Sebelum memulainya begitu jauh, aku ingin mengeluarkan sedikit pemikiranku tentang sesuatu yang bernama cinta. Bisakah kalian meluangkan waktu untuk mendengarkan teoriku ini?
Pernahkah sesekali kalian memikirkan esensi tentang cinta?
Awalnya aku menganggap remeh hal ini dengan mengatakan "Itu hanya membuang waktuku". Aku mulai mengabaikan apapun yang memiliki kaitannya dengan cinta bahkan menganggap bodoh orang yang termakan olehnya.
Namun seiring berjalannya waktu, tepatnya ketika aku menginjakan kaki di bangku SMP, perlahan demi perlahan lingkungan di sekitarku mulai banyak yang membicarakan tentang cinta.
Berbeda ketika berada di sekolah dasar.
Kalian pasti mengetahui itu, ketika itu kita hanya sibuk membicarakan "Ingin main apa setelah sekolah?" atau mungkin "Kemarin aku baru saja membeli gim baru.. Ayo bermain bersama-sama!".
Seolah-olah saat itu pikiran kita hanya terfokus terhadap hal itu saja dan tidak ada ruang untuk cinta mengisi pikiran kita saat itu.
Tapi ketika masuk SMP... Semua itu berubah.
Mulai banyak orang yang membicarakan siapa cowok paling tampan di kelas, atau membuat kelompok yang berisikan sekumpulan cewek yang paling terkenal di sekolah, itu semua terjadi karena cinta sudah masuk ke dalam pikiran kita.
Bahkan tidak perlu waktu lama untuk menjadikan seseorang yang baru bertemu menjadi sebuah pasangan.
Ketika upacara pembagian kelas pun aku masih memandang sebelah mata seseorang yang melihat ke setiap barisan untuk mencari cewek mana yang akan dia pacari nantinya. Menurutku itu hanya perbuatan orang bodoh yang terlalu membuang waktunya.
Tapi di samping dari semua itu, aku mulai mengamati lingkungan sekitarku..
Bukan mengatakan kalau ‘aku sebagai orang yang pendiam di kelas dan tidak memiliki seorang teman’. Hanya saja aku lebih memilih diam untuk melihat apa saja yang dapat cinta lakukan.
Satu tahunku di SMP hanya aku habiskan untuk mengamati orang yang terkena “virus cinta”. Sepertinya di sini aku yang terlalu membuang waktuku untuk itu.
Oh iya! Aku lupa mengatakan kepada kalian. Bukannya aku tidak mau merasakan tentang cinta, hanya saja aku ingin mengetahui terlebih dahulu apa itu cinta.
Karena menurut pengamatanku, biasanya orang akan menjadi bodoh jika sudah merasakan apa yang namanya cinta.
Dan hasil pengamatanku selama satu tahun itu tidak membuahkan hasil apa-apa, aku tidak dapat mendeskripsikan cinta dan menangkap apa yang dimaksud dengan cinta.
Kemudian aku mulai bertanya kepada beberapa temanku yang memiliki berbagai kondisi akibat cinta. Mulai dari yang sudah memiliki seorang pacar, seseorang yang sedang berusaha mendapatkan orang yang dia cinta, pasangan yang baru saja putus, bahkan seseorang yang bertepuk sebelah tangan.
Setiap kondisi memiliki jawaban yang berbeda-beda. Ada yang bilang cinta itu kesenangan, semangat, kebahagiaan, kesedihan, dan masih banyak lagi.
Ternyata itu lebih rumit dari pada yang aku pikirkan. Apa kalian memiliki pendapat yang sama sepertiku?
Karena tidak bisa mendefinisikan apa yang dimaksud cinta. Aku pun akhirnya mencoba memahaminya melalui proses yang terjadi.
Bagaimana cinta itu muncul dan apa yang dihasilkan dari rasa itu..
Hasil yang sama pun aku dapatkan ketika melihatnya dari proses. Cinta muncul bisa dari mana saja dan faktornya itu tergantung individu masing-masing. Ada yang muncul karena pembicaraan, tukar menukar surat, memberi perhatian lebih, disapa ketika upacara pembukaan, bahkan ada yang merasakan cinta itu tumbuh karena diabaikan.
Begitu juga yang dihasilkan oleh cinta itu bermacam-macam. Semakin lama memikirkannya hanya membuat waktu dan pikiranku terbuang di sana. Sepertinya aku orang yang lebih bodoh dibandingkan orang yang termakan karena cinta... haha..
Mungkin aku terlalu berlebihan dalam memandang sesuatu yang bernama cinta.
Bagaimana dengan kalian? Apa kalian juga berpikiran hal yang sama denganku?
-END Prolog-
“Tunggu!”
Dua orang polisi sedang berlari mengejarku dan juga temanku
Mungkin ini hal yang aneh karena memulai sebuah cerita dengan adegan kejar-kejaran bersama polisi, seharusnya aku meletakan hal ini di pertengahan untuk bagian klimaksnya. Tapi karena awal ceritaku tentang cinta berawal dari sini.
***
Seorang lelaki datang menghampiriku yang sedang duduk di dalam kelas. Dia melangkah layaknya seseorang yang sedang terburu-buru, langkahnya cepat dan dari kejauhan terdengar hentakan kakinya. Wajahnya tersenyum setiap kali melewati orang-orang.
“Amar! Riki mencarimu.”
Teriak salah seorang temanku yang dimintai tolong oleh Riki untuk memanggilku.
“Iya..”
Berat rasanya badanku untuk melangkah menghampirinya karena melihat kelas akan segera dimulai, tapi tidak mungkin dia datang ke kelasku jika tidak ada urusan yang sangat penting.
“Ada apa Rik?”
"Apakah sepulang sekolah nanti kau kosong? Bisakah kau menemaniku ke Jatinegara?”
“Buat apa?”
“Aku ingin membeli bahan kimia di sana.”
Aku pun melihat jamku dan mengingat apa aku memiliki rencana sepulang sekolah nanti.
Sekarang aku sudah duduk di kursi kelas tiga SMP, dan sebentar lagi aku akan menghadapi ujian praktik, dan kemudian ujian nasional yang akan menjadi akhir dari perjalananku di SMP ini.
Mengingat dua tahun terakhir yang aku habiskan hanya untuk memikirkan esensi tentang cinta. Sepertinya aku harus berusaha untuk mendapatkan nilai yang bagus.
“Boleh, aku akan menemanimu.”
“Oke.. Nanti sepulang sekolah tunggu aku di gerbang, soalnya hari ini aku ada piket.”
“Baik.”
Aku pun kembali ke kursiku dan menunggu kelas dimulai dengan tenang.
***
“Di sini ramai juga ya?”
Aku melihat ke sekumpulan orang yang berada di depan Stasiun Jatinegara.
Untuk sedikit informasi, Jatinegara adalah pusatnya orang-orang yang hobi dengan batu cincin, bahkan saat itu batu cincin sedang menjadi tren di kalangan masyarakat yang membuat tempat itu dipenuhi oleh orang-orang yang ingin menjual atau membeli batu cincin.
“Pak di dalam ada yang jualan cairan kimia tidak?”
Riki bertanya kepada satpam yang sedang menjaga di depan mal.
Ekspresi yang dikeluarkan satpam saat itu terlihat kebingungan dan heran melihat kami berdua. Aku sendiri tidak tau mengapa dia bisa berekspesi seperti itu. Apakah dia sama sekali belum pernah bertemu dengan anak sekolah yang mencari cairan kimia di sekitar sini?
“Kalau di sini tidak ada yang menjual cairan kimia Dek.. Di dalam isinya batu cincin semua.”
Ketika itu aku baru melihat papan nama pasar yang tertulis ‘Pasar Rawa Bening’ dan tepat di bawahnya tertulis ‘Pusat Batu Cincin’. Pantas saja satpam itu menatap heran kepada kami.
“Oh begitu ya Pak.. Kalau di sekitar sini ada toko yang menjual cairan kimia tidak?”
“Kalau itu saya kurang tau Dek..”
"Begitu ya Pak, terima kasih."
Kami pun pergi menyusuri jalan untuk mencari toko bahan kimia yang berada di sekitar sana.
Pada saat itu, kami belum memakai ponsel seperti sekarang ini. Jadi kami tidak dapat bertanya atau mencarinya di internet.
“Kita mau cari kemana Mar?”
“Beli es dulu Rik, aku kepanasan, selain itu aku juga haus..”
“Ya sudah, kita beli minuman dulu kebetuan aku juga haus.”
Kami pun berhenti di penjual es doger yang kami temui di pinggir jalan, dan Riki membelikanku es doger itu.
“Bang tau yang jualan bahan kimia di sekitar sini tidak?”
“Oh.. bahan kimia, ada Dek di sekitar sini.. Jalan saja ke halte yang ada di depan sana, tepat di sampingnya ada toko bahan kimia.”
Abang tukang es doger itu menunjuk ke arah kanan kami dengan menggunakan jari telunjuknya.
“Oh gitu, terima kasih Bang.”
Sepertinya keputusanku untuk beli es doger bukanlah sesuatu yang buruk, berkat itu kami mendapatkan informasi tentang toko yang kami tuju. Seperti itulah yang aku harapkan dari pasar, pusat dari semua informasi ada di sana.
***
“Maaf Mas, di sini jualnya bahan kimia yang bubuk..”
Aku kira setelah datang ke toko yang ditunjukan tukang es doger tadi dapat membuat kami pulang lebih cepat, ternyata aku salah.
Kalau bukan karena es dogernya, hampir saja aku menghardik tukang es doger tersebut. Tapi setelah diingat-ingat, memang salah Riki juga yang saat itu hanya bertanya tokonya saja tanpa menyebutkan apa yang kami cari.
“Berarti kalau yang cair tidak ada Mba?”
“Tidak ada Mas, kalau mau ke Kampung Melayu.. Di sana ada yang jual cairan kimia.”
“Baiklah kalau begitu.. Terima Kasih Mba.”
Saat kami hendak melangkah pergi, penjaga toko itu langsung mengucapkan sesuatu yang sama sekali kami tidak ingin dengar namun itu adalah informasi yang sangat penting.
“Tapi kalau mau ke sana buruan Mas, soalnya sebentar lagi tokonya mau tutup.”
Kumohon... Seharusnya kau ucapkan hal itu lebih awal.
Mendengar itu kami langsung memacu kaki kami setelah kata terima kasih baru terlontar dari mulut kami.
Saat itu, tidak ada yang mampu menghentikan kami kecuali lampu merah.
Hingga mataku sedikit teralihkan dengan sekelompok pelajar SMP seperti kami yang berada di sebelah kanan kami sedang bergerak secara berkelompok. Karena saat itu waktu kami tidak banyak, jadi aku tidak menghiraukan hal itu dan terus berlari.
***
“Akhirnya dapat juga!”
Riki mengangkat tinggi-tinggi cairan kimia yang diletakan di dalam sebuah botol berukuran kecil. Mengingat bagaimana kita mendapatkan cairan itu seharusnya aku juga merasakan kesenangan seperti yang Riki rasakan.
Tapi rasa lelah di kakiku membuatku malas untuk berbuat apa-apa. Kami pun langsung melalui jalan yang baru saja kami lewati. Namun rasa curigaku kian menguat ketika mengetahui kalau tidak ada sama sekali mobil yang lewat di jalan itu.
“Hei Rik, apa kau merasakan sesuatu yang aneh di sini?”
“Tidak, memangnya kenapa?”
“Tidak ada mobil yang lewat?”
Aku mulai memperhatikan jalan yang ada di hadapan kami, aku melihat ke seluruh penjuru jalan hingga yang paling jauh untuk memastikan kalau tidak ada mobil yang melintasi jalan tersebut.
“Mungkin lampu merah.”
Riki masih terlihat acuh dan pandangannya masih tidak lepas dengan bahan kimia yang baru saja ia beli.
Rasanya tidak mungkin jika hanya lampu merah dapat membuat jalanan kosong seperti ini. Karena jalanan yang sedang kami lewati adalah jalanan satu arah untuk kendaraan bermotor, jadi kami tidak dapat mengetahui apa penyebabnya kecuali mendekat ke sumber permasalahan.
“Tidak mungkin, kalau lampu merah tidak mungkin sesepi ini.”
“Benar juga ya..”
Riki pun mulai melihat sekeliling jalan sama sepertiku.
Kami pun terus menyusuri jalan itu dengan rasa waswas yang mulai menyelimuti hati.
Kemudian dari kejauhan kami dapat melihat sekelompok pelajar yang berlari menuju ke arah kami disertai dengan suara serene polisi yang mengikuti mereka.
“Sepertinya kalau kita diam saja akan gawat Rik.”
Aku mulai melihat ke arah gang yang berada di sekelilingku.
Semua kemungkinan pun mulai masuk ke dalam pikiranku satu per satu. Aku mulai memikirkan keputusan yang terbaik untuk kami.
Pertama, apakah kami harus berlari lebih dulu untuk memisahkan diri dari para pelajar itu atau lebih baik kami hanya diam saja dan membiarkan mereka lewat.
Sebenarnya aku lebih memilih keputusan keduaku karena kakiku sudah tidak kuat untuk berlari lagi. Tapi apakah polisi tidak akan mencurigai kami? Mengingat saat ini kami menggunakan seragam yang sama dengan mereka.
Baiklah sekarang waktunya berpikir dengan serius, waktuku tidak banyak dan aku tidak mau berakhir di polsek.
Tarik nafas dalam-dalam dan hembuskanlah secara perlahan.
Tenangkan pikiran dan fokuslah dengan satu tujuan.
Aku melihat ke gang yang berada di seberang jalan. Aku mengetahui dengan jelas kemana ujung dari gang itu.
OK. Sepertinya aku sudah mendapatkan pilihan yang tepat dibandingkan berdiam diri di sini.
“Oi Rik, waktunya kita kabur juga.”
Aku mulai mengencangkan tali tasku agar aku dapat leluasa ketika berlari nanti.
“Kenapa kita tidak diam saja? bukannya kita tidak terlibat sama tawuran itu.”
“Memangnya polisi akan menerima ucapanmu itu saat ini.”
“Sepertinya kau benar.”
Kami pun mulai berlari memasuki gang yang ada di seberang kami. Karena saat itu tidak ada kendaraan yang melintas di sana, kami pun dapat dengan mudah menyeberangi jalan itu.
“Memangnya kau tau ini jalan mengarah ke mana?”
“Ini jalan nanti tembusnya ke pasar batu akik tadi.”
“Lah! Bukannya kalau ke sana kita malah susah buat kabur ya? Kan banyak orang.”
“Justru sebaliknya Rik, kita malah bisa menghilangkan jejak dengan banyaknya orang yang mengunjungi pasar itu.”
“Sepertinya kau sudah berpikir tentang hal ini ya.”
“Jelas lah! Aku tidak mau berakhir di polsek sini, mana jauh dari rumah.”
“Seperti yang ku duga dari Amar.”
“Berhentilah bicara! Kau cuman membuang persediaan nafasmu.”
Aku hanya membuat alasan itu supaya Riki berhenti bicara kepadaku saat ini. Sekarang aku harus menggunakan nafasku yang tersisa sebaik mungkin.
Aku pun sesekali menengok ke belakang untuk melihat situasi yang terjadi.
Dan ternyata ada beberapa pelajar yang terlibat tawuran itu lari ke gang yang sama dengan kami, tentu di belakang mereka ada beberapa polisi yang mengejar di sana.
Ayolah! Mengapa kalian tidak mengambil jalan lain? Bukannya banyak gang yang bisa kalian masuki.
Untung saja aku mengambil keputusan yang tepat untuk berlari terlebih dulu. Berkatnya, kami dapat menjaga jarak dengan mereka lumayan jauh.
Tarik nafas panjang dan keluarkanlah secara perlahan.
Ingat semua pelajaran olahraga untuk memanjangkan nafas.
Ketika sampai di pasar, aku langsung melihat seluruh penjual yang berada di sana dan menghitung pembeli yang berada di setiap penjual itu.
Aku memikirkan kemungkinan penjual mana yang dapat menjadi tempat persembunyian yang paling aman. Akhirnya mataku tertuju kepada satu penjual yang memiliki banyak sekali pelanggan di sana.
“Rik sekarang kita lepas seragam kita.”
“OK.”
Kami pun langsung melepas seragam kami dan memasukannya ke dalam tas.
Baiklah sekarang kami tidak boleh terlihat terlalu mencolok di setiap pembeli yang ada.
Tenang.. Atur nafas seperti biasa.
Atur langkah kaki seperti orang di sekitar, jangan bergerak terlalu cepat, itu akan menarik perhatian orang yang ada di sana.
Aku bersyukur saat itu Riki mengikutiku tanpa harus berbicara sedikit pun. Kami mulai menyempil di antara para pembeli itu dan bersikap seperti orang yang ada di sana. Riki mulai berbicara dengan orang yang ada di sana secara alami.
Pelajar yang sebelumnya berada di belakang kami mulai berlari melewati kami begitu juga polisi yang mengejar di belakangnya. Semua perhatian penjual dan pembeli yang ada di sana satu per satu mulai teralihkan ke arah mereka. Badan kecil kami pun tertutup dengan badan orang dewasa yang berada di sekeliling kami.
Aku pun mulai melihat jam tanganku dan melihat waktu saat itu.
Sepertinya lima belas menit sudah cukup untuk bersembunyi di sini.
“Untung saja kita lolos.”
Riki berbisik kepadaku dan dari wajahnya terlihat senyuman puas.
Setelah lima belas menit, kami langsung berjalan ke arah Stasiun Jatinegara untuk pulang. Walaupun ada beberapa polisi yang masih memeriksa di sekitar situ, tapi kami tidak dicurigai oleh mereka.
Aku lelah sekali.
Keputusanku untuk tidur di rumah sepulang sekolah sepertinya tidak terlalu buruk, andai saja aku memilih keputusan itu saat diajak Riki, mungkin aku tidak akan kelelahan seperti ini.
“Hari ini seru sekali ya!”
“Seru katamu? Aku lelah sekali.”
“Sesekali olahraga Mar.”
“Tadi pagi aku sudah ada pelajaran olahraga.”
Dan kereta menuju Jakarta Kota pun tiba di sana. Kami langsung bergegas menaiki kereta itu.
Selamat tinggal Jatinegara, sampai bertemu lagi. Terima kasih telah memberikan pengalaman berkesan yang mungkin tidak akan pernah aku lupakan.
Ketika aku mulai menginjakan kakiku ke dalam gerbong kereta, mataku tertuju kepada segerombolan pelajar yang ada di hadapan kami.
China?... Atau Jepang? Aku tidak begitu tau pasti, tapi muka mereka bukanlah seperti orang Indonesia.
Mereka terdiri dari empat orang pelajar, dua laki-laki, dan dua perempuan. Dari dua perempuan yang ada di sana, ada seorang perempuan yang menurutku dia sangat cantik.
Aku mengatakan itu karena dia adalah perempuan tercantik yang selama ini pernah aku temui, bahkan primadona di sekolah kami masih tidak ada apa-apanya dibandingkan dengannya.
Apakah aku terlalu berlebihan ketika menyebutnya cantik?
Perlukah aku menanyakan semua orang yang ada di gerbong ini untuk membuktikannya kepada kalian? Sepertinya itu tidak perlu.
Karena saat itu kondisi gerbong kereta tidak terlalu dipenuhi oleh penumpang, kami langsung menuju ke bangku kosong yang ada di dekat mereka.
Aku pun menyandarkan bahuku dan meregangkan kakiku.
Rasanya nikmat sekali..
“Berapa nilaimu dalam tes kemarin?”
“Tentu aku mendapatkan nilai A semua..”
Bisakah kalian membiarkanku beristirahat dengan tenang? Aku baru saja melewati sesuatu yang sangat melelahkan di sini.
“Hebat sekali kamu Takeshi!”
Perempuan cantik itu memuji lelaki yang menyombongkan diri tadi.
“Hal seperti itu adalah sesuatu yang biasa untukku.. bagaimana dengan kamu sendiri Miyuki?”
Hmm.. ternyata nama perempuan itu adalah Miyuki.
“Aku juga dapet A semua.”
“Hebat!”
“Seperti yang kuduga dari Miyuki.”
Hebat sekali tuan putri, aku rasa derajatmu akan makin meningkat di mata mereka.
“Stasiun Berikutnya Stasiun Manggarai...”
Waktunya kita turun.
Aku dan Riki langsung berdiri dari kursi kami dan turun dari gerbong kereta. Diikuti oleh sekelompok pelajar yang berdiri di dekatku tadi.
“Sepertinya mereka juga turun di sini.”
Riki melirik ke arah sekelompok pelajar itu dan diikuti dengan langkah kaki melangkah ke peron yang satunya lagi.
“Ohh... dari tadi kau juga memperhatikannya?”
“Tentu saja, tidak mungkin aku melepaskan pandanganku dari seorang wanita cantik.”
Aku dan Riki berpindah peron untuk menunggu kereta ke jurusan Depok, begitu juga dengan mereka. Ketika aku melihat lelaki yang bernama Takeshi, aku langsung mengamatinya dengan seksama. Semakin lama aku mengamatinya semakin jengkel aku dibuatnya. Tingkahnya di depan Miyuki seakan dia adalah orang yang paling hebat di dunia ini.
Ini hanya pendapatku saja, dia sebenarnya bukanlah apa-apa. Orang seperti dia biasanya hanya melebih-lebihkan sesuatu yang dia raih walaupun itu hanya sedikit.
Kereta kami pun tiba, dengan bergegas kami langsung memasuki gerbong kereta. Sama seperti sebelumnya, kami masih bersama sekelompok pelajar itu.
“Kemarin aku baru saja mengikuti lomba karate tingkat kecamatan dan meraih juara pertama di sana.”
Takeshi membusungkan dadanya dan bergaya di hadapan Miyuki. Dua orang temannya yang lain memuji tiada habisnya, aku pun bosan mendengarkan dia yang menyombongkan diri. Hampir seluruh aspek kehidupannya dia sombongkan dihadapan kami. Kalau bukan karena Miyuki, aku dan Riki mungkin sudah pindah ke gerbong yang lain.
“Ada rencana mau pindah gerbong Rik?”
“Tidak, aku mau lihat seberapa banyak pencapaian yang dia raih.”
Kami berdua melihat ke arah sekelompok pelajar itu melalui kaca jendela yang memantulkan bayangan mereka. Karena tujuan kami berada di dekat mereka hanya untuk melihat Miyuki dan tidak mungkin jika kami melihat Miyuki secara langsung, tentu itu akan membuat kami diperhatikan oleh mereka.
“Apakah pencapaiannya sehebat itu?”
“Tidak juga, sebenarnya itu hanyalah pencapaian yang biasa.”
“Hahahah... Kau benar.”
Memang aku dan Riki bukanlah tipe pelajar yang selalu mementingkan pencapaian selama di sekolah, entah itu dari peringkat atau pun prestasi di luar sekolah. Jadi setiap ada orang yang menyombongkan pencapaiannya selama di sekolah, itu tidak akan membuat kami iri, malah kami ingin sekali mentertawakannya.
Sebentar... Sepertinya suaraku dan Riki terlalu keras.
“Hei! Kalian berdua membicarakanku ya?”
Takeshi menghampiri kami dan menatap kami dengan sinis.
Huh.. Ayolah, jangan membuat hari ini menjadi lebih panjang lagi.
-End Chapter 1-
Padahal awalnya aku berpikir kalau kejadian dikejar polisi itu adalah akhir dari masalahku hari ini, namun sepertinya aku harus berurusan dengan masalah lain.
“Apa maksudmu menatapku seperti itu? Mau berkelahi!”
Riki memang orang yang gampang sekali terpancing emosinya, apa lagi jika hal itu menyangkut tentang harga dirinya harga dirinya.
Haruskah aku memisahkan mereka?
Aku melihat ke arah Miyuki yang sedang memperhatikan Takeshi, dia telihat seperti ingin menghentikannya namun dia tidak berani dengannya.
Bukankah lebih baik kau yang menghentikan hal ini dibandingkanku Miyuki, aku rasa mereka berdua akan mendengarkanmu.
“Berhentilah menatapku dengan wajah jelekmu itu..”
“Jelek katamu… He.. he… he..”
Gawat, Riki sudah mencapai batasnya. Siapa saja tolonglah aku!
“Maju kau sini!”
Seketika emosi Riki langsung naik dengan seketikan. Tangan kanannya sudah mengepal seakan ia ingin melancarkan sebuah tinjuan keras kepada Takeshi.
“Baiklah kalau begitu.”
Takeshi yang ingin menunjukan kehebatannya kepada Miyuki langsung meletakan tasnya di lantai gerbong, dia pun melipat lengan jaketnya untuk membuat tangannya menjadi leluasa untuk bergerak. Seluruh penumpang yang ada di gerbong langsung memperhatikan kami.
Petugas keamanan… Dimana kau di saat yang dibutuhkan seperti ini?
“Udah Rik.. tahan emosimu, ini tempat umum.”
Aku menahan tangan Riki dengan sangat kuat, karena aku sudah melihat dia mengepalkan tangan kanannya dan beberapa saat lagi, dia pasti akan melancarkan pukulannya itu tepat di wajah Takeshi.
“Tapi aku tidak bisa diam saja Mar.”
“Emang kali ini kita yang salah Rik, ini tempat umum juga… aku tidak enak dengan penumpang yang lain.”
Tidak berapa lama kemudian petugas keamanan pun datang. Dengan seragam lengkap dan tatapan sangar di wajahnya, dia langsung berjalan mengahampiri kami.
“Ada apa ini?”
“Tidak ada masalah Pak, hanya cekcok antar pelajar saja… Ayo Rik kita pindah gerbong saja.”
Aku menarik tangan Riki. Aku dapat melihat dengan jelas kalau Riki sangat kesal saat aku menghentikannya. Memang sifatnya yang selalu menjunjung harga diri itu sangatlah merepotkan, tapi itulah yang membuatnya dapat akrab denganku.
Akhirnya kami pun pindah ke satu gerbong yang berada di depan gerbong sebelumnya, kami langsung menuju ke salah satu pintu untuk berdiri di sana.
“Kenapa kau menghentikanku Mar?”
Riki melepaskan tangannya dari genggamanku secara paksa.
“Tenanglah, kita sedang berada di tempat umum.”
“Padahal jika tadi kami baku hantam, aku yakin aku dapat menang darinya.”
“Aku sudah mengetahui itu.”
“Lalu kenapa kau menghalangiku?”
“Jika kau bertarung di tempat tadi itu sama sekali tidak keren.”
“Hah?”
Riki kebingungan mendengar perkataanku. Apa penjelasanku terlalu membingunkan untuknya? perlukah aku menjelaskan hal ini kepadanya? sepertinya tidak perlu, lagi pula kalau aku harus menjelaskan kepadanya itu akan sangat merepotkan.
“Pokoknya kalau ingin menang, kau harus memberikan kemenangan yang elegan.”
“Ha-ah.. rasanya tanganku ini masih gatal untuk memukul seseorang, bolehkah aku memukulmu untuk menggantikannya?”
“Tidak.”
“Tapi apa kau yakin membiarkan dia begitu saja?”
“Biarlah… lagi pula aku rasa sebentar lagi kita akan membalasnya.”
Karena jika firasatku itu benar, maka aku akan melakukan sesuatu yang merepotkan lagi.
Kumohon… semoga hal itu tidak terjadi, aku ingin sekali berbaring di kasurku saat ini.
***
“Tunggu! Kembalikan ponsel itu!”
Aku melihat Takeshi berlari mengejar seorang lelaki di depannya. Wajahnya terlihat panik seperti baru kehilangan sesuatu atau mungkin memang dia sedang kehilangan sesuatu
“Yang benar saja!”
Baru beberapa menit kami keluar dari stasiun dan berencana mau naik angkutan umum untuk pulang, dan firasat yang aku rasakan ketika berada di dalam kereta sudah terwujud.
“Ada apa itu?”
“Aku juga tidak tau Rik.”
Kemudian aku melihat Miyuki juga berlari melewati kami mengikuti Takeshi. Miyuki tidak dapat mengimbangi kecepatan Takeshi dan dia pun tertinggal jauh sekali.
“Hei ada apa?”
Ah sial! Mengapa aku harus menegurnya, harusnya aku biarkan saja dia berlari melewatiku. Dasar kau sisi baikku.
“Bolehkah aku meminta tolong kepada kalian?”
“Kenapa?”
“Ponselku dicuri oleh seseorang dan sekarang Takeshi sedang mengejarnya.”
Wajah Miyuki terlihat panik sekali. Berbeda seperti waktu di kereta, kali ini dia sangat panik akan ponselnya itu. Sepertinya ponselnya sangat mahal sampai-sampai dia sepanik itu.
“Dua temanmu yang lain kemana?”
“Dia sudah turun di stasiun sebelumnya, Maukah kalian menolongku?”
Miyuki meminta bantuan kepada kami dengan wajah memelas, namun wajahnya masih terlihat cantik. Seakan seorang putri cantik dari sebuah kerajaan besar sedang meminta bantuan kepada rakyat jelata yang ditemuinya di pinggir jalan.
Mengapa kau membuat ekspresi seperti itu… gawat dia imut sekali, aku jadi tidak tega untuk menolaknya.
Apakah Riki mau membantunya?
Aku pun menengok ke arahnya dan dia menatapku dengan mata penuh tekad yang kuat untuk menolong seorang wanita, kemudian dia mengangguk kecil.
OK… Sepertinya aku tau apa yang sedang dia pikirkan.
“Apakah kau masih mengingat nomer yang ada di ponselmu?”
“Memangnya kenapa?”
“Beritahu kepadaku?”
Riki pun menyenggolku dengan sikunya.
“Di saat seperti ini kau masih saja mengambil kesempatan ya.”
“Diamlah kau.”
Miyuki pun memberitahu kepadaku nomer ponselnya dan kemudian aku mengirimkan nomer ponsel itu ke temanku yang bernama Maul.
“Apa yang akan kau lakukan dengan nomer itu?”
“Kau lihat saja.”
Aku langsung menelepon Maul untuk membantuku mendapatkan ponsel Miyuki kembali, karena Maul adalah temanku yang bisa melacak ponsel seseorang menggunakan nomernya saja. Bisa dibilang kalau dia adalah hacker.
“Assalamualaikum, Kau sedang sibuk tidak?”
“Waalaikummussalam, saat ini aku sedang luang… memangnya ada apa?”
“Baguslah kalau begitu, bisakah kau membantuku melacak ponsel yang nomornya baru saja aku kirim?”
“Bisa saja, memangnya itu nomornya siapa?”
“Aku tidak punya banyak waktu, nanti akan aku jelaskan.”
“Tunggu sebentar ya, aku sedang melakukannya.”
Sepuluh detik pun berlalu.
“Aku sudah menemukan lokasinya Mar, tapi titiknya masih berjalan, sepertinya dia sedang dikejar sesuatu.”
“Apakah lokasinya jauh dengan lokasiku saat ini?”
“Dimana lokasimu?”
“Di dekat stasiun.”
“...Hmmm lumayan jauh Mar, tapi kau masih bisa mengejarnya.”
“Apa yang baru saja kau katakan itu benar?”
“Iya, seluruh gang yang ada di sekitar sini hanya menuju kepada satu jalan, kau bisa mengejarnya dengan naik sekali angkutan umum yang ada di sana.”
“Baiklah, kami akan bergerak sekarang.”
“Jangan tutup teleponnya dulu Mar, biar aku yang mengarahkan kalian.”
“Terima kasih, kami sangat tertolong.”
“Itu bukanlah masalah.”
“Ayo semuanya, kita tangkap pencuri itu.”
***
Di hadapan kami sudah ada sebuah gang yang tidak terlalu besar, mungkin besarnya hanya cukup untuk dua buah motor.
“Benar ini gangnya?”
“Tidak salah lagi.”
“Kalau begitu terima kasih atas bantuannya.”
“Tenang saja… besok traktir aku ketika di kantin ya?”
“OK.”
Aku pun menutup teleponnya.
“Kamu menelepon siapa Mar?”
“Maul.”
“Maul!”
Riki terkejut setelah mendengar nama itu.
Seperti yang aku katakan sebelumnya, Maul adalah salah satu temanku yang memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan meretas dengan sangat ahli, bahkan dia sering membantu pihak kepolisian dalam menangani masalah keamanan sistem dan jarang sekali teman-temanku yang mengetahui hal itu termasuk Riki.
“Aku tidak menyangka kalau dia bisa hal seperti itu.”
“Awalnya aku juga berpikiran sama denganmu.”
Miyuki hanya diam di belakang kami tanpa mengganggu kami sedikit pun. Wajahnya masih terlihat panik, aku tidak tau apa yang membuatnya sampai sepanik itu. Apa ponsel itu terlalu berharga untuknya yang mana jika ponsel itu hilang dia akan dimarahi oleh orang tuanya.
Tidak mungkin kan? Aku rasa orang tuanya tidak akan terlalu mempermasalahkan hal itu.
“Apa yang akan kita lakukan sekarang?”
“Beri aku waktu sebentar.”
Baiklah.. Sekarang apa yang bisa aku lakukan untuk menyelesaikan masalah ini.
Apa kita harus masuk ke dalam gang ini dan menghadang pencuri tersebut?
Sepertinya tidak, kalau kami menghadangnya bisa jadi dia malah lari lewat jalur lain. Aku rasa Maul sudah dapat memprediksi kalau pencuri itu akan lari ke sini.
Hmmm… Aku rasa pilihan yang paling tepat saat ini hanya menunggunya di sini.
Tapi bagaimana caranya supaya dia tidak mengambil jalan lain ketika melihat kami?
Oh iya, aku baru saja ingat, pencuri itu tidak tau kalau kami ingin menangkapnya. Berarti yang harus kami lakukan hanyalah menunggu.
Lagi pula di dekat sini tidak ada gang untuk dia melarikan diri, seandainya dia mau memutar arah, pasti Takeshi sudah siap menghadangnya di bekalang.
Bagaimana jika dia membawa senjata?
Aku pun memperhatikan sekitarku.
Baiklah itu tidak menjadi masalah, di sekitar sini banyak sekali orang yang melintas. Jika terjadi apa-apa aku bisa berteriak meminta pertolongan.
Dan masalah terakhirnya adalah Miyuki, jika dia berada di sini aku yakin dia hanya akan mengganggu kami.
Sekarang bagaimana aku harus menyingkirkannya?
Hingga akhirnya aku pun melihat sebuah toserba yang ada tidak jauh di hadapan kami.
Masalah terpecahkan.
“Aku sudah dapat ide.”
Aku mengeluarkan dompetku dan mengambil uang dari dalam sana.
“Apa idemu?”
Riki sudah tidak sabar ingin beraksi.
“Miyuki… bisakah kau membelikanku minuman di sana?”
Aku menunjuk toserba itu dan memberikan uang kepadanya.
“Tapi bukannya kita mau menangkap pencuri?”
“Sudahlah, kau beli saja minuman untuk kami… nanti pada saat kau kembali, ponselmu sudah ada di tangan kami."
Awalnya Miyuki menatapku dengan ragu. Itu wajar saja bagi orang yang baru pertama kali bertemu denganmu. Mana mungkin kau bisa mempercayainya begitu saja.
“Baiklah, aku akan percaya dengan rencanamu. Jadi minuman apa yang kalian mau?”
"Kau mau apa Rik?”
"Aku mau teh dingin rasa apel."
"Kalau aku ingin yogurt rasa kopi."
"Yogurt rasa kopi? Aku baru mendengarnya."
"Baiklah, teh dingin rasa apel dan yogurt rasa kopi. Apa ada lagi?"
"Sisa kembaliannya bisa kau belikan sesuatu yang kau inginkan."
Miyuki pun pergi ke toserba tersebut dengan menaruh kepercayaan lebih kepadaku. Sebenarnya aku sama sekali tidak suka jika seseorang menaruh kepercayaannya kepadaku, menurutku itu seperti menambah tanggung jawab kepadaku.
Semoga yogurt rasa kopiku dapat mengulur waktu yang lama untuk dia menemukannya. Aku tidak mengada-ngada soal yogurt rasa kopi, memang minuman seperti itu dijual di toserba dan aku sering membelinya. Tapi untuk menemukannya akan sangat sulit karena biasanya yogurt itu diletakan tertutup oleh minuman yang lain.
“Apakah itu termasuk dari rencanamu?”
“Tentu, aku tidak mau rencana yang telah ku susun ini berantakan hanya karena seorang perempuan.”
“Kau memang sadis seperti biasanya ya.”
“Berisik Kau!”
“Hehehe… Lalu apa rencanamu?”
“Kita hanya menunggu saja di sini.”
“Menunggu?! apa kau serius?”
“Yup”
“Sepertinya kita tidak perlu menunggu lagi.”
Aku dan Riki sudah melihat dari kejauhan ada seseorang yang berlari terbirit-birit ke arah kami.
“Kita harus menutup jalan ini Rik, jangan biarkan dia lolos melewati kita. Kalau sampai lolos, mau tidak mau kita harus mengejarnya.”
“Tenang saja, aku pastikan dia akan memberikan ponselnya.”
Riki dengan semangat yang membara-bara menghantamkan kedua tangannya.
“Minggir!”
Pencuri itu sudah semakin dekat dengan kami, dan di belakangnya mulai terlihat Takeshi yang berlari mengejarnya dengan beberapa warga yang mengikuti di belakangnya.
Riki maju ke depanku untuk mengadang pencuri tersebut.
“Berhenti di sana.”
Tapi pencuri itu tidak mendengar peringatan Riki dan tetap berlari.
“Baiklah kalau begitu.”
Riki maju mendekati pencuri itu dan membuat sebuah celah untuk pencuri itu lewat.
Dasar bodoh! Mengapa dia tidak mau mengikuti rencanaku. Kalau begini pencuri itu dapat melewatiku. Aku tidak dapat menghadangnya seorang diri.
Tunggu… Sepertinya aku tau apa yang ingin Riki lakukan.
Saat pencuri itu melewatinya dengan cepat Riki langsung menjegalnya yang membuatnya terjatuh. Kemudian dia langsung melakukan kuncian terhadap pencuri tersebut di bagian tangannya agar tidak bisa kabur.
Seperti yang aku harapkan dari seseorang yang ahli dalam bela diri.
Aku langsung mengambil ponsel milik Miyuki yang terjatuh ketika pencuri itu dijegal oleh Riki.
Takeshi yang melihat aku dan Riki berhasil mengamankan pencuri itu langsung berhenti dari larinya.
“Itu dia pencurinya! Ayo kita habisi dia.”
Warga yang datang bersama Takeshi terlihat sangat emosi sekali. Itulah yang aku bingung dari mereka, padahal ponsel ini bukanlah milik mereka, tapi mengapa mereka bisa semarah itu.
Apa mungkin mereka hanya ingin melampiaskan kekesalan mereka masing-masing atau memang mereka tidak suka dengan yang namanya tindakan pencurian. Aku masih belum paham tentang hal itu.
“Tahan bapak-bapak sekalian.”
Aku menghentikan mereka.
Padahal saat itu aku sangat ketakutan sekali ketika mengentikan mereka. Karena aku bukanlah orang yang terbiasa berbicara di depan umum, andai saja Riki tidak sedang menjaga pencuri itu agar tidak kabur, aku pasti akan menyuruhnya untuk berbicara.
“Pencuri ini sudah tidak berdaya lagi, lebih baik kalian membawanya ke kantor polisi dari pada memukulinya di sini, itu bukanlah sesuatu tindakan yang terpuji.”
Apa yang baru saja aku bicarakan, bagaimana jika mereka tidak menerimanya? Apa aku yang akan dipukul oleh mereka?
“Dia benar, seharusnya orang dewasa mencontohkan sesuatu yang baik terhadap anak-anak.”
“Ya dia benar..”
“Kita tidak boleh membiarkan anak-anak melihat tindakan tercela dari orang dewasa.”
Ternyata di antara mereka ada seseorang yang sangat bijaksana.
Kemudian Riki pun memberikan pencuri itu kepada warga yang ada di sana, dan mereka membawa pencuri itu ke kantor polisi terdekat.
“Akhirnya selesai juga… Semoga setelah ini tidak ada hal yang terjadi lagi.”
Aku meregangkan tanganku ke atas.
“Padahal aku sangat ingin memukulnya tadi.”
Wajah Riki terlihat tidak puas dengan apa yang baru saja ia lakukan.
“Kau tau sendiri jika kau memukulinya tadi, pasti warga juga akan terprovokasi dengan apa yang kamu lakukan.”
“Tapi tetap saja aku kurang puas.”
Kemudian Miyuki yang baru saja tiba dari toserba langsung memberikan minuman yang baru saja ia beli.
“Ini minumannya.”
“Terima kasih, dan ini ponselmu.”
Aku pun memberikan ponselnya.
“Ponselku! Bagaimana kalian mendapatkannya?”
“Tadi tidak sengaja pencuri itu menjatuhkannya, coba kau periksa dulu ponselmu.”
Miyuki pun memeriksa ponselnya seperti yang ku suruh.
“Semuanya berfungsi, tidak ada yang rusak sama sekali. Terima kasih… Ano, ngomong-ngomong siapa namamu?”
“Namaku Amar, dan pria besar yang sedang merenung di sana Riki.”
Riki masih terlihat tidak puas telah menangkap pencuri itu. Sejak kejadian dengan Takeshi, dia ingin sekali meluapkan kemarahannya.
“Terima kasih Amar... Riki… Aku berhutang banyak kepada kalian.”
Miyuki terlihat senang sekali ponselnya sudah kembali.
“Tenang saja, itu bukan masalah besar.”
Walaupun aku berbicara seperti itu, sebenarnya aku menginginkan sebuah imbalan darinya entah itu uang atau apa pun.
“Oh iya… Apa kalian sudah makan siang? Bagaimana kalau sebelum pulang kita makan dulu bersama-sama?”
“Jangan bercanda!”
Tiba-tiba Takeshi berteriak ke arah kami dengan wajah kesal di wajahnya. Dia melihat kami berdua dengan matanya yang melotot dan urat di dahinya sedikit keluar. Sepertinya dia memang kesal sekali.
Inilah yang aku tunggu-tunggu.
“Aku sudah mengeluarkan tenagaku untuk mengejar pencuri itu, tapi kenapa hanya kalian berdua yang mendapatkan ucapan terima kasih?”
Woah… Apakah ucapan terima kasih dari Miyuki begitu berharganya bagimu bayi besar?
“Maafkan aku Takeshi, aku lupa berterima kasih kepadamu.”
Miyuki langsung merasa bersalah.
“Seharusnya aku yang mendapatkan pujian itu, ucapan terima kasih itu, dan harusnya aku yang terlihat seperti pahlawan di sini. Tapi kalian berdua sudah merenggut semua itu dariku.”
Itulah tujuanku sebenarnya ketika menolong Miyuki mendapatkan ponselnya.
Awalnya aku memiliki dua buah rencana untuk menangkap pencuri itu, tapi aku memilih cara yang paling tepat untuk membalas perbuatan Takeshi waktu di kereta.
Riki bisa saja mengejar pencuri itu tanpa perlu menunggunya di ujung gang. Dari yang aku lihat ketika pencuri itu berlari, Riki jauh lebih cepat dibandingkan olehnya, ditambah Riki yang masih muda membuat staminanya lebih bagus dibandingkan pencuri itu.
Tapi jika kami menggunakan rencana itu, tidak ada pengaruh apa-apa terhadap Takeshi. Sedangkan aku ingin sekali membalas perbuatannya.
Makanya aku meminta bantuan Maul.
Aku tau sekali jalan pikiran orang seperti Takeshi. Pasti selama mengejar pencuri itu dia sudah membayangkan pujian yang keluar dari mulut Miyuki. Tapi itu semua sudah aku dan Riki rebut darinya dengan mudah.
Inilah yang aku sebut dengan ‘sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui’.
Selain mendapatkan perhatian lebih dari Miyuki, hal ini juga dapat membuat Takeshi terlihat seperti pecundang. Beginilah kemenangan yang elegan menurutku.
“Lihat saja nanti, aku pasti akan membalas perbuatan kalian.”
Takeshi pun pergi meninggalkan kami dengan semua kebencian yang dibawa olehnya.
Aku lupa memikirkan hal itu, aku berhasil menambah seorang teman dan seorang musuh. Seharusnya aku tidak melakukan itu, menyebalkan.
“Kau yakin membiarkannya pergi begitu saja Mar? Boleh aku memukulnya.”
“Dari tadi yang ada di pikiranmu hanya memukul orang saja ya?”
“Habisnya mau bagaimana lagi, tanganku masih gatal ingin memukul seseorang.”
“Semuanya! Aku minta maaf kepada kalian berdua.”
Miyuki sedikit membungkuk kepada kami.
Oh, jadi seperti itu orang Jepang ketika meminta maaf.
“Gara-gara aku lupa mengucapkan terima kasih kepada Takeshi, kalian jadi bermusuhan dengannya.”
“Tidak usah khawatir, itu semua bukan salahmu...”
Memang itu bukan salahmumu.
“...Memang kami dari awal sudah tidak akur dengannya, bukan begitu Rik?”
“Iya, lagi pula dianya aja yang terlalu bawa perasaan.”
“Tapi aku jadi cemas dengan keadaan kalian?”
“Memangnya kenapa?”
“Karena jika Takeshi sudah mengatakan itu, pasti dia akan melakukannya.”
Sepertinya aku harus berurusan dengan orang yang merepotkan lagi.
“Tenang saja, pasti Amar dapat mengatasinya dengan mudah.”
Riki berkata dengan senyuman lebar yang menghiasi wajahnya.
Mudah sekali kau mengatakan itu kepada Miyuki, aku tidak mau berurusan dengan sesuatu yang merepotkan lagi.
“Tapi kenapa dia kembali ke stasiun?”
Riki melihat bayangan Takeshi yang perlahan mulai menghilang.
“Tentu untuk pulang ke rumahnya.”
“Memang rumahnya tidak di sekitar sini?”
“...Tidak, rumahnya Takeshi sudah lewat beberapa stasiun sebelum stasiun ini.”
Walaupun sifatnya seperti anak-anak, tapi cintanya terhadap Miyuki tidak bisa aku anggap sebagai isapan jempol belaka.
Teruslah Takeshi, aku akan mendukungmu untuk mendapatkan Miyuki walaupun aku membencimu.
-End Chapter 2-
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!