengan sisa tenaganya, berteriak pada Gilang untuk lari dari tempat itu. "Lari, goblok!" teriak Fajar terengah-engah, dengan mata memohon.

Dengan sisa tenaga terakhirnya, Fajar menarik mesin pemotong kayu yang berat ke arah mereka berdua, berusaha menimpa Andi dan dirinya sendiri, demi memastikan Gilang selamat dari Andi yang sudah menjadi monster tersebut. Alhasil, mesin itu menimpa dan memotong tubuh mereka berdua.

Namun, Andi masih hidup! Meskipun tubuhnya sudah hancur, ia mengerang dan masih berusaha menerjang Gilang. Dengan cepat, Gilang menutup pintu ruangan tersebut, mengunci Andi di dalamnya, lalu kembali berlari keluar untuk melarikan diri menuju tempat aman.

Kota yang Hancur dan Harapan Baru

Belum genap beberapa menit melajukan motornya, Gilang melihat hal-hal di luar nalar manusia normal di sepanjang jalan. Seakan-akan ia sedang bermimpi sangat buruk. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana, teriakan orang kesakitan memenuhi udara, bahkan pembunuhan brutal terjadi di depan matanya. Kota itu telah jatuh ke dalam kekacauan.

Banyak orang yang berusaha melarikan diri dengan kendaraan mereka, namun malah terjebak kemacetan parah, menjadi makanan empuk bagi para manusia yang sudah berubah menjadi monster tersebut. Jalanan berubah menjadi medan perang.

Gilang memutar haluannya, mencari jalur alternatif, dan segera mencari tempat perlindungan seaman mungkin. Namun, saat ia hendak memutar motornya dan melarikan diri, pandangannya tertuju pada seorang wanita yang sedang dikejar-kejar oleh manusia monster. Wanita itu berteriak ketakutan, monster itu sudah sangat dekat, akan mencoba memakanya.

Tanpa berpikir panjang, Gilang melajukan motornya, menabrak manusia monster tersebut hingga tersungkur dan jatuh ke aspal. Monster itu mengerang kesakitan, dan Gilang tidak ragu. Ia melindas kepala monster itu dengan ban motornya sampai hancur, darah hitam pekat mengalir dari arah kepala monster tersebut.

Segera setelah itu, ia melaju menuju wanita itu dan menyuruhnya untuk naik ke motor yang ia tunggangi. "Cepat naik! Sebelum lu mati di sini!" ucap Gilang, menyuruh wanita itu naik motornya agar sesegera mungkin meninggalkan tempat itu.

Gilang kini membawa harapan baru, setidaknya untuk satu orang. Kota yang dulu ia kenal telah runtuh, berubah menjadi neraka. Tapi di tengah kekacauan itu, naluri bertahan hidup dan kemanusiaannya masih menyala. Pertanyaan besarnya adalah, bisakah mereka berdua bertahan? Dan di mana mereka bisa menemukan keamanan di dunia yang telah berubah total ini?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!