NovelToon NovelToon

SanuBari

Sanu

Namanya Sanu, baru lulus sekolah menengah ke atas tiga bulan yang lalu, usianya kini sudah 18 tahun. Hari ini Sanu berulang tahun. Ibunya mengucap doa supaya Sanu diberikan keselamatan. Sanu tinggal di sebuah desa di dekat lereng gunung merapi. Ayahnya meninggal tiga tahun yang lalu saat gunung merapi mengeluarkan laharnya yang menutupi seluruh kota tempat Sanu tinggal. Banyak anak menjadi yatim setelah kejadian tiga tahun itu. Saat itu Sanu masih duduk di sekolah menengah pertama. Sanu begitu terpukul dengan kematian ayahnya. Terlebih lagi ibunya yang bernama Nurjanah atau biasa di panggil bu Nur.

Semenjak ditinggal ayahnya, ibu sanu sakit-sakitan. Terlebih lagi ibunya harus menjadi tulang punggung untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Ibu Sanu bekerja sebagai tukang jahit rumahan.

Menjadi tukang jahit bukanlah sesuatu yang bisa di banggakan di desa tempat Sanu tinggal. Orderan sepi, hanya satu dua orang saja yang mampir untuk minta tolong dijahitkan pakaiannya, itu pun mungkin karena kasihan. Ibu sanu sudah tidak bisa mencari pekerjaan lagi. Kondisi tubuhnya lemah semenjak terseranh penyakit paru-paru basah. hanya mesin jahit peninggalan orang tua yang bisa dilakukan ibunya saat ini.

Sanu baru pulang kerja menyapa lembut dan mencium punggung tangan ibunya. Sanu membawakan roti bakar. Ibunya tersenyum menatap lekat Sanu.

"Adik mana, Bu?"

"Baru saja tidur."

Sanu menuju kamar melihat wajah lucu adik perempuannya yang berumur lima tahun.

"Uhuk ... uhuk." Suara batuk dari ibunya selalu terdengar semenjak ibunya sakit paru-paru basah.

"Ibu sudah minum obat?"

Ibunya mengangguk sambil memegang dadanya berusaha melegakan napas.

Sanu menuntun ibunya duduk di kursi lalu segera mengambilkan air hangat untuk ibunya.

"Kamu lembur lagi, Nak?" tanya ibunya dengan suara pelan.

Sanu tersenyum menatap Ibunya yang sudah mulai menua.

Ibunya membelai lembut rambut panjang Sanu. Perempuan paruh baya itu merasa tidak tega dengan anaknya yang hampir setiap hari pulang malam.

***

Pagi tiba, Sanu terlihat semangat berangkat kerja, hari ini dia gajian. Sanu berangkat kerja berjalan tiga kilo meter setiap harinya. Sanu memilih berjalan kaki untuk mengirit biaya. Sanu bekerja di restoran sebagai pelayan.

"Pagi semua?" sapa Sanu.

Sanu segera mengganti bajunya menggunakan seragam dan celemek bersiap untuk bekerja.

Jam kerja Sanu di mulai dari jam sembilan pagi hingga jam lima sore. Tapi tidak jarang Sanu dan teman-temannya lembur. Tapi hasil kerja lembur Sanu tidak pernah dibayar. Itu yang membuat teman-teman Sanu tidak betah kerja disini. Banyak dari teman Sanu keluar kemudian diganti karyawan baru. Sanu pun sebenarnya tidak betah kerja di restoran ini. Cuma Sanu harus berpikir dua kali jika harus memutuskan keluar. Ibu dan adiknya nanti makan apa.

Hari ini Sanu dan teman-temannya lembur lagi sampai malam. Gaji satu bulan baru di berikan setelah Sanu menyelesaikan pekerjaannya. Teman-teman Sanu sebagian besar protes karena gaji mereka bukannya ditambah malah dikurangi. Sanu sebenarnya juga ingin protes karena gajinya juga berkurang tapi dia takut dipecat.

Teman-teman Sanu terus melancarkan protes dan mengancam akan mogok kerja. Manager restoran menjelaskan kenapa gaji karyawan dikurangi 25%. Manager berkilah kalau restoran mengalami kerugian. Padahal setiap hari para pegawai disuruh lembur. Alasan tidak masuk akal Manager, tidak bisa diterima karyawan. Mereka sebagian besar memutuskan untuk berhenti bekerja.

Sanu menjadi bimbang. Kalau dia berhenti bekerja nanti ibu dan adiknya bagaimana, tapi kalau dia melanjutkan bekerja, dia akan semakin tersiksa karena pekerjaannya pasti semakin bertambah dengan pengunduran karyawan secara masal.

Sanu pulang dengan langkah gontai, matanya menatap nanar.

"Kamu kenapa, Sanu?" Bukankah hari ini kamu gajian?" ucap ibunya yang melihat Sanu duduk melamun.

"Teman-teman Sanu mrngancam mogok kerja, Bu. Gaji bulan ini dipotong seperempat empat persen. Alasannya karena karena restoran mengalami kerugian. Sanu harus bagaimana, Bu." Sanu menangis bersandar di pundak Ibunya.

Ibunya membelai lembut kepala Sanu.

"Maafkan Ibu Sanu. Gara-gara Ibu kamu harus bekerja keras seperti ini."

Sanu mengangkat kepala dari pundak ibunya.

"Ini bukan salah Ibu, Sanu bekerja keras karena Sanu ingin keluarga kita tidak dianggap sebelah mata. Maafkan Sanu, Bu."

Keluarga Sanu memang dipandang sebelah mata sebagian warga kampung. Hanya sebagian yang menghargai keluarga Sanu atau lebih tepatnya kasihan.

"Adik sudah makan, Bu."

"Sudah, baru saja tidur."

Sanu tersenyum kecil. Sanu sangat menyayangi adiknya yang bernama Clara. Sifat menggemaskan adiknya itulah yang membuat Sanu selalu rindu."

***

Pagi telah telah tiba, Sanu memantapkan hatinya untuk kembali bekerja. Seperti biasa, Sanu harus menempuh jarak tiga kilo meter untuk menuju tempat kerja. Sesampainya di tempat kerja, tidak ada satupun temannya yang masuk kerja. Sanu bertanya kepada manager restoran.

"Maaf Pak, apa teman-teman belum datang?"

"Mereka tidak akan datang lagi Sanu, kemaren malam teman-temanmu mengirim pesan kepada saya untuk mengundurkan diri. Hari ini kita libur dulu sampai waktu yang tidak di tentukan."

"Boleh saya bertanya, Pak?" ucap Sanu lirih.

"Apa."

"Kita hampir setiap hari disuruh lembur, tapi kenapa restoran ini malah rugi, bukankah pelanggan direstoran ini selalu ramai pengunjung?" Sanu memberanikan diri bicara jujur.

"Kamu benar Sanu ... sebenarnya ada masalah internal di restoran ini."

"Apa." Kali ini Sanu mantap bertanya lebih jauh lagi.

Pak manager menghela napas.

"Pemilik restoran ini terkena OTT KPK. Restoran ini salah satu aset yang akan di sita? Itu sebabnya selama tiga bulan ini lemburan pegawai tidak dibayar. Itu karena restoran ini sudah tidak ada yang memodali lagi. uang lembur dan potongan gaji kalian untuk membeli bahan makanan dan mennggaji chef yang ada disini. Saya sebagai manager minta maaf, Sanu."

Sanu memahami apa yang dirasakan bapak manager, dia sudah bekerja keras selama tiga bulan ini. Tapi pada akhirnya kalah dengan keadaan. Sanu pun pulang.

Di perjalanan Sanu berpapasan dengan temannya yang kerja di Ibu Kota.

"Aida?"

"Sanu?"

Sanu terkesima dengan penampilan temanya yang sekarang. Dulu Aida berkulit gelap dan rambutnya ikal tak terawat, tapi sekarang kulitnya terlihat bersih dan rambutnya terurai rapi dengan warna merah gelap terurai di ujung rambutnya.

"Kamu cantik banget?" ucap Sanu.

Aida tersenyum. "Kamu sekarang kerja dimana?"

Sanu menunduk lesu. "Tempat kerjaku baru saja tutup."

"Kamu mau, kerja di Ibu Kota seperti ku?"

"Kerja di Ibu Kota, mau Aida." Sanu mengangguk dengan cepat.

"Kebetulan di sana lagi butuh asisten rumah tangga, Gajinya bisa dua kali lipat yang kamu terima di sini.

"Tapi aku tidak ada uang untuk berangkat ke Ibu Kota." Sanu kembali tertunduk.

Berangkat ke Ibu Kota.

Aida memegang lembut kedua bahu Sanu. "Pikirkan saja dulu, Sanu. aku berangkat ke Ibu Kota satu minggu lagi."

Sanu pulang ke rumah, Ibunya terlihat duduk di depan mesin jahit melihat anaknya tampak murung.

"Kamu kenapa, Sanu?"

"Restoran tempat kerja Sanu sudah tidak beroperasi lagi, Bu."

"Uhuk ... kamu sudah makan, Nak? Ibu masih ada bubur kacang."

Sanu duduk masih merenung.

"Kak Sanu, main yuk?" Seorang anak kecil umur lima tahun menghampiri Sanu.

Sanu tersenyum menggendong adiknya di pangkuannya. "Kak Sanu punya hadiah untuk Clara."

"Mana Kak Sanu?"

Sanu memberikan coklat, seperti anak kecil pada umumnya Clara juga suka dengan coklat.

"Hole ...." Clara turun dari pangkuan Sanu berlari kecil mengitari kursi tempat Sanu duduk.

Suara gemuruh seperti barisan mesin terdengar di telinga. Itu suara gunung berapi. akhir-akhir ini memang sering terdengar suara gemuruh, Sanu yang tinggal di dekat lereng gunung berapi yang masih aktif sudah biasa mendengarnya. Selama belum ada pemberitahuan dari pemerintah setempat warga sini masih tetap melakukan aktifitasnya seperti biasa.

Alat yang dinamakan Seismometer dan Tiltmeter menjadi tolak ukur jika gunung berapi menunjukan tanda-tanda siaga.

Ibu Sanu masih duduk di depan mesin jahit tuanya. Sanu menghampirinya.

"Ibu." Sanu berkata lirih.

"Ada apa, Sanu?"

"Sanu ditawari Aida kerja di Ibu Kota? Dia baru saja pulang, minggu depan Aida rencana kembali ke Ibu Kota."

Nur tampak tidak senang mendengarnya, Matanya melirik sebal. "Aida kakak kelasmu itu?"

"Iya Bu?"

Ibunya Sanu semakin mengeluarkan dahak di mulutnya. Tangannya terus memegang dadanya karena terbatuk.

"Ibu tidak bisa memberimu uang untuk pergi ke Ibu Kota, Nak?"

Sanu tersenyum kepada Ibunya. "Sanu mengerti, Bu. Sanu juga tidak ingin ke Ibu Kota. Sanu hanya tidak enak saja kepada Aida."

Nurjanah tau anaknya sedang membohonginya. Tampak raut wajah Sanu kecewa.

Sanu beranjak dari tempat duduk mengajak bermain adiknya.

"Clara, ayo main sama Kakak."

Ibunya terus memandang Sanu, memikirkan masa depan anaknya.

...***...

Malam telah tiba, Sanu duduk di pinggir teras rumah menatap langit yang penuh bintang. Setelah mendengar cerita Aida tadi siang, Sanu ingin pergi ke Ibu Kota. Sanu berpikir, kalau Sanu kerja di Ibu Kota mungkin kehidupannya akan berubah. Sanu hanya ingin membuat adik dan Ibunya bisa hidup layak seperti orang-orang pada umumnya.

"Sanu." Sanu terperanjat mendengar suara Aida yang tiba-tiba datang.

"Aida."

Aida tersenyum. "Kamu kok ngelamun sih."

"Eh, mungkin aku lelah Aida."

"Aku datang kemari hanya ingin memastikan tentang tawaran kerja di Ibu Kota."

"Maaf Aida. Aku tidak bisa, aku tidak punya uang untuk pergi ke Ibu Kota."

"tidak masalah Sanu, aku hanya ingin menawari mu gaji yang lebih tinggi dari pada kerja di sini," ucap Aida.

"Uhuk ...." Suara batuk yang khas itu terdengar oleh Sanu dan Aida.

Ibunya menghampiri Sanu memakai syal yang melingkar di leher untuk menahan rasa dingin.

"Sanu, Aida bisa kemari sebentar," panggil Nur.

Mereka bertiga duduk di kursi, Ibu Sanu tampak menatap tajam. "Apa kamu ingin pergi ke Ibu Kota, Sanu."

Sanu terdiam, Sanu berpikir kali ini Ibunya akan marah kepadanya.

"Jawab Sanu!" bentak Nur.

Sanu memganguk pelan tidak berani menatap wajah ibunya. suasana menjadi hening.

Ibu Sanu tersenyum, meletakkan lembaran uang seratus ribu di meja. "Pergilah, Nak? Ibu merestuimu pergi ke Ibu Kota.

Sanu mengangkat kepala. "Ibu dari mana dapat uang sebanyak itu?"

"Ibu menjual cincin pernikahan kenang-kenangan dari ayahmu."

Sanu menangis memeluk Ibunya. "Sanu janji akan kerja keras untuk Ibu dan Clara."

Nurjanah mengelus punggung Sanu lalu menyeka pipi Sanu. Nur tersenyum menatap Sanu dengan lekat.

"Kalau begitu aku pulang dulu Sanu, Bu Dhe. Besok aku kesini lagi, mengajak kamu beli tiket ke stasiun untuk keberangkatan kita minggu depan."

Sanu mengangguk sambil tersenyum.

Satu minggu berlalu, Sanu mulai menyiapkan pakaian dan barang-barangnya untuk untuk berangkat ke Ibu Kota. Kereta akan berangkat jam 2 siang. Sanu harus sudah tiba di stasiun sebelum jam 2.

Ini masih pagi, Sanu masih sempat untuk membantu Ibunya beres beres rumah. Aida datang menemui Sanu.

"Sanu." panggil Aida.

"Aida."

"Aku hanya ingin memberikan alamat tempat kamu bekerja."

"Bukannya aku satu pekerjaan denganmu, Aida."

Aida menggeleng. "Tidak Sanu, ada sebuah yayasan sebagai perantaranya. Kita tinggal mengikutinya saja.

"Baiklah Aida."

"Aku pulang dulu ya, Sanu. Jangan lupa habis dzuhur kamu harus sudah menemuiku."

Sanu mengangguk.

"Kak sanu?" panggil Clara.

Sanu membungkukan badannya mencubit kecil pipi adiknya.

"Kak Sanu mau pelgi, ya."

"Iya sayang, nanti kalau Kak Sanu pulang, kak Sanu bawakan coklat yang banyak buat Clara.

"Janji ya." Clara mengacungkan jari kelingkingnya. Sanu menyambutnya, menautkan jari kelikingnya ke jari kelingking adiknya.

"Clara jangan nakal, ya?"

Clara mengangguk polos.

Saat keberangkatan tiba, Sanu memeluk erat Ibunya sambil berderai air mata.

"Jaga kesehatan ya, Sanu. Jangan lupa ibadah." Nasehat Ibu pada umumnya.

Sanu mengangguk masih memeluk Ibunya.

"Sanu." panggil aida.

Sanu menoleh ke aida melepas pelukan Ibunya.

"Sanu pergi dulu, Bu?" Sanu mencium punggung tangan Ibunya.

Ibunya terus menatap kepergian Sanu hingga Sanu masuk mobil yang mengantar Sanu dan Aida ke stasiun.

Sanu tiba di stasiun, berjalan antre. Petugas stasiun memeriksa tiket masing-masing penumpang sebelum diperbolehkan masuk. Masih sekitar lima belas menit kereta berangkat. waktu tempuh sekitar tujuh jam sampai ke Ibu Kota.

Sanu duduk berhadapan dengan Aida setelah menaruh barangnya di atas bagasi.

"Nanti kamu nginep dulu di rumah majikanku, besok baru aku antar ke yayasan.

Sanu mengangguk.

"Kereta Agro Bondowoso akan segera berangkat, penumpang yang masih di luar harap segera masuk."

Suara Prami yang begitu lembut, mesin kereta yang mulai panas membuat Sanu merasa gugup. Ini pertama kalinya Sanu naik kereta, sebelumnya Sanu belum pernah bepergian keluar kota.

Sanu menghembuskan napas panjang berdoa diberikan kelancaran.

Tujuh jam berlalu, Sanu dan Aida sudah Sampai di Ibu Kota. Sanu sekilas mematung dengan Suasana Ibu kota yang begitu ramai.

"Sanu." Aida memanggil.

Sanu terperanjat.

"Ayo," ucap Aida.

Sanu menyusul Aida. "Kita mau kemana, Aida?"

"Kita naik kereta listrik."

"Bukankah kita baru turun dari kereta." Sanu terlihat belum mengerti.

"Ini kereta listrik dalam kota, sanu."

"Aku baru tau kalau ada kereta listrik dalam kota."

"Nanti kamu juga akan tau, Sanu. Kamu jangan jauh-jauh dariku," ucap Aida.

Aida kembali mengantre, sedang Sanu menunggu Aida disamping loket. Aida memberi kartu trip untuk Sanu.

"Ini apa, Aida?"

"Itu kartu trip, syarat masuk kereta listrik. Jangan sampai hilang ya, Sanu."

Sanu mengangguk.

Mulai Bekerja

Pagi harinya, Aida mengantar Sanu ke sebuah yayasan untuk mendaftarkan Sanu menjadi ART. Ketua yayasan menyambutnya dengan tangan terbuka. Sanu langsung mendapatkan tawaran dari ketua yayasan bekerja di sebuah perumahan. Ketua yayasan memberikan alamat rumah yang akan menjadi majikan Sanu. Sanu menerimanya tanpa banyak berpikir lagi. Sanu berpikir, semakin cepat mendapat pekerjaan akan semakin baik.

Sanu terlihat senang, dia mengucapkan terima kasih kepada Aida.

"Nanti klo ada apa-apa hubungi aku ya, Sanu."

Sanu mengangguk cepat, tersenyum kepada Aida.

Mobil online yang yang mengantar Sanu ke tempat tujuan sudah ada di depan. Sanu masuk mobil lalu melambaikan tangan kepada Aida.

Hari pertama Sanu berada di Ibu Kota begitu sempurna. Sanu tidak mendapatkan hambatan seperti kabar yang didengar dari orang. Kalau Ibu kota itu lebih kejam dari Ibu Tiri.

Setelah beberapa saat melamun di mobil, tanpa disadari Sanu sudah sampai di tempat tujuan. Sanu turun dari mobil setelah membayar harga mobil online yang ditumpanginya.

Sanu melihat rumah besar dengan pintu pagar yang tinggi hingga tangan Sanu tidak sampai meraih ujung pintu pagar rumah itu.

Sanu memencet bel yang ada disamping pintu pagar. Seorang pria paruh saya membuka pintu pagar.

Sanu tersenyum.

"Ada apa?" tanya pria paruh baya itu yang berprofesi sebagai tukang kebun panggilan.

"Apa benar ini rumah pak Atmaja?"

"Iya benar, ada perlu apa, Neng?"

"Nama saya Sanu, saya ditugaskan oleh yayasan bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah bapak Atmaja."

"Silahkan masuk, Neng."

Sanu masuk diantar pria paruh baya itu. Sanu sekilas melihat halaman rumah yang luas dengan berbagai tanaman hias yang menarik mata.

"Mbok!" panggil pria paruh baya itu.

Seorang wanita paruh baya berlari menghampiri Sanu dan bapak tukang kebun itu.

"Ada apa, Pak? Aku lagi sibuk di dapur."

"Ini, ada orang yang ingin bertemu dengan pak Atmaja."

"Mau kerja disini, ya?" ucap wanita paruh baya itu dengan sumringah.

Sanu mengangguk.

Perkenalan pertama dengan tukang kebun dan pembantu di rumah pak Atmaja begitu menyenangkan.

"Pak Atmaja tadi titip pesan ke saya. Ayo masuk."

Sanu masuk mengikuti arah yang ditunjukan wanita paruh baya itu. Wanita paruh baya itu berhenti di sebuah kamar berukuran 3x3 meter.

"Ini kamar kamu?"

"Eh." Sanu kaget. Sanu pikir akan di antar ke majikannya. tapi ternyata malah langsung ditunjukan kamar istirahatnya.

"Tadi bapak bilang kalau kamu sudah sampai istirahat saja dulu, sambil menunggu bapak pulang."

"Iya, Bu."

Wanita paruh baya itu tersenyum. "Panggil saja saya Mbok yem. Kalau bapak tukang kebun itu Suaminya Mbok, namanya pak wagi, dia tugasnya merapikan halaman."

Sanu mengangguk. Suasana lengang beberapa saat.

"Nama kamu siapa?"

"Nama saya Sanu?"

"Cantik sesuai orangnya."

"Eh." Sanu kembali terkejut.

Mbok Yem kembali ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya. Sanu merapikan kamar dan memasukan pakaiannya ke lemari.

***

Hari mulai malam, suasana rumah tampak sepi. Sanu keluar kamar hendak mencari makan. Perut Sanu sangat lapar, Dari tadi pagi Sanu belum makan. Sanu lalu melihat roti yang ada di meja dapur. Belum juga Sanu mengambil roti itu, suara klakson mobil memekikan telinganya. Sanu keluar hendak membuka pintu pagar.

Ternyata Satpam rumah sudah membukakan pintu pagar. Sanu dari tadi tidak melihat satpam. Masa bodoh, nanti juga paham dengan sistem kerja di rumah ini. Itu setidaknya yang terlintas dipikiran Sanu.

Mobil warna hitam itu terparkir dengan Sempurna. Seorang bapak memkai jas hitam keluar dari mobil itu lalu memanggil Sanu yang berdiri di di depan halaman rumah. Bapak itu berjalan menghampiri Sanu.

"Kamu yang mau kerja di sini?"

Sanu mengangguk, karisma bapak itu begitu kuat hingga Sanu hanya menunduk saat dia berbicara dengan bapak itu.

"Saya pemilik rumah ini, tunggu saya di ruang makan, nanti kita bicara lagi.

Sanu sekali lagi hanya mengangguk sambil memainkan ujung bajunya. bapak itu memperhatikan Sanu cukup lama, entah apa yang dipikirkannya.

Sanu masuk menunggu majikannya ganti baju. Majikan baru Sanu keluar menuruni tangga menggunakan piyama. Bapak itu duduk, Sanu masih berdiri menundukan kepala.

"Nama kamu siapa?"

"Sanu, Pak?" balas Sanu lirih.

Bapak itu terus memperhatikan Sanu, matanya mulai nakal melihat tubuh Sanu yang seperti gitar spanyol. Sanu hanyalah gadis desa yang masih lugu. Dia belum menyadari itu.

"Besok kamu sudah mulai kerja bantu mbok Yem. Gaji kamu tiga juta perbulan, tapi bisa lebih jika kamu mengikuti apa yang saya mau."

Sanu belum mengerti maksud dari bapak itu, dia hanya mengangguk malu menundukan kepalanya. Bapak itu mendekati Sanu hendak menyentuh bagian tubuhnya, tapi suara klakson mobil mengurungkan niatnya.

Bapak itu segera menyuruh Sanu masuk ke dalam kamarnya. Seorang Ibu menggunakan setelan blazer masuk rumah dengan langkah elegan. Itu adalah istri dari majikannya Sanu.

Sanu masuk kamar hendak tidur, tapi suara keributan dari ruang tamu terasa berisik di telinga Sanu. Majikannya Sanu sedang bertengkar dengan istrinya. Sanu tidak menghiraukan, itu masalah keluarga. Suami istri itu meributkan tentang anaknya yang kabur dari rumah. Sanu mencoba membungkus tubuhnya dengan selimut, tapi itu tidak berhasil, suara pertengkaran itu sangat mengganggu. Tidak jarang juga suara pecahan gelas mengeryitkan dada Sanu.

Pagi tiba, matahari belum muncul dari penglihatan Sanu. Sepertinya Sanu baru tidur sebentar tapi dia sudah terbangun. Bau masakan menggoda lubang hidung Sanu. Sanu ingin melihat siapa yang memasak. Ternyata itu mbok Yem, sejak kapan mbok Yem ada di sini? Bukankah kemarin malam Sanu sudah tidak melihatnya.

"Pagi Mbok Yem?" sapa Sanu.

"Sudah bangun."

Sanu tersenyum. "Apa yang bisa saya bantu, Mbok?"

"Tolong potongin Sayur sama taruh lauk dan nasi ke meja makan."

Sanu mengangguk, ini sih tugas harian Sanu saat di kampung. memasak, menyiapkan makan untuk ibu dan adiknya.

"Mbok Yem semalem tidur di mana? tanya Sanu.

"Mbok sama suami pulang, Sanu. Rumah kami dekat dari komplek ini."

Sanu mengangguk.

"Tenang saja Sanu, tiap malam di rumah ini sudah ada satpam yang menjaga di pintu gerbang."

Sanu masih memotong sayur bayam sambil mendengarkan cerita tentang majikannya.

Masakan pun siap untuk dihidangkan. Sang pemilik rumah turun hendak mengisi perutnya. Suami istri itu duduk berhadapan terhalang meja makan yang panjang. Suara piring dan sendok saling beradu, suasana terlihat mulai membaik.

Barulah selesai makan suami istri itu mulai bertengkar kembali.

"Dasar laki-laki tidak berguna!" umpat sang istri.

"Apa kamu bilang, kamu yang tidak becus mendidik anak!" Suami membalas umpatan sang istri.

"Aku kerja untuk masa depan anak kita, kamu malah sibuk dengan wanita simpanan!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!