"Dokter, bagaimana keadaan putri saya? Apakah sudah lebih baik?" tanya seorang wanita paruh baya di depan ruang pemeriksaan Rumah Sakit.
Dokter yang usianya lebih tua itu menghela napas berat, ia sendiri terlihat bingung harus bagaimana menyampaikan kabar tentang kondisi putrinya tersebut.
"Maafkan saya, Bu, tapi kondisi Nona Nadia sungguh sangat buruk. Jika dalam waktu dekat ini ia tidak juga mendapatkan pendonor, saya khawatir keadaannya akan semakin memburuk dan akan memperpendek usianya. Kita berdoa saja semoga ada utusan Allah yang berbaik hati mendonorkan ginjal untuknya," jawab dokter tersebut sembari menepuk salah satu bahu wanita itu untuk memberinya semangat.
Ia menutup mulutnya tak percaya, padahal anaknya itu rutin melakukan cuci darah setiap dua Minggu sekali, tapi tetap saja kondisinya tak kunjung membaik. Ia menangis tergugu setelah dokter meninggalkannya sendiri.
Putrinya sekarat, ia diambang kematian. Keinginan terbesarnya adalah menikah sebelum Malaikat Maut datang menjemput.
Sarah menghapus air matanya, ia meredakan tangis terlebih dahulu sebelum memberanikan diri memasuki ruangan di mana anaknya dirawat.
Dibukanya pintu perlahan dan ditutupnya pula. Ia tersenyum getir saat pandangnya bertemu dengan manik hazel milik gadis yang terbaring di atas ranjang pesakitan itu.
"Mamah, kenapa lama sekali? Aku mau cepat pulang, Mah," keluhnya dengan manja.
Dia Nadia Almira, gadis berusia dua puluh lima tahun. Merintis sebuah pabrik konveksi bersama Sarah saat ia masih duduk di bangku SMA, dan kini pabrik itu telah menjadi pabrik terbesar di kotanya.
Divonis gagal ginjal sejak tiga tahun lalu. Keadaannya semakin memburuk beberapa bulan belakangan ini. Dokter menyarankan untuk segera mencari pendonor jika Nadia ingin kembali normal seperti semula. Namun, sudah berbagai cara dilakukan tetap saja penolong itu belum juga datang.
"Maafkan Mamah, Nak. Tadi ada kendala sedikit di pabrik masalah pesanan dari pesantren Al-Masthur itu. Kamu ingat, bukan? Ustadz Ikram?" jawab Sarah sembari tersenyum pada Nadia. Ia mendaratkan tubuh di atas kursi samping ranjang Nadia.
Gadis itu bersemu saat mendengar nama Ustadz Ikram disebutkan. Sudah lama hatinya mengagumi sosok bersahaja nan tampan itu. Sarah bukannya tidak tahu, hanya saja setiap kali nama itu disebutkan senyum bahagia terbit di wajah putrinya. Hal itu cukup membuat hatinya ikut bahagia.
"Apa dia memesan seragam lagi, Mah?" tanyanya antusias. Rona merah di pipinya masih menyisakan rasa hangat di dalam pori-pori kulit wajahnya.
"Benar, Nak. Beliau memesan seragam olahraga untuk para santri kecil di pondoknya. Tadi, beliau menanyakanmu juga. Katanya, sudah lama tidak bertemu dengan kamu," sahut Sarah menumbuhkan harapan di hati Nadia yang rapuh.
"Benarkah? Aku ingin cepat sembuh, Mah. Aku ingin cepat keluar dari ruangan membosankan ini," katanya dengan kedua bibir yang mengerucut dan pandangan mengedar dengan malas ke seluruh penjuru ruangan.
"Kamu menyukainya?" selidik Sarah ingin tahu kepastian hati anaknya. Nadia membuang pandangan, antara malu dan takut akan penolakan dari Sarah.
"Apa Mamah akan marah kalau aku menyukainya?" tanyanya dengan pandangan memelas yang membuat hati tuanya melemah.
"Bukan begitu, tapi kamu tahu, bukan kalau Ustadz Ikram itu sudah punya istri dan tiga orang anak? Apa tidak masalah untuk kamu?" tanya Sarah hati-hati. Ia belai rambut putrinya yang halus dan sedikit rontok itu. Hatinya meringis sedih saat ia mendapati beberapa helai rambut Nadia ikut tercabut dan menempel di tangannya.
"Aku tahu, Mah, tapi cinta ini datang dengan sendirinya. Aku sudah menolaknya beberapa kali, tetap saja ia semakin tumbuh setiap kali bertemu. Aku tidak tahu, Mah. Aku sendiri bingung mengatasi perasaan ini, tapi Mah aku tidak masalah kalau Ustadz Ikram mau menjadikan aku istri keduanya," ucap Nadia lagi kali blak-blakan mengatakan semuanya pada Sarah.
Berdesir hati wanita itu, mendengar penuturan jujur dari putrinya ia terenyuh. Bagaimana caranya ia membujuk Ikram untuk menikahi Nadia? Berpikir dengan keras mencari cara untuk mengabulkan keinginan Nadia.
"Kamu berdoa saja, kalau kalian jodoh dia pasti akan datang atas izin dari Yang Esa. Sekarang, banyak istirahat dan makan agar kamu cepat sembuh dan cepat pulang," bujuk Sarah lagi sembari terus tersenyum meski getir terasa di hati.
Gadis itu mengangguk antusias mengaminkan doa ibunya dengan semangat.
Beberapa hari dirawat, Nadia dinyatakan lebih baik dan sudah diperbolehkan pulang ke rumah.
Malam selalu datang membawa gulitanya. Menutupi terangnya dunia dengan kegelapan yang tiada tara. Menghilangkan pandangan karena cahaya yang redup dan tenggelam dalam pekatnya.
Di kota Rangkasbitung, kota kecil sejuta kenangan. Nadia duduk di balkon kamarnya seorang diri. Menikmati hembusan angin yang menerpa lembut pada kulit tipisnya. Entah apa yang mengganggu pikirannya saat ini. Pandangannya jauh mengawang menatap langit dengan segala pernak-perniknya.
Ia tersenyum tatkala sesosok wajah tampan menyembul dari balik cahaya rembulan. Wajahnya yang menyejukkan membuat hati merasa damai hanya dari melihat senyumnya saja.
"Mas Ikram seandainya kamu belum memiliki istri, aku ingin sekali menjadi istrimu. Namun, jikapun Mas mau menjadikan aku istri kedua aku rela melakukannya. Aku mengagumimu, Mas," gumamnya terdengar lirih dan perih.
Ikram laki-laki dewasa berusia tiga puluh lima tahun, telah menikah dan memiliki tiga orang anak dari istrinya. Parasnya tampan dan mempesona, ia juga mapan dengan toko pakaian terbesar di kota yang sama dengan Nadia. Ia memimpikan menikah dengannya.
Suara batuk mengusik ketenangan. Membuat Sarah yang sedang bersembunyi tak kuasa melihat wajah pucatnya. Sarah tak tega melihat anaknya menderita di usia muda. Sudah berapa laki-laki dijodohkannya, tetap saja Nadia hanya melihat Ikram seorang.
"Aku tidak tega melihatnya terus seperti itu. Dokter mengatakan umurnya sudah tidak lama lagi. Aku ingin mengabulkan keinginannya sebelum ajal datang. Apakah Ikram mau jika aku memintanya untuk menjadi suami Nadia? Aku akan mencobanya," gumam Sarah dengan tekad yang kuat di hatinya.
Ia masuk menghampiri Nadia yang kini berdiri meski tubuh sudah menggigil kedinginan. Memberi sapuan lembut pada lengannya seraya mendekap menghantarkan kehangatan.
"Di luar sangat dingin, sebaiknya kamu istirahat di dalam. Lagi pula ini sudah sangat malam, tidak baik untuk kesehatan kamu. Kamu baru saja pulih, sayang," ucap Sarah mengingatkan. Nadia menurut dan beranjak masuk seraya berbaring di peraduan. Bermimpi tentang pernikahan dengan laki-laki yang ia cintai selama ini.
Pagi datang begitu cepatnya. Sarah berpamitan pada Nadia karena suatu alasan yang tidak dikatakannya. Nadia yang sudah beberapa hari ini tidak keluar rumah mengangguk tanpa banyak bertanya. Menunggu bersama asisten rumah tangga yang selalu setia menjadi temannya.
"Mamah pergi ke mana, Bi? Apa Bibi tahu?" tanya Nadia sembari memakan sarapannya berupa roti isi yang menjadi sarapan favorit nya.
"Bibi juga tidak tahu, Non. Katanya Ibu ada perlu sebentar ketemu teman lama di luar," sahut Bibi seadanya.
Embusan napas berat dilakukan Nadia demi mengurai rasa sesak yang tiba-tiba mendera. Ia tidak tahu laki-laki mana yang akan didatangkan Sarah untuk dikenalkan lagi kepadanya. Ia tidak percaya diri untuk menikah karena penyakit yang dideritanya. Bagaimana kalau mereka menolak dan menelantarkannya begitu saja?
Berbeda jika Ikram yang melamarnya, dia laki-laki yang berbeda dari yang lainnya. Mengerti tentang agama dan segala *****-bengeknya. Dia tidak akan menyakiti hatinya meskipun menjadi istri yang kedua.
"Aku ke kamar dulu, Bi!" pamitnya seraya beranjak meninggalkan ruang makan menuju lantai dua di mana kamarnya berada.
Ia membuka laptop memeriksa laporan keuangan pabrik konveksi yang dikirimkan lewat email padanya. Bibir sensualnya membentuk senyuman puas akan hasil yang didapatkan oleh timnya.
Usai memeriksa laporan ia merebahkan diri di kasur menatap langit-langit kamar berwarna merah muda. Lambang penuh cinta dan keromantisan yang selalu ia damba. Hingga tanpa sadar matanya perlahan menutup dan hanyut alam buai alam mimpi yang tiada luka.
"Di mana Nadia?" tanya Sarah pada asisten rumah tangganya saat ia kembali ke rumah siang harinya.
"Non Nadia di kamarnya, Bu. Tadi setelah makan siang Non Nadia langsung pamit ke kamarnya," jawab Bibi sembari membungkuk sopan.
"Oh, ya sudah. Terima kasih sudah menjaga anak saya," ucap Sarah dengan senyum tulus di bibirnya.
"Sudah tugas saya, Bu," sahut Bibi lagi.
Sarah nampak berbinar meski lelah jelas tercetak di wajahnya. Ada apa gerangan hingga ia terlihat begitu bahagia? Ke mana sebenarnya ia pergi?
Hati yang tenang dan damai, terusik oleh kedatangan sebuah berita. Cinta yang tumbuh dengan indah, layu sudah tak terelekan. Rencana apa yang sedang dirancang Tuhan?
"Bagaimana, Nak Ikram? Apa Nak Ikram bersedia meminang anak saya? Umur saya sudah tidak lama lagi, dan sebelum meninggal saya ingin melihat anak saya menikah dan menimang cucu. Tolonglah orang tua yang sudah tidak lama lagi hidupnya ini, Nak!"
Bayangan dan suara memohon dari wanita paruh baya tadi siang kembali melintas dalam pikiran Ikram. Laki-laki itu baru saja selesai memberikan tausiyah harian kepada para jamaah seusai shalat isya. Ia termenung masih di dalam masjid, memikirkan tawaran dari wanita itu tentang menikahi anaknya.
Hati Ikram pun tak menampik ia memang mengagumi anak gadisnya sudah sejak lama. Tanpa ditawari pun, ia berencana melamar Nadia suatu saat nanti.
"Bagaimana caraku mengatakan ini pada Ain? Apakah dia mau menerima aku menikah lagi? Tapi aku sudah lama mengagumi sosok Nadia, ia bukan hanya cantik, tapi juga pintar dan cerdas. Dia juga mandiri, aku akan mencoba berbicara dengannya. Bismillahirrahmanirrahim!" gumam Ikram setelah menyiapkan hati untuk mengutarakan niatnya pada Ain istri pertamanya.
Ia beranjak meninggalkan masjid dengan niat yang kuat. Senyum penuh ketegangan tercetak jelas di bibirnya. Ia bahkan segan menjawab sapaan para santri karena hatinya yang tengah gelisah. Berkali-kali ia menarik napas yang dalam dan menghembuskannya perlahan demi mengurangi ketegangan dalam hatinya.
"Kenapa aku gugup sekali?" Sekali lagi, ia menyentak napas saat berdiri di depan pintu rumahnya.
"Assalamu'alaikum!" salamnya mencoba bersikap biasa agar Ain tak curiga sebelum ia mengatakannya.
"Wa'alaikumussalaam!" Ain membukakan pintu untuknya. Senyum hangat dan kecupan menyambutnya dengan mesra setelah wanita itu mengecup lembut punggung tangannya.
"Anak-anak sudah tidur?" tanyanya pada Ain yang menutup pintu.
"Sudah," jawab Ain. Ia tahu apa yang diinginkan Ikram saat ia bertanya begitu. Tanpa menunggu keduanya segera memasuki kamar dan melakukan ritual suami istri.
"Mi, Abi ingin membicarakan sesuatu pada Umi?" ucap Ikram usai menyelesaikan tugasnya memberi nafkah batin pada Ain.
Wanita itu beranjak membenarkan posisinya. "Bicara saja, Bi jangan sungkan!" katanya dengan lembut dan penuh hormat seperti biasanya. Ikram tersenyum getir. Ia beranjak duduk diikuti Ain. Keduanya saling berhadap-hadapan, Ain menunggu dengan tegang.
"Umi, Abi mau minta maaf sebelum mengatakan ini. Tolong jangan membenci Abi setelah Umi mendengarnya," pinta Ikram sembari menggenggam kedua tangan Ain dengan lembut.
Mengernyit dahi wanita itu mendengar kalimat ambigu yang diucapkan Ikram.
"Katakan saja, Bi. Jangan membuat Umi menunggu dengan penasaran," sahut Ain tak sabar ingin segera mendengar apa yang akan dibicarakan Ikram.
"Mi, Abi mencintai seseorang dan Abi berencana untuk menikahinya kalau Umi setuju. Abi juga tidak tahu, kenapa rasa ini tiba-tiba tumbuh begitu saja tanpa Abi sadari. Umi tidak mungkin membiarkan Abi berlarut dalam dosa, bukan?" rayu Ikram pada Ain di tengah malam yang sunyi itu.
Wanita yang dipanggilnya Umi itu terlihat syok, matanya membesar dengan kedua bibir yang berkedut ingin berucap. Matanya sontak memanas beriak dengan warna merah hendak menangis. Kelopaknya berkedut-kedut menahan air yang merangsek hendak turun.
Ia menundukkan wajahnya dalam-dalam menyembunyikan kekecewaan sekaligus kekesalan dalam diri yang datang tiba-tiba. Tiada angin, tiada hujan sekonyong-konyong suaminya meminta izin untuk menikahi wanita lain. Pantas saja Ikram memintanya untuk tidak membenci setelah mendengarnya berbicara.
"Umi jangan cemas, Abi pasti akan bersikap adil pada kalian. Bukankah selama ini kita hidup berkecukupan? Abi hanya ingin membantu seseorang yang hidupnya sudah tidak lama lagi. Kebetulan ibunya juga meminta Abi untuk menikahi anaknya. Beliau ingin melihat anaknya menikah sebelum ajal datang. Umi juga akan mendapat pahala dari membantu orang lain. Jadi, bagaimana Umi?" sambungnya merayu lagi.
Wanita itu mengangkat pandangan dengan perlahan, ditatapnya wajah pria yang sudah hampir sepuluh tahun menjadi imam dalam kehidupannya itu. Mengarungi bahtera rumah tangga dengan penuh cinta tanpa hambatan. Wajah tampan dan menyejukkan miliknya memang selalu menjadi daya tarik tersendiri hingga memikat hati para perempuan.
"Abi yakin hanya ingin membantunya? Bukankah Abi mengatakan mencintainya? Lalu, bagaimana dengan cinta Abi untuk Umi?" tanyanya dengan nada getir yang kentara.
Manik coklat miliknya menatap sendu pria di hadapan yang selama ini tak terlihat banyak tingkah. Ia selalu berendah hati meskipun para wanita datang silih berganti dengan alasan meminta berkah. Sungguh, hatinya tak menyangka bahwa malam ini ia akan mendengar suaminya sendiri meminta izinnya untuk menikah lagi.
"Katakan, apakah Umi sudah tidak cantik lagi? Apa Umi sudah tidak menarik lagi di mata Abi sehingga Abi ingin menikahi wanita lain yang mungkin saja lebih cantik dan lebih muda dari Umi?" tuturnya lagi sembari menempelkan telapak tangannya di pipi sang suami.
Pria itu menggenggam tangan hangat milik istrinya. Mendekatkan pada bibir dan mengecupnya dengan penuh cinta. Kemesraan yang tak pernah usai ditumpahkannya tanpa rasa bosan. Kini, ia bisa apa jika hati sang suami kembali terpikat oleh sesosok perempuan.
"Cinta Abi pada Umi masih sama dan akan tetap sama. Apa lagi, Umi sudah memberikan Abi tiga orang penerus yang sholeh dan sholehah. Bagaimana mungkin cinta Abi berkurang? Yang ada justru semakin bertambah dan bertambah terus," rayunya lagi sungguh membuat hatinya terhanyut.
Mata sendu itu memindai dengan penuh kecewa. Sayu bagai tak tidur sepanjang malamnya. Gemetar menahan air yang akan turun dari takhtanya.
"Bagaimana kalau semua itu berubah? Abi lebih peduli padanya, dan melupakan Umi? Bagaimana nasib Umi dan anak-anak nantinya? Apakah dia mau membantu Umi merawat anak-anak mengingat terkadang Umi disibukkan dengan urusan jamaah. Jika dia mau berjuang bersama-sama, maka Umi akan mencoba untuk ikhlas dan menerima. Namun, Abi harus ingat hati Umi bukan terbuat dari batu. Hati Umi bisa juga merasakan sakit sama seperti hati-hati wanita yang lainya," sahut sang istri dengan pandangan tegas menusuk manik yang sama dengan miliknya.
"Insya Allah dia akan bersedia membantu Umi merawat anak-anak. Dia wanita sholehah sama seperti Umi, dia bersedia membantu kita memenuhi kebutuhan ekonomi santri di pondok kita. Jadi, Umi bisa lebih ringan dan tidak perlu memikirkan masalah dapur santri lagi, bagaimana?" ucapnya menerbitkan harapan dalam hati istrinya.
Bagaimana tidak? Selama ini meski ia tidak begitu dipusingkan dengan urusan perut para santri yang harus selalu dipenuhi. Santri yatim piatu anak-anak yang ditinggalkan orang tua seorang diri. Diasuh mereka dengan sabar tanpa memungut biaya dari masing-masing orang. Semua sudah terpenuhi dari hasil usaha mereka yang maju walau terkadang ada uluran tangan dari jamaah yang ikhlas memberi pertolongan berupa bahan pokok atau pun uang.
"Siapa sebenarnya wanita yang ingin Abi nikahi itu?" tanyanya ingin tahu. Matanya menelisik netra pria di hadapan dengan serius.
"Umi juga mengenalnya, dia Nadia pemilik konveksi besar di kota kita ini. Ibunya datang kepada Abi dan melamar Abi secara tidak langsung untuk putrinya itu. Dia mengatakan bahwa Nadia sudah lama mengagumi Abi, tapi Umi harus tahu bukan hanya dia, Abi juga mengagumi dia. Abi tidak mau rasa kagum Abi ini menjadi dosa. Bagaimana Umi?" ungkapnya.
Hilang sudah kepercayaan dirinya, Ain membayangkan wajah Nadia yang campuran antara Indonesia dan Arab. Mata besar yang indah, alis tebal bukan lukisan, bulu mata lebat alami, tubuh indah semampai, bibir yang seksi menggoda, kulitnya putih dan bersih. Jangan lupakan biji maniknya yang membuat iri semua orang. Sangat jauh dengannya keturunan asli tanah Pasundan.
"Baiklah, tapi Abi berjanji harus memenuhi satu syarat yang Umi berikan. Umi akan setuju Abi menikah dengannya," jawabnya tegas.
"Baik, Abi sanggup melakukannya!"
"Siapa yang datang, Mah?" tanya Nadia saat ia mendapati Sarah memasuki kamarnya. Ia yang sedang memeriksa laporan di peraduan beranjak duduk saat Sarah duduk di tepinya.
"Tebak, siapa yang datang?" ucap Sarah memberi teka-teki untuk Nadia. Gadis itu menggeleng dengan dahi yang berkerut.
"Ikram! Ikram yang datang untuk melamar kamu, Nak! Dia mengatakan itu pada Ibu, dan akan datang dua Minggu lagi saat pernikahan kalian nanti," lanjut Sarah memekik kecil.
Nadia memang sempat mendengar percakapan di ruang tamu rumahnya, tapi ia tidak menyangka jika suara itu adalah suara laki-laki yang ia cintai. Tubuhnya membeku seketika.
"A-apa, Mah? Mas Ikram da-datang melamar? Tidak mungkin, Mah!" Ingin menolak, tapi ia terlalu bahagia mendengarnya. Ingin menerima saja, tapi itu terlalu mustahil rasanya. Bingung sendiri bagaimana menyikapi berita yang dibawa Sarah.
"Benar, sayang. Dia sengaja tidak ingin bertemu dengan kamu dulu, katanya nanti saja setelah ijab qobul dilakukan," terang Sarah lagi semakin menambah bunga-bunga dalam hati Nadia. Ia bahkan merasa ada kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya menggelitik memberikan sensasi yang luar bisa padanya.
"Aku tidak salah dengar, 'kan, Mah? Mamah bilang mas Ikram datang untuk melamarku? Benar begitu, Mah?" tanya Nadia lagi masih dengan perasaan yang sama tak percaya pada apa yang didengar indera rungunya.
"Benar, sayang. Kamu tidak salah dengar, mau dengar rekamannya? Mamah sengaja merekamnya agar kamu percaya," ucapnya sembari mengeluarkan ponsel dan memutar sebuah rekaman.
Air mata Nadia tanpa terasa menetes jatuh, ia terlalu bahagia mendengarnya. Tidak tahu harus apa, Nadia berhambur memeluk Sarah. Menangis sesenggukan dalam pelukan hangat mamahnya. Ia tak pernah mengira bahwa Ikram akan datang melamarnya.
"Sudah, jangan menangis. Kamu harus benar-benar menjaga kesehatan sampai hari pernikahan kamu tiba. Tidak boleh sakit, mulai hari ini anak Mamah harus bahagia, harus terus tersenyum tidak boleh menangis," ingat Sarah membalas pelukan Nadia. Gadis itu mengangguk patuh.
Maafkan Mamah, Nak. Mamah terpaksa berbohong sama kamu, semua itu Mamah lakukan hanya untuk kebahagiaan kamu. Mamah hanya ingin melihat kamu tersenyum dan bahagia. Maafkan Mamah.
Hati Sarah pun bukannya tak sakit membohongi anak semata wayangnya. Sungguh ia terpaksa melakukan itu demi membuat Nadia bahagia setidaknya, sebelum kematian datang. Dalam hati ia berharap, semoga ada pertolongan Yang Kuasa dengan mendatangkan pendonor untuk ginjalnya. Semoga.
Dua Minggu berlalu dengan cepat, Nadia dilanda gugup yang luar biasa. Ia benar-benar menjalankan anjuran dokter untuk hidup lebih sehat lagi. Ia tidak boleh sakit di saat acara sakralnya berlangsung.
Dan di sana, di depan cermin besar Nadia duduk dipenuhi segala rasa yang berkecamuk. Tak menentu rasanya mengundang gelisah. Duduk sembari menatap pantulan diri bersama boneka kesayangan dalam pelukan. Menunggu panggilan dengan hati yang resah.
Wajah blasteran miliknya dipoles make-up ala pengantin tanah Pasundan, begitu sempurna dan nampak mempesona. Kepala dibalut hijab yang menutupi mahkota miliknya. Dengan siger khas Sunda terpasang di atasnya. Kebaya berwarna putih yang elegan hasil rancangannya, melekat sempurna di tubuhnya yang mulai padat berisi. Senyum bahagia yang merekah penuh pesona. Hari ini ia menjadi pengantin dari seorang pria yang telah beristri dan beranak tiga.
Pria idaman yang selama ini ia impikan. Imam yang sempurna tidak lagi ada bandingan. Penantian selama dua Minggu kini dibayar lunas saat Ikram begitu lantang mengucap kalimat qabul dengan sekali sentakan saja.
Darahnya berdesir saat sederet doa untuk pengantin dibacakan Bapak penghulu dan diaminkan semua orang. Sungguh, ia tak menyangka bahwa hari ini ia telah melepas masa lajangnya dan menjadi istri dari laki-laki yang telah beristri dan beranak tiga.
Nadia tidak pernah tahu takdir apa yang akan dijumpainya di hadapan nanti. Untuk saat ini, ia hanya ingin mengabdikan diri pada laki-laki yang ia cintai sebelum maut datang.
Tok ... tok ... tok!
Suara ketukan pintu mengusik lamunan Nadia. Ia melirik pintu yang perlahan terbuka. Sosok Sarah muncul dengan balutan kebaya yang tak jauh berbeda dari darinya.
"Nad? Kamu sudah siap?" Sarah melangkah semakin masuk sembari tersenyum hangat pada putrinya yang sedang menunggu dengan kepala tertunduk.
Nadia mengangkat pandangan. Lantas mengukir senyum saat wanita paruh baya itu semakin mendekat ke arahnya.
"Mamah, aku gugup sekali. Apa ijab kabul sudah selesai?" tanyanya seraya menerima uluran tangan Sarah dengan hangat.
"Sudah, Nak? Bagaimana perasaan kamu? Bahagia ataukah sedih? Di sana ada kakak madumu ikut menyaksikan bagaimana Ikram mengucapkan kalimat kabul dengan lantang dan tegas. Ingat! Ini pernikahan yang kamu mau. Kamu harus bisa menghargai kakak madumu karena ia telah mengikhlaskan Ikram untuk menikahi kamu, ya, sayang? Apa kamu mengerti?" ungkap Sarah seraya melipat bibir usai mengatakannya. Menahan sebak di dada yang kian merebak.
"Nadia faham, Mah. Nadia bukannya ingin merebut Mas Ikram dari Kak Ain, tapi Nadia hanya ingin hidup bersama Mas Ikram sebelum Nadia pergi. Terima kasih, Mamah!" Nadia merengkuh tubuh Sarah dengan lembut.
"Hei, pengantin tidak boleh menangis! Hapus tangisanmu, sekarang kita turun karena semua tamu ingin segera melihat mempelai wanita," ajaknya seraya beranjak bersama Nadia keluar dari kamar.
"Mah, Mamah tidak mengatakan apa pun tentang penyakitku ini pada mas Ikram, bukan? Aku tidak mau mas Ikram sampai tahu kalau aku sakit-sakitan," ucap Nadia menghentikan langkah sejenak.
Sarah menepuk punggung tangannya sembari mengulas senyum penuh arti.
"Tidak, Nak. Mamah tidak mengatakan apa pun tentang penyakit kamu. Kamu tenang saja, ya," sahut Sarah. Nadia mengangguk dan menghela napas panjang sebelum melanjutkan langkah yang sempat terhenti.
Suara riuh dari orang-orang yang hadir di tempat acara tersebut menyambut kedatangan Nadia. Mata Ikram tak lepas dari memandang istri kedua yang baru saja dinikahinya. Cantik luar biasa, sempurna dan mempesona.
Nadia yang malu segera menundukkan kepala dalam-dalam membuang pandangan dari tatapan Ikram. Acara pernikahan hanya dihadiri sanak saudara dan handai taulan.
Nadia duduk di samping suaminya, pandangannya tetap menunduk tidak berani mengangkatnya. Mereka saling berhadapan Nadia meraih tangan Ikram dan menciumnya. Ikram meletakkan tangan kirinya di ubun-ubun istri keduanya.
Berdoa meminta keberkahan dari Allah atas wanita yang ia nikahi. Ia pun tak segan memberi kecupan di dahi. Ain yang tak kuasa melihatnya berpaling muka dengan hati yang perih. Siapa yang tak sakit saat menyaksikan suami menikah lagi?
"Mah, Nadia saya boyong ke pondok saja. Saya sudah menyiapkan rumah untuknya di sana karena saya tidak bisa meninggalkan anak asuh saya juga jamaah yang sesekali datang ke rumah. Tidak apa-apa, bukan? Mamah bisa datang kapan pun untuk menengok Nadia," pinta Ikram usai acara sakral tersebut selesai.
Sarah memandang Nadia yang sudah berganti riasan, gamis berwarna peach dibalut hijab dengan warna serupa membuat Nadia semakin bertambah cantik.
"Ya sudah tidak apa-apa. Mamah cuma mau pesan, kepada Nak Ain untuk membimbing Nadia sebagai Adik madu dan kepada Nak Ikram untuk berbuat adil pada mereka berdua. Mamah kira kalian berdua lebih faham soal ini tidak perlu penjelasan lagi-"
"Nadia, tidak ada wanita yang rela berbagi cinta dan suami. Kamu harus tahu posisi kamu di rumah mereka. Jangan berselisih dengan Kakak madumu, hiduplah dengan rukun agar ridho dan berkah Allah senantiasa melimpah dalam hidup kalian," ucap Sarah memandangi ketiga orang yang duduk berjejer di depannya.
"Insya Allah, Mah. Nadia tahu batasan-batasan Nadia," ucap Nadia bergetar lirih.
"Insya Allah, saya akan berusaha bersikap adil terhadap mereka berdua," sahut Ikram lagi dengan tegas.
"Insya Allah saya juga telah menerima Nadia sebagai Adik madu saya. Hanya doakan kami semoga tidak terjadi masalah yang tidak diinginkan," timpal Ain pula dengan lembut.
Dengan segala kelegaan hati, Ikram dan Ain membawa Nadia ke pondok mereka. Di sana sudah disediakan satu rumah untuk ditempati Nadia. Agak jauh dari rumah yang ditempati Ain, tapi masih di kawasan yang sama.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!