NovelToon NovelToon

Berbagi Cinta : Cinta Lokasi

Awal Mula

Seorang gadis duduk termenung di atas sebuah kasur tipis yang ada di dalam sebuah kontrakan sederhana di pinggiran kota Jakarta. IPhone 6 hadiah orang tuanya saat berhasil masuk ke universitas ia pegang erat-erat. Sebuah foto dirinya mengenakan baju toga, diapit kedua orang tuanya yang tersenyum bahagia karena ia berhasil lulus dengan predikat cum laude terpampang nyata di layar ponselnya.

“Papa ... Mama ... Maafin Delia ....”

Delia Maharani, gadis cantik berkulit putih, berambut hitam panjang memandangi wajah orang tuanya. Sesekali ia mengusap wajah mereka dalam layar ponselnya. Sangat terlihat kalau ia merindukan mereka.

Siapa yang menyangka, Delia, anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Arga Wijaya dan Farida Wijaya yang selama ini selalu membanggakan kedua orang tuanya karena prestasinya, tiba-tiba membuat sebuah keputusan yang sangat menyakiti mereka.

“Pa, Delia mau menikah dengan Jayadi.” Kalimat pertama dari Delia yang memicu pertengkaran panas dalam keluarga mereka siang itu.

Baju toga baru saja di lepaskan, menampilkan gaun cantik dibaliknya. Gaun sederhana berwarna nude sangat cocok dengan kulit putih Delia.

“Jayadi siapa?” tanya Arga siang itu.

Delia tidak ingin mendeskripsikan siapa calon suaminya itu. Ia memanggil Jayadi yang sedari tadi ternyata berada tak jauh dari mereka.

“Halo Om, Tante.” Jayadi menyapa ramah kedua orang tua Delia.

Sebaliknya, tatapan mata orang tua Delia menilik Jayadi dari atas ke bawah. Tidak ada barang mewah yang dipakai pemuda di hadapannya ini. Kemeja kotak-kotak dengan celana jeans belel, dipadukan dengan sepatu kets yang sudah tampak kusam. Inikah laki-laki pilihan Delia?

“Apa pekerjaan kamu?” tanya Arga to the point.

“Saya nyanyi Om,” jawab Jayadi.

“Nyanyi?” ulang Arga.

“Iya Om, saya penyanyi cafe.”

“Teman kuliah Delia?” Farida ikut berbicara.

“Bukan tante, saya tidak kuliah. Saya hanya lulusan SMA.”

Baik Arga maupun Farida sama-sama terlihat kecewa mendengar jawaban Jayadi.

“Tidak!” Jawaban tegas Arga membuat Delia terkejut. “Tinggalkan anak saya! Kamu tidak pantas untuknya!”

“Pa, kenapa papa bicara seperti itu?” Delia mulai mengiba, “kami saling mencintai Pa, tolong restui hubungan kami,” lanjutnya.

“Apa yang kamu harapkan dari seorang penyanyi cafe, Delia?! Papa yakin, penghasilannya bahkan tidak sampai lima juta perbulan!”

“Uang bukan masalah, Pa. Delia yakin, Jay bisa membahagiakan Delia.”

Terjadi perdebatan sengit pada hari yang panas itu. Matahari seolah memperolok mereka yang tengah beradu gagasan di bawahnya. Si anak dan ayahnya yang sama-sama berkepala batu. Tidak ada yang mau mengalah, sampai pada akhirnya ....

“Kalau kamu bersikukuh untuk menikah dengannya, maka kamu harus keluar dari rumahku!” Bukan hanya Delia, Farida pun ikut terkejut mendengarnya.

Tanpa di duga, Delia menggenggam tangan Jayadi dengan pasti. Ia sudah memutuskan akan tetap berada di sisi Jayadi, apa pun risikonya.

“Baiklah kalau itu keputusan kamu. Mulai saat ini, aku putuskan segala hubungan yang ada di antara kita. Dan kamu, jangan pernah menggunakan namaku lagi di belakang namamu!”

Keputusan sudah dibuat. Arga sedikit memaksa Farida untuk masuk ke dalam mobil mereka, meninggalkan Delia dan Jayadi yang masih menautkan tangan mereka.

Air mata meluncur seiring dengan kepergian orang tuanya. Ia tidak pernah menyangka, pagi tadi adalah terakhir kalinya ia menginjakkan kakinya di rumahnya, sarapan terakhir bersama dengan orang tuanya, dan foto terakhir bersama mereka.

“Del?” Jayadi muncul begitu saja di ambang pintu. Menghampiri Delia, dan ikut melihat layar ponsel istrinya yang ia nikahi satu bulan yang lalu tersebut.

“Kamu sudah pulang Jay?” Delia tampak terkejut dengan kedatangan Jayadi yang tiba-tiba.

“Kamu merindukan orang tua kamu?” tanya Jayadi, mengabaikan pertanyaan Delia sebelumnya.

Delia mengangguk. Air matanya kembali menetes, seiring dengan menguarnya rasa rindu di hatinya.

Jayadi membawa Delia ke dalam pelukannya, “jangan menangis, bagaimana kalau kita berkunjung ke sana?”

Delia menggeleng cepat, “aku sudah tidak mempunyai hak lagi untuk mengunjungi mereka, Jay.”

“Maafkan aku, Del,” ucap Jayadi lirih.

“Bukan salahmu. Itu adalah keputusanku.”

Delia meninggalkan semua fasilitas yang diberikan orang tuanya demi untuk bersama Jayadi. Pria miskin yang bahkan tidak bisa memberikan kehidupan yang layak untuk Delia.

Dengan penghasilannya sebagai penyanyi cafe, Jayadi hanya mampu untuk menyewa sebuah kontrakan kecil yang berisi satu kamar, satu ruang tamu, satu dapur mini, dan satu kamar mandi.

Kontrakan yang mereka tempati kosong melompong saat mereka pertama kali pindah satu bulan yang lalu. Kalau saja tidak diusir dari rumah, Delia sudah akan membeli barang-barang yang ia perlukan. Tapi saat pergi, ia hanya membawa pakaian yang ia kenakan, ponsel, serta KTP yang selalu ia selipkan dibalik case ponselnya. Tidak ada tabungan, tidak ada mobil, semua Delia tinggalkan demi Jayadi. Bodoh memang!

Terdengar suara ketukan pintu ketika mereka tengah larut dalam kesedihan. Jayadi segera bangkit berdiri untuk membukakan pintu. Sesuai dugaan, orang yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang juga.

Dua orang pria berseragam sebuah toko elektronik masuk ke dalam kontrakan Jayadi. Mereka berbincang sejenak sebelum kemudian mereka mulai bekerja.

“Apa ini Jay?” Delia keluar dari kamar, karena ia mendengar suara pria asing masuk ke kontrakannya.

“Tukang AC, mau pasang AC,” jawab Jayadi.

“Kamu beli AC? Kok gak bilang aku?”

“Namanya juga surprise!”

Begitulah Jayadi. Di tengah himpitan ekonomi, ia selalu mengutamakan Delia. Seminggu terakhir ini, kipas angin di kontrakan mereka rusak. Jayadi harus melihat Delia kepanasan setiap malam karenanya. Melihat itu, ia berusaha mencari penghasilan tambahan agar bisa membeli AC untuk Delia.

Delia memeluk erat tubuh Jayadi. Senyumnya merekah, seolah kesedihan yang ia alami sebelumnya tidak pernah terjadi. Tanpa Delia minta, Jayadi selalu tahu apa yang Delia butuhkan.

“Maaf ya, cuma beli satu. Nanti kalau uangnya sudah terkumpul lagi, aku beli buat di ruang tamu juga.”

“Ini sudah lebih dari cukup, Jay.”

Jayadi mendaratkan satu kecupan di pucuk kepala Delia. Ia merasa sangat beruntung memiliki Delia di sisinya. Bertahun-tahun ia hidup sebatang kara setelah orang tua angkat yang mengambilnya dari panti asuhan meninggal dunia karena kecelakaan yang mereka alami. Sehari setelah itu, ia diusir dari rumah orang tua angkatnya tersebut oleh orang yang mengaku ahli waris dari mereka. Sejak saat itu, ia berjuang menyelesaikan sekolah menengah atasnya hingga tuntas, sambil bekerja sebagai penyanyi cafe.

Di cafe itu jugalah Jayadi bertemu dengan Delia. Delia yang kerap datang bersama  teman-temannya untuk kerja kelompok atau sekedar nongkrong usai kuliah mendapatkan perhatian khusus dari Jayadi. Tanpa disangka, Delia ternyata mempunyai ketertarikan yang sama. Dan begitulah semua bermula. Hingga akhirnya mereka menjalin hubungan, dan menikah.

Ulang Tahun Delia

“Happy birthday to you ... Happy birthday to you ... Happy birthday happy birthday happy birthday to you.” Sebuah kue berdiameter 10 cm Jayadi bawa ke dalam kamar, di mana ada Delia yang terpaksa harus terbangun dari tidur lelapnya. Bagaimana tidak lelap, setelah beberapa hari terakhir tidurnya tidak nyenyak karena kepanasan, malam ini Delia begitu nyaman di bawah jangkauan AC yang Jayadi beli kemarin.

“Jay ....” Suara Delia begitu serak, khas orang bangun tidur.

Jayadi duduk di atas kasur di samping Delia. Ia mendekatkan kue yang ia bawa ke hadapan istrinya tersebut. “Happy birthday sayang,” ucapnya.

Delia berhasil mengumpulkan nyawa. Ia baru sadar kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya.

“Makasih sayang,” ucap Delia seraya mengecup pipi Jayadi.

“Make a wish!” titah Jayadi.

Delia memejamkan mata sejenak. Berdo'a dalam hatinya sebelum meniup lilin.

Tidak ada yang istimewa dari ulang tahun Delia saat ini. Tidak ada pesta, tidak ada kado mahal, dan tidak ada ... Orang tuanya. Jayadi adalah satu-satunya keluarganya saat ini. Pun demikian sebaliknya. Bagi Jayadi, Delia adalah satu-satunya keluarganya saat ini. Tujuan hidupnya.

“Del?”

“Hemmm?”

“Nanti malam kita dinner, bagaimana?”

Delia terlihat berpikir sejenak sebelum mengiyakan ajakan Jayadi.

Hari ini Jayadi pergi sedari pagi. Ada sebuah Event Organizer yang memintanya menyanyi di sebuah acara perusahaan. Mereka akan membuka cabang baru. Acaranya sendiri di adakan di sebuah ballroom hotel bintang lima di Jakarta.

“Aku boleh ikut?” tanya Delia saat Jayadi akan pergi.

“Maaf Del, tapi ini acara private. Hanya undangan khusus yang boleh masuk.”

Delia terlihat kecewa mendengar jawaban Jayadi.

Jayadi yang melihat kekecewaan di mata Delia segera menghampiri istrinya tersebut. Ia menangkup kedua pipi Delia dengan lembut. “Del, aku janji, kelak, ketika aku sudah sukses, aku akan mengajak kemana pun aku pergi. Aku akan memastikan kamu selalu ada di sisiku.”

Delia tersenyum mendengarnya. Ia selalu optimis kalau suatu hari, Jayadi akan menggapai cita-citanya, menjadi seorang penyanyi nasional bahkan internasional.

Namun satu hal yang tidak Jayadi sadari, bahwa janji yang ia ucapkan kepada Delia tidaklah mudah untuk melaksanakannya.

Dengan menggunakan sepeda motor matic yang ia beli sekitar lima tahun lalu, Jayadi segera pergi ke tempat acara. Pihak EO mengatakan kalau acara akan dimulai pada jam makan siang. Untuk itu ia berangkat sedini mungkin agar bersiap di sana.

Tiba di hotel, Jayadi segera memarkirkan kendaraannya. Tidak banyak sepeda motor terparkir di sana. Kalaupun ada, motor-motor ber-CC tinggilah yang datang ke sana. Kecuali tempat parkir khusus karyawan yang mungkin masih ada motor-motor lawas seperti miliknya.

Jayadi masuk ke tempat acara. Ia menghampiri pihak EO untuk meminta melakukan gladi resik sebelum acara. Bagaimanapun band yang akan mengiringinya nanti bukan band yang biasanya mengiringinya di cafe. Harus ada beberapa penyesuaian.

Pihak EO menunjukkan panggung tempat Jayadi akan tampil nanti. Ternyata ia bukan satu-satunya penyanyi yang diundang. Ada 2 penyanyi wanita dan 1 penyanyi laki-laki di atas panggung yang sedang melakukan gladi resik.

“Oh iya Jay, waktu untuk mengganti kostum satu jam sebelum tampil sudah ready yah. Kamu bawa kostum kan?”

“Kostum?” ulang Jay.

“Si Reti sudah memberitahu kamu kan?”

Jayadi menggeleng.

“Ya Tuhan, bagaimana mungkin di melupakan hal penting seperti ini. Oke, jadi gini Jay, karena ini acara perusahaan, jadi kita pakai dresscode ala-ala kantoran gitu, setelan jas dan dasi kupu-kupu. Bisa kan?”

“Memang EO nya tidak menyediakannya?” tanya Jayadi.

“Enggak Jay, sorry.”

Jayadi menghela nafas kasar. Mau tidak mau ia harus mencari kostum yang dimaksud. Ia melihat jam di pergelangan tangannya. Masih sangat cukup jika ia berangkat sekarang. Akhirnya ia pamit untuk membeli apa yang diperlukannya.

Lama tinggal di Jakarta, Jayadi cukup tahu harus pergi ke mana. Bukan butik terkenal, hanya toko baju yang menjual baju-baju bekas tapi branded. Di sana, Jayadi bisa mendapatkan barang bagus dengan harga murah. Kebanyakan barang-barang tersebut hanya dipakai sekali atau dua kali oleh pemilik sebelumnya.

“Berapa totalnya mbak?” tanya Jayadi kepada pelayan toko usai memilih barang apa yang akan ia beli.

“Tiga ratus lima puluh, Mas,” jawabnya.

Jayadi memberikan uang itu dengan sayang. Uang itu tadinya akan ia gunakan untuk membeli hadiah untuk Delia. Di tambah uang yang akan Jayadi peroleh dari menyanyi hari ini. Sebuah kalung berliontin burung angsa yang sempat Delia lihat beberapa hari yang lalu saat mereka jalan-jalan di sebuah Mall. Jayadi tahu, dari tatapan matanya, Delia suka kalung itu.

Jayadi segera kembali ke hotel usai menyelesaikan transaksi jual belinya.

10 menit menuju acara, Jayadi dan ketiga penyanyi lainnya sudah siap di atas panggung. Sang pemilik acara, Presiden Direktur Wijaya Grup, hadir di sana. Semua mata tertuju ke arahnya. Begitu pun dengan Jayadi. Matanya terpaku melihat orang yang sedang berjalan dengan penuh wibawa di sana. Dia Arga Wijaya, ayah kandung Delia.

Tanpa sengaja mata mereka bertemu. Selama sepersekian detik, mereka saling memandang, sebelum kemudian, Arga memutus kontak mata tersebut.

“Itu pak Arga, pemilik Wijaya Grup. Katanya jauh-jauh hari beliau merencanakan pembukaan cabang barunya bertepatan dengan ulang tahun anaknya. Cabang baru ini akan diberikan kepada anaknya itu. Tapi aku gak tahu deh yang mana anaknya. Mudah-mudahan aja ganteng,” Ucapan salah satu penyanyi yang duduk di samping Jayadi.

Jadi, acara ini acara ayahnya Delia. Dan perusahaan yang akan dibuka itu untuk Delia? Batin Jayadi.

Lamunan Jayadi terhenti ketika petugas EO menghampirinya, “Jay, pak Arga menunggu kamu di sana.”

Jayadi mengikuti arah telunjuk petugas EO tersebut. Arga duduk dengan angkuhnya di sebuah kursi di sampingnya Farida menemani.

Dengan langkah pasti, Jayadi berjalan menghampiri orang tua dari istrinya tersebut. Setelah sampai di depan meja yang Arga tempati, Jayadi berdiri di depannya. Tampaknya Arga juga tidak berniat meminta Jayadi untuk duduk.

“Apa yang kamu pakai tidak akan mengubah siapa jati diri kamu,” ucap Arga, menilik pakaian yang Jayadi kenakan. Ia kemudian menyodorkan satu lembar cek dengan 9 buah angka tertera di atasnya. “Uang ini akan sangat cukup untuk kamu tidak muncul lagi di hadapanku. Pergi dari sini!”

“Maaf pak, tapi saya bukan pengemis,” jawaban Jayadi sukses membuat Arga tersenyum mencemooh.

“Pengamen dan pengemis sama saja kan?” tanya Arga merendahkan.

“Saya di bayar karena bekerja, bukan dengan cara meminta-minta,” jawab Jayadi, “bapak simpan saja uang bapak. Kalau bapak tidak mau saya di sini, saya akan pergi sekarang juga. Permisi.” Jayadi pergi dari sana usai mengatakan itu. Ia bahkan tidak pamit kepada pihak EO yang menyewanya.

 

Konser Dadakan

Jayadi pulang dengan perasaan gundah. Rencananya untuk menyenangkan istrinya malam ini gagal sudah. Tidak ada uang. Uang yang ada pun sebagian besar sudah ia belikan untuk kostum sialan itu.

Baru saja Jayadi menginjakkan kaki di kontrakan sederhananya, ia disambut senyum bahagia Delia yang sudah siap akan pergi Dinner. Jayadi memang pulang saat sudah petang. Ia baru saja pergi ke tempat teman-temannya untuk meminjam uang, tapi tidak berhasil.

Tidak ada uang, tidak ada teman! Apalagi di cafe, Jayadi termasuk orang yang jarang bergaul. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Delia daripada bersama teman-temannya. Jika ia mempunyai uang lebih pun, daripada dihabiskan untuk membeli alkohol bersama teman-temannya, ia lebih memilih untuk membelikan sesuatu untuk Delia. Mungkin itu yang menyebabkan ia tidak dipercaya untuk dipinjami uang oleh teman-temannya. Mereka seolah berkata 'siapa kamu, datang-datang pinjam uang?’

“Del? Kamu cantik sekali,” puji Jayadi, karena memang begitu adanya.

Dress selutut berwarna nude dipadukan dengan high hells. Jayadi tahu betul dress itu adalah yang Delia pakai ketika ia pertama kali membawa wanita yang sekarang menjadi istrinya itu dari orang tuanya. Ah, Jayadi menyalahkan dirinya sendiri karena tidak pernah membelikan Delia barang mewah.

“Kamu juga tampan suamiku.” Delia balik memuji.

Jayadi melihat penampilannya sendiri. Setelan jas dengan dasi kupu-kupu masih ia kenakan. Mungkin Delia menyangka kalau Jayadi berpakaian seperti ini karena rencana dinnernya.

Delia naik ke atas motor Jayadi dan memeluk prianya itu dari belakang. Ia sudah bersiap pergi. Sementara Jayadi tengah galau, ke mana mereka akan pergi.

“Kita jalan-jalan dulu bagaimana?” tawar Jayadi yang mendapatkan anggukan dari Delia.

“Jay, gimana tadi acaranya?” tanya Delia.

“Ramai,” jawab Jayadi.

Tidak seperti biasanya, Jayadi sangat irit berbicara hari ini. Apakah ada sesuatu yang terjadi? Delia mulai negatif thinking.

Satu jam lebih mereka memutari kota Jakarta. Entah sudah sedingin apa tangan Delia sekarang. Dia tidak tahu kalau Jayadi akan mengajaknya keliling kota. Tahu gitu kan tadi dia pakai jaket!

“Jay stop!” Jayadi menghentikan sepeda motornya sesaat setelah Delia berucap.

“Kenapa Del?” tanya Jayadi.

“Aku pengen makan itu.” Delia menunjuk ke arah warung tenda di pinggir jalan yang menjual pecel lele.

“Kamu yakin mau makan di sana?” tanya Jayadi.

Delia mengangguk pasti.

Akhirnya Jayadi memarkirkan sepeda motornya di depan warung tenda tersebut. Beberapa pengunjung melihatnya dengan tatapan tak biasa. Karena pakaian yang Jayadi dan Delia kenakan tidak cocok untuk makan di sana.

Saat turun dari motor, Jayadi baru sadar kalau sedari tadi Delia kedinginan. Bodohnya dia yang mengajak Delia keliling kota malam-malam begini.

Delia memesan makanan untuk mereka, sementara Jayadi menunggu di meja.

Tak lama, pesanan selesai di buat. Pelayan menyajikan makanan di meja yang ditempati Jayadi dan Delia.

“Kok cuma satu?” tanya Jayadi.

“Biar romantis. Kita makan sepiring berdua,” jawab Delia, “malam ini aku ingin kamu suapi aku.”

Jayadi bingung. Setelah mencuci tangan dengan air kobokan yang disiapkan pelayan, Jayadi mulai menyuapi Delia.

“Kamu juga makan dong!” protes Delia karena sedari tadi Jayadi hanya menyuapinya. “Ternyata makan dari tangan orang yang dicintai enak ya.”

Jayadi menyuapkan juga makanan ke mulutnya. Orang menyangka mereka adalah pasangan yang romantis, padahal bukan itu alasannya.

Entah mengapa keharuan tiba-tiba menyeruak di hati Jayadi. Ia merasa, Delia tahu kalau ia tidak mempunyai uang sehingga mengajaknya makan di sini. Itu pun hanya satu porsi. Dan tiba-tiba mata Jayadi mengembun. Namun ia segera menyekanya sebelum meluncur menjadi tetesan air mata.

“Kamu kenapa Jay?” tanya Delia.

Jayadi memegang tangan Delia dengan tangan kirinya, “maafkan aku Del.”

“Kenapa minta maaf?”

“Hari ini pasti menjadi ulang tahun terburuk bagi kamu. Jika saja saat ini kamu bersama orang tuamu. Papa kamu bahkan sudah menyiapkan kado sebuah perusahaan untuk kamu.”

“Dari mana kamu tahu?” Delia menatap bingung ke arah Jayadi.

“Tadi siang, aku bertemu dengan papa kamu. Perusahaan papa kamu membuka cabang baru, dan itu untuk hadiah ulang tahun kamu. Papa kamu sudah merencanakannya jauh-jauh hari.”

“Apa?” Delia berkata lirih.

“Seharusnya saat ini kamu di sana Del, bukan di sini. Papa kamu benar, apa yang bisa kamu banggakan dariku? Mengajak kamu makan malam di restoran saja aku tak sanggup. Aku yakin kamu tahu kalau aku tidak mempunyai uang, makanya kamu ngajak makan di sini kan?”

“Apa maksud kamu Jay, aku memang sedang ingin makan pecel lele kok!”

“Jangan merendahkan aku dengan berbohong seperti itu Del.”

Delia diam sejenak, “Jay, lain kali, kalau ada masalah bilang, jangan dipendam sendiri. Aku tidak perlu dinner di tempat mewah. Bersama kamu, aku bahagia kok. Kamu itu hadiah terindah yang Tuhan kasih ke aku, lebih berharga dari perusahaan yang akan Papa kasih ke aku. Jadi, salah kalau kamu berpikir seharusnya aku di sana. Aku di sini Jay, karena memang seharusnya aku di sini.”

Jayadi tidak bisa berkata-kata lagi. Semua ucapan Delia sungguh menyentuh hatinya. Dalam hatinya, Jayadi berjanji, suatu hari nanti, ia akan membahagiakan Delia. Ia akan membuat Delia merasa benar telah berada di sisinya.

“Jadi mana kado ulang tahunku?” tanya Delia kemudian.

“Itu ....” Jayadi bingung harus berkata apa. Rencananya untuk membeli kalung berliontin angsa tidak bisa ia laksanakan.

Pandangan Jayadi kemudian tertuju pada seorang pengamen tak jauh dari tempat duduk mereka. Jayadi mendekat ke arah pengamen tersebut, lalu berbisik sebentar. Setelah itu, pengamen itu memberikan gitarnya kepada Jayadi.

Jayadi mengambil kursi yang tadi dia duduki. Mulai memetik gitar  dan menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Delia.

“Ini untuk kamu sayang,” ucap Jayadi menunjuk ke arah Delia.

Kemudian ia menyanyikan sebuah lagu karya salah satu musisi kondang tanah air,

“ ... Tak akan ada cinta yang lain

Pastikan cintaku hanya untukmu

Pernahkah terbersit olehmu

Aku pun takut kehilangan dirimu ....”

Suara tepuk tangan dari beberapa pengunjung warung tenda tersebut mengakhiri konser dadakan yang Jayadi adakan. Jayadi mengembalikan gitar pengamen tadi juga sejumlah uang kepadanya, sebagai sewa gitar. Tidak banyak, tapi pengamen itu tampak senang.

“Makasih mas, semoga rezeki masnya lancar. Dan hidup bahagia bersama mbaknya.” Doa tulus dari seorang pengamen yang diaminkan langsung oleh Jayadi.

Jayadi duduk kembali di kursi yang sempat ia tinggalkan. Di sambut senyum lebar dari Delia. Jayadi begitu romantis. Itulah yang membuat Delia bahagia hidup bersama dengan kekasih halalnya itu.

Tanpa Jayadi sadari, seorang pengunjung warung tenda itu telah mengabadikan konser dadakannya dengan ponsel pintar miliknya. Wanita bertubuh langsing itu bahkan langsung mengunggahnya di laman sosial media miliknya dengan caption,

'Kapan kamu romantis kayak gini, yang?’

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!