NovelToon NovelToon

Perjuangan Cinta Nona Ruth

Chapter 1. Mimpi Buruk

"Ayah, Ibu jangan pergi!" teriak gadis cantik yang terlihat tengah berlari mengejar dua orang yang masing-masing menggandeng dua anak laki-laki ke arah ujung tebing laut.

Langkah demi langkah terus mereka tempuh tanpa mau berhenti untuk sejenak mendengarkan teriakan sang anak.

Entah apa sebab, tak ada kata perpisahan sekalipun. Yang jelas mereka akan benar-benar pergi meninggalkan anak cantik yang selama ini begitu mereka sayangi.

Begitupun dengan sosok gadis yang terus menangis, lelah, sakit di dada tak lagi ia hiraukan.

Mengapa ia di tinggalkan? tak lagi terbesit di benak. Yang terpenting adalah mencegah kepergian keluarganya saat ini.

Byurrr!!!

Suara hempasan air laut di bawah kala bertemu dengan empat tubuh sangat jelas terlihat di kedua netra gadis cantik itu.

Pejamkan mata, hanya satu itu yang mampu ia lakukan saat itu. Apakah semua karena salahnya?

Ada apa ini? Dimana hati Ayah dan Ibunya sampai setega itu?

Ruth berlutut meratapi air laut yang kian semakin tenang.

Bibirnya bergetar menahan tangis yang ingin pecah. Anak mana yang tidak sakit melihat kepergian keluarganya di depan mata tanpa tahu sebabnya?

"Ayah, Ibu..." lirihnya perlahan menunduk memeluk tubuhnya sendiri.

Siapa lagi yang memeluknya saat ini? jika bukan dirinya sendiri?

"Tolong Ayah dan Ibu." lirih dua orang paruh baya yang menampakkan wajah penuh darah segar di depannya tiba-tiba.

Mendengar suara yang sangat familiar, Ruth pun mendadak menengadah sembari mengusap kasar air matanya.

Dua wajah yang memaksa pergi tanpa alasan, akhirnya kembali berdiri di hadapannya.

"Tidak, Ayah...Ibu. Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku sendiri, Bu." ucap Ruth sembari menitihkan air mata.

Cucuran darah pun semakin deras terlihat, Ruth begitu ketakutan hingga terdengar teriakan histeris. "Tidaaaaakk!!"

Kicauan burung terdengar samar-samar di salah satu rumah megah pagi itu. Mentari yang belum menunjukkan sinarnya menandakan waktu masih belum pagi.

Satu tarikan selimut menyaksikan betapa gelisahnya sosok tubuh gadis yang berada dalam balutannya.

Wajah yang tampak takut, dengan alis yang berkerut terus bergerak ke kiri dan ke kanan tanpa aturan. Bulir bening pun lolos begitu saja di kedua sudut mata yang masih tertutup itu. Hanya suara lirih yang terdengar.

Suara pintu mendadak terdengar nyaring terhempas. Wanita berparas keriput berlarian mendekat pada ranjang milik sang majikan.

"Non...bangun,"

"Mbok Nan," tangisnya histeris kala memeluk tubuh tua di hadapannya saat ini.

Air mata yang sudah separuh jalan itu terus berjatuhan hingga ia pun sadar akan mimpi buruk yang selalu menghampiri pagi mendungnya.

"Non, ada apa? mimpi buruk lagi?" tanyanya sembari membalas pelukannya.

Tanpa ada jawaban, Ruth hanya mampu mengangguk.

"Mbok Nan,"

Perlahan, Mbok Nan meregangkan pelukannya dan menatap wajah ayu sang majikan yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.

"Iya Non... ada apa?"

"Sebenarnya apa yang terjadi, Mbok? Saya benar-benar tidak mengerti. Mengapa hampir setiap hari saya bermimpi seperti itu, Mbok?" tangisnya tersedu-sedu. "Ruth capek, Mbok." ucapnya kemudian.

"Sudah, Non Ruth. Sebaiknya kita pergi sholat subuh yah. Mungkin itu karena pikiran Non Ruth saja. Mbok juga minta maaf, Non. Mbok tidak bisa bantu apapun."

Pandangan tanpa suara pun mampu menjelaskan pikiran keduanya saat ini.

"Mbok jangan minta maaf. Ini semua bukan salah Mbok. Ruth yakin, suatu saat nanti akan ada jawaban. Ayo Mbok, kita sholat." ajak Ruth kemudian berusaha kembali tersenyum sembari mengusap air matanya.

Dalam setiap gerakan sholat, Ruth tampak membaca semua bacaan sholat dengan khusyuk. Tetesan demi tetesan terus berjatuhan pada hamparan sejadah indah berukir bangunan persegi tersebut.

Beberapa saat, aktifitas sholat pun usai. Kini dua tangan lentik terlihat nyata tengah meminta permohonan pada sang kuasa.

"Ya Allah...betapa egoiskah diri hamba? sampai saat ini masih belum bisa mengikhlaskan kepergian kedua orangtua hamba dengan dua saudara hamba? ampuni hamba Tuhan...Entah apa yang salah? mengapa sampai saat ini mimpi buruk itu selalu datang? seolah meminta pertolongan dari hamba? Ya Allah Ya Tuhan...tolong berikan jalan terbaik menurutmu. Karena hamba yakin, yang terbaik menurut hamba, belum tentu baik menurut Mu Tuhan."

Setelah tiga puluh menit kemudian, kini Ruth tampak sarapan dengan wajah yang tidak bersemangat.

Sekalipun setiap pagi Mbok Nan selalu memasak makanan yang lezat serta gizi yang baik tentunya. Namun, tak pernah sekalipun napsu makan gadis itu bisa berubah.

"Ayo, Non." Gandengan tangan lembut mampu mengembalikan kesadaran Ruth yang tengah menatap kosong menu sarapan di hadapannya.

"I-iya, Mbok. Ayo kita pergi ke makam Ayah dan lainnya." ucapnya tanpa semangat.

Setelah kunjungan singkat menuju makam keluarga, kini kembali memisahkan Ruth bersama Mbok Nan di pintu kedatangan makam tersebut.

Yah...duka yang sangat dalam memang. Ayah, Ibu, dan dua saudara laki-lakinya pergi bersamaan saat itu. Ruth benarlah gadis yang sangat kuat. Meski tubuhnya mungkin sangat ingin remuk karena sakitnya cobaan yang Tuhan berikan.

***

Sentuhan high heels dengan marmer mewah sebuah kantor dengan bangunan yang menjulang tinggi. Densal Company, perusahaan yang menjadi tempat Ruth mencari sesuap nasi.

Dan jangan lupakan, pria yang menjadi atasan Ruth, pria tampan, baik hati, dan penyayang tentunya. Sendi Sandoyo.

Pagi itu, tak perduli dengan lemasnya tubuh sang kekasih. Ia bukan pria yang baru mengenal sekertaris sekaligus cinta sejatinya tersebut.

Setiap pagi, senyuman hangat seorang Sendi selalu di sambut dengan tatapan pilu sang kekasih.

"Mengapa sepi sekali?" gumam Ruth menatap sekeliling sembari mengerutkan keningnya. Kantor yang biasanya selalu tepat waktu dalam jam kerja, mendadak sepi sekali.

Ia kembali merogoh ponsel dalam tas kerjanya. "Tidak, ini bukan hari libur. Jam juga sudah waktunya bekerja." batinnya benar-benar bingung.

"Suara tepukan tangan begitu terdengar meriah pagi itu"

Banyaknya pekerja kantor menggiring langkah sang pimpinan yang membawakan satu buket uang berwarna merah dengan ukuran jumbo"

Sendi Sandoyo. Dialah pria yang lagi dan lagi membuat semua karyawan di kantornya begitu iri melihat keromantisan sang pimpinan perusahaan Densal Company berlutut di hadapan sang sekertaris.

"Sen- em Tuan?" ucap Ruth membungkam mulutnya kala hampir salah bicara.

Sendi tak menghiraukan kegugupan, malu, dan bingung sang kekasih. "Happy anniversary, Honey. I Love you" ucapnya menyodorkan buket uang pada Ruth.

Kembali suara tepuk tangan terus terdengar hingga Ruth tak mampu lagi menahan tangis bahagianya.

"Sendi, terimakasih sayang. Terimakasih." ucapnya sembari memeluk sang kekasih.

"Jangan berterimakasih, Ruth. Kamu kekasihku yang akan menjadi masa depanku kelak. Aku yang meminta maaf. Sampai saat ini aku belum mampu menjadi sandaran mu di setiap pagi saat mimpi buruk itu datang."

Pelukan hangat benar-benar terasa di tubuh gadis cantik itu.

"Sendi, lepaskan pelukan itu!" teriakan seorang pria dengan suara beratnya mampu membuat hening satu ruangan di gedung itu.

Jangan lupa untuk tinggalkan like dan komentar kalian yah. Terimakasih

Chapter 2. Memfitnah

Suasana romantis lenyap seketika. Semua pekerja di kantor tampak menunduk dengan gugup. Pasalnya mereka tahu, siapa orang yang baru saja bersuara lantang.

Di keheningan pagi itu, hanya alunan suara sepatu pantofel mewah yang terdengar. Tuan Deni Salim Perdana, ialah pemilik yang sebenarnya perusahaan yang bernama Densal Company.

Tatapan mata dengan kebiruan itu jelas terlihat menusuk netra indah milik Ruth.

"Ayah," ucap Sendi yang ingin menghentikan langkah kaki sang Ayah.

Namun, sayang. Gerakan bibirnya seketika terhenti kala menyadari tatapan penuh kemarahan dari sang Ayah.

Ruth, Sendi, dan seluruh yang ada di ruangan tersebut begitu kaget. Jelas terasa sentuhan hangat mendarat di punggung wanita berusia 21 tahun itu.

Ruth sangat tak menyangka, bahkan sedari tadi ia memejamkan matanya takut-takut akan mendapatkan kekerasan dari pria yang terkenal sangat dingin. "Sudah berapa kali Ayah katakan? tidak baik mencampurkan urusan pribadi dengan kantor, Sendi? Ayo kita bawa Ruth ke ruang kerja Ayah." ajaknya tak lupa menebarkan senyuman yang begitu ambigu bagi seorang Sendi Sandoyo.

Senyuman ganjil, tatapan mata yang penuh kobaran api, dan getaran bibir yang tengah menahan amarah, membuat Sendi semakin takut.

"Ayah, sebentar lagi-"

"Mari kita bicarakan semuanya dengan santai. Kalian sudah cukup lama bukan bersama?" ucap Tuan Deni memotong pembicaraan sang anak.

Mata biru itu kembali menatap seluruh pekerja yang baru saja menjadi saksi betapa cintanya sang anak pada wanita di hadapannya saat ini.

"Kalian semua mulailah bekerja." pintanya kemudian melangkah menuju ruang dimana tempat ia bekerja meski tak lagi menjadi pemilik perusahaan karena tergantikan oleh sang anak.

"Ayo," ajak Sendi sembari menggenggam tangan sang kekasih mengikuti jejak langkah sang Ayah.

Di ruangan yang cukup luas dan mewah, kini kedua wajah yang sepantaran usia tertunduk di sofa. Siapa yang berani menatap mata berwarna biru penuh kobaran api tersebut?

"Tu-tuan..."

"Ayah, apa-apaan ini?"

Sendi dan Ruth serentak bersuara menyerang Tuan Deni yang sudah mencengkeram kuat rahang kekasih dari anaknya.

"Harus dengan cara apa saya memberitahu mu untuk menjauhinya? hah!" Begitu kerasnya cengkraman tangan itu, hingga Sendi sendiri pun tak mampu melepaskan dari rahang Ruth.

"Ayah, tolong beri Sendi kesempatan. Sendi sangat mencintai Ruth, Ayah."

Plak!

Satu tamparan mendarat di wajah pria tampan itu. Sementara tangan satu masih tetap pada posisi awal.

"Tu-tuan, apa salah saya? saya sangat tulus mencintai Sendi?" tangis Ruth pun pecah saat mengetahui begitu tidak terimanya Tuan Deni pada hubungan mereka selama ini.

Apa penyebabnya? apa karena jabatannya yang sebagai sekertaris begitu rendah di pandang oleh Tuan besar itu?

"Saya tidak pernah mengijinkan anak saya berpacaran dengan seorang janda! apalagi kamu janda tidak jelas!"

Deg!

Kata-kata yang benar-benar menyayat hati seorang gadis. Ruth terdiam mendengar penghinaan itu. Pasalnya ia tidak seperti itu. Apa maksud dari hinaan itu sebenarnya?

"Ayah, Ruth bukan janda! Aku bisa jelaskan Ayah!" bantahan Sendi begitu tegas terdengar.

"Maaf, Tuan. Jika permasalahan ada di situ. Saya bisa menjelaskan semuanya."

"Tidak! Saya tidak butuh penjelasan." hardik Tuan Deni dengan lantang. Kemudian ia kembali menatap sang anak dan berkata, "Sendi, selama ini kau mungkin terlalu bodoh. Tapi tidak dengan Ayah. Wanita ini sudah memiliki anak. Dan Ayah sangat tahu jelas asal-usulnya."

Mendengar penuturan Tua Deni, Ruth begitu bingung. Apa yang di maksud dengan tahu jelas asal-usulnya?

Sendi yang awalnya sangat membela sang kekasih mendadak timbul jiwa penasarannya. Benarkah apa yang di katakan Ayahnya barusan?

"Anak itu adalah anak dari hasil hubungannya dengan pria yang tidak jelas. Ayah punya buktinya. Ini...dan semua sudah Ayah buktikan. Golongan darah mereka pun sama."

Kebahagiaan yang barusan Ruth dapat mendadak lenyap rasanya. Ikut jatuh harapan yang besar selama ini bersama dengan air mata kekecewaan.

Mungkin saat ini Sendi belum mengatakan apapun, tapi jelas terlihat dari tatapan penuh keraguan pada sang kekasih. Itu saja sudah cukup membuat luka yang begitu dalam bagi seorang Ruth.

Tak lagi mampu berkata, entah bukti apa yang Tuan Deni perlihatkan pada sang anak, yang jelas Ruth hanya mampu menggelengkan kepalanya.

"Tidak, Sendi. Tidak. Aku yakin kamu mengenaliku lebih dalam daripada siapapun di dunia ini, Sayang." batin Ruth menjerit.

"Ruth," ucap Sendi menahan amarah.

"Jangan katakan apapun padaku. Cukup tatapan mu saja yang membuat ku luka, Sendi." bantah Ruth enggan mendengar cacian atau apapun itu keluar dari mulut sang kekasih.

"Itu alasanmu tidak mau meninggalkan Putri, Ruth? Dia bukan anak angkat, tapi dia ANAK KANDUNGMU!" Air mata jatuh, tubuh Sendi ikut bergetar saat melantangkan suara penuh amarahnya pada Ruth.

Jelas marah. Sendi melihat dengan jelas bukti saat Ruth berfoto dengan perut buncit dan beberapa foto mesra lainnya tampak menceritakan kehidupan masalalu sang kekasih dengan pria lain.

"Tidak, aku tidak tahu apa-apa, Sendi. Dia berbohong!" sangkal Ruth sembari menangis pilu. Entah apa yang membuat Sendi semarah dan sepercaya itu pada sang Ayah.

Sendi segera meraih ponsel Tuan Deni dan memperlihatkan beberapa foto yang sangat jelas. "Apa kau masih mau berbohong dan tidak mengakui Putri? Selama ini aku sudah salah menilai. Kamu benar-benar perempuan tidak punya hati. Dimana perasaan mu sebagai seorang ibu, Ruth? Dimana!"

"Itu sebab selama ini aku meminta mu untuk menaruh Putri di panti, kau selalu menolak. Apa kau tahu? Ayah tidak menerima status mu sebagai wanita yang memiliki anak jika ingin menikah denganku?"

"Tidak, Sendi. Ini semua tidak benar." Ruth menangis berlari keluar dari ruangan tersebut.

Dua insan yang saling mencintai kini sama-sama merasakan sakit yang luar biasa. Sementara senyuman yang penuh kepuasan terlukis jelas di wajah Tuan Deni.

"Anak kecil itu ternyata membuat semuanya menjadi mudah." batin Tuan Deni kini melangkah mendekati kursi singgasananya.

Sementara Sendi hanya menatap nanar sang Ayah. Tak ada lagi perlawanan darinya. Perlahan langkah demi langkah mengantar Sendi ke ruangannya.

Tidak, bagaimana ia bisa melangkah ke ruangannya. Di sana Ruth tentu berada. Akhirnya ia memutar haluan menuju lift untuk keluar kantor.

Sakit rasanya hati. Cinta yang begitu tulus dan besar, kini menjadi hancur berkeping-keping.

Meski mata sembab, namun sebagai pekerja profesional. Ruth harus tetap bekerja di kantor.

Pantulan layar monitor terus memperlihatkan tetesan air mata di wajah ayu Ruth.

"Tuhan, salahku dimana? aku sangat mencintai Sendi. Apa yang harus ku lakukan saat ini, Tuhan?"

"Apa salah jika Putri bersama ku, Tuhan? bahkan aku ikhlas menganggap Putri sebagai anakku sendiri, Tuhan?"

Ruth yang kini menangis sembari terus fokus bekerja mendadak terkejut kala mendengar suara seseorang yang sangat ia hapal siapa pemiliknya.

"Aku memberimu kesempatan!"

Ruth menoleh ke sumber suara,

Chapter 3. Kesempatan Membawa Luka

Air mata yang terus berjatuhan dengan lancang, mendadak terhenti di perjalanan turun ke jurang.

Betapa bahagianya hati Ruth, kala melihat pria yang ia tangisi baru saja kini sudah kembali menghampirinya.

Jangan bahagia dulu Ruth, bukankah barusan ia berucap tiga kata, "Aku memberimu kesempatan" kala menyadari kata yang di ucapkan, wajah Ruth menegang saat itu juga.

"Sendi, syarat apa?" tanyanya dengan senyuman yang sudah mengembang. Begitupun dengan jemari lentik miliknya bergerak mengusap air mata.

Satu langkah, dua langkah, pria tampan di hadapannya mendekat dan mendekap tubuhnya penuh cinta.

"Aku sangat mencintai mu, Ruth." ucapnya mendaratkan satu tanda sayang di puncak kepala sang kekasih.

"Aku juga sangat mencintai mu, Sen. Maka itu aku yakin kau pasti tidak percaya dengan ucapan Tuan Deni, bukan? kau satu-satunya orang yang begitu paham siapa diriku. Bahkan hari ini adalah hari bahagia kita, masa iya aku menjadi sedih?" ucapnya mengeluh panjang lebar.

Usapan demi usapan terus di berikan oleh Sendi pada tubuh maupun kepala Ruth. "Maka dari itu, Ruth. Aku memintamu untuk menaruh Putri di panti saja. Dengan begitu-"

Pelukan hangat yang baru saja terjalin langsung merenggang saat itu juga. Ruth adalah pihak pelaku saat ini. Kepalanya menggeleng tak percaya. "Sendi, aku tidak bisa memilih diantara kalian. Tolong jangan memaksakan aku menjadi orang jahat. Putri sudah seperti nyawaku saat ini. Dan begitu juga dengan mu."

Sakit yang sempat sembuh beberapa menit, kini kembali terasa menyayat hati.

Sendi memijat keningnya, sudah cukup rasanya ia berjuang menerima status kekasihnya sebagai janda yang tidak jelas statusnya. Kali ini ia harus kembali berjuang pada orang tuanya demi wanita yang begitu ia cintai.

"Ruth, sudah cukup aku memaafkan dan memberikan mu kesempatan. Bagaimana Ayahku akan menerima mu jika kau masih terus membawa anak itu? soal status mu yang tidak jelas, aku bisa mengurus semuanya."

Plak!!!

Lagi dan lagi, pagi itu Sendi mendapatkan buah tangan di wajahnya.

"Dimana hatimu berbicara seperti itu?" tanyanya dengan tubuh yang sudah bergemetar hebat.

Sendi hanya tertunduk. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia jelas merasakan cinta yang begitu besar. Kejujuran dan harapan yang sangat besar di dalam diri Ruth. Wanita yang selama ini selalu menjadi bunga indah hari-harinya.

Tapi bukti sudah jelas menuju ke arah Ruth. Tak bisa di sangkal, pria itu sangat mirip dengan wajah Putri Anyelir. Bocah berusia lima tahun yang sudah dari entah sejak kapan di rawat oleh kekasihnya sendiri.

Bahkan jauh sebelum mereka saling mengenal.

Suasana hening setelah adu mulut dan tangan. Ruth merasa marah, namun di sisi lain ia juga banyak mempertimbangkan sesuatu hal.

Wajahnya menunduk tanpa suara. "Bagaimana mungkin aku meninggalkan Putri sendiri? Bagaimana mungkin aku berpisah dengan Sendi? Aku sangat mencintainya. Hanya dia dan Mbok Nan yang begitu perduli padaku. Tapi...Tuan Deni tidak mungkin bisa menerima ku jika aku membawa anak."

"Ruth, kita pergi keluar? mungkin kita butuh suasana segar untuk mencari jalan keluar?" ajak Sendi dengan suara yang sudah merendah.

"Pergilah! Biar aku menenangkan diriku sendiri." sahutnya tanpa mau menatap wajah Sendi yang teduh.

"Kemari," Pelukan dan aroma khas yang sangat menenangkan kembali mendamaikan hati wanita itu.

Merasa tak ada perlawanan, Sendi pun mengeratkan pelukannya dan menuntun sang kekasih menuju lift kemudian keluar gedung dan masuk ke dalam mobil.

Setelah mobil melesat memecah padatnya kendaraan, kini hanya genggaman hangat yang terus seakan mengalir dari hati ke hati.

Sesekali Sendi melirik mata indah milik Ruth. Masih hening.

Setengah jam perjalanan, akhirnya mobil berhenti di hamparan pasir putih nan padat. Satu tangan terulur meraih lengan yang berhias jari-jari lentik itu.

"Aku tidak bisa meninggalkan Putri, Sendi. Tolong jangan berikan aku pilihan sulit." ucapnya kemudian terdengar lirih.

Sendi masih bungkam. Ia terus dan terus memberikan rasa ternyaman yang mampu ia salurkan melalui pelukannya. Pertemuan dua bibir pun tak lagi mampu tercegah.

Memang Sendi sangat paham menenangkan hati sang kekasih.

Sesapan begitu dalam di akhir permainan pun menyisahkan rona wajah di keduanya.

"Pasti ada jalan keluar. Kau tidak maukah menikah denganku? Ruth, aku akan mengutamakan mu. Untuk saat ini kita hanya butuh restu dari Ayah. Hanya soal Putri, apakah kau mau mengorbankan hubungan kita?"

Ia membelai kedua pipi sang kekasih. Ruth membungkam. Bibirnya terasa keluh, hanya air mata yang tak henti-hentinya berjatuhan saat ini.

"Apa hanya saat membutuhkan restu Ayahmu, aku berjauhan dengan Putri? atau..."

Sendi tersenyum. "Putri harus tetap tinggal di rumah mu bersama Mbok Nan. Dan kau bisa bertemu dengan kapanpun kau mau. Yang terpenting kita bisa menikah dulu. Bagaimana?"

Pertanyaan dan penawaran yang setidaknya jauh lebih ringan bagi Ruth saat ini. Mungkin ini adalah jalan hidupnya.

"Putri, maafkan mamah sayang. Mamah mengorbankan mu demi cinta Mamah. Tapi kamu harus tahu. Kalian sama-sama cinta Mamah. Untuk saat ini saja, Mamah mohon biarkan Mamah egois demi mendapatkan cinta Mamah, Putri." batin Ruth yang menjerit kala membayangkan senyuman bocah kecil yang tiba-tiba berubah menjadi tangis histeris berpisah darinya.

Setelah beberapa saat, keduanya pun sepakat untuk kembali menjalani hubungan mereka lebih serius.

Usai sarapan dan saling menenangkan, kini Sendi membawa Ruth kembali ke kantor. Hari ini ia sudah bersikap sangat tidak bijaksana.

Membawa karyawan pergi keluar di jam kerja.

Satu hari kegiatan kantor, akhirnya usai. Ruth pulang seperti biasa dengan mobil pribadinya. Begitupun dengan Sendi yang pulang beriringan dengan sang Ayah.

***

"Mamah..." teriak bocah kecil dengan suara khas cemprengnya.

Wajah yang tadinya lelah, kini menjadi berlipat-lipat lelah. Ruth tak bisa membayangkan jika hari-harinya kedepannya ia kehilangan pelukan ceria dan suara yang sangat ia sukai ini.

"Sini sayang...uh Putri sudah mandi yah?" Ruth memeluk dengan sangat erat. Menghujani ciuman bertubi-tubi.

"Mamah kok cedih? Ayo Putli ulut. Mamah pasti capek yah?" tanyanya beruntun kala menyadari ekspresi wajah Ruth yang tidak seperti biasanya.

Ruth tersenyum paksa dan menggeleng. "Mamah nggak sedih sayang. Mamah cuma kangen banget sama Putri. Yuk temani Mamah baring sebentar di kamar sebelum mandi." ajaknya menggendong tubuh gembul sang anak.

"Non Ruth, Mbok sudah siapkan air hangat. Oh iya, makanan juga sudah siap. Sini Putri biar Mbok ajak main."

Mbok Nan sangat paham dengan wajah Ruth. Jika sudah begitu manja dengan Putri, pasti ia sedang mengalami banyak pikiran.

Ruth tersenyum lembut. "Iya terimakasih yah Mbok Nan. Putri biar sama saya dulu Mbok. Saya lagi kangen banget."

Hari sudah sore, langit pun tak malu menampakkan pesona indahnya yang berwarna kemerahan.

Entah dari mana mulanya, kini Ruth mendadak memeluk Putri den menenggelamkan wajahnya di pelukan tubuh mungil tersebut.

Putri membalas pelukan sang Mamah. "Mamah."

"Putri, diam sebentar saja yah? Mamah lagi kangen banget sama kakek dan nenek." tangis Ruth pun tersedu-sedu kala ia berbohong dan tidak bisa melampiaskan isi hatinya saat ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!