NovelToon NovelToon

Cincin Kedua

Bab Satu

“Saya terima nikah dan kawinnya Mega Olivia Cahyana dengan mas kawin yang tersebut dibayar tunai.”

Sah!

Sah!

Ruangan sederhana itu menjadi saksi bersatunya dua insan yang dimabuk cinta. Saat sang lelaki datang membawa janji pernikahan kepada wanita pujaan, tentu saja langsung diterima dengan hati terbuka. Tidak pada restu orang tua yang masih tertanggalkan, bagi keduanya niat baik harus segera tertunaikan.

Awalnya, Olivia memang sempat merasa ragu pada niat baik Vino untuk meminangnya. Akan tetapi, setelah beberapa bulan lelaki itu melakukan pendekatan. Gadis berparas ayu itu pun akhirnya luluh juga. Bukan karena bujuk rayuan atau gombalan, tetapi karena kesungguhan dan perhatian-perhatian kecil yang kerap Vino berikan. Terlebih, saat lelaki itu memutuskan meninggalkan pekerjaannya demi mengejar cinta sang gadis pujaan.

Siapa wanita yang tidak akan terpesona oleh bukti-bukti yang diberikan Vino. Bagi Olivia, lelaki berperawakan tinggi itu telah berhasil membuktikan jika apa yang dikatakan bukan sekadar ucapan jempol belaka.

“Aku akan membuktikan. Bukan hanya menebar janji.” Begitu kata Vino saat Olivia telah membuka hati kepadanya.

Hingga saat Olivia pulang ke kampung halaman, Vino pun menyusulnya seakan tanpa beban dan semakin memperkuat jika Olivia adalah segala-galanya.

Enam bulan pendekatan, akhirnya keduanya memutuskan untuk menjalin ikatan yang sakral. Namun, ketidaksetujuan sang bunda karena anak lelakinya lebih memilih mengejar gadis pujaan daripada mempertahankan pekerjaan membuat Vino tidak mendapatkan restu dengan gampang.

Berbagai upaya telah Vino lakukan demi mendapatkan restu. Siapa yang mengira, jika semua pintu seakan ditutup rapat.

Ketika Vino pulang ke rumah untuk menjumpai orang tuanya. Sang Ibu malah dengan tega mengusirnya. Sepertinya kemarahan itu belum juga padam dari hati sang bunda. Vino pun pasrah, ia juga tidak rela jika harus melepaskan Olivia.

Satu-satunya gadis yang mampu membuatnya tak berdaya.

Akhirnya, dengan segala kekurangan dan kesulitan yang ada. Pernikahan sederhana bisa diselenggarakan di kediaman keluarga Olivia. Entah bagaimana cara yang dilakukan gadisnya itu sampai sudi memberikan restu kepada hubungan mereka.

Ada masanya, Vino merasa iri dengan kasih sayang yang diberikan kedua orang tua Olivia. Sebab, mampu berlapang dada menerima hubungan mereka walaupun belum mendapatkan restu dari orang tua Vino.

Hari yang ditunggu pun tiba. Sesuai yang telah diprediksikan sebelumnya, bahwa tidak ada satu pun sanak maupun saudara yang bisa hadir menemani hari bahagianya. Vino sebatang kara seperti seorang yang tidak memiliki keluarga. Padahal, dirinya mempunyai dua saudara yang lainnya. Akan tetapi, sepertinya semua orang tidak berpihak kepadanya.

Satu alasan yang melegakan didengar Vino dari sang papa. Beliau sakit yang menjadi penyebab tidak bisa hadir dalam acara sakral tersebut.

Vino mencoba berlapang dada, melupakan sesak yang menghimpit dadanya sampai kesulitan napas. Akhirnya, ijab kabul itu pun tertunaikan. Betapa lega perasaannya, seakan batu besar yang beberapa bulan ini menghimpit dada terlepas begitu saja tanpa bekas dan tanpa sisa.

Masalah yang dihadapi Vino aeolah-olah seperti butiran debu yang tak lagi tampak. Sebab di hadapannya kini telah berdiri seorang wanita yang cantik jelita. Wanita yang telah sah menjadi istrinya, pendamping setiap perjalanan kehidupan yang pasti tidak akan mudah dilalui.

Namun, seperti yang telah dikatakan Olivia sebelumnya bahwa mereka akan terus berdampingan menapaki hari dan melalui semua kesulitan di hadapan dengan bergandengan tangan. Gadis ayu itu bersedia menemani Vino dari awal. Sedari dirinya tidak memiliki apa pun jua.

“Ayo salim!” Seruan penghulu membawa Vino kembali dalam alam nyata tanpa hayalan. Lamunanya telah pecah berkeping-keping berganti seutas senyum yang dihadirkan oleh sang istri tercinta seraya mengulurkan tangan meminta salim.

Vino membalas uluran tangan Olivia dengan tubuh bergetar. Rupanya, tidak hanya dirinya yang suhu tubuhnya berubah dingin. Olivia pun begitu. Tangan gadis itu sangat dingin, sedingin es.

Kecupan dalam di punggung tangan yang diberikan Olivia mampu menghantarkan kehangatan pada hati Vino.

Vino menangkup kedua pipi Olivia, lalu mengecup kening pengantinnya tersebut dengan perasaan yang membuncah penuh rasa sayang. Bahagia yang sempat terbayangkan sebelumnya tidak berarti apa-apa ketimbang rasa yang kini mendera jiwa.

Oliva memejamkan mata. Tubuhnya bergetar hebat seiring kecupan hangat yang Vino berikan.

Sampai terdengar seruan tamu undangan yang membuat keduanya cepat-cepat melepaskan kecupan dan berakhir salah tingkah.

“Hei, masih banyak tamu undangan, nih.”

“Malu, dong, dilihat Pak Penghulu.”

Wajah keduanya merah padam. Olivia menunduk malu demi menyembunyikan semburat merah yang menghiasi kedua pipinya. Sedangkan Vino menggaruk tengkuknya yang tidak gatal seraya menoleh ke kiri dan ke kanan dengan wajah yang tidak kalah merah dari pengantin wanitanya.

Lantas, keduanya pun diminta duduk untuk segera menandatangani buku nikah dan melafazkan sighot taklid. Kemudian barulah mendengarkan nasihat dari sesepuh yang dilanjut dengan doa sebagai penutupan dari rangkaian sakral hari itu.

“Ini, penanya.” Vino berujar lirih seraya menyerahkan pena kepada Olivia begitu selesai menjalankan tugasnya.

Rupanya, lelaki itu mengambil keuntungan dari setiap kesempatan yang ada. Saat tangan Olivia terulur untuk mengambil pena dari tangannya. Vino terang-terangan menggenggam tangan Olivia yang kontan saja membuat gadis itu tersipu malu.

Lantas, lagi-lagi berhasil mengundang ledekan dari orang-orang yang melihat kelakuan pengantin baru tersebut.

“Ciee! Tahan dulu, dong, Vino!”

“Si Vino, udah enggak sabar aja.”

“Pegang-pegangan terus!”

Sontak saja, Olia menepuk tangan lelaki yang duduk di sampingnya.

Kali ini, bukannya Vino malu mendapatkan ledekan tersebut. Dirinya malah tersenyum puas karena berhasil menciptakan semburat merah di kedua pipi wanita yang baru beberapa menit lalu menjadi istrinya.

Bagi Vino, warna merah di pipi Olivia telah menjadi candu baginya. Ia bahkan sangat ketagihan menatap warna itu, ditambah senyum malu-malu Olivia yang semakin membuatnya ingin menggeret gadis di dampingnya itu ke kamar. Andai saja, rangkaian acara ini telah selesai.

Vino mendengkus kasar. Ia baru ingat jika harus bersabar menunggu hingga waktunya malam dan semua orang-orang ini telah kembali ke rumah masing-masing.

‘Ya Tuhan! Di acara seperti ini sempat-sempatnya aku memikirkan tentang malam pertama. Dasar kau Vino,’ ujar Vino dalam hati.

Vino menggeleng pelan, mengusir imajinasi liar yang mengusai pikirannya. ‘Masih ada waktu nanti malam, Vino,’ tegasnya dalam hati.

“Kak, ada apa?” Bisikan Olivia berhasil mengenyahkan pikiran konyol Vino. Akan tetapi, hanya sebentar sebab suara Olivia terdengar sangat merdu di telnganya. Mengalahkan suara ceramah dari sesepuh yang memberikan nasihat pernikahan.

“Ah,” erang Vino kemudian. Lantas mengusap wajahnya secara kasar yang semakin membuat Olivia terheran-heran. Ada apa dengan suaminya itu?

Olivia menggeleng pelan seraya tersenyum tipis. Merasa lucu dengan tingkah konyol suaminya tersebut. Berusaha mengabaikan tingkah polah lelaki yang duduk di sampingnya, Olivia memilih memusatkan pikiran untuk tetap mendengarkan nasihat pernikahan.

“Pernikahan adalah ibadah. Menggenapkan masing-masing separo agama para pasangan. Maka, dari sekarang perbaruilah niat dalam melaksanakan pernikahan itu. Jika awalnya menikah hanya untuk sekadar bersenang-senang, mulai sekarang niatkanlah untuk kepentingan ibadah.”

“Ibadah itu tentu saja hanya mengharapkan pahala dari Allah. Maka, jika suatu saat pasangan kita berbuat salah. Kembalilah ke niat awal bahwa pernikahan ini adalah jalan menuju ibadah.”

Olivia menyimak dengan khidmat nasihat tersebut. Setiap kalimat yang terucap seakan seperti energi tersendiri bagi kehidupan barunya. Sesekali kepalanya akan mengangguk pelan sebagai tanda setuju pada apa yang telah didengarnya.

“Hubungan ini pun sangat mudah dijalani, kok. Ibarat piramida segi tiga dan Allah berada pada puncak tertinggi di atasnya. Sedangkan pada sudut kiri dan kanan ditempati oleh suami dan istri. Semakin keduanya berjalan mendekat menuju Allah, maka semakin dekat pula hubungan suami istri tersebut. Begitu pula sebaliknya, semakin keduanya menjauh dari Allah maka semakin jauh pula hubungan keduanya.”

Pada kalimat terakhir sebelum penutup tersebut. Olivia menyimpan erat nasihat itu baik-baik dalam hatinya. Mencatatnya dalam ingatan, berharap tidak akan pernah terlupakan. Kelak, saat ia dan Vino mengalami masalah Olivia berjanji akan mendekat kepada Tuhan. Seperti apa yang tercantum dalam nasihat tadi.

Tanpa sadar, tangan Olivia bergerak untuk menggenggam erat tangan Vino di sebelahnya. Tentu saja perlakuan tersebut mengangetkan lelaki itu. Lantas, keduanya pun saling berpandangan dan mengulas senyum tulus. Desiran aneh itu pun kembali mereka rasakan sebagai rahmat Allah kepada pengantin baru.

Bab Dua

Memang tidak ada acara resepsi besar-besaran di rumah orang tua Oliva. Seperti rencana sebelumnya, jika pernikahan putri bungsu mereka hanya diadakan dengan sederhana. Sebagaimana keinginan Olivia.

Awalnya, Amri – ayah Olivia keberatan dengan usul tersebut. Bagaimana bisa, ini terakhir kalinya ia akan mengadakan acara nikahan di rumahnya setelah kedua saudara Olivia lebih dahulu mengadakan pesta besar-besaran. Namun, si bungsu malah meminta ijab kabul saja.

Akan tetapi, bukan Amri namanya jika tidak menuruti kehendak sang putri kesayangan. Setelah bermusyawarah dengan Aminah – istrinya dan turut serta pula kedua putri beserta menantunya, akhirnya disetujuilah permintaan Olivia. Menikah sederhana di rumahnya, tetapi tetap mengundang sanak saudara beserta para tetangganya.

Siapa yang menyangka, jika tamu yang datang akan sebanyak ini. Pasalnya, tetangga yang diundang mengajak keluarganya datang dan turut mengundang tetangga yang lain. Lihatlah sepasang pengantin itu, mereka tampak sangat kelelahan. Bukan hanya raja dan ratu sehari saja yang lelah, tetapi juga Amri dan Aminah pun sangat lelah.

Apalagi mendapatkan pertanyaan dari tamu-tamu undangan yang datang mengenai keluarga Vino yang tidak datang. Amri hanya menghela napas panjang dan mengatakan jika ayahnya Vino sedang sakit keras.

Sebagian yang datang bisa menerima alasan tersebut, tetapi sebagaian yang lain hanya menanggapi dengan cibiran serta ejekan saja.

Aminah sempat ingin marah pada situasi ini. Namun, melihat raut bahagia putrinya tentu saja berhasil mengurungkan niatnya untuk mengamuk kepada menantu barunya tersebut.

Jam telah menunjuk ke angka sepuluh. Untunglah, para tamu undangan telah sepi. Hanya bersisa satu dua orang saja beserta kerabat yang memang menginap di rumah pemilik acara. Sebagian yang lain sibuk bersih-bersih di dapur, agar esok hari pekerjaan mereka bisa sedikit berkurang dan sebagian yang lain memilih berkumpul menceritakan apa saja. Terutama para lelaki dewasa, mereka sibuk bermain kartu disertai senda gurau untuk meningkatkan keakraban di antara mereka.

Berbeda dengan aktivitas para kerabat, maka berbeda pula dengan apa yang dilakukan sepasang pengantin itu. Setelah perasaan letih memuncak dan meminta hak untuk istirahat, keduanya pun masuk ke kamar pengantin.

Kamar Olivia tentu saja telah berubah menjadi kamar pengantin yang indah. Berhiaskan bunga-bunga dan kelopak mawar merah bertebaran di atas ranjang yang kasurnya tertutup seprai putih.

Indah. Begitulah decak kagum yang keluar pertama kali dari lisan Olivia. Bukannya tidak tahu dengan dekorasi kamarnya tersebut. Hanya saja, ia merasa bahwa saat masuk bersama Vino seketika bertambah pula keindahan itu.

Tanpa aba-aba, Vino langsung membuka tuxedo yang melekat di badannya. Mengabaikan pekikan kecil yang terlontar dari mulut Olivia seraya menutup mata dengan kedua tangan. Walaupun jemarinya tidaklah rapat, Olivia masih bebas mengintip dari sela-sela jarinya.

“Aku pakai kaus, Olivia,” dengkus Vino. “Begini saja sedih menjerit, bagaimana jika dibuka semuanya,”cibirnya kemudian.

“Ish. Ini, ‘kan, baru pertama kalinya. Jadi wajar, dong, kalau aku kaget,” sahut Olivia. Bibirnya mengerucut tidak suka mendengar cibiran Vino kepadanya.

“Iya-iya. Nanti juga terbiasa.” Lantas, Vino pun membuang asal pakaiannya ke ranjang dan segera mengambil handuk di dalam tasnya. Ia sudah tidak sabar untuk segera mandi. Badannya terasa sangat lengket dan tidak nyaman.

Sesampainya di kamar mandi, Vino menoleh melihat Olivia yang mulai melepaskan baju pengantinnya.

“Tolong siapkan pakaian gantiku ya.” Setelah mengatakan itu, Vino pun melesat masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya secara kasar.

“Dia ini, marah apa gimana, sih?” gerutu Olivia. Namun, tetap melaksanakan perintah Vino yang diberikan kepadanya.

Beberapa menit kemudian, Vino keluar dengan wajah yang lebih segar. Wangi sabun bercampur sampo menguar menusuk indera penciuman Olivia. Sejanak, wanita itu terpesona oleh pemandangan sosok lelaki di hadapan. Namun, buru-buru berlari masuk ke kamar mandi karena tidak ingin terpergok oleh Vino.

Usai mandi dan berganti pakaian di kamar mandi, Olivia pun keluar dengan langkah ragu. Pelan ia berjalan menuju ranjang dengan handuk bertengger di kepala guna mengeringkan rambutnya yang basah.

Vino yang semula menghadap ke layar ponsel pun mendongak setelah mendengar derap langkah pelan yang mendekat kepadanya.

“Cantik,” pujinya pelan.

Ragu-ragu, Olivia naik ke ranjang dan duduk di samping Vino bersandar kepala ranjang.

Vino meletakkan ponsel di nakas, tetapi begitu menoleh Olivia telah berbaring miring memunggunginya dengan selimut yang menutup tubuh. Hanya kepala saja yang masih menyembul keluar.

“Oliv,” panggil Vino pelan. Namun, ia harus pasrah ketika panggilan berulang kali yang disertai goncangan pelan di pundak Olivia tidak berhasil membangunkan wanita itu.

“Dia tidur, apa pura-pura tidur?” kesal Vino.

Orang bilang, akan lebih susah membangunkan orang yang pura-pura tidur daripada yang benar-benar tidur. Namun, saat mengingat betapa sibuknya hari ini mengurungkan kekesalan Vino.

“Mungkin dia sangat lelah,” ujar Vino lirih.

Vino pun turut berbaring dengan posisi memunggungi. Gagal sudah rencana yang telah ditunggu-tunggunya seharia ini. Vino menghela napas panjang dan memejamkan mata. Ia berharap bisa memimpikan Olivia malam ini.

Vino juga merasa jika dirinya tidak mungkin memaksakan kehendak kepada istrinya itu. khawatir membuat Olivia tidak nyaman atau malam menyakiti wanitanya. Untuk itu, ia harus bersabar sampai pada batas waktu yang tidak ditentukan. Namun, lelaki itu juga berharap jika malam ini cepatlah berakhir dan segera berganti dengan waktu pagi, akar penyiksaan batinnya cepat berakhir.

Bisa jadi, di esok hari Olivia telah siap menjadi istri seutuhnya untuk Vino. Atau malam ini saja? Hah. Vino membuang napas kasar, rupanya menahan diri memang sangat menyiksa. Sanggupkah ia bertahan sampai esok hari?

Di sebelahnya, Olivia sudah tampak terlelap. Sedangkan kedua mata Vino masih terjaga. Ia memaksa untuk memejamkan kedua kelopak mata yang enggan tertutup itu. Vino menutupnya dengan paksa, menimpakan tangan di atasnya. Malam menyiksa, cepatlah berakhir.

Bab Tiga

Olivia mengerjapkan mata. Dinginnya udara malam yang menusuk kulit berganti dengan kehangatan yang melingkupi tubuhnya.

Olivia menggeliat pelan, saat merasakan hangat itu berubah menjadi dekapan erat. Matanya terjaga sempurna saat kepalanya berbenturan dengan sesuatu yang terasa agak keras, tetapi tidak menyakitkan. Dan matanya mendelik ketika indra penciumannya menghidu aroma yang berbeda, seperti ... wangi parfum seorang lelaki. Percampuran antara mint dan maskulin.

Olivia baru tersadar jika ia tengah tidur dengan seorang lelaki. Otaknya berpikir sejenak.

“Ha?” Olivia menutup mulut saat mengingat jika dirinya telah melangsungkan pernikahan kemarin. Lebih tepatnya, seorang lelaki yang tengah memeluknya itu adalah suaminya.

Vino mengernyitkan dahi. Kedua matanya menyipit melihat tingkah istrinya yang berada dalam dekapannya itu.

‘Jangan-jangan dia lupa kalau sudah bersuami,’ pikirnya.

Semalaman, Vino tidak mampu memejamkan mata. Bukan tidak berusaha. Akan tetapi, kantuk itu tidak juga menyapa matanya. Berbagai posisi telah ia lakukan, dari berbaring miring, telentang, tengkurap sampai menungging. Tetap saja, entah ke mana perginya kantuk itu. sampai pada akhirnya, dirinya menyerah dan memilih menatap Olivia yang tidur di sampingnya semalaman. Ya, sampai jam dinding menunjukkan ke angka tiga dini hari. Matanya masih terbuka lebar.

Melihat pergerakan yang tidak beres oleh wanita dalam dekapan. Vino buru-buru mengeratkan pelukan. Kedua tangannya mengunci pergerakan Olivia agar tidak bisa ke mana-mana.

“Apa kamu melupakan sesuatu?” tanya Vino dengan suara serak. Satu kakinya menindih tubuh Olivia dengan perasaan gemas.

“A-apa?” Diperlakukan seperti barang mainan yang ditakutkan hilang oleh pemiliknya membuat Oliva tidak nyaman. Ia bergidik ngeri.

“Kalau tidak ada, berarti aku yang akan mengingatkannya.” Vino menyeringai. Perlahan, ia mendekatkan wajah ke wajah Olivia yang langsung ditahan oleh tangan putih itu.

Vino berdecak kesal. “Ada apa?” tanyanya gusar.

“Aku harus ke kamar mandi. Ingin pipis.” Olivia salah tingkah. Ia menggigit bibirnya guna menahan debar yang menggila di dalam sana.

“Katanya enggak ada yang lupa?” keluh Vino. Tangannya semakin erat memeluk tubuh istrinya tersebut.

Olivia merasa tidak nyaman atas perlakuan yang ia dapatkan dari suaminya itu. Ia bergerak pelan mencoba berusaha agar terlepas dari kungkungan Vino.

“Aku beneran mau pipis,” ujarnya dengan bibir bergetar.

Vino mendesah pelan, mau tidak mau akhirnya melepaskan dekapannya di tubuh Olivia. Tidak mungkin juga, ‘kan, jika istrinya itu tiba-tiba ngompol di atas ranjang. Bisa gagal total rencananya.

“Cepetan, ya,” tegasnya memberi peringatan. Wajah Vino terlah berubah sangat masam dan tidak enak dipandang.

Olivia mengangguk cepat dan langsung lari terbirit-birit meninggalkan Vino yang memandangnya dengan tajam.

Vino menggeleng pelan, lalu tersenyum tipis melihat tingkah konyol istrinya itu.

“Kamu sangat menggemaskan,” gumam Vino pelan seraya memeluk guling.

Beberapa menit berselang. Seseorang yang ditunggu tidak jua keluar dari persembunyian. Vino merasa jika Olivia sedang berusaha mengindarinya.

Vino bergegas melompat turun dari ranjang, lalu melangkah lebar menuju kamar mandi. diketuknya berulang kali pintu yang masih tertutup rapat itu. Sesekali kepalanya dimiringkan, menempelkan salah satu telinganya ke daun pintu. Tidak ada pergerakan suara.

“Olivia!” panggilnya seraya mengetuk pintu itu lebih kencang.

Ditempelkannya lagi telinga ke daun pintu tersebut. Masih senyap, tidak ada suara-suara.

Vino telah berada di puncak kesabarannya. “Olivia! Aku hitung sampai tiga kalau belum keluar juga, aku dobrak pintu kamar mandi ini!” serunya dengan gusar.

“Satu!

“Dua!”

“Tiga!”

Vino melangkah mundur hingga bebarap senti ke belakang. Setelah mengambil ancang-ancang, lelaki tinggi itu pun melangkah cepat dengan kekuatan penuh Siap mendobrak apa saja yang menghalangi keinginannya. Orang tuanya saja ditentang agar bisa bersatu dengan Olivia, apalagi hanya sekadar pintu di hadapannya.

Tidak pernah terpikir sebelumnya, jika langkahnya harus meluncur bebas.Pintu kamar mandi yang menjadi target sasaran dobrakannya terbuka lebar begitu saja. Vino lepas kendali, kakinya terpeleset di lantai kamar mandi mengakibatkan dirinya terjengkang ke belakang.

“Aww!” pekiknya kaget sekaligus sakit. Jangan lupakan rasa malu yang hadir menyelimutinya. Wajahnya merah padam, antara marah dan malu bercampur menjadi satu.

Sedangkan Olivia berdiri kaku seraya memegang handel pintu dengan erat. Ia kaget sekaligus geli melihat atraksi di hadapan. Sangking kagetnya, Olivia hanya terbengong tanpa berniat membantu suaminya itu.

“Bantuin, dong!” sergah Vino kesal seraya memegang pinggangnya yang terasa sakit.

“Eh, iya-iya.” Olivia berjalan mendekati Vino, lalu berjongkok dengan tangan membantu Vino berdiri.

Suara ketukan di pintu membuat keduanya berpandangan. Vino mendelik sebagai isyarat jangan mengatakan apa pun kepada orang lain.

“Iya!” seru Olivia. Keduanya berjalan pelan menuju ranjang.

“Ada apa, Liv? Ribut-ribut,” tanya suara di luar sana yang Olivia yakini sebagai suara sang bunda.

“Enggak apa-apa, kok, Bunda.” Olivia berjalan cepat menuju pintu, membuka sedikit lalu menyembulkan kepalanya keluar. Melihat bundanya yang berdiri dengan raut khawatir.

“Beneran enggak ada apa-apa?” tanya Aminah lagi. Ia berusaha melhat keadaan di dalam kamar putrinya, tetapi terhalang oleh kepala Olivia.

“Iya enggak ada apa-apa,” ujar Olivia menenangkan, lalu tersenyum agar bundanya semakin yakin dengan ucapannya.

“Ya sudah kalau tidak ada apa-apa.” Aminah berbalik dan melangkah meninggalkan Olivia yang melihatnya dengan malu-malu.

Olivia meringis lalu menutup pintu dengan pelan, agar tidak semakin menciptakan kegaduhan yang mengundang datangnya orang-orang ke kamarnya.

“Kak Vino, sih,” keluh Olivia seraya merangkak ke atas kasur. Lantas duduk di samping suaminya yang telah berbaring lebih dahulu dengan posisi tengkurap.

“Kok, aku. Gara-gara kamu, tuh, ngapain coba lama-lama di dalam kamar mandi itu. buat orang khawatir saja,” omel Vino seraya mengusap-usap pinggangnya yang masih terasa sakit.

“Kakak ngapain pakai acara mau dobrak pintu segala. Malam-malam buat gaduh,” sahut Olivia tidak mau kalah. Bibirnya lagi-lagi mengerucut lucu saat ia dilanda kesal. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan Olivia ketika merajuk.

“Sudah-sudah. Sekarang elus-elus pinggangku, sampai sakitnya hilang,” putus Vino memberi titah yang tidak mau dibantah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!