Amira Wardana gadis berhijab mempunyai paras cantik nan ayu. Putri yang lahir dari pasangan Hadi Saputra dan Widya Utami. Sekarang Amira sudah menyelesaikan studynya. Karena kuliahnya sudah selesai, saatnya memberitahu Amira kalau sudah ada jodoh untuknya.
Kedua orang tua Amira hendak menjodohkannya dengan seorang lelaki yang bernama Robi Gilwang. Anak dari sahabat lamanya yang baru ditemuinya beberapa hari yang lalu, yaitu Pak Hendro Wijaya dan istrinya bernama Irma Suryani.
Mereka dulu sahabat kental, saat merajut asa. Mereka tetap ingin persahabatannya tetap terjalin sampai tua. Kalau bisa menjadi satu keluarga. Mereka pun berinisiatif kalau mempunyai anak untuk saling dijodohkan.
Kebetulan sekali, anak pertama Hendro laki-laki, dan anak pertama Hadi perempuan. Jadi, sangat cocok untuk saling dijodohkan.
Dalam pertemuannya kemarin, mereka sudah sepakat menjodohkan putra-putri mereka yang sudah diincar sejak kecil. Yakni Gilwang akan dijodohkan dengan Amira. Mereka merahasiakan perjodohan yang diatur sejak lama, tak pernah memberitahu mereka kalau sudah dijodohkan sejak kecil.
Bahkan mereka sudah dewasa tidak saling dikenalkan, walau mereka anak dari sahabat yang terjalin hubungannya sampai sekarang ini. Mereka hanya mengenal waktu kecil saja. Entah sekarang mereka berdua ingat atau tidak masa kecil mereka.
Amira gadis yang payah tak mempunyai riwayat percintaan dengan siapa pun. Amira gadis yang susah jatuh cinta, meski banyak pria yang mengagumi kecantikannya yang berharap menjadi kekasihnya. Bahkan Amira sering menolak pria yang menyatakan cinta padanya.
Di kampus tempat belajarnya, dia hanya menerima satu teman cowok namanya Dika Mahesa, yang memang ingin dianggap sebagai teman saja nggak lebih, tuturnya pada Amira. Namun di lubuk hatinya yang paling dalam ada cinta yang hanya bisa ia tunjukkan sebagai seorang teman yang baik hati.
Dan hari ini Amira dikejutkan dengan pernyataan orang tuanya, kalau jodohnya sudah datang.
"Sudah ada jodoh untuk kamu Amira," ucap Hadi sembari duduk santai di ruang keluarga, di hari libur kerjanya bersama istrinya, Amira dan juga adik perempuan Amira yang bernama Elsa Rahayu.
Ucapan ayahnya sangat mengejutkan Amira, hingga Amira terpaku, sedikit tak percaya dengan ucapan ayahnya.
"Jodoh untukku?" ucap Amira masih bingung.
"Iya Amira, jodoh kamu sudah ada. Sekarang sudah waktunya kamu tau, kalau kamu sudah mempunyai jodoh sejak kecil," tukas Widya ibu Amira.
"Hah!! Jodohku sudah ada sejak kecil. Bagaimana bisa bu? Kenapa ibu nggak pernah memberitahuku. Aku nggak mau. Aku belum siap menikah sekarang," tegas Amira.
"Kakak kan sudah gede, sudah pantes nikah. Kenapa merasa belum siap?" ucap Elsa yang sekarang masih duduk di bangku SMA kelas tiga.
"Kamu sudah dewasa Amira, sudah saatnya kamu menikah. Kami sudah sepakat menjodohkanmu dengan anak sahabat ayah. Kamu tidak bisa menolaknya, karena ini sudah ditentukan sejak kecil," tegas Hadi.
"Kenapa nggak bisa menolak Ayah, kalau aku nggak suka sama orangnya gimana? Aku ini orang yang susah jatuh cinta. Ayah sendiri tau, aku tidak pernah punya pacar."
"Ih..., nggak pernah punya pacar kasihan deh," sahut Elsa.
"Bagus kamu nggak pernah punya pacar. Mungkin karena kamu sudah punya jodoh sejak kecil. Jadi kamu nggak di takdirkan punya pacar," ucap Hadi.
"Itu sebabnya, selama ini ibu nggak pernah nuntut kamu untuk mempunyai seorang kekasih, karena ibu tau kamu sudah punya jodoh sedari kecil."
"Ayah bangga sama kamu, tanpa ayah beri tahu kalau kamu sudah punya jodoh sejak kecil. Kamu bisa menjaga cintamu tidak untuk orang lain. Ayah yakin cintamu pasti hanya untuk calon suamimu nanti."
"Ayah! Kenapa ngeledek gitu. Aku sedih mendengar perjodohan ini." Amira merasa sedih dan nggak terima tiba-tiba di jodohkan.
"Sudahlah kak, nggak usah sedih gitu. Belum punya pacar juga, di jodohin terima aja. Siapa tau orangnya cakep kayak artis korea favoritku."
"Ih.., kamu? Kalau kayak artis favoritmu, kamu aja yang di jodohin sama dia."
"Aku kan masih sekolah."
***
Di rumah Hendro.
Tidak seperti keluarga Amira yang sering berkumpul keluarga. Nampak Hendro dan istrinya tengah menunggu kepulangan putra pertamanya yaitu Gilwang. Selain Gilwang ada adik laki-lakinya juga yang bernama Alvin yang sekarang juga nggak lagi di rumah. Sama dengan Elsa, Alvin masih duduk di bangku sekolah menengah yang juga kelas tiga.
Dihari libur kerjanya, Gilwang saat ini sedang berjalan-jalan dengan kekasihnya yang bernama Anita yang sampai sekarang belum pulang. Anita wanita yang sangat dicintai oleh Gilwang sejak masa kuliahnya. Anita adalah teman se kampusnya dulu.
Sudah lama Gilwang memendam rasa cinta pada Anita, namun baru beberapa bulan ini hubungan cinta mereka terjalin. Anita gadis yang populer saat di kampusnya. Banyak cowok yang naksir dan mendekatinya waktu itu.
Anita mengabaikan cinta tulus Gilwang. Sekarang dia baru tersadar kalau dia membutuhkan orang seperti Gilwang yang sudah mapan dan mencintainya. Dia hanya ingin memanfaatkan ketulusan cinta Gilwang.
Karena sekarang Gilwang sudah mapan, mempunyai pekerjaan mengelola perusahaan Ayahnya. Dirasa saatnya sudah cukup untuk melepas masa lajangnya yang memang sudah menemukan tambatan hatinya. Gilwang ingin menikah dengan Anita sang kekasih hatinya.
Hari ini adalah hari yang sepesial untuk Gilwang. Dia melamar Anita tepat dihari ini disebuah kafe yang sudah dibokingnya. Gilwang benar-benar sudah mantap ingin mengajak Anita menikah. Begitu pun juga dengan Anita yang sangat mengharapkan cepat dinikahi sama Gilwang.
Anita ingin cepat menjadi istri dari putra Hendro Wijaya yang kelak akan memegang aset perusahaan Ayahnya. Itu sangat menguntungkan baginya karena keadaan ekonomi keluarganya saat ini tengah terpuruk.
Kedua orang tua Gilwang tidak pernah tahu tentang hubungan asmaranya. Orang tuanya mengira Gilwang belum mempunyai seorang kekasih. Jadi sangat tepat untuk memberitahu pada Gilwang saat ini kalau sudah ada jodoh untuknya.
Namun sudah sore Gilwang yang di tunggu belum menampakkan hidungnya di rumah. Hendro dan Irma sudah tak sabar ingin mengatakan hal yang sudah disepakati kedua belah pihak, dan yang sudah lama mereka rahasiakan.
Sekarang sudah jam tujuh malam. Keluarga Hendro saatnya makan malam. Sudah nampak Hendro, istrinya dan juga anak laki-lakinya yang kedua duduk di ruang makan. Mereka akan makan bersama.
"Kemana ya perginya Gilwang, sampek jam segini belum pulang. Dihubungin juga nggak bisa. Nggak biasanya dia seperti ini sampek dihubungin nggak bisa," keluh Irma ibunya Gilwang.
"Kenapa ibu khawatir banget sama kak Gilwang?" tanya Alvin.
"Ada sesuatu yang pingin ibu katakan sama kakak kamu," jawab Irma.
"Kamu nggak tau kemana kakakmu pergi Vin?" Tanya Hendro.
"Nggak tau yah, emang tadi nggak pamit perginya sama ayah, sama ibu?"
"Enggak," jawab Hendro dan Irma bersamaan sembari menggelengkan kepala.
"Ya udah kalau sama-sama nggak tau. Nggak usah di tungguin dan khawatir. Ntar juga pulang kan ini rumahnya," cetus Alvin.
Baru juga diomongin, terdengar ucapan salam dari pintu depan.
"Assalamualaikum...," ucap Gilwang mulai masuk ke dalam rumah.
"Waalaikum salam...," jawab Irma dan Hendro bersamaan lagi.
"Nah, itu kakak sudah pulang. Baru juga diomongin," ucap Alvin.
Gilwang berjalan gontai masuk rumahnya dan langsung menuju ruang makan. Gilwang tau, jam segini biasanya semua penghuni rumah ini ada di ruang makan. Termasuk juga para Bibi ada di ruang makan menyiapkan sajiannya.
"Eh, anak ganteng ibu sudah datang. Ayo duduk sini, kamu belum makan kan?" ucap Irma sembari tangannya menepuk kursi disampingnya.
Irma merasa senang melihat putra pertamanya yang tampan berkulit putih mirip artis korea itu.
"Kelihatan ceria banget kakak, habis dapet apa?" tanya Alvin.
Gilwang tersipu-sipu, sembari mulai duduk di kursi makan dekat ibunya. Gilwang memang nampak ceria, wajahnya merah merona. Suasana hati Gilwang sangat bahagia saat ini, karena habis melamar kekasihnya.
"Ada apa Gilwang? kelihatannya kamu sangat bahagia hari ini," tanya Irma yang penasaran.
"Karena ada sesuatu yang membuatku bahagia bu."
"Sesuatu apa? Kasih tau ibu dan juga ayahmu."
"Nggak ah, aku belum siap."
Sebenarnya ingin sekali Gilwang mengatakan kalau dia sudah melamar kekasihnya dan akan menikahinya. Namun Gilwang masih ragu dan takut mengatakan pada orang tuanya.
"Anak ayah sudah dewasa sekarang, sudah waktunya kamu untuk menikah Gilwang. Apa kamu sudah siap?" ucap Hendro yang juga memperhatikan raut wajah Gilwang yang nampak ceria.
"Sudah yah! Aku sudah siap menikah," ucap Gilwang spontan, karena dirinya memang sudah siap menikah.
"Wah!! Tepat sekali dugaan ayah, kamu sudah siap menikah."
"Benarkah sayang! ibu senang mendengarnya."
"Karena kamu sudah siap, saatnya memberitahumu Gilwang, kalau kamu sudah punya jodoh sejak kecil."
"Jodohku sejak kecil, siapa yah?"
"Anak sahabat ayah."
"Nggak bisa gitu yah, aku nggak mau di jodohin."
"Kenapa nggak mau Gilwang? Kamu itu sudah kita jodohkan sejak kecil dengan anaknya pak Hadi," ucap Irma.
"Sudah di jodohin sejak kecil? Kenapa tidak pernah memberitahuku bu?" Aku nggak mau bu di jodohin. Batalin aja. Karena aku sudah mempunyai kekasih dan hari ini aku baru saja melamarnya dan akan berjanji menikahinya."
Gilwang berdiri dari duduknya sedikit emosi, merasa nggak terima di jodohkan dengan wanita lain pilihan orang tuanya. Apa lagi perjodohannya sudah di atur sejak kecil dan tak pernah memberitahunya pula.
"Duduk dulu sayang. Jangan emosi gitu. Dengarkan kata ayahmu."
"Kamu nggak boleh menolak perjodohan ini Gilwang, karena ini sudah kesepakatan dua keluarga. Kamu harus terima dan menikah dengannya."
"Nggak bisa yah, aku nggak bisa."
"Aku sangat mencintai Anita kekasihku, aku akan menikah dengannya saja. Aku tidak mau menikah dengan wanita lain," tegas Gilwang.
"Nggak bisa Gilwang, pernikahanmu dengan anak Pak Hadi harus tetap terjadi. Abaikan saja rasa cintamu pada Anita kekasihmu itu. Ini tidak bisa di gugat lagi kamu harus tetap menikah dengan anaknya Pak Hadi," tegas Hendro.
"Nggak bu, aku nggak bisa terima. Kenapa kalian jahat kepadaku."
Gilwang berdiri dari duduknya hendak meninggalkan ruang makan yang tanpa menyentuh makanan sedikit pun. Dengan sigap, Hendro menghadang langkah Gilwang yang akan menuju ke kamarnya.
"Ayah serius menjodohkan kamu dengan anak pak Hadi. Walau pun kamu berusaha menolaknya pernikahan itu akan tetap terjadi. Jika kamu tidak mau berarti kamu tidak menjadi anak ayah," ucap Hendro dengan sorot mata serius.
Gilwang hanya bergeming, tak memberi jawaban apa-apa, lalu pergi meninggalkan Ayahnya. Sedangkan Irma dan Alvin yang duduk di ruang makan menyaksikan mereka penuh rasa khawatir karena Hendro berucap sangat serius.
Dipagi yang cerah, semua keluarga Hendro sudah berkumpul di ruang makan untuk makan pagi, termasuk juga Gilwang. Sembari menikmati makan paginya Gilwang mengatakan pada ayahnya, dia menyetujui perjodohannya dengan anak pak Hadi, tanpa ditanya.
Raut wajah Hendro dan Irma nampak bahagia mendengar pernyataan Gilwang yang dengan mudahnya memusnahkan egonya hanya dalam semalam.
"Ibu seneng banget Gilwang, akhirnya kamu setuju dengan perjodohan ini," ucap Irma merasa lega setelah sempat menghawatirkan keegoisan Gilwang kemarin yang kukuh tidak ingin dijodohkan.
"Anak papa pasti bisa dihandalkan seegois apa pun, pasti dia menyetujui perintah orang tuanya," puji Hendro.
"Kalau bukan karena ancaman ayah, aku tidak akan bersedia," batin Gilwang meronta-ronta.
Gilwang sedikit muak dengan ucapan ayahnya yang sering mengancamnya supaya menuruti perintahnya.
Gilwang terpaksa menyetujui perjodohan yang di atur orang tuanya karena satu alasan, supaya tetap menjadi anak dari Hendro Wijaya yang akan menggantikannya memimpin perusahaan miliknya yang memang sudah dijanjikan padanya kalau dia sudah menikah nanti.
Karena Gilwang setuju dengan perjodohan ini, Hendro berunding dengan Hadi, akan segera mempertemukan mereka sekaligus melamarnya dan menentukan hari pernikahan untuk mereka.
Pertemuam diadakan di rumah Hadi dan akan sesegera mungkin dilaksanakan, lebih cepat lebih baik.
****
Hendro meberitahu Gilwang, sebelum menikah harus bertemu dengan calon istrinya, supaya saling mengenal dan nanti tidak canggung saat hari pernikahan tiba. Namun Gilwang menolak dengan tegasnya.
Gilwang tidak mau diadakan acara pertemuan segala, cukup dia menyetujui perjodohan saja. Lagian juga percuma dipertemukan dengan calon istrinya, toh Gilwang tidak akan menaruh cinta pada wanita lain bahkan itu calon istrinya sendiri, selain pada Anita kekasih pujaannya.
***
Gilwang jadi merasa bersalah pada Anita, setelah kemarin melamarnya dan mengatakan akan menikahinya, malah akan menikah dengan wanita lain. Gilwang tidak ingin Anita tau perihal perjodohannya dengan wanita lain. Akhirnya Gilwang menemukan cara supaya Anita tidak mengetahuinya.
Gilwang menyuruh Anita pergi keluar kota untuk jalan-jalan dan bersenang-senang dalam beberapa hari. Gilwang memberi hadiah pada Anita karena sudah mau menemani hari-harinya selama beberapa bulan ini. Dengan seluruh jiwa dan raganya Anita menerima hadiah pemberian Gilwang.
Gilwang mengatakan tidak bisa ikut bersama dengan Anita, dengan alasan banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Anita malah semakin senang Gilwang tidak ikut bersamanya. Baginya kehadiran Gilwang tidak begitu penting, yang penting uangnya Gilwang selalu menemaninya.
Gilwang menyerahkan semua urusan pernikahan pada kedua orang tuanya. Gilwang tidak mau tau, yang penting Gilwang memenuhi perintah mereka untuk menikah. Entah nanti bisa menjalaninya atau tidak dengan wanita yang dijodohkannya yang tidak dicintainya. Karena saat ini hanya ada Anita di hati Gilwang, yang sebenarnya ingin dinikahinya.
Menurut Gilwang Keinginan orang tuanya yang penting terpenuhi demi kesepakatan yang sudah dibuat. Setelah itu Gilwang akan berbuat semaunya dia, karena sudah mendapatkan yang dia incar selama ini, yaitu menjadi pemimpin perusahaan milik ayahnya.
Sama juga dengan Amira yang tidak mau dipertemukan dengan calon suaminya. Amira tidak mau tau calon suaminya seperti apa. Entah se ganteng apa. Karena dibenaknya selalu muncul kekhawatiran tentang dirinya yang susah jatuh cinta pada seorang lelaki.
Akhirnya tanpa pertemuan, tanpa lamaran, kedua belah pihak dari keluarga Amira dan keluarga Gilwang sepakat menentukan hari pernikahan mereka. Dan sudah ditentukan setelah kedua belah pihak berunding. Pernikahan akan dilaksanakan satu minggu lagi.
Dalam satu minggu nampak dua keluarga tengah sibuk mengatur acara untuk pernikahan kedua anaknya. Tidak dengan kedua calon pengantin yang tampak tidak ingin pernikahan mereka terjadi meski sudah saling setuju harus menikah.
Nampak gundah gulana menerpa hati Amira dalam satu minggu berjalan. Selalu terselip kekhawatiran di hatinya yang takut tidak mencintai suaminya. Bagaimana nanti dia akan menjalani pernikahannya yang tak boleh dipermainkan karena itu perintah Allah dan rasulnya.
"Aku harus bagaimana nanti menjalani pernikahanku bu, aku takut sekali," ucap Amira mengutarakan kegundahan pada ibunya sembari berbaring di ranjangnya.
Widya menyadari pasti sangat berat untuk Amira yang tiba-tiba di jodohkan dan harus menikah.
"Ini sudah takdirmu menikah Amira, ibu yakin kamu bisa menjalaninya. Suatu hal yang ditentukan untuk kita, insya Allah kita bisa menjalaninya. Jadi kamu jangan khawatir. Banyak pernikahan dari perjodohan malah menjadi langgeng sampai tua," tutur Irma.
Selama satu minggu ini Amira hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar saja. Amira memilih tidak keluar rumah dan tidak memberitahu perihal pernikahannya pada teman-temannya, kalau sebentar lagi dirinya akan menikah.
Amira sangat malu, apa nanti kata teman-temannya, kalau tau dirinya menikah usai kelulusan karena di jodohkan. Padahal dia sering menolak cowok yang sudah menyatakan cinta padanya yang benar-benar mencintainya.
Di kantor tepatnya di ruangan Gilwang, nampak Gilwang menggerutu kenapa dia harus menjalani perjodohan ini dan tidak bisa menikah dengan orang yang dicintainya. Membuat Gilwang merasa frustasi andai dia bisa melarikan diri.
*****
Tak terasa satu minggu sudah berlalu, hari pernikahan sudah tiba. Semua sudah dipersiapkan. Karena acara pernikahannya sangat mendadak, jadi pernikahan hanya dihadiri beberapa keluarga dan beberapa tamu undangan.
Acara akad nikah akan dilaksanakan di rumah Amira. Sudah nampak Amira dengan riasan pengantinnya sedang duduk didepan kaca rias. Amira terlihat lebih cantik dari biasanya dengan balutan hijab di kepalanya yang kesehariannya tiada terlepas.
Gilwang dan keluarganya sudah datang, disambut Hadi dan istrinya mempersilahkan masuk dan menuju tempat akad. sekarang Gilwang sudah duduk di tempat ijab berhadapan dengan pak penghulu. Tinggal menunggu kehadiran mempelai wanita untuk memulai acara ijab qabul.
Salsa segera berlari memanggil kakaknya setelah mendapat perintah dari ibunya.
"Kak Amira, calon suamimu sudah datang!" Teriak Salsa dari depan pintu kamar Amira yang terbuka.
"Benarkah!" Jantung Amira jadi riuh gemuruh, rasa gugup, sedih, penasaran bercampur aduk.
"Cepat kak keluar, dia sudah menunggu kakak di tempat ijab," ucap Salsa lagi yang semakin membuat Amira badannya gemetar.
"Ayo keluar!" Tangan Salsa meraih tangan Amira dan menyeretnya keluar dari kamarnya.
"Kakak pasti terkejut melihat calon suamimu, dia sangat tampan banget seperti dugaanku, dia seperti artis korea," ucap Salsa sembari berjalan.
"Aku yakin pasti kakak bakalan suka sama dia." Salsa berucap dengan gemasnya. Tak ada reaksi apa pun yang ditunjukan Amira, selain gugup dan khawatir.
Sampailah di tempat ijab. Sebelum duduk disamping calon suaminya, Amira menatap wajah Gilwang yang lebih dulu menatapnya.
Sungguh menakjubkan Amira jantungnya berdegup kencang saat melihat ketampanan calon suaminya, bukan rasa khawatir yang ia rasakan, ternyata dia merasakan cinta dan kekaguman pada calon suaminya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya pada laki-laki lain.
"Kenapa jantungku jadi berdegup kencang, apakah aku sedang jatuh cinta?" Tanya Amira dalam hatinya sembari memegang dadanya.
Sedangkan Gilwang sangat terkejut saat melihat calon istrinya.
"Hah! Ternyata dia gadis berhijab. Jadi calon istriku seorang yang berhijab, sangat jauh berbeda dengan Anita dia sama sekali tidak menggetarkan hatiku," batin Gilwang menyeringai.
Amira yang masih berdiri di hadapan Gilwang segera di persilahkan duduk oleh pak penghulu, karena acara ijabnya sudah akan dilaksanakan. Dengan hati yang berbunga-bunga, dan senyum kecil yang tak berani ia tunjukan, Amira duduk disamping Gilwang.
Kini tak ada rasa gugup dan khawatir lagi yang menyelimuti Amira, hanya rasa bahagia yang ia rasakan. Dia tidak pernah menyangka kegundahannya selama satu minggu berubah jadi rasa yang bahagia. Amira ternyata jatuh cinta pada lekaki yang akan menjadi suaminya.
Karena Gilwang lelaki pertama yang bisa membuatnya jatuh cinta, dia berjanji akan mencintainya sepenuh hati dan tak akan pernah melepaskannya.
"Sudah siap?" Tanya pak penghulu pada kedua calon mempelai.
"Sudah!" Ucap Gilwang dengan tegas.
Para saksi dan tentunya wali sudah siap menyaksikan acara yang sakral ini. Meski Gilwang sejujurnya tak pernah menginginkan pernikahan ini terjadi, entah kenapa saat ini dia sangat gugup saat akad nikah akan dimulai.
Dijabatnya tangan Gilwang oleh pak penghulu, diucapkannya kata ijab qabul dan dijawab oleh Gilwang dengan lantang lancar dan mudah.
"Saya terima nikahnya Amira Wardana binti Hadi dengan maskawin seperangkat alat sholat dan uang sepuluh juta di bayar tunai."
"Bagaimana para saksi SAH?" Ucap Pak penghulu.
"SAH."
"SAH."
Terdengarlah kata SAH dari para saksi, membuat Amira merasa lega setelah sempat menegang tadi. kini torehan senyum bahagia meliputi Amira, dan juga keluarganya. Akhirnya kini Amira sah menjadi istrinya Gilwang orang yang membuat dirinya jatuh cinta.
Gilwang menanggapinya biasa saja, usai ijab qabul yang punggung tangannya dicium oleh Amira. Gilwang hanya tiada menyangka ternyata dia sangat lancar mengucapkan kata ijab padahal dia hanya menghafalnya sekali saja nama Amira.
Acara akad nikah ditutup dengan doa yang dipimpin pak kiyai. Setelah doa selesai, saatnya berganti acara resepsi. Amira dan Gilwang dipersilahkan duduk di pelaminan. Meski merasa tak nyaman dan tak diinginkan Gilwang harus tetap melaksanakannya.
Banyak tamu yang datang mengucapkan selamat atas pernikahan mereka. Bahkan ada yang mengatakan mereka berdua pasangan yang serasi, namun tak membuat Gilwang menunjukkan senyumnya. Hanya Amira yang membalas ucapan mereka dengan terima kasih dan senyum terbaiknya.
Waktu terus berjalan dan tanpa disadari acara pun selesai. Semua tamu undangan bahkan keluarga dari pak Hadi dan pak Hendro pamit pulang. Setelah semua tamu pulang tinggallah dua keluarga yang masih berbincang-bincang.
Gilwang dan Amira ada diantara mereka. Gilwang terlihat gusar, dia memikirkan setelah ini dia akan tinggal dimana. Dia lupa tidak membicarakan pada ayah dan ibunya kemarin. Gilwang tidak mau tinggal di rumah Amira, dan Gilwang juga tidak mau tinggal di rumah orang tuanya.
Akhirnya Gilwang memberanikan diri mengatakan pada semua, setelah ini akan membawa Amira pulang ke rumahnya sendiri.
"Kenapa harus pulang ke rumahmu sendiri Gilwang? Sekarang rumah ini sudah menjadi rumahmu juga," ucap Hadi ayah Amira.
"Kenapa dia harus membawaku pulang ke rumahnya? Kenapa tidak disini dulu? Aku masih ingin bersama orang tuaku," batin Amira yang saat ini duduk sejajar dengan Gilwang ditengah-tengah keluarganya.
"Aku sudah punya komitmen, kalau sudah menikah akan langsung membawa istriku pulang ke rumahku."
"Biarkanlah pak Hadi, turuti kemauan anak saya. Saya bersyukur dia sudah nurut dijodohkan. Biarkanlah mereka memilih menyendiri mungkin itu yang bisa membuatnya nyaman," tambah pak Hendro.
"Sebenarnya saya lebih ingin mereka disini dulu pak, saya pingin lebih mengenal menantu saya yang tampan dan rupawan ini," ucap Widya.
"Anak ibu juga cantik, mereka berdua pengantin yang serasi tidak salah kita menjodohkan mereka sejak kecil, dan sekarang sudah tercapai," ucap Irma.
"Alhamdulillah semua rencana kita berjalan lancar, semoga menjadi berkah. Kami semua mengucapkan selamat atas pernikahanmu Gilwang dan Amira. Semoga kalian menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah," ucap pak Hadi mewakili semua.
"Amiiiin," jawab semua.
Acara sudah selesai, Gilwang akan membawa Amira pulang kerumahnya sekarang juga. Sekalian pulang, keluarga Gilwang akan mengantarkan mereka.
Saatnya berpamitan. Amira menumpahkan air matanya saat mengucapkan kata pamit pada ibunya, Irma pun sama ikut menangis. Suasana haru meliputi mereka. Tidak dengan Salsa dan Alvin, mereka malah asyik saling memandang dengan kekaguman masing-masing, entah ada apa diantara mereka berdua.
Tak perduli seharu apa, Gilwang segera mengajak Amira ikut bersamanya karena sudah menjadi istrinya. Walau sangat berat meninggalkan orang tuanya Amira tetap ikut bersama Gilwang.
Selang waktu berjalan sampailah di rumah Gilwang. Rumah yang rencananya akan dihuni bersama Anita setelah menikah. Namun kenyataannya malah wanita lain yang akan tinggal di rumah ini bersamanya. Gilwang sengaja mengajak Amira tinggal disini, supaya dia bebas melakukan apa saja semau dia tanpa ada yang tahu kecuali Amira.
Kedua orang tua Gilwang sudah berlalu pergi meninggalkan rumah. Kini tinggal Amira dan Gilwang.
Gilwang mempersilahkan duduk Amira di ruang tamu.
"Kita kenalan dulu, karena sebelumnya kita belum pernah bertemu. Namaku Robi Gilwang, panggil saja aku Gilwang," ucap Gilwang yang saat ini duduk berhadapan dengan Amira di ruang tamu.
"Aku Amira wardana, mas Gilwang."
"Jangan panggil aku mas Gilwang. Aku memang sekarang suamimu tapi sebentar lagi mungkin tidak," ucap Gilwang spontan.
"Kenapa mas, ehm... maksudku Gilwang, aku tidak mengerti?" tanya Amira sedikit bingung.
"Oke, aku akan menjelaskannya padamu. Aku menikah dengan kamu karena hanya menuruti perintah orang tuaku. Tidak ada cinta diantara kita. Sekarang pernikahan sudah terlaksanakan jadi sebentar lagi mungkin akan berakhir, karena aku akan menceraikanmu."
"Berakhir! Apa maksudmu Gilwang, kamu menganggap pernikahan ini hanya permainan saja, setelah terjadi harus usai begitu saja. Apa kata orang tua kita nanti," bantah Amira.
"Aku juga sama seperti kamu tidak menginginkan pernikahan ini, tapi pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dipermainkan. Pernikahan harus dijalani sesuai perintah agama," jelas Amira.
"Aku punya alasan kenapa aku tidak bisa menjalani pernikahan ini, karena aku sudah berjanji akan menikahi kekasihku yang sangat aku cintai sebelum perjodohan ini terjadi," jelas Gilwang.
"Tapi Gilwang, aku tidak ingin pernikahan ini berakhir, aku ingin menjalaninya bersama kamu. Aku ingin tetap menjadi istrimu, karena aku telah jatuh cinta padamu."
"Jatuh cinta padaku? Jangan harap aku membalas cintamu, karena aku hanya mencintai Anita kekasihku."
Amira berdiri dari duduknya dan mendekati Gilwang yang masih duduk dengan raut wajah kemarahannya.
"Gilwang aku mohon jangan ceraikan aku, aku ingin tetap menjadi istrimu. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri tidak akan melepaskanmu karena kamu lelaki pertama yang bisa membuatku jatuh cinta. Aku mohon Gilwang, aku mohon!" Amira duduk bersimpuh di hadapan Gilwang memohon-mohon.
"Aku akan tetap menceraikanmu Amira, karena aku akan menikah dengan Anita kekasihku," tegas Gilwang lagi.
"Baiklah, kalau hanya alasanmu ingin menikah dengan kekasihmu aku akan mengizinkanmu menikahinya, asal kamu tidak memceraikan aku."
"Apa kamu sungguh bodoh, aku tidak mencintai kamu Amira."
"Tidak apa-apa Gilwang, ini ku lakukan demi janjiku dan orang tuaku, aku tidak ingin melihat mereka terluka."
"Akan aku pikirkan dulu."
Gilwang meninggalkan Amira yang masih duduk bersimpuh.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!