NovelToon NovelToon

Berbagi Cinta: Aku, Madu Sahabatku

bab 1

Hari ini adalah hari yang membahagiakan bagi Wina. Wanita itu akan menjalani peran baru

setelah upacara sakral ini. Janji suci telah terucap di hadapan Tuhan dan para tamu undangan.

Setelah upacara selesai, mereka mengadakan resepsi pernikahan yang begitu megahnya. Para tamu undangan mengucapkan selamat pada mereka.

Banyak wanita yang menatap iri pada Wina yang tengah berdiri di atas pelaminan itu—

termasuk para sahabatnya. Wina tak pernah terlihat menonjol di antara mereka. Namun, ia bisa mendapatkan pria tampan dan mapan serta sukses seperti Alvino Brahmana.

"Wina beruntung banget ya. Padahal dulu dia itu jarang banget bergaul dengan para

cowok. Tapi sekarang, dia seperti Cinderella mendapatkan pangeran."

Gunjingan demi gunjingan terdengar di antara para tamu undangan. Di saat orang lain sukses, banyak yang bergosip jika orang itu melakukan sesuatu yang tak

benar. Pun ketika orang lain terjatuh, tetap saja digosipkan.

Acara pun usai. Setelah para tamu meninggalkan ballroom hotel yang dijadikan tempat

resepsi, Al segera membopong istrinya itu ke lantai atas.

"Bang, malu dilihat banyak orang," lirih Wina dengan wajah memerah.

"Biar saja, Sayang. Kita sudah sah kan?" Al tersenyum memamerkan dua lesung pipinya.

Wina pun menyembunyikan wajahnya di d*** bidang suaminya saat di lift. Hingga mereka

memasuki kamar pengantin, Al masih menggendongnya.

Kemudian, Al merebahkan Wina di atas ranjang pengantin mereka. Mereka mulai melakukan rutinitas sebagai pasangan suami istri. Terjadilah sesuatu yang membuat mereka bermandikan peluh dan nikmat.

*****

Di sebuah rumah yang terbilang mewah, seorang wanita tengah berjalan mondar mandir

di kamarnya. Ia menggigiti kuku tangannya.

Siang tadi, suaminya sudah memberinya kabar jika acara pernikahan telah usai. Hatinya

tengah harap-harap cemas mengetahui apa yang akan terjadi di antara suaminya dengan

istri barunya.

Maaf Wina. Kau harus terlibat dalam drama ini. Maaf, bukan maksudku melakukan ini.

*****

Keesokan harinya, Wina terbangun dengan tubuh terasa remuk redam. Tidak ada bagian

tubuhnya yang tidak sakit. Termasuk bagian inti tubuhnya. Terasa perih dan ngilu.

"Ah," pekiknya tertahan saat merasakan sakit di bagian inti nya.

Al terbangun. Ia tahu, ini adalah pengalaman pertama bagi Wina. Al bangun dan

membantu Wina dengan membopong tubuh gadis wanita itu.

"Biar ku bantu. Sakit sekali ya? Maaf kan aku ya," ucapnya tak enak.

"Tidak apa. Sudah tugasku," ucap Wina seraya menampilkan senyumnya.

Al pun meletakkan tubuh Wina di dalam bathtub setelah memastikan suhu air. Wina

tersenyum manis dan mengucapkan terimakasih.

Al pun menunggu di dalam kamar. Pria itu tengah termenung mengingat istri pertamanya.

Istri yang begitu ia cintai, namun ditentang oleh orangtuanya.

Lamunan nya terhenti saat melihat Wina berjalan tertatih. Al menatap Wina dengan

seksama. Wina adalah wanita cantik. Meskipun tak secantik istrinya.

Dia juga baik sama seperti istri pertamanya. Tulus, serta memiliki pengertian. Namun,

apa dia akan menerima Al ketika ia mengetahui kenyataan, jika dirinya hanyalah istri

kedua Al?

Alasan apa yang harus ia berikan saat Wina mengetahuinya? Cinta? Saat ini, dirinya tak

merasakan cinta pada wanita ini. Meski mereka hanya menjalin hubungan dalam tiga bulan

terakhir, dan memutuskan menikah bersama.

Wina, akankah kau memaafkan ku saat kau mengetahui kenyataan ini? ucap Al dalam hati.

"Bang, kok bengong sih?" tanya Wina saat Al kembali dari lamunannya.

Al berusaha tersenyum pada wanitanya. "Tidak. Ini hanya masalah pekerjaan," jawab Al.

Al memutuskan mandi. Ia tak ingin Wina bertanya-tanya lagi. Wina pun mengganti

pakaiannya.

*****

Mereka saat ini tengah berada di restoran hotel untuk sarapan. Sesekali, Al akan

menggoda Wina hingga wanita itu menampakkan wajahnya yang memerah.

"Bang, kita kapan harus check out dari sini?" tanya Wina setelah mereka tiba di kamar.

"Kenapa? Kamu tidak suka disini?" Al berbalik bertanya.

"Bukan itu, sayang uangnya jika harus di habiskan untuk hal seperti ini." Al terkekeh

mendengar jawaban sang istri.

"Tenang saja, Sayang. Ini hadiah dari Mami dan Papi untuk kita," ucap Al menenangkan

istrinya.

Ucapan Al memang tidak sepenuhnya salah. Wina pun menghembuskan nafas lega kala

mendengar hal itu. Meskipun, wanita itu masih menyayangkan uang yang terbuang sia-sia

itu menurutnya.

Mereka pun menghabiskan waktu di kamar hotel itu dengan membicarakan banyak hal.

Mulai dari banyaknya anak yang diinginkan oleh Wina ataupun Al, serta Wina yang ingin

tetap bekerja meski sudah menikah.

Satu lagi nilai tambah wanita itu di hati Al. Mandiri dan dewasa. Al merasa nyaman saat

berbicara tentang masalah pekerjaan dengan Wina. Pengetahuannya yang luas, sangat

membuat Al kagum.

Sepertinya, tidak akan sulit untuk jatuh cinta pada wanita ini. Namun tidak untuk saat

ini. Itulah yang Al pikirkan.

Beberapa hari kemudian, Al membawa istrinya ke rumah yang sudah di hadiahkan oleh

orangtuanya. Rumah itu memang tak semewah rumah yang Al miliki.

"Kamu suka?" tanya Al.

"Suka, Bang. Rumahnya bagus," jawab Wina dengan senyum. Al pun ikut tersenyum.

Setelah mengantar Wina tiba di rumahnya, ponsel Al berbunyi. Al melihat nama istri

pertamanya yang terpampang di sana.

"Abang, angkat telepon dulu ya." Wina mengangguk. Matanya masih menelisik setiap sudut rumah itu.

Al pun sedikit menjauh. "Halo, Sayang," sapa Al setelah benda pipih itu ia letakkan di

telinganya. Sesekali matanya mengawasi keberadaan Wina.

"..."

"Baiklah. Sampai jumpa, Sayang." Al pun mematikan panggilan itu.

Ia melangkahkan kakinya mencari keberadaan Wina. Melihat pintu kamar utama yang

terbuka, Al yakin Wina berada di sana. Pria itu segera mendorongnya dan melangkah

masuk.

"Sayang, Abang pergi sebentar ya. Ada pekerjaan yang harus, Abang selesaikan," kilah

Al.

Wina mengangguk dan tersenyum. Al pun mengecup kening istrinya itu dan segera pergi.

Tinggallah Wina sendiri di sana.

Wina memutuskan merapikan pakaian mereka. Pertama, Wina menyusun pakaiannya ke

dalam lemari. Kemudian, pakaian Al.

Saat tengah memasukkan pakaian suaminya, ia melihat sebuah foto anak kecil. Foto

memperlihatkan wajah gadis yang mirip dengan suaminya.

Muncul pertanyaan dalam benak Wina tentang gadis kecil itu. Siapa gadis ini? Mengapa

begitu mirip dengan suaminya? Hubungan apa yang mereka miliki? Mungkinkah ada

sesuatu yang Wina tidak ketahui?

Wina memutuskan akan bertanya pada suaminya nanti. Ia tak ingin berasumsi sendiri,

hingga terjadi salah paham antara dirinya dan Al suaminya.

Wina melanjutkan pekerjaannya dan memasak makan siang. Mungkin saja, suaminya akan

kembali saat makan siang nanti.

Siang pun berganti malam, namun Al belum terlihat kembali ke rumah barunya bersama

Wina. Rasa cemas mulai menghantui Wina. Ia mengambil ponselnya dan memutuskan

menelepon Al.

Tersambung, namun tak juga ada jawaban dari seberang sana. Sekali lagi, Wina mencoba

menghubungi suaminya. Kali ini terdengar suara Al. Membuat Wina menghela nafas lega

kala mendengarnya.

bab 2

Al tiba di depan rumah mewah miliknya. Rumah yang ia tempati bersama istri pertamanya Citra. Ia melangkahkan kaki masuk ke dalam. Dia terus melangkah hingga ke ruang kamar utama.

Di sana, Citra tengah termenung menatap keluar jendela. Al memeluk Citra dari belakang dan menyandarkan kepalanya di bahu sang istri.

"Bagaimana, Mas?" tanyanya.

"Aku sudah melakukannya. Apa kau yakin, kau baik-baik saja?" tanya Al sendu.

Citra tersenyum meski terlihat sangat dipaksakan. Al pun kembali membawa Citra ke pelukannya. Mencium puncak kepalanya bertubi-tubi.

Pria itu paham, alasan Citra memintanya menikahi Wina. Istrinya memang sudah menceritakan kisah hidup Wina.

Wina dan Citra adalah sahabat. Sudah sejak lama Citra meminta Wina menikah. Namun gadis itu terus menolak. Ia merasa trauma dengan pernikahan orangtuanya.

Ibunya harus berpisah dari ayahnya. Karena ayahnya, melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Hal yang sama juga pernah Citra rasakan sebelum bertemu dengan Al.

Al-lah yang terus meyakinkannya tentang rasa cinta yang tulus. Terbukti, selama tiga tahun pernikahan mereka, Al tidak pernah melakukan kekerasan. Justru Al selalu memberikan rasa aman padanya.

Kedua orang tua Al juga begitu menyayanginya. Rasanya, hidup Citra yang dulu penuh dengan trauma sudah hilang. 

Ketika putri kecilnya lahir kehidupannya semakin bahagia. Hidup Citra pun terasa lengkap karenanya. Al terus menghujaninya dengan cinta.

Saat putrinya meninggal enam bulan lalu, dan tak lama kemudian Citra divonis tak lagi bisa hamil, membuat citra sangat down. Sejak itu, kedua orangtua Al berubah. Mereka membutuhkan pewaris untuk bisnis mereka. Dan itu, harus terlahir dari benih Al sendiri.

Muak mendengar rengekan mertuanya, Citra memutuskan menerima poligami ini. Dengan syarat, wanita yang akan menikah dengan Al, Citra yang menentukan.

Saat pernikahan Citra dulu, Wina memang tidak bisa hadir. Kebetulan, saat itu Wina memiliki pekerjaan yang tak bisa ditinggal. Kebetulan pula, Wina belum pernah bertemu langsung atau melihat foto suaminya.

Hal itu di manfaatkan Citra untuk mendekatkan mereka dan mengatur pernikahan mereka tanpa Wina ketahui. Dan saat Citra meminta Al mengenalkan Wina pada mertuanya, ternyata mertuanya sangat menyukai Wina. Saat itu Citra tahu, jika pilihannya tepat. 

*****

Siang berganti malam. Ponsel milik Al berbunyi. Citra yang ada di sana melirik nama si pemanggil.

Wina? Citra bingung. Haruskah ia mengangkat telepon itu?

Ia pun memutuskan mengetuk pintu kamar mandi. Karena saat ini, Al sedang membersihkan tubuhnya.

"Mas, Wina telepon," ucapnya sedikit kencang.

"Sebentar," jawabnya dari dalam.

Tak lama, Al keluar dengan handuk yang membelit pinggangnya. Rambutnya meneteskan air. Bau sabun serta shampoo menguar memenuhi indera penciuman Citra.

"Wina menelepon mu," ucapnya mengalihkan pikiran liarnya kala melihat tubuh suaminya.

Al mendengus. Ia pun mengambil ponselnya, saat benda itu kembali berbunyi.

"Halo," ucapnya.

"Bang, masih di kantor?"

"Iya. Kenapa?"

"Apa, Abang akan pulang?" 

Al memandang Citra. Citra pun mengatakan ya tanpa bersuara. Alis Al bertaut saat melihat istrinya menjawab itu. Lagi Citra mengkode Al untuk segera menjawab pertanyaan Wina.

"Sebentar lagi."

Al segera memutus sambungan telepon itu saat Wina berkata ya. Kemudian, ia meletakkan ponselnya kembali dan menatap Citra.

"Aku tak ingin berdebat, Mas. Pulanglah. Wina menunggumu." Al memejamkan matanya sesaat.

"Ini tidak semudah yang kau pikirkan," gumamnya pelan.

"Aku tahu," ucap Citra sangat lirih. Hingga Al tak mampu mendengarnya.

Al memilih meninggalkan Citra dan menuju lemari pakaian. Ia mengambil kaos dan celana kargo selutut. Kemudian, ia mencium kening Citra dan berpamitan.

"Aku ke tempat Wina dulu." Al segera melangkahkan kakinya keluar.

*****

Wina sudah terlelap saat Al kembali. Tubuhnya yang lelah setelah seharian membersihkan rumah dan merapikannya, membuatnya tertidur dengan nyenyak.

Al tidak tega membangunkannya. Ia pun membiarkan Wina tidur. Al memilih masuk ke ruang kerjanya. Ia membuka laptop dan memeriksa email-nya.

Hingga waktu menunjukkan tepat jam dua belas malam, Al kembali ke kamar utama. Dimana Wina sudah tertidur.

Ia merebahkan tubuhnya dan menatap wajah Wina. Terlihat begitu damai. Pria itu kembali teringat pertemuan pertama mereka.

Wanita di hadapannya ini terlihat sangat lembut. Namun cukup keras hati. Cukup sulit bagi Al meruntuhkan tembok penghalang yang sudah di bangun wanita ini.

Al tersenyum mengingat perjuangannya.

Kau memang pantas untuk diperjuangkan. Hatiku saja sudah mulai menyukaimu. Meski tempat itu tak seutuhnya untukmu. Maaf, karena kau harus terlibat dalam drama rumah tangga ku dan Citra. Semoga kau tidak akan membenciku ataupun Citra saat kau mengetahui kenyataan di balik pernikahan kita. Terlebih pada Citra. Bagaimanapun, dia adalah sahabatmu.

Tak terasa, Al pun sudah terbuai oleh mimpinya.

*****

Hari berganti hari. Semua masih berjalan tanpa ada kendala. Wina masih belum mengetahui tentang pernikahan Al dan Citra sahabatnya.

Wina pun melupakan tentang foto anak kecil yang begitu mirip dengan suaminya. Dan sedikit mirip dengan seseorang yang Wina kenal. Tapi ia lupa siapa.

Hari ini, tepat satu bulan pernikahan Wina dan Al. Wina ingin mampir ke tempat mertuanya. Ia pun melajukan mobilnya ke rumah mertuanya.

"Sayang, ayo masuk," ajak Mami dari Al.

"Mami, sehat?" tanya Wina.

"Sehat. Apa sudah ada kabar bahagia?" tanya mertuanya seraya mengelus perut datar Wina.

"Maaf, Mi belum ada," jawab Wina sendu.

"Sudah tidak apa. Di coba saja lagi ya." Wina mengangguk.

Di sana, Wina menghabiskan waktu dengan mempelajari makanan kesukaan suaminya. Wina ingin membuat kejutan untuk suaminya itu. Ia akan membuatkan hidangan istimewa itu.

Saat menjelang sore, Wina berpamitan. Tiba di rumah, Wina menyiapkan berbagai hidangan di meja makan. Kemudian, ia membersihkan dirinya.

Hingga waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Al belum juga kembali. Wina pun mengirimkan pesan pada suaminya itu.

Tak berapa lama, pesannya pun terbalas. Wina segera membacanya.

Maaf ya sayang, aku akan terlambat pulang. Makanlah lebih dulu. Jangan menunggu ku. Nanti kau sakit.

Wina tersenyum mendapat perhatian kecil dari suaminya. Hidupnya terasa lengkap saat mendapat banyak kasih sayang dari suaminya. Kasih sayang, yang sejak kecil didambanya.

Wina pun teringat pada sahabatnya yang memiliki nasib yang sama. Bagaimana dengan kabarnya? Wina mencari kontak nya dan mengirimkan pesan padanya.

Citra, aku sudah menikah. Kenapa kau tak hadir saat itu? Aku merindukanmu. Ayo kita bertemu.

Wina tersenyum setelah mengirim pesan itu. Ia ingin sekali memperkenalkan suaminya pada sahabatnya itu. Ia juga merindukannya. Sudah hampir tiga tahun mereka tak bertemu. Terakhir, saat Citra sedang hamil. 

Wina jadi membayangkan saat perutnya membesar seperti Citra dulu. Ah, rasanya pasti bahagia. Dulu pun Wina mendapati wajah bahagia sahabatnya itu saat perutnya membesar.

"Aku tidak sabar merasakan kehadiran buah hati kami di sini." Wina mengelus perutnya yang masih rata dan tersenyum.

bab 3

Citra tengah menghabiskan waktu bersama Al. Mereka baru saja membersihkan diri setelah pertempuran panas mereka. Ponsel Al berbunyi. Citra bisa melihat, jika ada pesan masuk ke hp suaminya. Citra pun melihatnya sepintas.

Abang masih sibuk? Aku sudah menyiapkan makanan untuk Abang.

"Mas, Wina mengirim pesan pada mu. Dia bertanya, apa kau sibuk? Dia sudah menyiapkan makanan untukmu." Citra menatap suaminya.

"Balas saja, Sayang. Katakan padanya untuk tidak menunggu ku. Dan lain kali, minta dia tak perlu menyiapkan makan malam lagi," ucap Al dari arah kamar mandi.

Citra pun memutuskan membalas pesan Wina.

Maaf ya, Sayang aku akan terlambat pulang. Makanlah lebih dulu. Jangan menungguku. Nanti kau sakit.

Kali ini, ponselnya yang berbunyi. Citra menggulir layar ponselnya dan mendapati pesan dari sahabatnya Wina.

Airmata Citra menetes membaca isi pesan sahabatnya itu. Bagaimana mungkin dirinya tak merindukan sahabatnya ini? Ia sangat merindukannya. Namun, Citra belum siap.

Apalagi, antara Citra dan Wina tak pernah ada rahasia. Citra takut, mulutnya akan membeberkan rahasia pernikahan Wina dan suaminya Al. Lebih tepatnya, Citra tak bisa menerima jika pada akhirnya Wina akan membencinya.

Maaf ya, kemarin aku sedang di luar kota. Selamat untukmu. Semoga pernikahanmu langgeng. Aku pun merindukanmu. Tapi, maaf kita belum bisa bertemu dalam waktu dekat ini. Nanti, aku akan menghubungimu lagi.

Citra segera menghapus air matanya ketika Al berbalik dan menghampirinya. Citra menahan lengan Al ketika pria itu hendak merebahkan dirinya. Ia menatap Citra bingung.

"Ada apa?" tanya Al heran.

"Pulang lah, Mas. Wina menunggumu," pinta Citra.

"Sayang…." kalimat Al terpotong.

"Ku mohon. Pulanglah." Al mendengus kesal.

Saat Al ingin agar istri keduanya mengetahui keberadaan Citra, wanita itu justru menolak. Sudah satu bulan ini Al harus menyisihkan waktu untuk menemani istri pertamanya ini.

Bukan Al tidak mencintai Wina. Hatinya justru sudah jatuh cinta pada istri keduanya itu. Namun, ia pun tak bisa abai pada istri pertamanya bukan? Ia bisa memberikan waktu yang sama pada Wina dan Citra. Sayangnya, Citra selalu meminta Al untuk tidak memberitahu Wina tentang pernikahan mereka.

Ibunya pun, ikut mendukung rencana Citra. Al mengumpat dalam hatinya, kala mengingat pemicu kejadian ini. Kejadian yang justru membuatnya terperangkap dalam lingkaran hubungan yang semakin rumit.

Mau tak mau, Al menuruti keinginan Citra. Pria itu pun mengalah dan memilih kembali ke rumah istri keduanya.

*****

Pintu rumah Wina diketuk. Ia berjalan cepat dan membukanya. Terlihat wajah Al dengan senyum merekah menghiasi wajah tampan suaminya. Jangan lupakan lesung pipinya.

"Bang." Wina mencium tangan Al.

Al pun mengecup kening Wina. Al pun memeluk bahu Wina dan menggiringnya masuk ke dalam.

"Abang sudah makan? Tadi, Wina ke rumah Mami," cerita Wina.

"Oh iya? Ngapain ke tempat Mami?" tanyanya.

"Belajar masak makanan kesukaan Abang. Abang, cicip ya," ucap Wina bersemangat.

"Oke."

Mereka pun berjalan ke meja makan. Benar saja, melihat makanan di meja adalah kesukaannya, membuat air liur Al menetes. Sudah lama rasanya ia tak mencicipi hidangan itu.

Al menggosokkan telapak tangannya dan bersiap duduk dan meraih piring serta sendok. Al begitu lahap memakan masakannya. Hingga separuh dari menu di meja makan sudah memenuhi perutnya.

"Enak bang?" Al mengacungkan kedua jempolnya. Wina tersenyum lega.

*****

Bulan keempat pernikahan Wina dan Al.

Al mengantar Wina ke kantornya. Memang sudah menjadi rutinitas baru bagi Al mengantar Wina.

"Aku kerja dulu ya, Bang." Wina mencium punggung tangan Al.

"Iya. Abang, berangkat ya." Al pun mulai melajukan mobilnya.

Di dalam lift,

"Masih belum memberitahu istri keduamu?" tanya teman sekaligus sekertaris Al.

"Hmmh." Al mengangguk.

"Apa kau tidak lelah terus bersembunyi?"

"Apa yang bisa ku lakukan, Sur?" Al menatap Suryo sahabatnya dengan raut sedih.

"Terus yakinkan Citra. Jika Wina tahu sebelum kau atau Citra memberitahunya, hatinya akan lebih sakit dari ini." Al menundukkan kepalanya.

Suryo benar. Al harus meyakinkan Citra secepatnya. Ia tak ingin menyakiti Citra ataupun Wina. Ia pun tak ingin merusak persahabatan kedua istrinya. Jujur saja, saat ini Al tak bisa lagi melepas keduanya.

Al menghubungi Citra. Ia akan bicara dan meminta Citra untuk membuka jati dirinya kali ini. Citra harus tahu konsekuensinya saat semua rahasia ini terbongkar sebelum mereka memberitahu Wina.

"Sayang, kita harus bertemu. Kita bertemu di restoran biasa ya." Al langsung berbicara pada intinya setelah sambungan telepon itu diterima Citra.

"Ada apa, Mas? Sepertinya penting sekali."

"Ya. Ini sangat penting. Ingat ya. Aku bekerja dulu. I love you."

*****

Wina tengah makan siang bersama rekan kerjanya di restoran. Selesai makan, mereka berniat kembali ke kantor, saat netranya menangkap sosok yang dikenalnya.

Bukannya itu Bang Al? Cewek di sampingnya siapa ya? Kok rasanya familiar? batin Wina.

Sosok yang dilihat oleh Wina sudah masuk ke dalam mobil. Segera, Wina menghentikan taksi yang kebetulan lewat di depannya tanpa berpamitan pada rekan-rekannya.

"Pak, tolong ikuti mobil hitam itu ya," pinta Wina pada sopir taksi itu.

"Iya, Mbak," ucap sopir taksi itu.

Mobil yang dikendarai Al berhenti di depan rumah yang cukup mewah. Pekarangan yang luas, dan bangunan yang megah.

"Tunggu sebentar ya, Pak." sopir itu menganggukkan kepala.

Terlihat, Al membukakan pintu untuk wanita itu. Bahkan, senyum Al terlihat merekah. Perlakuan Al pada dirinya, juga wanita itu sama saja. Apa maksud semua ini? Pikirnya saat itu.

Seorang pedagang sayur melintas, "maaf, Pak." Wina memberhentikannya.

"Iya, Bu, mau beli sayur?" tanya nya sopan.

"Tidak. Saya mau tanya, Bapak kenal penghuni rumah ini?" pedagang sayur itu kecewa. Ia salah menerka, jika wanita ini akan membeli sayurnya yang tersisa.

"Kenal, Bu." tiba-tiba, pedagang sayur sedikit mulai curiga. Terlihat dari kerutan di dahinya.

"Ada apa ibu menanyakan penghuni rumah ini?" 

"Ah, bukan begitu. Saya mencari teman saya. Saya takut salah alamat," ucapnya sedikit berbohong.

"Oh… Rumah ini punya pak Alvino Bu." terang si pedagang sayur.

"Tadi saya lihat ada cewek yang masuk. Kata bapak, pemiliknya laki-laki?" tanyanya lagi.

Bang Al.

Kali ini, Wina meremas jemarinya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Itu istrinya."

Bagai tersambar petir. Pikiran Wina tiba-tiba kosong. Dadanya terasa sesak mendengar berita itu. Istri? Bukankah Wina istrinya? Mungkinkah Al sudah menikah lagi, tanpa memberitahunya.

"Se-sejak kapan me-mereka menikah?" lirihnya. Wina berusaha menahan air mata yang akan lolos.

"Sekitar tiga tahun Bu," jawab tukang sayur itu.

Sebenarnya, Wina bertanya pada dirinya sendiri. Namun, ucapan itu masih terdengar jelas di telinga tukang sayur itu. Hingga ia menjawabnya.

"Ibu, baik-baik saja? Muka ibu kelihatan pucat," ucap si pedagang itu seraya menatap wajah Wina.

"Tidak apa, Pak. Saya baru ingat, teman saya sudah pindah ke luar negeri. Kalau begitu, saya permisi ya, Pak. Terimakasih banyak sudah membantu saya." Wina segera kembali ke dalam taksi.

Hati Wina semakin berdenyut pedih mendengar berita ini. Ternyata, suaminya sudah menikah sebelum menikahi dirinya.

Kali ini, Wina begitu marah pada Al. Apa alasan pria itu menikahinya? Benarkah cinta yang pria itu ucapkan nyata? Tahukah istri pertama suaminya itu tentang pernikahan kedua dari suaminya?

Pantas saja Al selalu tercium wangi saat pulang dari kantor. Bahkan, terlihat sudah bersih. Pakaiannya pun tak terlihat kusut setelah di pakai seharian. Begitu banyak kecurigaan yang muncul dalam benak Wina.

Wina mengambil ponselnya. Ia ingin bertanya pada ibu mertuanya.

"Halo, Sayang, tumben telepon Mami siang-siang?"

"Mi, Wina ingin bertanya. Tolong mami jawab yang sejujurnya."

"Kenapa, Sayang? Kok keliatan serius?" 

"Apa benar, Bang Al sudah menikah dengan perempuan lain selama tiga tahun?"

Lama tak ada jawaban. Hingga kata yang meluncur berikutnya, mampu menghancurkan hati Wina.

"Ya. Itu benar. Darimana kamu tahu itu?" 

Wina tak lagi bisa menahan air matanya. Cairan bening itu lolos dari kedua mata indahnya.

"Apa alasannya?" terdengar sangat lirih.

"Perempuan itu tidak bisa melahirkan keturunan untuk Al. Mami sudah meminta Al menceraikannya sebelum kalian menikah. Tapi Al begitu keras kepala ingin mempertahankannya."

Terjawab sudah alasan Al menikahinya. Anak. Hati Wina semakin hancur ketika mendengar alasan klise dari keluarga kalangan atas mengenai pandangan mereka tentang pernikahan.

Hingga mereka rela menumbalkan perempuan lain demi ego mereka. Mereka tak mau ambil pusing dengan perasaan wanita yang ditinggalkan ataupun yang dimadu. Kali ini, hati Wina berbalik iba pada wanita yang menjadi istri pertama Al.

Ponselnya kembali berbunyi saat Wina tengah memijat pangkal hidungnya. "Citra." suara Wina terdengar bergetar.

"Win, kamu kenapa?"

Wina tak menjawab. Ia menangis sesenggukan. Citra berusaha menenangkannya.

"Kamu baik-baik saja. Aku ingin mengajakmu bertemu. Itupun, jika kau mau."

"Besok saja ya. Aku sedang tidak enak badan hari ini," tolak Wina.

"Oh, oke."

Tak lama, taksi berhenti di depan rumah yang ditempatinya bersama Al. Ia menatap nanar bangunan di hadapannya itu.

Kakinya terasa berat untuk melangkah masuk. Wina memaksa kakinya untuk masuk ke dalam. Baru saja ia akan membuka pintu, tubuhnya jatuh tak berdaya. Seakan tak bertenaga sedikitpun.

Wina berusaha berdiri. Meraih gagang pintu untuk membantunya menopang berat tubuhnya. Ia berhasil berdiri. Kemudian, Wina menyeret langkahnya. Jejak air mata masih terlihat di pipinya.

Wina berhasil masuk ke kamar. Ia langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Tercium aroma Al di sana. Kembali Wina menepuk dadanya. Berusaha meredakan rasa sesak yang menghimpitnya. Kali ini, ia membiarkan dirinya meluapkan emosi melalui tangisan.

Tangisannya terdengar begitu pilu. Ia meraung-raung menyesali pernikahannya. Salahnya yang tak peka pada sikap Al setelah mereka tinggal di rumah itu.

Wina tidak tahu, apakah sikap Al sama dengan ibunya? Hanya menginginkan anak darinya? Logika Wina mulai berpikir. Jika memang Al hanya menginginkan anak darinya, bukankah ketika ia melahirkan nanti akan dibuang? Lalu, Al akan kembali pada istri pertamanya.

Wina semakin menangis kala pikirannya me-reka-kan adegan yang bahkan belum terjadi. Lantas, bagaimana dengan mertuanya? Entahlah, Wina tak bisa menebak sikap mertuanya kini. Apakah selama ini mertuanya itu tulus atau tidak padanya?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!