NovelToon NovelToon

Will Never Let You Go

Ojek

Suara karyawan di salah satu sudut restoran cepat saji, tepatnya di ruang ganti terdengar riuh. Ada yang bersiul senang karena habis ini mau kencan dengan pacarnya. Ada yang merengut karena gaji bulan ini ternyata habis untuk membayar paylater, dan ada juga yang sedang senyam-senyum tidak jelas di pojok ruangan, seperti yang Arasellia lakukan saat ini. Gadis yang akrab disapa Ara itu tak henti-hentinya menyunggingkan senyum manis kala jemarinya menari-nari di atas keyboard ponsel.

“Ra!” Suara temannya, Keyla, berhasil membuat gadis berambut panjang itu menegakkan kepala.

“Ya, Key?”

“Pulangnya nebeng, ya, Cantik? Tadi pagi motorku mogok nggak mau dibawa kerja.” Keyla mengedip-ngedipkan matanya sok imut.

“Eum ... gimana, ya?” Ara pura-pura berpikir dengan mengetuk-ngetukkan telunjuknya di pelipis.

“Halah! Lama!” sergah Keyla saat sahabatnya sejak SMA itu tak kunjung mengiakan. “Pokoknya aku nebeng! Tapi, sebelum pulang aku ke toilet bentar, ya?” pintanya sambil berlalu.

“Ngapain?” Ara dengan isengnya bertanya padahal ia sudah tahu apa yang akan dilakukan Keyla.

“Ganti popok. Puas!” jawab Keyla setengah berteriak.

Seketika gelak tawa memenuhi ruangan sebab tidak hanya Ara, tetapi karyawan lain yang masih ada di situ pun dibuat terpingkal-pingkal dengan ucapan Keyla yang terkadang kelewat frontal.

Beberapa menit berlalu, Keyla belum juga kembali dari toilet sedangkan teman-teman yang lain sudah berpamitan pada Ara.

“Key, cepetan!”

“Sabar! Banyak banget, nih!”

Ara bergidik mendengarnya. “Aku ambil motor dulu, ya? Aku tunggu di depan. Di sini panas banget!” Lagi gadis itu berteriak.

“Iyaaaa.”

Dengan gegas Ara pun menyambar tasnya dan menuju parkiran. Ia sedikit ngeri karena penerangan di tempat itu sangatlah minim. Cepat-cepat Ara mengenakan jaket denim miliknya yang ia taruh di bawah jok dan memakai helm, lalu ia jalankan motornya ke depan restoran.

Menghentikan sepeda motornya di tepi jalan raya, Ara disambut angin malam yang berembus cukup kencang. Tenda-tenda penjual makanan mulai dari mie ayam, bakso, soto, hingga pecel lele telah berjejer rapi di seberang jalan tempat Ara duduk di atas motornya saat ini. Dia sengaja memilih tempat itu agar Keyla berjalan lumayan jauh. Jahil memang!

Beberapa meter dari tempat gadis itu berada, sebuah mobil mewah mendadak berhenti. Yang mana membuat seorang laki-laki berpenampilan rapi yang duduk di jok belakang mobil tersebut sontak mengernyitkan kening.

“Kenapa berhenti?” tanya Darma dengan sebelah alisnya yang terangkat.

Di belakang kemudi, Cahyo hanya bisa menelan ludah. Cahyo baru ingat kalau dirinya salah membawa mobil. Mestinya mobil yang saat ini hanya memenuhi jalanan itu ia bawa ke bengkel karena ada yang bermasalah, tapi lupa gara-gara mendapat tugas dadakan dari Silvia, adik Darma, untuk mencari jepit rambut yang hilang.

“Yo!” Darma memberikan tatapan mengintimidasi.

Wajah Cahyo terlihat pias. “Anu, Mas ....”

“Anu apa?”

“Saya salah bawa mobil. Harusnya mobil ini ada di bengkel sekarang,” cicit Cahyo bak tikus kejepit.

“Apa?!” Seketika Darma murka.

“Mas, sabar, Mas. Biar saya cek dulu. Siapa tahu bisa dibetulin.” Cahyo segera membuka pintu dan keluar dari mobil. Laki-laki berkulit sawo matang itu menghela napas lega. Setidaknya ia bisa menghindari amukan Darma. Namun, tampaknya hal itu hanya sekejap karena menit berikutnya Darma juga ikut keluar dari mobil.

“Gimana?” Darma sudah berkacak pinggang di sebelah Cahyo yang sibuk mengutak-atik kap mobil. Laki-laki itu tahu kalau sopirnya tidak akan bisa memperbaiki mobilnya. Dijamin seratus persen. Orang boleh menggorok lehernya kalau ia salah.

“Nggak bisa, Mas,” ucap Cahyo beberapa saat kemudian.

Decak kesal keluar dari mulut Darma. Jalanan malam ini begitu padat. Tidak mungkin ia menyuruh Cahyo kembali ke rumah untuk mengambil mobil yang lain. Ditambah sedari tadi Darma juga tidak melihat ada taksi yang lewat.

“Gimana, nih, Yo? Ini ulang tahun Papa, lhoh, bisa mabuk wejangan aku kalau sampai telat.” Membayangkan mamanya akan mengomel sepanjang acara saja sukses membuat kepalanya pening. Berkali-kali Darma mengembuskan napas gusar.

Mata Cahyo mengedar mencoba mencarikan solusi untuk majikannya. Hingga akhirnya matanya menangkap seseorang duduk di atas motor yang ia pikir tukang ojek yang sedang mangkal.

“Naik ojek aja, Mas!” cetusnya mendapat pelototan tajam dari Darma.

“Yang bener aja kamu! Masa dateng ke hotel bintang lima naik ojek!”

“Lha, gimana, Mas? Daripada telat nanti dimarahin sama Ibu. Hayo?”

Darma menggeram rendah. Sopirnya ini memang terkadang kurang ajar. “Emang ada ojek?” Darma terlihat pasrah. Sepertinya dia memang tidak punya pilihan lain.

“Tuh!” Cahyo menunjuk sebuah motor matic putih yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat keduanya berdiri.

Darma terlihat ragu. Namun, akhirnya ia hampiri juga pengemudi motor itu. Di tempatnya berdiri, Cahyo terkikik puas. Kapan lagi bisa melihat anak orang kaya naik ojek dengan setelan rapi begitu.

.

TEKAN LIKE DAN KOMENTAR ITU GRATIS YA

Kartu Nama

“Ojek, Kak,” ucap Darma lalu mendudukkan tubuhnya di jok belakang motor yang tadi ditunjuk Cahyo.

Merasakan adanya beban tambahan di motornya, Ara memutar kepala dengan mata membulat sempurna dan bibir menganga. Yang benar saja dirinya dikira ojek.

“Maaf, saya bukan ojek. Mas-nya silakan turun.”

“Udahlah nggak usah malu. Saya biasa, kok, liat cewek ngojek. Ibu-ibu malah sambil bawa anaknya.”

Hidung Ara kembang kempis mendengarnya. Dia bukan malu atau apa, tapi dia memang bukan tukang ojek. Camkan itu!

“Udah cepetan. Mau kamu mengelak kayak gimana juga saya nggak mau turun. Saya bayar kamu tiga kali lipat, deh.” Darma kembali bersuara sebelum Ara menyuruhnya turun untuk kedua kalinya.

Tiga kali lipat?

Bibir Ara mengulas senyum. “Emang mau ke mana?”

“Hotel Coriander.”

Ara berpikir sejenak. Hotel itu masih cukup jauh. Mungkin butuh waktu hampir setengah jam untuk sampai di sana. Sebandingkah uang yang ia dapat di saat rasa lelah habis bekerja menderanya?

“Kamu tinggal sebutin berapa upahnya pasti saya bayar,” celetuk Darma seakan mengetahui pikiran gadis di depannya.

Seketika lampu di kepala Ara bersinar terang. Dia bisa meminta upah sesuai dengan biaya servis motornya kemarin. Lumayan, uang tabungannya tidak jadi terkuras.

“Oke!”

Detik berikutnya, Ara mulai melajukan motornya membelah padatnya jalanan Kota Solo. Ara yang bulan kemarin sempat mengalami kecelakaan lalu lintas tidak berani berkendara dengan kecepatan tinggi.

“Cepetan dikit, dong. Telat, nih!” Darma mengomel. Berulang kali ia melihat arlojinya, lalu berdecak sebal. “Ini motor apa siput kenapa lelet banget?”

Ara memilih untuk pura-pura tidak mendengar meski suara Darma yang kini lebih mirip suara kumbang terus berdengung di telinganya. Baginya nyawanya lebih berharga dari apa pun. Ara juga tidak habis pikir. Mengapa laki-laki yang kini terus memepet punggungnya agar omongannya didengar itu bisa lebih cerewet dari ibunya.

“Oy, Mbak! Cepet dikit, kek!” Darma menepuk-nepuk bahu Ara. "Cepetan! Saya bisa telat."

Geram dengan Darma yang terus nyerocos, Ara menarik napas panjang, bersiap-siap untuk memacu sepeda motornya lebih kencang. Kalau bisa lebih cepat dari kecepatan angin biar mulut laki-laki di boncengannya ini diam. Ara tersenyum miring sebelum kemudian menarik gas kuat-kuat hingga jarum speedometer-nya hampir menyentuh angka 100km/jam.

Ngengggggg!

Jantung Darma serasa mau copot. Dia memang ingin cepat sampai, tapi tidak secepat ini juga. Kalau begini caranya dia bukannya sampai hotel, tapi sampai rumah sakit atau parahnya bangun-bangun di depannya sudah ada malaikat.

“Nggak gini juga kali! Rusak, nih, rambut yang ada.” Darma mencari alasan. Tidak mungkin ‘kan dia bilang takut. Masa kalah sama perempuan. Gengsi!

Ara tak acuh. Masa bodoh mau rambut rusak, bulu mata lepas, atau apalah. Yang jelas gadis itu baru mau menurunkan kecepatan saat memasuki kawasan Hotel Coriander.

Menghentikan motornya tepat di depan lobi, Ara melepas helm disusul helaan napas panjang. “Huahhhh!” Ia merasa puas. Kepiawaiannya dalam membawa sepeda motor memang tidak bisa dianggap remeh. Sekarang tinggal waktunya dia menyebutkan nominal yang diinginkannya.

Sementara Darma yang baru turun dari motor mendengkus sebal karena tampilannya yang jadi sedikit berantakan. “Kamu minta berapa?” tanyanya to the point.

Tanpa tahu malu Ara pun menjawab, “Tiga ratus ribu.”

Dengan segera Darma merogoh saku celananya. Mengetahui benda yang ia cari tidak ada, laki-laki itu mencoba mengecek saku lainnya. Hanya ada kartu nama miliknya, itupun lecek karena sepertinya ikut tercuci. Darma baru ingat sesaat sebelum keluar dari mobil ia menaruh dompetnya di tas. Sedangkan Ara yang merasa curiga langsung memasang wajah siaga. Awas saja kalau sampai bohong!

“Dompetku ketinggalan di mobil. Gimana kalau bayarnya besok?” Dengan napas tertahan Darma mencoba bernegosiasi.

“Apa? Besok?”

“Iya, besok. Nih, aku kasih kartu namaku dulu buat jaminan. Nanti aku ganti dua kali lipat dari yang kamu sebutin tadi,” katanya menaruh kartu nama miliknya ke telapak tangan Ara.

Ara hanya melongo. Matanya melotot menyadari kalau laki-laki yang belum ia ketahui namanya itu sudah masuk ke dalam hotel.

“Sial! Gayanya saja sudah seperti konglomerat ternyata isi dompetnya sekarat!” Ara terus mendumel sampai akhirnya ia mendengar ponselnya berbunyi. Ternyata itu telepon dari Keyla. Ah, sahabatnya itu pasti sedang kebingungan mencarinya. Ara pun kembali menghidupkan motornya dan meninggalkan hotel tersebut dengan hati dongkol.

Elang

Raut cemas di wajah Keyla berangsur menghilang ketika dilihatnya sebuah motor matic yang sudah sangat ia hafal menghampiri lalu berhenti di depannya. Helaan napas lega seketika terdengar meski kekesalannya sama sekali tidak berkurang. Gara-gara Ara yang mendadak hilang bagaikan ditelan bumi, Keyla sampai menyusuri jalanan Slamet Riyadi dan bertanya pada setiap orang yang ditemuinya. Siapa tahu 'kan temannya itu dibegal.

"Dari mana aja, Buk? Gila, ya, aku cari kamu sampai mau pingsan. Mana ditelepon nggak diangkat pula!" Keyla menggerutu, lalu menyedot es teh yang tadi ia beli.

"Panjang ceritanya." Ara melepas helm bogonya dengan napas memburu. Antara lelah dan juga kesal mengingat kejadian beberapa puluh menit yang lalu.

"Cerita, dong! Kayaknya kamu kesel banget sampe mukanya lecek begitu. Sebelas dua belas sama dasternya ibuku yang nggak pernah disetrika," ejek Keyla yang hanya dijawab dengkusan oleh Ara.

Kembali memakai helm-nya, kini Ara sudah memposisikan duduknya di jok bagian belakang. "Besok aja, deh, males aku. Mana hapeku tadi mati waktu Mas Elang telepon. Pasti dia khawatir. Semoga aja Mas Elang nggak sampai nyariin ke rumah," ujar Ara tak enak hati kalau sampai merepotkan kekasihnya.

"Iya, deh, iya yang dicemasin sama mas burung. Uhuyyyy!" ucap Keyla menggoda sebelum naik ke motor Ara.

Lima belas menit kemudian, motor Ara sudah berhenti di depan rumah Keyla. Segera gadis berambut lurus hasil smoothing-an itu turun dari motor sahabatnya.

"Thanks, ya, Ra. Nanti kalau gajian aku traktir, deh."

"Thai tea, ya?" Ara menyebutkan minuman kesukaannya.

"Dih! Kamu mah cukup ditraktir cilok aja atau nggak siomay." Keyla terkikik geli melihat Ara yang kini merengut karena ucapannya.

"Kamu pikir aku anak SD! Awas aja kalau nebeng lagi, nggak aku kasih!" Ara mengancam.

"Adudu ... yang lagi kangen pacar susah diajak bercanda."

"Key!"

"Iya, ampun, Ra. Iya, aku traktir Thai Tea sampai kamu mencret kalo bisa." Setelah berkata demikian Keyla langsung ngeloyor masuk ke rumah sebelum Ara kembali mengeluarkan tanduknya.

Begitulah Ara, dia bisa berubah menjadi galak dan juga ketus karena hal kecil di saat suasana hatinya sedang buruk. Namun, dibalik wataknya yang terkadang keras, Ara sebenarnya adalah seorang yang perasa dan tidak enak hati. Karena itu, Ara menjadi salah satu makhluk di muka bumi ini yang memiliki hobi overthinking.

Jarak rumahnya yang tidak sampai seratus meter dengan rumah Keyla membuat Ara tidak butuh waktu lama untuk tiba di halaman rumahnya. Benar saja, ketika ia baru menurunkan standar motornya seorang laki-laki pertengahan 20-an keluar dari rumahnya.

Dengan raut cemas laki-laki yang tidak lain adalah Elang segera menghampiri kekasihnya. "Kamu ke mana aja? Tumben banget sampai malam gini," ucapnya sambil melepas helm Ara.

"Mas Elang harusnya nggak perlu repot-repot sampai ke sini segala. Tadi itu Keyla nebeng jadi aku nunggu dia sebentar." Ara membawa-bawa nama sahabatnya sebagai dalih. Tidak mungkin dia menceritakan kesialan yang baru menimpanya kepada orang lain. Demi tiga ratus ribu, Ara rela mempertaruhkan nyawanya di jalanan. Kalau sampai Elang apalagi orang tuanya tahu bisa-bisa dia tidak boleh membawa motor lagi.

"Nggak repot, kok. Yuk, masuk. Mas beliin kamu Martabak Bangka lhoh." Melupakan dirinya yang ingin bertanya mengapa teleponnya beberapa saat yang lalu mendadak terputus, Elang menuntun Ara masuk. Membuat gadis itu mengerutkan kening.

"Mas Elang, sadar nggak ini rumahku? Kok kesannya jadi kayak aku tamunya."

Elang tersenyum simpul. "Hehe ... udah mulai kerasan di sini, jadi nggak inget rumah siapa."

Semburat merah muda seketika menghiasi pipi mulus Ara. Perasaannya menghangat karena ungkapan Elang. Kekasihnya itu rupanya sudah nyaman tidak hanya dengannya, tapi juga keluarganya. Ara menundukkan kepala, tersipu malu.

"Ra, aku sayang banget sama kamu," ucap Elang membuat Ara sontak mengangkat wajahnya.

Pandangan mereka sejenak terkunci. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Elang yang ekor matanya sudah melirik ke kanan dan kiri memastikan tidak ada orang lain di tempat itu dengan cepat mengecup bibir Ara.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!