Anin terbangun sebab merasakan hawa dingin di sekujur tubuhnya. Matanya mengerjap, membuka secara perlahan, lalu melihat ke sekeliling ruangan yang terasa asing baginya.
Selimut tebal jatuh dari tubuhnya yang polos ketika ia bangun dari rebahan. Baju-baju berserakan, sepatu serta tas yang dibawa Anin juga bertebaran di lantai.
Ruangan yang ia tempati saat ini, tampak sangat berantakan. Anin melirik ke samping meja nakas, terdapat cek bernilai seratus juta rupiah dan sebuah pesan yang ditulis pada kertas.
Anin meraih kertas pesan kemudian membacanya, dan isi pesan tersebut mengatakan jika sang pria sangat puas akan pelayanan yang diberikan olehnya.
Kertas itu terjatuh dari tangan Anin, lalu ia menutup bibirnya. Berusaha untuk tidak percaya, mengatakan jika hal ini adalah mimpi buruk dan ia ingin bangun dari mimpi buruk itu.
Apa yang terjadi sebenarnya? Di mana dirinya sekarang? Siapa yang menodainya? Berbagai pertanyaan yang Anin sendiri ingin tahu jawabannya.
Noda merah mengering di atas seprai putih, jelas sekali ia sudah kehilangan kehormatan yang selama dua puluh satu tahun ia jaga hanya untuk pria yang akan menjadi suaminya.
Air mata jatuh dari mata indahnya, Anin ingin berteriak, meminta siapa pun untuk membantunya, meminta pertanggungjawaban, mengapa hal ini bisa sampai terjadi.
"Kenapa aku bisa ada di sini? Apa yang terjadi padaku?" lirihnya.
Anin hanya pergi menggantikan ayahnya yang sedang sakit untuk menghadiri sebuah acara antar pengusaha. Lalu, mengapa saat ia terbangun di waktu pagi, tubuhnya hanya berbalut selimut.
Anin ingat ia tidak sembarangan makan dan minum. Bahkan ia sendiri banyak berbincang bersama teman dan beberapa pengusaha muda lainnya. Lalu mengapa ia bisa berakhir di kamar hotel? Sebuah pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh Anin.
Dengan perlahan Anin turun dari ranjang, memungut pakaian yang berserakan di lantai lalu mengenakannya. Anin meraih cek sejumlah uang itu. Tanpa membacanya lagi, ia membuang cek itu ke dalam tempat sampah. Selesai merapikan diri, Anin keluar dari kamar hotel.
"Anin," seru seorang pemuda.
Anin tersentak, lalu perlahan memutar tubuh menghadap suara seorang pria yang tengah memanggilnya. "Dama."
"Kamu menginap di sini rupanya? Tadi malam aku mencarimu, dan aku kira kamu pulang duluan," ucap Dama dengan melangkah mendekati Anin.
"Dama ... semalam kita berbincang bersama. Apa semalam kamu melihatku bersama seorang pria asing?" tanya Anin.
Dama Baskara seorang pemuda berwajah tampan, tinggi putih dengan bentuk tubuh sedikit kekar, ia merupakan sahabat dari Anin sejak keduanya masih duduk di bangku sekolah.
Dama mengerutkan kening. "Kamu pamit ke toilet dan sampai saat itu kamu tidak muncul lagi, aku kira kamu pulang duluan."
"Apa benar begitu?" tanya Anin.
"Itu sebabnya aku pergi mencarimu, ternyata kamu tidak ada. Ditelepon juga tidak diangkat, aku mengira kamu memang sudah pulang," beber Dama menjelaskan.
"Kamu menginap di sini?" tanya Anin.
Dama menyengir sembari menggaruk tengkuk belakang yang sebenarnya tidak gatal sama sekali. "Ak-aku bersama kekasihku."
Anin tersenyum. "Oh, begitu rupanya. Kalau begitu, aku pulang duluan."
Anin melangkah pergi secepatnya dari hadapan Dama sebelum pria itu bertanya hal-hal yang Anin sendiri tidak dapat menjawabnya.
"Anin," panggil Dama. "Aku belum selesai bicara, sudah main pergi saja."
Anin tidak peduli teriakan Dama. Ia ingin pulang sekarang. "Siapa yang menodaiku?"
Bersambung.
Anin sampai di rumah dan ternyata sang ayah sudah menunggu kedatangannya dengan rasa cemas sekaligus khawatir.
Ayah Anin bernama Baskoro, saat ini memang tengah sakit-sakitan semenjak sang istri tiada. Sudah satu tahun Baskoro mulai mengalami penurunan kesehatan.
"Kamu pulang, Nak?" ucap Baskoro.
"Ayah." Anin bersimpuh di kaki Baskoro yang duduk di kursi. Ia menangis meluapkan segala rasa sesak akibat kemalangan yang menimpa dirinya.
Baskoro tercengang, tiba-tiba saja putri kesayangannya menangis dengan tersedu-sedu. "Kamu kenapa, Nak?"
"Ayah ... aku sudah kotor," ungkap Anin. "Aku tidak bisa menjaga diriku sendiri."
Baskoro mulai kebingungan. "Katakan Anin! Ada apa sebenarnya?" Jantung Baskoro sudah berdetak tidak karuan, ia mengangkat wajah Anin agar bisa menatap wajah sedih putrinya. "Ada apa, Anin?"
Anin menggeleng, "Anin tidak tahu siapa yang melakukannya, Ayah? Anin sudah kotor."
Pikiran Baskoro sudah mengerti maksud dari ucapan putrinya. "Ka-kamu dinodai?" tanyanya memastikan.
Anin tidak pernah berbohong pada ayahnya, dalam hal kecil maupun besar, sebisa mungkin Anin mengatakannya kepada Baskoro.
"Siapa, Nak?" tanya Baskoro.
"Anin tidak tahu," Anin menggeleng, "maafkan Anin, Yah."
Anin menumpahkan segala kesedihannya di pangkuan sang ayah. Jantung Baskoro terasa nyeri, putrinya dinodai dan itu semua karena ia yang mengirim Anin pergi ke pesta perusahaan itu.
"Sayang ... katakan kepada Ayah. Jelaskan semua, mengapa kamu bisa tertimpa kemalangan begini," pinta Baskoro.
Anin lalu menceritakan semua kejadiannya, ia sendiri tidak tahu apa yang terjadi sebab Anin baru sadar jika ia sudah tidur dengan pria tidak dikenal.
"Jangan menangis lagi, Nak. Kamu bisa melewati ini semua," ucap Baskoro.
...****************...
Satu bulan sudah terlewat. Anin merasakan perubahan mood dalam dirinya. Sudah dua hari ia menderita mual dan muntah dan anehnya hal itu terjadi di pagi hari dan saat ia selesai makan.
"Kita pergi ke dokter hari ini," ajak Baskoro.
"Anin banyak pekerjaan, Yah. Besok saja," sahutnya.
"Anin ... ini masalah penting dan kamu tidak boleh menundanya. Atau kamu bisa melakukan tes sendiri," kata Baskoro.
Anin tercengang mendengarnya. "Maksud Ayah apa? Anin tidak mengerti."
Baskoro mengembuskan napas lelah. "Nak ... mungkin saja saat ini kamu tengah hamil."
Anin tersentak kaget. "H-hamil?"
"Kita ke dokter sekarang." Baskoro mengenggam tangan putrinya.
Anin menggeleng, "Tidak, Yah. Anin test sendiri saja."
Anin beranjak dari duduknya kemudian berlari masuk ke dalam kamar tidur. Baskoro menduga jika putri semata wayangnya itu hamil karena memang Anin menunjukkan tanda-tanda kehamilan.
"Pelayan," seru Baskoro.
"Iya, Tuan," jawab pelayan wanita.
"Kamu belikan alat tes kehamilan di apotik," pinta Baskoro sembari mengeluarkan uang dari dalam dompet.
"Baik, Tuan," jawab pelayan.
...****************...
"Anin ... boleh Ayah masuk?" Baskoro sedikit mengencangkan suaranya sembari mengetuk pintu kamar Anin.
"Masuk saja, Yah," teriak Anin dari dalam.
Baskoro menekan gagang pintu hingga terbuka kemudian masuk ke dalam. Terlihat Anin duduk merenung di sisi tempat tidur.
"Sayang ... Ayah sudah belikan alat tes kehamilannya. Kamu tes sekarang, ya," ucap Baskoro lembut sembari mengusap kepala putrinya.
"Anin takut hasilnya," ucapnya.
"Semua akan baik-baik saja. Kamu pergi tes sekarang." Baskoro tersenyum memandang wajah cantik putrinya.
Anin mengangguk kemudian meraih alat test pack yang disodorkan oleh ayahnya, lalu melangkah menuju kamar mandi.
Anin menutup bibirnya, menggeleng saat kedua test pack itu menunjukkan hasil yang sama. Dua garis merah melintang di sana pertanda bahwa dirinya saat ini tengah mengandung.
"Cobaan apa ini?" isak Anin.
Bersambung
Anin keluar dari kamar mandi dengan membawa hasil test pack di tangan. Baskoro menatap raut wajah kesedihan putrinya, ia tahu apa yang akan dikatakan oleh anak semata wayangnya itu.
"Ayah akan punya cucu?" tanya Baskoro dengan raut wajah berbinar.
Tetesan air mata bergulir di pipi Anin. Ia hamil, dan tidak tahu siapa ayah dari calon anak yang tengah ia kandung saat ini.
"Anin sudah buat malu. Pasti keluarga kita akan jadi bahan perbincangan orang-orang. Anin tidak mau bayi ini," ucapnya.
Baskoro memeluk putri cantiknya. "Kamu yang sabar, Sayang. Ayah akan temukan cara agar kamu tidak menjadi bahan gunjingan orang di luar sana." Satu kecupan Baskoro berikan di kening Anin. "Kamu istirahat saja dulu. Jangan bertindak hal aneh yang bisa merugikan dirimu. Ayah akan pergi sebentar."
Anin mengangguk, "Iya."
Baskoro keluar dari kamar Anin, ia memanggil pelayan agar memberitahu sopir pribadi untuk bersiap sebab ia akan pergi.
"Kamu jaga Anin. Kalau terjadi apa-apa, cepat telepon saya," perintah Baskoro kepada pelayan rumah.
"Baik, Tuan," sahut pelayan wanita itu.
Baskoro masuk ke dalam mobil setelah sopir membukakan pintu. Sebelum memulai perjalanan, Baskoro mengembuskan napas perlahan, lalu memberitahukan kepada sopir ke mana ia harus diantar.
Mobil mulai berjalan keluar dari gerbang rumah menuju alamat yang Baskoro sebutkan kepada sopir pribadinya.
...****************...
Mobil masuk ke halaman gerbang rumah cukup mewah, bercat hijau daun muda dengan air mancur yang berada di depan halaman rumah.
Baskoro keluar dari dalam mobil. Bel pintu ditekan dan tidak lama pelayan rumah datang menyambut Baskoro dengan hormat. "Selamat datang, Tuan."
"Apa Baskara ada di rumah?" tanya Baskoro.
"Ada, Tuan. Silakan masuk. Saya akan panggilkan tuan Baskara," ucap pelayan wanita.
"Hem." Hanya deheman yang Baskara keluarkan untuk merespon.
Sungguh aneh, namun inilah kenyataannya. Baskara dan Baskoro bukanlah dua kakak beradik. Mereka merupakan teman akrab dan itu terjalin karena suatu kesamaan dari nama mereka.
"Bas," seru Baskara.
"Kara ... aku ada sesuatu hal yang ingin kusampaikan," ucap Baskoro.
Baskara mengerutkan kening. "Apa?"
"Ini mengenai masalah pribadi. Suatu kemalangan telah menimpa keluargaku dan aku memohon padamu, meminta supaya kamu dapat menolongku," ungkap Baskoro.
Baskara tidak mengerti apa yang diucapkan oleh sahabatnya. "Tentu aku akan membantumu. Katakan ... ada apa sebenarnya?"
"Anin hamil, Kara." Baskoro menceritakan kejadian yang menimpa putrinya hingga sampai Anin hamil. "Anak kita sudah saling mengenal. Bisakah aku meminta Dama menikahi Anin?"
Baskoro tertunduk. Ini pertama kali dalam hidupnya memelas pada belas kasih orang lain. Ini semua demi putri semata wayang yang sangat ia cintai, Baskoro tidak ingin putrinya menjadi bahan gosip.
"Tentu, Bas. Aku akan membantumu. Kita nikahkan putra dan putri kita. Aku akan bicara pada Dama mengenai masalah ini dan aku akan mengabarimu secepatnya," ucap Baskara.
Senyum kelegaan terbit di sudut wajah Baskoro. "Terima kasih, Kara. Terima kasih atas bantuanmu."
"Kamu sudah banyak membantuku. Kali ini biarkan aku yang membantumu. Anin sudah kuanggap sebagai anak sendiri dan aku tidak akan membiarkan hidupnya menderita," jelas Baskara.
Baskoro senang mendengarnya. Keduanya saling merangkul dan saling menguatkan satu sama lain.
"Terima kasih. Aku akan berikan apa pun yang kamu minta," ucap Baskoro.
Baskara menepuk pundak sahabatnya. "Jangan bicara begitu. Waktu aku susah kamu membantu. Saat ini adalah giliranku."
"Kamu memang sahabatku."
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!