Sabrina Salsabila gadis yang berumur 20 tahun itu akhirnya bisa menerbitkan senyum setelah dua bulan mengurung diri.
Kehidupan di panti asuhan membuat dirinya menjadi wanita yang tegas dan mandiri, namun karena kejadian perampokan yang merenggut keperawanannya dan hamil, Sabrina sempat menjadi wanita yang pendiam dan menyendiri. Dan kedatangan seorang pria tampan kini bisa memulihkan keadaan.
Bahkan sifat ceria dan tegasnya sebagai pengurus sebuah panti asuhan itu terus menghiasi wajahnya setelah pernikahan dilangsungkan beberapa jam yang lalu. ucapan Ijab Qabul itu masih terngiang menghiasi hatinya yang berdebar-debar.
Mahesa Rahardjo, pria tampan nan mapan berumur 27 tahun, dengan sikapnya yang dingin dan angkuh. Pria itu menerima Sabrina sebagai istrinya termasuk kehamilannya.
Senyum merekah masih menghiasi seluruh keluarga besar panti asuhan Kasih bunda dan keluarga besar Rahardjo, meskipun hanya beberapa orang yang tak setuju dengan perjodohan itu, nyatanya Pak Yudi Rahardjo selalu mengulas senyum saat menatap Sabrina yang kini menjadi menantunya. Tidak dengan Nyonya Rahardjo yang nampak datar saat menemui para tamu undangan.
Tunggu dulu, bukankah ada yang aneh, bagaimana sepasang pengantin baru tak saling bergandegan tangan, Sabrina baru mengingat itu semua, di awal menerima cincin kawin Mahesa juga tak mencium keningnya.
Sabrina menatap suaminya dari samping, namun tangannya masih menerima uluran tangan para tamu yang memberinya selamat. Sabrina berusaha menahan hatinya yang mulai gemuruh meminta penjelasan dengan sikap aneh Mahesa. Hingga tangannya tanpa sadar mendarat di lengan Mahesa.
''Jangan berani menyentuhku!'' sergah Mahesa menatap tajam.
Sabrina tercengang, jantungnya seakan berhenti berdetak saat mendengar penuturan suaminya. Hatinya terasa nyeri mendengar ucapan kasar Mahesa. Sabrina berusaha meredakan hatinya yang gemuruh, membuang jauh terkaan yang muncul begitu saja, Mungkin Mas mahesa lelah, itu keyakinannya.
Kejadian malam itu benar-benar mengubah hidup Sabrina seratus delapan puluh derajat. Dulu gadis yang sangat dipuji dan disanjung dengan keramahan, kesopanan, dan kebaikannya serta kecantikannya itu kini direndahkan orang hanya karena ulah laki-laki yang tak bertanggung jawab. Bahkan Sabrina pun tak tahu siapa orang yang berani menodainya hingga membuatnya hamil diluar nikah.
''Kita pulang!'' ucap Mahesa dengan nada datar. Melewati tubuh Sabrina yang masih terpaku.
Acara belum sepenuhnya selesai, namun Mahesa sudah meninggalkan tempat itu dengan hati dongkol. Membelah para tamu yang masih menikmati jamuan.
Setelah pamit kepada seluruh adik-adik panti asuhan dan pengasuh serta keluarga lainnya, Sabrina menghampiri dua sahabatnya yang selalu bersamanya dalam keadaan suka maupun duka.
Ketiga gadis itu hanya bisa basa basi lewat tetesan air mata. Tak ada yang sanggup berpisah dengan Sabrina, gadis yang menjadi teladan mereka.
''Semoga kamu bahagia.''
Hanya itu yang terakhir kali di ucapkan Sesil dan Arum sebelum melepas Sabrina pergi.
"Cepat!" lagi lagi Mahesa memperingatkan Sabrina untuk masuk ke dalam mobilnya. Tanpa memberinya kesempatan untuk memeluk satu persatu adik panti.
Teriakan demi teriakan anak panti terus menggema, namun Sabrina tak bisa lagi bersama mereka dan harus ikut Mahesa yang kini sudah sah menjadi imamnya.
Tak mau Mahesa menunggu lama, akhirnya Sabrina mengikuti perintah suaminya, tak ingin mengajukan pertanyaan apapun, yang pastinya wanita itu sudah bersyukur ada laki-laki yang mau menikahinya dan menjadi papa dari jabang bayi yang dikandungnya. Karena pria yang menyukainya pun perlahan menghindar disaat mengetahui kehamilannya.
Dalam perjalanan selama beberapa menit itu hanya ada keheningan, Mahesa sibuk dengan ponselnya, sedangkan Randu sibuk dengan setirnya, Sabrina memilih menatap ke arah luar menikmati pemandangan.
Apakah ini sikap mas Mahesa yang sebenarnya, ternyata dia sangat dingin, tapi kenapa dia mau menikah denganku? Mulai menerka
Masih banyak tanda tanya dalam hati Sabrina, namun wanita itu tak bisa berbuat apa apa dan menerima kenyataan kalau saat ini ia adalah istri Mahesa Rahardjo, Ceo Gold Ranjana Corp, pria yang belum di kenalnya sama sekali. Akan tetapi mau menikah dengannya yang sudah tidak suci lagi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Disebuah rumah mewah Mahesa dan Sabrina kini berada, wanita itu hanya mematung di ambang pintu dengan koper ditangannya. Bingung karena Mahesa tak menunjukkan apapun. Sedangkan Mahesa memilih ke ruangan kerja, beberapa menit kemudian pria itu keluar membawa sebuah map berwarna hijau dan kembali mendekati Sabrina.
"Kamu baca dan tanda tangani!" ucap Mahesa dengan tegas, lalu menyodorkan map yang dibawanya itu ke tangan Sabrina.
Sabrina melepas kopernya dan mulai membuka kertas yang dipegangnya.
"Apa ini, Mas?" tanya Sabrina antusias. Namun ia masih berpikir positif tentang Mahesa.
"Randu....''
Pria tampan yang dari tadi ada diluar itu masuk menghampiri Mahesa dan Sabrina.
"Saya, Mas," membungkuk ramah.
"Bacakan isinya!"
Randu meraih kertas yang ada di tangan Sabrina dan mulai membacanya.
Sabrina semakin bingung.
''Dalam isi kertas ini dinyatakan kalau Mahesa Rahardjo adalah pihak pertama, dan Sabrina Salsabila adalah pihak kedua.''
Sebelum melanjutkan, Randu menatap Sabrina yang nampak gelisah.
''Dan pointnya sebagai berikut:
Pihak kedua tidak boleh ikut campur urusan pihak pertama, baik itu bisnis maupun pribadi, dan pihak kedua tidak boleh menuntut apapun dari pihak pertama termasuk urusan cinta dan hak anak.
"Maksud Mas apa?" terpaksa Sabrina menyelak demi kejelasan isi dari tulisan tersebut. Wajahnya pucat pasi. Seluruh organ tubuhnya mulai tak bereaksi dengan baik. Bahkan denyut jantungnya semakin tak stabil saat menerima kenyataan.
Mahesa tersenyum sinis.
"Sampai kapanpun, aku tidak akan mengakui anak yang ada didalam kandunganmu itu adalah anakku, jadi jangan paksa aku untuk menyayanginya."
Suara itu bagaikan petir yang menggelegar. Tak menyangka Mahesa akan bicara seperti itu di hari pengantinnya.
Keceriaan yang berapa waktu lalu bangkit itu kini kali lenyap, Sabrina tak bisa berkutik lagi dan tak bisa mundur dari situasi.
"Lalu apa maksud Mas menikahiku?" tanya Sabrina lagi.
"Demi harta papa, aku mau menampung kau untuk tinggal di rumahku, kamu pikir siapa, kamu tak lain adalah perempuan kotor, dan satu lagi," Mahesa menunjuk wajah Sabrina dengan jari telunjuknya.
"Jangan pernah berharap aku mencintaimu, dan jangan coba-coba melapor semua ini ke papa, kalau kamu tidak mau anak dalam kandungan kamu lahir tanpa seorang ayah.'' ucap Mahesa dengan tegas.
Lahir tanpa seorang ayah.
Itulah hal yang paling menakutkan dalam hidup Sabrina, hingga wanita itu sanggup melakukan apa saja demi menutupi aibnya.
"Apa harus saya lanjutkan lagi?" tawar Randu.
"Tidak!" Dengan tetesan air mata Sabrina meraih kertas di tangan Randu dan menanda tanganimya, tak memikirkan dirinya yang mungkin akan terus tersiksa yang pastinya untuk saat ini satu harapan Sabrina, yaitu memberikan seorang ayah untuk bayinya disaat lahir ke dunia.
"Aku terima keputusan Mas, tapi aku mohon, sebagai suami aku, aku ingin nama Mas yang tercantum di data diri anakku nanti."
Tak ada jawaban, Mahesa meninggalkan Sabrina dan Randu yang masih mematung di ruang keluarga.
Kasihan juga dia, cantik, tapi harus mengalami nasib seburuk ini, hamil diluar nikah, dan sekarang harus terjerat pernikahan dengan Mahesa.
Setelah punggung Mahesa menghilang, Sabrina menumpahkan air matanya. Mahesa yang dianggapnya malaikat penolong itu kini berubah menjadi iblis yang laknat.
''Mari Non, saya antar.''
Seorang pembantu menyeret koper Sabrina menuju salah satu kamar yang ada dilantai bawah.
''Ini kamar Non, jika Non butuh sesuatu panggil saya. Nama saya Asih.''
Sabrina mengangguk dan mengucapkan terima kasih sebelum ia benar-benar masuk ke dalam kamarnya.
Lelah hati, itu yang kini Sabrina rasakan, pernikahan yang ia kira akan melepaskan dari masalah, justru malah tumbuh masalah baru. Dengan perlahan Sabrina melepas hijab yang masih melekat dikepalanya.
''Aku pikir mas Mahesa menikahiku karena dia ikhlas ingin menolongku, tapi ternyata aku salah. Dia hanya mementingkan dirinya sendiri.''
Sabrina tersenyum kecut. Menerima nasibnya yang entah bagaimana nantinya.
''Tapi aku janji, aku akan membuat mas Mahesa mencintaiku, aku harus bersabar, dan aku akan menunjukkan padanya kalau aku tak seburuk yang ia kira.''
Waktu terus bergulir, usia pernikahan Sabrina dan Mahesa menginjak 4 bulan. Akan tetapi masih tak ada perubahan, keduanya bagaikan orang asing yang tinggal dalam satu atap. Sikap dingin Mahesa masih saja kental, bahkan sering kali Mahesa menyudutkan Sabrina disaat keduanya ada perdebatan kecil, seperti pagi yang sangat mendung itu, dimana Mahesa memarahi Sabrina yang tak sengaja menyenggol pintu kamarnya hingga terbuka.
Kerlingan mata tajam Mahesa langsung mengarah dimana Sabrina mematung.
''Sudah berapa kali aku bilang? Jangan ke sini, dan jangan membuka pintu kamarku!'' sentak Mahesa. Matanya makin menyala menatap wajah Sabrina yang sudah dibalut rasa takut.
''Ma---maaf, Mas, aku tidak sengaja,'' ucap Sabrina tergagap. Tak tahu kenapa di usia kehamilannya menginjak lima bulan, wanita itu ingin sekali berada didekat Mahesa dan melihat wajah tampan tersebut. Meski kehadirannya tak dianggap, hatinya malah tumbuh benih benih cinta yang dipendamnya untuk Mahesa.
Tak mau meladeni Sabrina yang menurutnya tak penting, Mahesa kembali merapikan penampilannya.
''Cepat keluar!'' teriak Mahesa.
Sabrina semakin menciut dan berjanji tak akan membuat ulah.
'Mau sampai kapan rumah tanggaku seperti ini, aku sudah sabar menerima perlakuan mas Mahesa, aku juga berusaha untuk menjadi perempuan yang baik, tapi kenapa sepertinya mas Mahesa tidak mau menerimaku,' lirih hatinya.
Seperti hari biasa, Sabrina segera ke dapur untuk menyiapkan sarapan bagi Mahesa.
''Ada apa, Non? '' tanya Bi Asih.
''Nggak ada apa apa, Bi.'' jawab Sabrina seketika.
Wanita yang sudah berumur lima puluh tahun itu sangat perhatian pada Sabrina, apalagi semenjak dua bulan terakhir Sabrina selalu mengeluhkan perutnya yang sering sakit, pasti bi Asih selalu menjadi tempat sandarannya.
''Biar bibi yang nyiapin.''
Bi Asih merebut makanan yang ada di tangan Sabrina.
''Non duduk saja disini.'' Imbuhnya lagi.
Menarik kursi tunggal yang ada di samping Sabrina.
''Bi, aku nggak tahu, harus dengan cara apalagi untuk menghadapi sikap Mas Mahesa. Selama ini aku sudah bersabar, tapi masih saja tak dihargai, sedangkan aku nggak bisa pergi darinya, karena bayi yang kukandung butuh mas Mahesa, apalagi Ayah juga tidak mau aku bercerai dengan mas Mahesa.''
Sabrina mencoba tenang meskipun dalam hatinya terus saja memberontak menginginkan sebuah kasih sayang yang haqiqi.
Bi Asih tak menghentikan aktivitasnya, takut air matanya luruh mendengar curhatan Sabrina yang selalu menyedihkan.
Baru saja bi Asih membuka mulut, suara dentuman sepatu dan lantai menggema. Sabrina segera beranjak saat melihat suaminya yang sudah berada di ruang makan.
''Mas...'' teriak Sabrina dari arah dapur.
Dengan jalan yang sedikit lambat Sabrina menghampiri suaminya yang nampak serius berbicara dengan seseorang dibalik ponselnya.
''Iya, aku akan jemput kamu,'' ucap Mahesa sebelum mematikan ponselnya.
Memangnya siapa yang menelpon mas Mahesa, kenapa dia harus menjemputnya segala, bukankah selama ini mas Mahesa tak pernah peduli dengan orang lain, apa orang itu sangat penting baginya.
Ingin mendekat ragu, diam semakin penasaran.
''Mas, aku mau bicara.''
Mahesa beranjak dari duduknya dan tak peduli dengan suara Sabrina yang menghentikannya. Baginya Sabrina tak lain seperti pembantu yang bekerja di rumahnya.
Mahesa terus melangkahkan kakinya hingga pintu utama.
Saat melewati meja makan, kaki Sabrina tersandung dan terjatuh.
Wanita itu meringis kesakitan seraya mengelus perutnya, menatap Mahesa yang berhenti di ambang pintu. Pria itu menoleh sejenak dan menyunggingkan bibirnya, tanpa ingin kembali.
"Mas, perutku sakit," ucap Sabrina dengan bibir bergetar.
Bi Asih mendekat dan membantu Sabrina untuk berdiri, namun tidak dengan Mahesa yang tetap hengkang dari rumahnya.
Meskipun kamu tidak peduli padaku, doaku akan tetap untukmu Mas, sampai pada suatu hari nanti, kamu akan merasakan apa yang aku rasakan, mencintai tanpa dicintai, kamu akan sadar dengan keberadaanku.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
''Kamu apa kabar?''
Sebuah pelukan hangat menyambut kedatangan Mahesa yang baru saja turun dari mobil. Wanita yang sangat cantik dengan rambut panjang terurai itu tersenyum melihat Mahesa didepannya. Camelia, pacar Mahesa yang pergi enam bulan lalu itu datang kembali, bahkan sedikitpun wanita itu tak berubah dan tetap seperti dulu.
Mahesa menghela napas panjang, ''Tidak baik," wajahnya tampak lesu. Namun hadirnya Camelia mampu meredakan emosi yang masih menyelimutinya.
''Kok tidak baik, maksud kamu apa?''
Mahesa membuka pintu mobil, mempersilakan Camelia masuk ke dalam. Alangkah baiknya jika keduanya bicara di tempat tertutup.
Setelah keduanya duduk bersejajar, Mahesa menatap lekat manik mata wanita yang di rindukannya, tak sanggup untuk berkata, pria itu kembali memeluk kekasihnya dengan erat. Melepas kerinduan yang mendalam.
''Kenapa kamu perginya lama sekali, aku kangen,'' ucap Mahesa pelan.
''Aku kan kerja Mas, dan sekarang aku sudah pulang dan siap untuk menjadi istri kamu.''
Perlahan Mahesa mengendurkan pelukannya. Wajahnya nampak suram mengingat apa yang sudah terjadi setelah kepergian Camelia.
''Aku sudah menikah,'' tuturnya.
''Apa?!''
Wanita itu nampak terkejut mendengar penuturan Mahesa. Senyumannya menghilang dalam sekejap detik, dan kini berubah menjadi resah dan gelisah.
''Kenapa bisa begitu?'' tanya nya lagi.
Camelia mulai menitikkan air mata mendengar pernyataan Mahesa. Wanita itu memastikan apa yang terjadi selama dirinya pergi.
Mahesa menyandarkan punggungnya, hatinya tersayat melihat wanita yang dicintainya itu sesenggukan.
''Kamu tega Mas, aku pikir kamu laki-laki yang setia, tapi apa? Kamu menghianatiku,'' ucap Camelia tersendat.
Mahesa hanya meresapi setiap kata yang meluncur dari sudut bibir Camelia.
''Bukan maksud aku mengkhianati kamu, kenapa waktu itu kamu nggak mau menikah denganku dan memilih pergi?'' pekik Mahesa.
Karena saat ini bukan hanya Mahesa yang salah, namun Camelia juga ikut andil dengan apa yang sudah terlanjur terjadi.
''Aku belum siap,'' sahut Camelia seketika.
''Kamu pikir menjadi seorang istri itu hal yang mudah, tidak. Semua butuh waktu Mas, dan kamu ingat, sekarang aku sudah tidak perawan lagi, dan aku mau pertanggungjawaban kamu.''
Ucapan Camelia seolah-olah menekankan Mahesa untuk tetap terikat dengannya.
''Tapi bagaimana caranya? Sedangkan aku sudah punya istri.''
Mahesa yang merasa bersalah itupun tak bisa menghindar lagi dengan kesalahan yang pernah diperbuat.
''Aku mau jadi istri kedua kamu.''
Gila, Mahesa hanya bisa menggelengkan kepalanya. Disatu sisi ia tidak dapat menceraikan Sabrina karena pesan papanya yang masih terngiang ngiang di otaknya, disisi lain, Mahesa sangat mencintai Camelia dan tak mau melepasnya lagi.
''Oke, kalau itu yang kamu mau, aku akan menikahi kamu.''
Camelia tersenyum dan menyeka air matanya. Menatap wajah Mahesa yang masih nampak gundah.
Bagaimanapun caranya aku akan harus bisa memiliki kamu, aku nggak rela perempuan lain yang ada di sampingmu.
''Aku ingin pernikahan ini dilakukan secepatnya,'' pinta Camelia.
Wanita itu menyandarkan kepalanya di pundak Mahesa.
''Baiklah, minggu depan kita akan menikah.''
Camelia memberikan sebuah kecupan lembut di pipi Mahesa, ternyata kedatangannya tak sia-sia, dan kini ia bisa bernapas lega setelah mendapat penjelasan dari Mahesa.
Selama ini pernikahanku hanya karena harta papa, dan aku yakin kalau Camelia adalah kebahagiaanku.
Mahesa merogoh ponselnya yang ada di saku celananya, lalu mencari kontak Sabrina.
Tak berapa lama terdengar ucapan salam dari seberang sana.
''Wa'alaikum salam.'' Jawab Mahesa dengan berat.
Sabrina yang ada di seberang sana hanya bisa mengulas senyum. Mendapat telepon dari Mahesa bagaikan mimpi di siang bolong. Bagaimana tidak, selama menjadi istri Mahesa, ini kali pertama pria itu menghubunginya.
''Mas mau bicara apa?'' tanya Sabrina.
Mahesa berdehem dan kembali menoleh menatap Camelia yang masih setia bersamanya.
''Minggu depan aku akan menikah lagi.''
Seakan malaikat pencabut nyawa itu tiba dan menghentikan kinerja organ tubuh Sabrina. Wanita itu tercengang, ponsel yang ada di tangannya seketika jatuh mendengar sebuah pernyataan dari Mahesa.
Seminggu terlewati, namun sedikitpun Sabrina tak bisa menggoyahkan keinginan Mahesa yang sudah memuncak, dengan tekadnya pria itu yakin untuk menikahi Camelia dan tak mau mundur lagi.
''Apa kamu yakin tidak mau menyaksikan aku menikah?'' menyeringai.
Sebuah tamparan seketika mendarat di pipi Mahesa. Ucapannya yang bagaikan ejekan itu membuat Pak Yudi geram.
Pak Yudi sangat murka dengan ucapan Mahesa yang dengan gamblangnya menghancurkan perasaan Sabrina. Bahkan pria tua itu tak segan-segan mencaci Mahesa di depan istri dan menantunya.
''Asal kamu tahu, sampai kapanpun papa tidak akan merestui pernikahanmu dengan wanita itu,'' pekiknya.
Bukan tanpa alasan Pak Yudi melarang keras Mahesa berhubungan dengan Camelia. Namun sebagai seorang ayah, pak Yudi kurang suka penampilan dan pergaulan Camelia sebagai perempuan yang terlalu bebas di luaran.
Mahesa menyunggingkan bibirnya lalu mendekati Bu Risma yang ada di sampingnya.
''Aku tidak butuh restu Papa, karena mama sudah menyetujuinya. Dan itu sudah cukup bagiku,'' jelasnya.
Pak Yudi menoleh menatap Bu Risma, begitu juga dengan Sabrina, namun keduanya tak bisa berbuat apa apa pada wanita tersebut.
Meskipun hatinya sudah memar, inilah kenyataan yang harus dihadapi saat ini.
''Apa mama yakin kalau wanita pilihan Mahesa adalah wanita yang baik?''
Bu Risma kembali menatap Sabrina yang masih tampak lugu.
''Setidaknya dia tidak hamil diluar nikah, Pa,'' sindir Bu Risma. Melirik ke arah Sabrina yang hanya menunduk seraya mengelus perutnya yang sudah membuncit. Menahan rasa sesak yang mulai menyeruak memenuhi dadanya.
''Dan dia juga punya pekerjaan yang mapan, selama ini Mahesa tidak bahagia dengan pernikahannya. Jadi biarkan saja,'' imbuhnya lagi.
Kali ini Pak Yudi tak hanya merasa gagal sebagai ayah, namun juga gagal sebagai seorang suami, bahkan dengan jelasnya Bu Risma memberontak niat baiknya untuk mengubah putranya ke jalan yang lebih baik lagi.
Sabrina maju satu langkah mendekati Mahesa. Mata keduanya saling bertemu dengan makna masing-masing.
''Apa mas nggak mau memikirkannya lagi, aku bisa seperti perempuan yang mas cintai, dan aku bisa memberikan putra untuk mas setelah anakku lahir.''
Sepertinya ucapan Sabrina hanya sia sia belaka. Pasalnya Mahesa tak begitu menggubrisnya. Pria itu mengalihkan pandangannya dan sibuk dengan ponselnya yang terus berdering.
''Aku nggak punya waktu lagi, sebentar lagi acaranya dimulai,'' kelakarnya.
Dengan langkah lebarnya Mahesa meninggalkan Sabrina dan pak Yudi.
''Sebagai istri aku tidak memberi izin mas untuk menikah lagi,'' selak Sabrina seketika.
Mahesa dan Bu Risma yang sudah berada diambang pintu terpaksa menghentikan langkahnya saat mendengar ucapan Sabrina.
Mahesa menghampiri Sabrina yang masih berada di samping papanya. Sedangkan Bu Risma memilih untuk keluar memberi ruang Mahesa untuk menyelesaikan urusannya.
''Kamu pikir aku butuh izin kamu, tidak. Aku bisa menikah tanpa izin dari kamu maupun papa. Kamu lupa dengan perjanjian itu?''
Pak Yudi semakin geram, namun kali ini Sabrina berada di tengah keduanya. Berharap mereka tetap tenang.
Sabrina menggeleng menatap wajah Mahesa secara intens.
''Tapi dalam agama kita, jika seorang suami mau menikah lagi itu harus ada izin dari istri.''
Mahesa tertawa lepas dan tak menghiraukan Pak Yudi yang ada di sana. Seakan ucapan Sabrina adalah ocehan yang tak berguna.
''Kita menikah atas perjodohan, bukan karena cinta, jadi kamu nggak usah percaya diri sebagai istriku.''
Sabrina meraih tangan pak Yudi yang hampir saja melayang.
''Lepaskan, Sab! Biar ayah beri pelajaran, bagaimana cara menghargai seorang istri.''
Pak Yudi yang sudah diliputi amarah itu meninggikan suaranya. Menurutnya kali ini Mahesa sudah keterlaluan dan terlalu lepas dari kaidah seorang suami.
'Tapi aku menganggap ini adalah ibadah Mas, karena hanya dengan itu aku akan ikhlas menerimanya,' lirih hati Sabrina.
Sabrina menggeleng tanpa suara lalu memeluk Pak Yudi dengan erat.
''Mas Mahesa pergilah!" ucap Sabrina pelan. Namun masih bisa didengar oleh Mahesa.
Dengan segera Mahesa keluar. Percuma jika tetap disana, pasti perdebatan itu tak akan usai.
Setelah mobil yang ada di halaman rumah Mahesa menghilang. Sabrina menumpahkan air matanya. Meskipun hatinya tak kuat, namun Sabrina tetap berdiri dengan tegap demi titipan Sang Khaliq yang masih bersemayam di dalam perutnya.
"Papa nggak ngerti harus bagaimana lagi, papa nggak nyangka kalau kamu akan tersakiti seperti ini."
Bayangan masa lalu kembali terlintas, dimana Sabrina harus hancur kala kehilangan kehormatannya. Dan kini ia kembali diruntuhkan dengan pilihan suaminya yang akan memberinya madu.
"Yah..." Sabrina mendongak melihat wajah yang sudah mulai keriput itu.
"Ayah jangan sedih, aku ikhlas menerima semua ini, bukankah dalam Islam, seorang suami boleh menikah lagi."
Pak Yudi makin tak kuasa mendengar ucapan Sabrina dan terus merengkuh tubuh Sabrina.
"Lalu apa yang harus ayah katakan pada Ibu Yumna?"
Sabrina menarik kerudungnya dan mengusap pipinya yang basah itu hingga kering, melepaskan pelukannya dan mulai tersenyum, meskipun terpaksa.
"Ayah jangan bilang apapun sama Ibu, aku nggak mau Ibu tahu kalau mas Mahesa menikah lagi, jadi cukup kita yang tahu."
Ya Allah, jika ini memang jalan yang terbaik, aku siap, tapi berikanlah aku kesabaran yang lapang untuk melewatinya.
Acara pernikahan bukanlah hal yang tabu bagi Sabrina. Seperti saat ini, setelah seharian penuh berada di dalam kamar, kini Sabrina siap untuk keluar, dan siap untuk bertemu suaminya dan istri barunya.
''Kamu yakin mau datang ke acara resepsi Mahesa?'' tanya Pak Yudi.
Sabrina mengingat pesan singkat yang dikirim Mahesa, dimana pria itu menyuruhnya datang karena istri barunya ingin bertemu.
Meskipun hatinya merasa sakit, Sabrina bukanlah orang yang pengecut dan sembunyi dari fakta.
Sabrina merapikan hijabnya yang sedikit melenceng, mengambil tasnya dan mendekati Pak Yudi yang masih ragu dengannya.
''Yakin Yah, lagipula kan ada ayah juga, pasti aku bisa. Sabrina bisa melewati semua rintangan yang ada, karena Sabrina dilahirkan untuk menjadi wanita yang kuat.''
Pak Yudi ikut tersenyum.
Ayah tahu kalau senyuman kamu itu palsu. Ucapnya dalam hati.
Di sebuah gedung mewah Pak Yudi disambut dengan begitu ramah, meskipun acara itu tertutup dan hanya untuk orang orang tertentu, namun suasana begitu meriah dan ramai.
''Selamat malam. Om,'' sapa Randu yang ada di depan ruangan.
''Silakan masuk!"
Randu mengikuti Sabrina dan Pak Yudi menuju tempat yang sudah disediakan, setelah keduanya duduk, Randu pergi menghampiri Mahesa dan Camelia yang masih sibuk menemui tamu undangannya.
Randu hanya berbisik, karena tak bisa mengatakan hadirnya Sabrina sebagai istri pertama itu di depan umum.
"Sebentar lagi aku ke sana," jawabnya singkat.
Setelah tujuannya selesai, Randu kembali meninggalkan Mahesa.
"Kita temui papa dulu."
Mahesa menggandeng tangan Camelia membelah kerumunan para tamu yang berlalu lalang.
Mau kemana mereka.
Nampak dari jauh Bu Risma heran melihat Mahesa dan Camelia yang buru-buru.
Setelah tiba di ruangan, tiba tiba saja mata Camelia terbelalak saat menatap perempuan yang tak asing baginya.
Kenapa dia ada disini?
Camelia semakin bingung dengan hadirnya sosok yang sangt familiar di matanya.
''Mas, jangan bilang kalau dia istri kamu?''
Dengan wajah yang sedikit gugup Camelia menunjuk Sabrina.
Mahesa mengangguk. ''Memangnya kenapa?''
Camelia menggeleng. ''Tidak apa apa,'' jawabnya gugup.
'Ternyata dia istrinya mas Mahesa, aku nggak boleh tinggal diam, bagaimanapun juga mas Mahesa adalah milikku, dan aku nggak mau berbagi dengan orang lain, apalagi dia. Aku harus melakukan sesuatu sebelum dia menguasai semuanya.'
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!