NovelToon NovelToon

My Boss Samuel

1. Perkenalan & Bos baru

“Pagi guys.” Aku menyapa semua temanku yang sudah asyik bergosip di pagi ini.

 

“Tumben cerah amat muka lo, skincare baru ya?” Tanya Mbak Sari.

 

Ck! Jangan dengarkan. Dia memang suka sekali suudzon begitu.

 

“Idiih emang udah dari sono nya kali, Mbak. Mau gue cuci muka pake air doang tanpa sabun pun cantik gue nggak bakal berkurang.” Jawabku sambil menaruh tas di meja kerja.

 

Mbak Sari hanya mencebik ke arahku.

 

Mbak Sari, memiliki postur tubuh yang sedikit berisi di beberapa tempat dengan model rambut sebahu. Berumur dua puluh sembilan tahun, sudah menikah dan mempunyai satu orang anak. Dia merupakan salah satu senior di divisi ku saat ini.

 

“Tahu nggak? hari ini Bu Nia beneran resign. Seneng banget gue hari yang di nanti-nanti akhirnya tiba.” Temanku yang lain ikut menyahut.

 

Mas Angga, dia juga sudah menikah berumur tiga puluh tahun, sudah mempunyai satu anak juga. Berkulit sawo matang dengan kumis tipis dan bertampang kalem. Walaupun tampang kalem, tapi sekali ngomong juga kadang suka pedes kayak gado-gado karet dua. Dia juga orang yang paling dewasa di divisi ini dan merupakan senior juga.

 

“Beneran, Ngga? Asyik akhirnya singa betina itu lenyap juga. Tadi nya sih baru mau gue sewain pawang biar jinak dikit.” Sahut Mbak sari sembari menyesap kopinya.

 

“Eh, kalian jangan pada seneng dulu.” Tiwi beranjak dari kursinya dan berjalan ke meja Mbak Sari, "Katanya pengganti Bu Nia itu juga galak. Eh bukan galak sih, lebih ke disiplin gitu dan terkenal perfectsionist banget,” imbuhnya.

 

Tiwi merupakan anak baru di departemen ini. Baru enam bulan, tapi memang dasarnya dia cerewet jadi mudah akrab. Dan umurnya juga masih terbilang muda, dua puluh tiga. Apalagi dengan gaya rambut panjang dan poninya yang di biarkan seperti tirai jendela itu. Benar-benar bikin kelihatan unyuk khas dedek gemes.

 

“Haduh gosip apalagi itu, Kunyil.” Timpal Rizal.

 

Rizal, cowok berwajah manis tapi gesrek ini dulunya adalah temanku semasa SMA. Bahkan dia dulu juga pernah jadi idola para cewek di sekolah, kecuali aku lho ya perlu di garis bawahi tuh. Dan tidak tahunya kita ketemu lagi di satu kerjaan yang sama. Tentu saja umurnya sama dengan umurku yang sudah memasuki angka dua puluh lima.

 

“Ck, di bilangin nggak percaya. Gue denger dia keturunan bule lho.” Sungut Tiwi.

 

“Eh, Kunyil. Lo kok bisa tahu, emang siapa yang ngasih tau?” Tanya Mas Angga penasaran.

 

“Bule? Wah pasti ganteng dong.” Mbak Sari terlihat bersemangat.

 

“Ampun deh lo, Mbak. Ingat anak sama suami.” Cetusku sedikit mencibir.

 

Emak satu itu memang terkadang masih suka ganjen sikapnya. Apalagi kalau sudah lihat yang bening-bening. Ciyah bening, di kira sayur bening kali ya?

 

“Dari Farhan HRD,” ujar Tiwi kemudian. “Kalau soal ganteng belum tau gue. Tapi denger-denger dia masih muda.”

 

“Ciyee ... sekarang kedemenanya HRD ni ye.” Ledek Rizal sambil menyikut lengan Tiwi.

 

“Siapa bilang? Sorry ya gue nggak suka sama cowok gemulai. Eh, tapi duit nya boleh juga lho, banyak.” Kelakar Tiwi sambil menyengir.

 

Sepertinya pembicaraan mereka akan terdengar lebih serius lagi nih kalau sudah menyangkut masalah duit.

 

“Duit kalau dikit cukup, kalau banyak nggak cukup,” Ucap Mas Angga dengan gaya kebapakan. “Mata duitan lo!” imbuhnya yang sangat berbanding terbalik dengan gaya pertamanya tadi.

 

“Eh, tapi gue setuju sama Tiwi. Bener tuh kalau cari cowok harus yang banyak duit. Biar nggak susah kalau udah jadi suami nanti.” Mbak Sari membela perkataan Tiwi.

 

“Uang bukan jaminan kebahagiaan, Sar.” Sahut Mas Angga.

 

“Tuh kan ...” Mbak Sari menunjuk mas Angga dengan telunjuk nya, “Kata orang uang nggak bisa membeli kebahagiaan. Nyatanya kalau lagi sedih lebih enak nangis dalam mobil BMW kan, dari pada di angkot?”

 

Mas Angga langsung terbahak. “Ya lo juga yang kurang kerjaan, Sar. Udah tahu nangis, ngapain pakai naik angkot segala? Gila!”

 

Aku, Rizal dan Tiwi pun ikut terbahak juga sampai kami tidak menyadari jika sudah ada sesosok manusia lain yang tengah berdiri di depan kami.

 

Seketika aku melongo melihat sosok yang kini tengah berdiri tegap dengan kedua tangannya masuk ke saku celana tersebut. Badannya tinggi, dan juga tegap. Dari balutan kemeja kerjanya saja sudah bisa di lihat tubuhnya yang atletis itu tercetak jelas di sana. Hidung mancung, alis tebal dan rahang tegasnya. Dan yang paling menonjol adalah tatapan matanya yang tajam itu. Bahkan aku rasa tatapannya itu bisa membunuh sesuatu saking tajamnya.

 

“Siapa tuh?” Aku menyenggol Tiwi yang berdiri di sampingku.

 

“Nggak tahu, Mbak. Kayaknya dia pengganti Bu Nia deh. Gila ganteng banget, kayak bukan manusia tuh. Berasa lihat dewa Yunani nih mata gue.” Aku terkekeh mendengar ucapan Tiwi yang memang terdengar benar.

 

"Good morning all. Perkenalkan saya Samuel Devano Gavin. Panggil saja, Sam. Saya pengganti Bu Nia, Bos baru kalian.” Katanya memperkenalkan diri.

 

Mbak Sari menyenggol lenganku dari belakang, hingga mau tak mau aku harus memundurkan sedikit kepalaku supaya aku bisa mendengar apa yang ingin Mbak Sari katakan. “bening banget mukanya,” bisik Mbak Sari.

 

“Sayur sop kali, ah!” bisikku menahan tawa.

 

“Sudah ngobrolnya?” Pak Sam menatap tajam ke arahku dan juga Mbak Sari.

 

Gila! serem banget tatapannya, sumpah. Gue nggak bohong. Gimana kalau dia marah ya?

Aku dan Mbak Sari hanya bisa diam dan menunduk.

 

“Saya berharap, saya dan kalian bisa bekerja dengan baik dalam tim ini. Dan saya juga berharap kita semua bisa menjadi tim yang lebih baik dari sebelumnya. Ah ya, saya juga akan membuat beberapa perubahan di dalam tim kita nanti. So, saya harap kalian bisa menyesuaikan diri setelah ini nanti. And well, itu saja yang ingin saya sampaikan. Any question?” Pak Sam menatap wajah kami satu persatu-satu.

 

Gila itu muka apa papan setrika sih? Datar banget. Tidak ada yang berani berbicara sampai tiba-tiba Tiwi mengangkat tangannya. Dari bau-baunya sih itu bocah bakalan ngomong kurang ajar. Percaya deh.

 

“Bapak blasteran bule ya?” Aku, Mbak Sari, Mas Angga dan Rizal seketika menatap Tiwi dengan kening berkerut. Benar kan kurang ajar banget tuh mulut bocah.

 

“Yes, My Father’s from London,” jawab Pak Sam langsung ke inti. “Well, saya rasa cukup sampai di sini saja perkenalannya. Sekarang selamat bekerja kembali,” Imbuhnya lalu masuk ke ruangannya begitu saja.

 

Setelah pintu ruangannya tertutup, Tiwi langsung histeris semacam dedek gemes kalau lagi nonton konser Oppa-oppa Korea yang lagi buka baju. “Kok udahan sih, gue kan belum puas ngelihat wajahnya.”

 

“Eh bocah! Mulutnya lain kali di jaga ya, asal mangap aja. Gue kepret juga lo!” Ucap Rizal gemas.

 

“Ya ampun ... gue cuma nanya kali ah, dari pada gue nggak bisa tidur gegara mikir wajah gantengnya itu di dapat dari mana, kan?” sungut Tiwi.

 

“Dari sini nih, Puas!” Rizal terkekeh sambil menunjuk pantatnya, tentu saja hal itu membuat Tiwi sangat kesal.

 

Memilih untuk mengabaikan dua makhluk aneh itu. Aku langsung memutuskan untuk menoleh ke arah Mbak Sari. “Mbak perasaan gue nggak enak nih.”

 

“Kenapa? Kalau kebelet boker nggak usah laporan sama gue,” cetus Mbak Sari.

 

Aku langsung mendengus. “Bukan. Ini soal Pak Sam. Dari terawangan gue, dia bakalan lebih galak, ngeselin plus kejam di banding Bu Nia.”

 

Keyakinanku tersebut di dukung oleh fakta beberapa menit yang lalu, saat Pak Sam mengenalkan diri sebagai Bos baru divisi ini.

 

“Kayaknya sih, tapi dia ganteng banget. Lumayan buat cuci mata.” Mbak Sari terkekeh dengan ucapannya sendiri. Dan aku hanya mencibir ke arahnya.

 

“Cuci mata pake rinso sekalian aja deh, Sar!” Tukas Mas Angga yang berhasil membuat Mbak Sari melotot kesal.

 

Aku hanya bisa menggeleng sambil menghidupkan layar komputer yang sejak tadi memang masih mati tersebut.

 

“Adelia Rinjani.”

 

Seketika aku terkejut dan langsung menatap ke sumber suara yang ternyata berasal dari balik pintu ruangan Pak Sam.

Sepertinya ini pertanda kalau dugaanku tadi akan menjadi kenyataan.

.

.

###

hai cerita baru nih..

mungkin bakalan low update jadi sabar ya guys..😁

dari gue penulis amatir, ❤️

follow IG

@nan_dria

Note :

Cerita ini sebagian ada yang aku revisi ya guys.

Maklum tulisan masih acak-adul syekali jadi harus aku perbaiki.

2. Kena Semprot !

Satu tahun kemudian.

 

“Adelia! Memangnya kamu libur hari ini?!”

 

Aku terpaksa membuka kedua mataku yang masih terasa begitu lengket ini karena terus saja mendengar suara teriakan dan gedoran yang berasal dari pintu kamarku. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Mamaku.

 

Aku langsung melirik jam yang sudah hampir menunjuk pukul setengah tujuh. Seketika aku langsung gelagapan, bangun dari tidurku dan segera berlari masuk ke dalam ke kamar mandi. Aku tidak mempunyai banyak waktu. Alhasil dengan sangat terpaksa aku harus mempersingkat acara mandiku. Bahkan aku juga harus mengabaikan toilet yang sejak tadi terus melambai-lambai pada perut mulasku.

 

Sabar ya perut. Kita bisa menuntaskannya di toilet kantor.

 

Aku memakai rok span pendek berwarna hitam dengan atasan kemeja berwarna putih, dan tak lupa Stiletto hitam kesayanganku. Aku tak punya banyak waktu untuk bersolek. Aku hanya sempat memakai bedak dan yang tidak boleh lupa dan juga ketinggalan adalah harus memakai gincu.

 

Aku langsung menuruni anak tangga dan sarapan secepat kilat.

 

“Mama, Adelia berangkat dulu.” Aku mencium tangan Mama sambil berlari.

 

Aku segera membuka aplikasi ojek online guna mencari abang ojek yang terdekat dengan lokasi rumahku. Setelah dapat, aku langsung menyuruhnya mengebut secepat kilat menuju kantorku.

 

Aku hanya bisa berharap semoga abang ojek online ini bisa menyelamatkanku dari bencana terlambat.

 

***

 

“Kenapa itu muka?” Mbak Sari menatapku dengan sebelah alis terangkat.

 

“Tahu ah! Buttuh holiday kayaknya,” jawabku sembari mengikat rambut panjangku yang berantakkan menggunakan karet.

 

“Kismin amat sih lo, Del. Nih pakai kunciran gue.” Mbak Sari melempariku dengan sebuah kunciran rambut.

 

“Holiday sama gue mau nggak, Del?” Tiba-tiba Rizal langsung ikut nimbrung duduk di atas meja kerjaku.

 

“Kayak punya duit aja lo, Zal. Inget ngajak anak gadis orang tuh harus punya modal,” cibir Mbak Sari yang tentunya berhasil membuatku tertawa.

 

“Ck! Kalau cuma ngajakin Adelia doang mah kecil. Di ajak makan pinggir jalan aja dia udah seneng kok. Ya kan, Del?”

 

“Bukannya seneng tapi kepepet, Zal,” Ujarku yang langsung membuat Rizal cemberut.

 

Mbak Sari tertawa. “Makanya modal dong, ngajak pergi kok nanggung.”

 

Rizal memang akan selalu mendapat cemooh, selama dirinya belum sadar kalau dia memang seperti itu.

 

“Lagi prihatin ini, Mbak. Nabung buat masa depan,” ujarnya sok dewasa, yang tentunya malah semakin membuat kami ingin menghujatnya.

 

“Halaaah, calon aja masih bingung yang mana udah sok-sok'an prihatin lo,” Celetuk Mbak Sari.

 

“Habisnya  Adelia gue ajak jadi masa depan gue nggak peka-peka, Mbak.” Rizal melirikku sambil tersenyum.

 

Apa katanya masa depan? Duh, nggak kebayang diriku harus menjalani masa depan dengannya. Bisa-bisa gila di tengah jalan nantinya.

 

“Apaan lo bawa-bawa gue? Ingat umur lo! Nggak usah banyak gombalin cewek,” cicitku sambil mengerucut.

 

“Del, kok gue dulu nggak tahu ya punya adek kelas secantik lo?” Tanya Rizal tiba-tiba.

 

“Makanya punya mata itu di gunain buat sebagaimana mestinya. Harusnya di gunain buat melihat hal-hal indah seperti ... gue contohnya.” Mbak Sari dan Rizal hanya terkekeh mendengar ucapanku.

 

“Kenapa nih pagi-pagi sudah bahas yang indah-indah saja?” Aku menoleh ke sumber suara, dimana ada Tiwi dan Mas Angga yang baru saja kembali dari pantry dengan membawa empat cangkir kopi.

 

“Loh kok cuma empat sih?” Protesku sambil memicing.

 

“Sorry, Del. Habisnya tadi lo belum datang sih, ya gue cuma bikin empat,” Ucap Mas Angga dengan wajah polos.

 

Lihatlah betapa kampretnya temanku. Kalau ketahuan salah saja, langsung sok-sokkan pasang wajah polos. Di kiranya aku bakalan luluh begitu?

 

“Halaaah, kebiasaan. Udahh ah gue ntar bikin sendiri aja.” Aku memasang wajah kesal sambil menyalakan komputer dan membenarkan posisi dudukku.

 

“Joinan sama gue mau?” Rizal menatapku dengan senyum jahilnya.

 

“Ogah!” Teriakku kesal. Dia tidak tahu apa ya kalau senyumnya yang menyebalkan itu justru semakin membuatku bertambah kesal.

 

Tanpa aku sadari Pak Sam yang secara resmi sudah menjadi Bosku sejak setahun yang lalu itu sudah datang, dan berjalan dengan santainya melewati ruangan kami. Aku segera berpura-pura menyibukkan diri dengan layar komputerku.

 

“Adelia dan Angga masuk ke ruangan saya.” Perintahnya sambil berdiri di depan pintu ruangannya.

 

Entah kenapa rasanya jantungku berhenti berdetak seperkian detik setelah mendengar ucapan dari Pak Sam tersebut. Seperti mendengar bisikkan halus dari setan yang terus saja terngiang-ngiang di kepalaku.

 

“Perasaan gue nggak enak nih, Mas.” Aku menatap Mas Angga dengan wajah melas.

 

“Sama. Gue jadi pengen boker, Del,” sahutnya sambil berdiri

 

“Anjir lo, Mas! Sempat-sempatnya lo kepikiran pengen boker. Nggak tahu apa kita mau berhadapan sama siapa?” Aku memukul lengan Mas Angga dengan kesal.

 

Mbak Sari langsung tertawa. “Keluarin aja, Ngga, dari pada nanti keluar gasnya di depan Sam,” ujarnya masih dengan terkekeh.

 

Aku hanya mendengus lalu segera berjalan masuk ke dalam ruangan Pak Sam bersama Mas Angga.

 

Sama seperti biasanya, pria yang berstatus sebagai Bos kami tersebut hanya memasang wajah datar ketika ada anak buahnya yang datang. Aku dan Mas Angga langsung duduk dan menyerahkan proposal kami.

Pak Sam menerimanya lalu membuka laporan tersebut satu persatu. Tiba-tiba, ekspresi wajahnya berubah dingin. Sudah datar di tambah dingin, ya semacam jalan yang di selimuti salju -0 derajat lah. Kalian sudah bisa menebak kan apa yang kini sedang aku rasakan bersama dengan Mas Angga?

 

“Kalian ini sudah kerja berapa lama?!” Pak Sam mulai mengeluarkan tanduknya.

 

“M-maksud Bapak?” Sumpah perasaanku benar-benar tidak enak. Dan kenapa malah pertanyaan itu yang keluar dari mulutku? Bodoh.

 

Aku hanya bisa menghirup nafas secara perlahan agar tidak pingsan mendadak.

 

“Ini proposal macam apa? Saya tidak mau menerimanya. Kalian tahu kan launching produk sebentar lagi?! Kalau cara kerja kalian seperti ini bagaimana semuanya bisa cepat selesai?!” Pak Sam menatap Mas Angga. “Kamu bukanya sudah lama kerja di sini. Kenapa bikin proposal saja masih seperti ini?! Banyak kata-kata yang salah. Saya tidak mau tahu! Pokoknya ini harus di ulang!” Pak Sam membanting proposal itu ke hadapanku dan Mas Angga.

 

“Ah ya dan untuk kamu, Adelia.” Tubuhku sudah terasa berkeringat dingin saat mendengar Pak Sam menyebut namaku. “Segera laporkan penentuan harganya kepada saya.”

 

Aku dan Mas Angga hanya mengangguk lalu beranjak keluar dari ruangan Pak Sam dengan menahan kesal dan ... takut tentunya.

Siapa sih yang tidak takut melihat Bos kami itu marah? Sumpah ya kadang aku saja tidak bisa membedakan wajah Pak Sam dengan demit kantor ini kalau dia sedang marah.

 

Aku membanting proposalku ke atas meja.

 

“Tuh kan, Mas. Apa gue bilang? Dia memang ngeselin, galaknya kayak setan! Nggak menghargai banget pekerjaan kita. Padahal kita sampai lembur loh kemarin. Over perfectsionist banget Bos kampret itu. Terpaksa kan nanti kita lembur lagi.” Sungutku dengan penuh emosi.

 

Ya, sejak setahun yang lalu aku beserta teman-temanku mulai memutuskan untuk menjulukki Pak Sam dengan sebutan Bos setan. Tidak peduli meski wajahnya tampan bak malaikat, yang jelas mulut dan kelakuannya benar-benar sangat berbanding terbalik dengan wajahnya. Dia lebih cocok di julukki setan.

 

“Sabar, Mbak. Gue pernah ngalamin sampai nangis darah gue mbak di omelin Bu Nia dulu.” Tiba-tiba Tiwi curhat dadakan.

 

“Halah, memang dasarnya aja lo cengeng, Wi. Dikit-dikit baper.” Celetuk Mbak Sari dan Tiwi pun hanya tersenyum malu.

 

“Mau kemana, Del?” Rizal menoleh ke arahku.

 

“Mau pulang! Mutung gue, Zal.” Jawabku sambil berlalu.

 

Aku memutuskan untuk pergi ke pantry. Siapa tahu dengan membuat secangkir teh hangat bisa mengurangi sedikit rasa kesalku. Sampainya di pantry aku melihat ada Mang Diman, salah satu OB yang cukup akrab denganku dan juga teman-temanku.

 

“Eh Neng geulis. Mau buat apa?” Tanyanya ramah.

 

“Mau buat racun ada nggak, Mang.” Jawabku asal.

 

“Aduh, Neng. Kenapa atuh? Cantik-cantik mah nggak boleh begitu ngomongnya. Mana wajahnya dari tadi cemberut begitu.”

 

“Mang Diman tahu nggak? Bosku yang bernama Samuel itu?” Aku berbicara sembari mengambil gelas dari rak penyimpanan. “Dia ngeselin banget. Mana galaknya kayak setan. Heran deh aku, kok ada ya manusia kayak begitu? Kesel aku, Mang.”

 

“Pak Sam? Yang kasep pisan itu? Ah masa orang kasep begitu di panggil setan. Neng Adel mah aya-aya wae. Udah atuh, Neng. Sabar. Mang tinggal dulu ya.”

 

“Hm.” Aku hanya bergumam dengan wajah cemberut. “Sebel!” Teriakku sambil mengaduk gelas dengan gerakan cepat. Tidak peduli meski pertemuan antara sendok dan gelas tersebut saat ini berhasil menimbulkan suara gaduh yang begitu nyaring.

 

“Kenapa?”

 

Tubuhku seketika membeku setelah mendengar suara yang sangat aku kenal itu. Aku menoleh ke belakang dengan perlahan, dan ... betulkan suara itu milik Pak Sam.

Dia sudah berdiri sambil melipat kedua tangannya dengan tubuh menyender di daun pintu.

 

“Pantas saja telinga saya gatal, ternyata ada yang ngomongin saya,” imbuhnya dengan nada santai.

 

Aku merasa kesulitan menelan ludah mendengar ucapan Pak Sam.

Mampus! kalau aku pura-pura pingsan sopan tidak ya? Duh, jantungku rasanya sudah mau copot ini. Mama!

 

“P-pak Sam. Bapak mau bikin kopi ya. Saya bikini  sekalian ya.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

 

Pak Sam berjalan ke arahku dan hal tersebut membuat kedua kakiku langsung terasa lemas sekali.

Mau pingsan aja woy!

 

“Tadinya sih begitu. Tapi sekarang saya sudah tidak berselera.” Pak Sam berkata sambil menatapku dengan wajah datar yang justru malah membuatku takut. Namun tak lama kemudian dia langsung pergi meninggalkanku.

 

Aku segera kembali ke meja kerjaku, dan langsung membenahi proposal yang di kembalikan Pak Sam tadi.

 

Sumpah, kalau boleh pulang aku ingin pulang saja. Malu aku, Pak Sam tadi mendengar semuanya apa tidak ya? Aku jadi gelisah gara-gara mulutku ini.

 

***

 

“Makan siang kemana kita hari ini?” Tiwi mendongakkan kepalanya sembari menunggu jawaban.

 

“Kafe biasa aja lah tanggal tua ini,” Jawab Mbak Sari.

 

“Bukan tanggalnya aja, mbak, lo juga.” Mbak Sari langsung melempari Rizal dengan bolpoin.

 

“Gue mau pesan G-food aja deh, tanggung nih kerjaan banyak banget. Gue nggak mau pulang malam lagi,” Ujar Mas Angga dengan nada lelah.

 

“Gue ikut lo aja deh, Mas. Nanti gue lembur sendiri lagi kalau lo pulang,” Sahutku cepat yang langsung dia anggukki oleh Mas Angga.

 

“Kalian itu ya, nggak usah mupeng deh sama kerjaan. Apa lagi lo, Ngga. Makin keriput yang ada lo nanti.” Mbak Sari mulai mencibir.

 

“Orang kalo belum ngerasain di semprot ya gitu, nyinyir doang,” Balas Mas Angga tak mau kalah.

 

Tepat saat itu juga Pak Sam datang. Seperti biasa dengan wajah dinginnya dia menatap kami satu persatu.

 

“Sari masuk ke ruangan saya!”

 

Aku dan Mas Angga menahan tawa melihat ekspresi wajah Mbak Sari yang seketika berubah gelagapan setelah di panggil Pak Sam.

 

“Berdoa dulu, Sar. Siapa tahu dapet rezeki.” Mas Angga berusaha menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara tawa.

 

Cukup lama Mbak Sari berada di dalam ruangan Pak Sam, hingga akhirnya dia keluar sembari membawa sebuah berkas berwarna merah. Bukan hanya itu, wajahnya pun juga sudah tertekuk tidak karuan. Aku bahkan sampai tidak bisa membedakan wajah Mbak Sari dengan keset welcome depan rumahku.

 

“Sabar, Gusti. Sabar ... ini cobaan.” Mbak Sari langsung membanting berkas itu ke atas mejanya.

 

“Kenapa, Mbak?” Tanya Tiwi.

 

“Laporan gue yang kemarin di tolak mentah-mentah sama Pak Sam. Padahal gue udah buat seteliti mungkin, mana mulutnya pedes banget! Ini udah bukan level gado-gado karet dua, tapi samyang hot extra pedas! Mana harus selesai besok pagi,” Celotehnya sambil membuka laporan yang di tolak Pak Sam.

 

“Asyik ada teman baru buat lembur, Del.” Mas Angga menyengir lebar ke arahku.

 

“Bener, Mas. Tuhan memang adil.” Aku terkekeh dengan Mas Angga.

 

“Ya udah gue juga pesen G-food juga deh. Angga pesenin.” Rengek Mbak Sari ke mas Angga.

 

“Amit-amit muka lo, Mbak,” Celetukku sambil memandang Mbak Sari.

 

“Ya gitu deh, Del. Orang yang suka jilat ludahnya sendiri, senjata makan tuan.” Cetus Mas Angga yang berhasil mendapat tatapan tajam dari Mbak Sari.

 

Saat kami asyik berbicara tiba-tiba Pak Sam keluar dari ruangannya dan berjalan ke arahku. Heran deh suka banget sih bikin kaget orang.

 

“Laporan kamu sudah sampai mana?” Tanyanya datar.

 

“I-ini baru mau benerin bagian isi nya, Pak,” Jawab ku sedikit gemetar. Bahkan cenderung takut-takut. Takut kena semprotannya lagi, mengingat tadi aku sudah membuatnya kesal juga.

 

“Kamu dari pagi ngapain saja? Ini sudah jam berapa?! Kamu masih ada tugas lain dan semuanya harus selesai besok pagi. Saya nggak mau ada alasan apapun.” Pak Sam berkacak pinggang memperhatikan kami satu persatu secara bergantian.

 

“Kamu juga!” Pak Sam menunjuk Mas Angga. “Kamu jangan nyantai terus, Ngga. Koreksi itu kesalahan katanya. Sari juga, hanya membuat laporan begitu saja tidak bisa. Atau jangan-jangan kalian memang suka mengulang pekerjaan?!”

 

Sabar Adelia, rasanya inginku sumpel itu mulut pakai kertas, dari tadi ngomel terus tidak capek apa? Heran aku makanannya apa sih itu orang?

 

“Dan untuk kamu.” Pak Sam menunjuk Rizal. “Sehabis istirahat nanti langsung pergi ke lapangan buat survey product. Sama Tiwi juga.” Imbuhnya tegas. Dan setelah selesai mengomel-ngomel Bos setan bernama Sam itu langsung pergi dan masuk ke dalam lift begitu saja.

 

“Tuh kan ... Apa gue bilang? Dia memang kayak setan, bukan cuman galaknya aja tapi kelakuannya juga. Suka banget nongol tiba-tiba, terus nyemprot-nyemprot nggak jelas, habis itu pergi lagi.” Omelku sambil mengetik papan keyboard dengan sebal

 

“OMG, gue di suruh ke lapangan siang hari? Mas Rizal panas ... si Bos ganteng tega amat sih sama gue,” Rengek Tiwi yang sudah seperti bocah di suruh emaknya pergi ke warung.

 

“Dasar lo, Wi. Makan tuh ganteng.” Cetus Rizal.

 

***

 

Jam sudah menunjukkan jam sepuluh malam dan aku adalah penghuni terakhir yang masih setia duduk di dalam ruangan ini. Tadinya sih ada Mas Angga tapi dia sudah pulang lebih dulu, tepatnya sepuluh menit yang lalu.

 

Aku membereskan segera membereskan meja kerja, kemudian mengambil tas dan bersiap untuk pulang. Saat aku berdiri, saat itu juga pintu ruangan Pak Sam terbuka.

 

“Kamu baru mau pulang?” Tanyanya. Entah hanya perasaanku atau memang pertanyaan itu sirat dengan nada meledek sih?

 

“Hm, habisnya Pak Sam ngasih kerjaan banyak banget,” Ujarku dengan sengaja. Aku sudah tidak peduli lagi dengan statusnya sebagai bos sedangkan aku sebagai anak buahnya. Aku benar-benar capek.

 

Pak Sam mengernyit. “Kamu nyalahin saya? Seharusnya kamu harus bisa lebih cekatan. Nyatanya yang lain bisa selesai dengan cepat,” cetusnya.

 

“Terserah Bapak deh. Saya capek mau pulang, bye!” Aku langsung melangkah menuju lift, dan entah kenapa Pak Sam kampret itu malah mengikutiku di belakang. “Bapak ngapain ngikutin saya?”

 

“Loh ... Saya kan juga mau pulang, Adelia. Kalau saya tidak turun pakai lift terus kamu suruh saya lompat dari jendela, begitu?” Dia menatapku dengan sebelah alis terangkat.

 

Wah, ide bagus itu, Pak. Kalau bisa sih beneran lompat saja deh. Gumamku dalam hati.

 

“Oh, iya ya.” Aku hanya bisa memasang wajah sok bodoh, dan membiarkan Pak Sam ikut masuk ke dalam lift bersamaku.

 

Selama di dalam lift kami hanya saling diam, tidak ada yang berbicara. Dan suasana tersebut benar-benar berhasil membuatku merasa begitu canggung. Apalagi berduaan dengan bos kampret ini. Aku hanya berharap bisa segera sampai ke rumah. Sudah itu saja!

3. Secuil Kebebasan

Berhubung ini adalah hari libur, maka dengan senang hati aku gunakan waktu untuk mager seharian di rumah. Makan, menonton TV, tidur, ya ... paling seputar itu saja jadwal hari liburku. Terlebih sejak aku menjadi jomblo. Aku jadi tidak memiliki semangat untuk melakukan apapun, mandi saja aku rapel.

Jam dua siang baru mandi dan itu untuk mandi pagi sekalian mandi sore. Ck! mengenaskan bukan? Sepertinya aku memang mulai kehilangan motivasi.

 

Bagi seorang karyawan seperti diriku ini, tidak ada hari yang lebih menyenangkan selain hari libur. Garis bawahi ya!

 

Aku menuruni rangkaian anak tangga karena mencium aroma sedap dari masakan yang langsung membuat cacing di perutku meronta-ronta. Rumahku tidak begitu besar tapi terdiri dari dua lantai.

 

Sampai di dapur aku melihat Mamaku yang bernama Ratna tengah memasak, Papaku Pramono sedang membaca koran di meja makan. Sedangkan Vino, satu-satunya adik lelakiku itu tengah sibuk bermain game di ponselnya.

 

Vino ini merupakan mahasiswa semester pertama, yang secara pasti dia sudah berumur lebih dari delapan belas tahun. Tapi, jangan kaget kalau kalian bertemu dengannya dan melihat tingkah anehnya yang masih seperti bocah.

 

“Mama masak apa? Baunya bikin cacing-cacing di perut Adel kelaparan.” Aku menghampiri Mama yang masih sibuk di depan kompor dengan wajah semringah.

 

“Jelas dong ... Masakan Mama pasti selalu bikin lapar, coba Mama ikutan audi Master Chef. Pasti juara ini.” Mamaku mulai menyombongkan diri.

 

Aku hanya tertawa, melirik ke arah meja makan tempat dimana Papa dan Vino menunggu Mama menyelesaikan masakannya.

 

“Juara malu-maluinya,” celetuk Papa sembari menyesap tehnya.

 

“Idih Papa, sadisnya ngalahin mulutnya chef juna banget sih,” sungut Mama sambil cemberut.

 

Setelah beberapa menit kemudian akhirnya masakan Mama selesai juga. Mama menaruh sepiring capcay seafood ke atas meja makan. Sedangkan aku segera menggeser kursi lalu duduk dan mengambil sepiring nasi.

 

“Kok sepertinya ada bau-bau aneh gitu ya?” Vino berkata sembari mengendus-endus sekitar.

 

“Apaan? bau masakan Mama?” Aku melirik padanya.

 

“Bukan, semacam bau orang kurang semangat. Bau-bau kejombloan kayaknya.” Aku langsung menjitak kepala Vino yang kebetulan duduk di sebelahku.

 

Mulut adikku ini memang selalu berhasil membuatku kesal. Apalagi kalau aku sedang tertimpa sial, Vino akan menjadi orang nomor satu yang akan meledekku.

 

“Sakit, mbak! Tega banget sama adik sendiri. Nanti kalau muka imut gue ini lecet gimana?” Vino memanyunkan bibir sambil membenarkan tatanan rambut yang bergaya undercut tersebut.

 

“Heleeeh, imut dari mananya? Yang ada juga kalau lo keluar sama gue, di kiranya lo itu yang lebih tua,” sungutku sambil menyendok capcay ke dalam piringku.

 

“Mana ada? Orang muka kayak member BTS gini kok di bilang tua. Lo tuh yang tua, Mbak. Mana jomblo lagi.”

 

Buseeet, ini bocah mulutnya parah banget, ingin aku sumpel pakai piring itu mulut. Aku merasa menyesal karena sudah menceritakan hal-hal menyakitkan yang pernah aku alami ke Vino.

 

“Suka-suka gue lah. Papa dulu ngidam apa sih? rese banget ini mulutnya.” Aduku pada Papa yang tengah mengambil nasi. Sedangkan Vino hanya menyengir tanpa merasa berdosa.

 

“Ini hasil ngidam Mama kamu, Del. Bukan Papa,” jawab Papa polos.

 

Mama yang baru datang membawa tempe goreng pun langsung memukul lengan papa. “Yeee, itu juga akibat Papa yang suka nggak langsung nurutin ngidamnya Mama kali.”

 

Lihat kan, Mama dan Papa saja sampai eyel-eyelan lho untuk mengakui Vino.

 

“Pantes ileran bocahnya.” Aku tertawa sedangkan Vino hanya memayunkan bibirnya.

 

Tingg... notifikasi grup dalam ponselku berbunyi,

 

Grup Shobat Mengeluh :

 

Tiwi : hallo everybody, ada yang kosong nggak nih??

 

Ini bocah baru libur sehari saja sudah bikin heboh di grup Whatsapps.

 

Rizal : Di kira angkot kali kosong.

 

Anda : Yeee ... Angkot mah sumpek kali.

 

Rizal : Tapi nggak sesumpek hati lo kan, Del. Hahahaha.

 

Aku tertawa sambil terus membaca balasan Rizal di grup chat kami.

 

Mbak Sari : Pepet teroos, tong! Modal omong doang lo. Kebanyakan terjun ke lapangan sih, itu mulut jadi lemes banget buat merayu.

 

Anda : Bener banget, Mbak. Juragan promosi.

 

Mas Angga : Mohon maap. Juragan promosi siapanya juragan99 ya?

 

Anda : Awkwokwokwokwokk.

 

Mbak Sari : Lo ketawa apa keselek, Del?

 

Tiwi : Woy gue di kacangin! Gimana nih ada yang kosong nggak? sumpek nih di rumah. Jalan kuy!

 

Mas Angga : Eh kunyil ... baru sehari nggak ketemu kita aja udah kangen nih.

 

Rizal : Emangnya nggak di ajak mamas Farhan ngedate ya?

 

Anda : Farhan lagi bokek kali makanya nggak dia pepet.

 

Aku masih tersenyum-senyum menatap layar ponselku. Kegitanku dengan teman-teman memang hanyalah menggosip. Entah di kantor, entah di grup WA.

 

Tiwi : Bodoamat! kuy lah Starbuck juga nggak apa-apa. Babang Rizal yang traktir ya.

 

Rizal : Ampun deh kunyil. Mulut asal njeplak aja, ogah! Bayar sendiri-sendiri.

 

Mas Angga : Yaah ketahuan bokek juga ini cunguk.

 

Mbak Sari : Pantesan kalau pacaran nggak bertahan lama. kalau tanggal tuwir nggak berani keluar duit sih.

 

Anda : hahahaha, ternyata ya di balik wajah sok gantengnya tersembunyi jiwa missqueen.

 

Rizal : Tapi lo demen kan, Del?

 

Dih, aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Ini orang kapan sih bisa ngomong serius?

 

Tiwi : Gimana jadi ya? gue tunggu jam setengah tiga di sana.

 

Anda : Tapi gue belom mandi. Mandi dulu ya bentar doang kok.

 

Mbak Sari : Ampun deh lu, Del. Sejak jadi jomblo jadi jorok lo ya?

 

Mas Angga : Kehilangan motivasi kayaknya.

 

Anda : Bodo amat!!!

 

***

 

Satu jam kemudian aku sudah sampai di Starbuck. Tiwi dan Rizal sudah datang terlebih dulu. Kalau Mas Angga dan Mbak Sari tidak bisa ikut, maklum urusan rumah tangga.

 

“Widiiih, wangi banget lo, Del. Gila totalitas banget, euy! Cuma mau ketemu sama gue lho ini.” Rizal menyengir sambari mencolek daguku.

 

“Rizal yang terhormat, terima kasih atas ke Ge-eRaan, Anda. Tapi sayangnya, ini bukan buat lo.” Aku langsung duduk dan menyeruput minuman yang sudah di pesankan Tiwi, “BTW, ini jadi lo bayarin kan, Zal?”

 

Rizal langsung merengut. “Rampok aja terus sampai ke sempakk-sempakk gue.”

 

“Idih, sempakk lo nggak laku kali, mas.” Ledek Tiwi sambil tertawa.

 

“Loh, punyanya orang ganteng lho ini,” ujar Rizal dengan PeDenya.

 

Aku dan Tiwi kompak membuat ekspresi muntah ke arah Rizal. Dia memang paling jago kalau urusan menyombongkan diri sendiri.

 

“Ganteng enggak ... Gesrek iya.” cetusku sambil terkekeh. Dan Rizal hanya mencubit lenganku.

 

“OH EM JI HELLOWW!!” Tiba-tiba Tiwi berteriak histeris sembari memandang layar ponselnya.

 

Aku yang sedang menikmati minuman bahkan hampir tersedak akibat teriakkan cempreng Tiwi yang khas itu. Aku mencoba menelan minumanku, lalu menatap ke arah Tiwi. Gila, ini orang tidak malu apa ya? Mana banyak Mas-mas ganteng yang lagi nongkrong di sini mulai melirik ke arah kami.

 

“Eh, Kunyil. Mulut lo malu-maluin banget sih. Cempreng kayak panci lagi di pukulin tau nggak?” Rizal mengorek-orek kupingnya sambil melirik Tiwi. Sedangkan yang di lirik terlihat tidak peduli.

 

“OMG, lihat ini guys ...” Tiwi menunjukkan ponselnya ke arahku dan Rizal. “Ini akun instagram-nya Pak Sam, dan fotonya ganteng-ganteng banget. Ah, gue follow deh, siapa tahu di follback.”

 

Astaga! Jadi teriakan histeris barusan hanya gara-gara Tiwi menemukan akun Instagram Pak Sam. Aku hanya bisa geleng-geleng menatap Tiwi, sembari sesekali melirik ke arah ponselnya untuk mengetahui nama akun Pak Bos. Ya, siapa tahu suatu saat nanti aku penasaran juga kan? Ck! Emang dasar ya aku tidak tahu diri.

 

“Halaaah, ngayal terooos! Sekalian nggak ngayal buat lo pepet, hah?” cibirku sambil mengaduk minuman.

 

“Kalau di lihat-lihat sih sebenarnya ada niat buat mepet, Del. Cuma tergantung Pak Sam-nya mau apa nggak sama model kayak begini,” Ujar Rizal sambil tertawa.

 

“Ya ampun! Mulutnya jahat banget, belum pernah di penjarain! Gini-gini gebetan gue banyak.” Tiwi berdehem sejenak. “Nggak kayak Mbak Adel.” Imbuhnya tanpa perasaan.

 

“Sialan mulut lo! Gue udah diem loh, masih aja kena.” Aku mulai kesal karena kejombloanku menjadi bahan olokan lagi.

 

Rizal dan Tiwi tertawa.

 

“Jangan mau kalah, Del. Sama model rata kayak begitu.” Rizal masih terkekeh di sela bicaranya.

 

“Sialan lo, Mas! siapa yang bilang rata?!” Tiwi melotot ke arah Rizal yang justru membuat Rizal semakin terpingkal.

 

“Positif thinking aja, Zal. Mungkin masa pertumbuhannya belum sempurna,” Ujarku sambil terbahak dan tentu saja Tiwi semakin kesal.

 

“Bukan belum, Del. Tapi ... kurang!” Imbuh Rizal.

 

Tiwi semakin cemberut lalu mencubit lengan Rizal hingga membuat Rizal mengaduh kesakitan.

 

“Dasar mulut! Nanti kalau gue semok lo naksir lagi sama gue, Mas." Cetus Tiwi.

 

“Dih, mending kemana-mana gue milih Adelia, yang jelas pertumbuhannya sempurna,” Sahut Rizal cepat.

 

Aku menjitak kepala Rizal sambil melotot. Di kira dengan bicara begitu aku bakalan luluh apa? sorry ya.

 

“Ciyeee, yang bakal cinlok ni ye.” Tiwi melirik ke arahku dan Rizal dengan senyum nakal. “BTW, dari pada sama Mas Rizal. Mending lo sama Pak Sam aja deh, Mbak. Soal ganteng doang mah kalah jauh sama mas Rizal.”

 

“Lo doyan banget sih makan ganteng.” Ketus Rizal.

 

“Ye ... kalau modelnya kayak Pak Sam mah bukan cuman doyan. Bakalan kenyang gue. Sudah ganteng, kaya, pinter kurang apalagi coba?” Tiwi menatap Rizal.

 

“Kurang nyenengin, kayak gue!” Ujar Rizal setelah itu tertawa terbahak-bahak.

 

Ya, ucapan Rizal tidak ada salahnya juga sih.

.

.

.

.

gimana udah seru belom??

kepoin terus yaa jangan lupa follow IG ku juga

@nan_dria

salam dari penulis amatir ❤️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!