NovelToon NovelToon

Sepetak Ruang Gelap

Ch. 1 "Ketenangan yang Terusik"

Setelah sekian lama mencari di media sosial akhirnya aku menemukan iklan sebuah rumah dijual dengan harga yang terbilang murah. Dengan segera rumah itu aku beli karena ingin memberi surprise kepada calon istriku.

Memang dari beberapa komentar yang muncul, rumah tersebut dikenal angker atau semacamnya, tetapi aku adalah seseorang yang rasional sehingga tak percaya begitu saja. Bahkan menurutku ketika ada kejadian sebuah rumah kosong dijual dan beredar cerita horor atau mistis, itu adalah suatu trik yang diciptakan oleh beberapa orang supaya harganya semakin turun dan akan mereka beli dengan murah. Bisa juga cerita-cerita tersebut hanyalah imajinasi dengan tujuan mencari popularitas atau sensasi tersendiri.

Lokasinya agak terpencil, masuk beberapa kilometer dari pertigaan tugu batas kota. Sekitar sepuluh menit ke selatan dari jalan raya utama, melewati kampung yang cukup padat, lalu sekitar lima menit lagi mengambil arah timur melewati areal persawahan dan pemakaman.

Cukup mudah mencarinya karena tak jauh dari makam itu ada sebuah tower jaringan komunikasi dan 20 meter lagi sudah sampai di rumah ini. Hanya ada beberapa rumah di sekitar, yang terdekat berjarak tiga petak sawah. Tentunya suasana di sini relatif terasa sepi dan tenang. Sebuah suasana yang sangat kontras dibandingkan indekosku di pusat kota.

Namun, sepi dan tenang adalah dua hal yang berbeda. Itulah yang kurasakan saat sendirian di rumah baruku setelah membersihkan banyaknya sarang laba-laba dan lantai yang berdebu seharian tadi. Seperti orang-orang pada umumnya, untuk mengusir sepi aku membuka gawai, berharap ada notifikasi yang menarik di sana. Belum sempat membuka media-media sosial, tak sadar tiba-tiba aku tersenyum sendiri melihat foto calon istriku di wallpaper.

Terlintas sebuah kenangan tentang awal pertemuan kami yang sungguh tak terduga. Suatu ketika aku sedang mengerjakan sebuah proyek rigid pavement jalan raya beton. Saat itu progres satu bulan baru mencapai 25% dan aku agak frustasi karena proyek perubahan hanya berlangsung selama 90 hari, sedangkan jika terlambat tentu akan dikenai denda berjalan sekian persen dari nilai kontrak delapan miliar.

Situasi di lapangan sedang sibuk-sibuknya dan kiriman beton dengan truk mixer seolah tanpa jeda. Meskipun aku memiliki asisten tetapi memang kendala pekerjaan pasti datang silih berganti, maka dari itu aku seringkali hadir di lokasi. Butuh banyak pengalaman dan pikiran fresh agar bisa membuat keputusan yang efisien, apalagi ketika asistenku tidak dalam kapasitas membuat keputusan.

Beberapa orang kampung masih mengenakan sarung ataupun mukena sedang berdiri di depan rumah, melihat pekerjaan timku. Seketika aku teringat belum mengerjakan salat Isya, lalu aku berjalan cukup jauh dari lokasi pengecoran untuk mencari musala terdekat.

Seusai wudu aku memasuki musala yang sudah sepi itu, sebagian lampu sudah dimatikan, hanya bagian depan musala dan di bagian imam yang menyala.

Apa aku salah dengar?

Seperti ada suara perempuan menangis?

Tak ingin membatalkan niat salat, kusingkirkan pikiran-pikiran yang aneh itu lalu segera memulai rakaat yang pertama. Sepinya malam di desa yang diselingi suara tangis itu membuatku gemetar. Meskipun aku sadar sedang melaksanakan salat di musala, tempat yang "aman". Namun, aku hanya bisa pasrah.

Setelah beberapa menit aku berhasil menyelesaikan salat. Aku masih penasaran sebenarnya suara apa itu dan dari mana asalnya. Perlahan aku sibak kain pembatas shaf antara pria dan wanita.

Astagfirullah!?!

Ternyata ada sesosok dengan mukena putih di sana yang menatapku dengan mata merahnya. Kelopak matanya berkaca-kaca. Terlihat jelas memang dia menangis. Aku segera memalingkan muka, berjalan keluar musala dengan hati yang berdegup kencang. Perasaanku berkecamuk.

Inikah yang orang-orang sebut dengan jatuh cinta?

Begitulah awal pertemuanku dengan calon istriku, Nirmala. Di usia yang hampir 28 tahun ini akhirnya aku menemukan sosok idamanku. Perempuan dinikahi atas empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, atau karena agamanya. Tentu saja aku memilihnya karena ketaatannya dalam agama.

Kami sudah menentukan tanggal pernikahan saat lamaran, yaitu 29 Februari 2020. Uniknya, tanggal itu hanya muncul empat tahun sekali. Aku kembali teringat, tinggal tiga bulan lagi. Semoga renovasi rumah ini selesai tepat waktu, sebagai surprise pernikahan nanti.

Sore beranjak senja saat aku menghabiskan waktu di teras. Secangkir kopi menemaniku menunggu bak mandi terisi penuh. Beberapa tetangga yang sedang melintas atau pulang dari sawah menyapaku dengan hangat dan sopan, tipikal orang pedesaan. Bahkan beberapa dari mereka menyempatkan diri mampir sebentar. Aku mulai senang berada di sini, berharap istriku nanti juga betah.

Tiba-tiba listrik padam, padahal belum tuntas aku menikmati secangkir kopi itu. Hilang sudah mood-ku, karena suasana yang tenang menjadi terganggu oleh suara genset tower yang berdengung.

Ketenangan yang terusik?

Iya, setiap listrik padam pasti genset tower itu akan otomatis menyala. Suara dieselnya yang berisik memecah kesunyian. Suara itu akan berhenti jika listrik sudah menyala kembali.

Mumpung belum terlalu gelap aku bermaksud segera membersihkan diri di kamar mandi yang sebagian masih berdinding papan tua berlumut. Rupanya listrik terlanjur padam sebelum pompa air menyelesaikan tugasnya mengisi bak mandi. Memang di sini belum ada jalur PDAM. Namun, airnya jernih sekali, hanya rasanya sedikit asin.

Saat mandi tiba-tiba rasanya ada sesuatu tersangkut di tangan kananku yang sedang memegang gayung. Aku usap wajah dengan tangan kiriku agar bisa memandang lebih jelas.

Apa ini?

Ada seutas rambut melilit gayung dengan tanganku.

Rambutku tak sepanjang ini.

Bagaimana mungkin?

Darimana asalnya?

Apakah jatuh dari atap?

Apakah sejak semula di bak mandi?

Kutarik rambut itu, sekitar satu setengah meter panjangnya.

Belum tuntas aku memikirkannya, tiba-tiba di luar kamar mandi terdengar suara aneh berulang-ulang.

Krak!

Kiiiikk kiiikk

Kiiikkk!

Segera aku selesaikan mandiku. Keluar kamar mandi ternyata listrik sudah menyala sedangkan mesin pompa air tadi belum aku matikan. Jangan-jangan jadi rusak mesin pompa air ini. Ah, mesin pompa warisan pemilik rumah sebelumnya ini baru sehari aku pakai mengapa sudah rusak. Hatiku mulai merasa tak tenang.

Ketenangan yang terusik?

Di perjalanan pulang ke indekos, aku mulai berpikir apakah kehadiranku di sini juga mengusik ....

***

Sepulang kerja, alih-alih ke indekos aku kembali ke rumah ini setelah dua hari yang lalu. Kali ini terpaksa menginap karena tadi terlalu lama berkeliling mencari tukang dan kuli lokal untuk merenovasi rumah ini, tetapi belum dapat orang juga.

Halaman samping dan belakang masih sangat luas. Beberapa pohon yang cukup besar membuat rumah ini sejuk. Bagian dapur dan kamar mandi yang sebagian hanya berdinding papan dan bambu rencananya akan aku bongkar. Melihat kondisinya begitu memprihatinkan seperti mau roboh. Hanya bagian depan rumah ini yaitu ruang tamu dan dua kamar tidur yang berdinding tembok.

Dengan bekal informasi dari tetangga, aku sudah mencari tukang yang bersedia. Beberapa tukang beralasan masih ada pekerjaan di tempat lain. Namun, ada hal yang janggal, tukang yang terakhir kali kutemui berkata bahwa sebenarnya tidak akan ada penduduk di sini yang berani mengerjakan rumah tersebut. Lagi-lagi dengan alasan angker. Pemikiran yang tidak logis.

Ya sudahlah besok cari di kota atau aku hubungi mandor proyek langgananku saja.

"Selamat beristirahat, Sayang. Assalamualaikum. Mmmuach!" Itulah kalimat terakhir dari calon istriku sebelum aku menjawab salam lalu tertidur di kamar nomor dua rumah ini. Lelap.

Tak tahu mengapa aku seperti secara tiba-tiba dibangunkan.

Aku buka mataku dengan disambut cahaya lampu kamar yang agak silau. Kulirik jarum jam dinding yang menunjuk pukul 01.00 lebih sedikit.

Aku beranjak ke kamar mandi untuk buang air kecil. Meskipun kata orang-orang bagian belakang rumah ini terkesan seram tapi menurutku biasa saja.

Toh semua lampu selalu aku biarkan menyala. Buktinya semua baik-baik saja. Justru aku takutnya kalau semisal ada ular atau binatang buas lainnya, kalau hantu-hantu sih bullshit.

Selesai dari kamar mandi aku kembali ke kamar tidur nomor dua itu.

Aku nyalakan lampu kamar dan berbaring kembali.

Tunggu ....

Aku tidak ingat apakah tadi aku mematikan lampu kamar?!?

Aku termangu cukup lama, tidak biasanya aku jadi pelupa seperti akhir-akhir ini.

Ah, mungkin tadi aku secara refleks mematikannya, bukankah kemarin aku juga lupa mematikan mesin pompa air saat listrik padam. Aku tidak suka hal-hal mistis merasuki pikiran logis, tidak akan kuberi ruang sedikitpun.

***

Siang ini cukup terik meski sedikit awan mendung berarak seiring desah napasku di sudut kota kecil ini. Sebetulnya tabunganku lebih dari cukup untuk membeli mobil mewah, tetapi aku lebih memilih membeli rumah. Selain itu juga masih nyaman dengan motor matic kesayangan.

Setelah meeting dan presentasi yang cukup melelahkan di kantor Dinas Pekerjaan Umum tadi, aku mampir ke indekos untuk mengambil barang-barang yang masih tersisa sekalian berpamitan dengan pemilik indekos.

Hari sudah petang ketika semua barang terkemas dalam kardus dan aku ikat di jok belakang motor matic-ku. Untung saja kandar kilas USB atau yang biasa orang sebut flash disk yang tergantung di balik pintu tidak terlupa. Langsung saja aku kantongi di jaket dan meluncur pulang.

Begitu melewati kampung depan ternyata mulai hujan gerimis. Jas hujan sebenarnya ada di jok, tetapi terlanjur ada kardus yang tertali di atas jok. Maka aku pacu motor sedikit lebih kencang. Sebentar lagi gelap. Sebagian permukaan jalan masih asli dari tanah dan batu, terutama yang sekitar makam, jadi harus hati-hati juga.

Setelah mandi dan berganti pakaian kunyalakan laptop untuk mencari hiburan dulu sebelum mengerjakan tugas file laporan minggu ini. Aku duduk lesehan membelakangi pintu kamar yang tertutup separuh.

"Wa'alaikum salam," sahut Nirmala di hpku. "Ada apa, Mas? Tumben telepon. Kangen ya?" candanya.

Kami pun mengobrol ringan sambil aku menyiapkan laptop untuk membuat laporan mingguan. Sebuah notifikasi muncul di layar laptop, rupanya ada iklan film box office terbaru yang belum aku lihat. Akhir-akhir ini aku memang suka streaming film sekedar untuk hiburan. Lumayan biar tidak terlalu stres, jadi laporan kukerjakan nanti saja pikirku.

"Sudah makan, Mas?" dia bertanya.

"Iya, tadi sudah. Ini sedang istirahat sebentar nanti mau kerjakan laporan."

Nirmala sedikit protes, "Sudah pulang tapi masih kerja juga. Ingat istirahat yang cukup ya, Mas."

"Iyaaa, eh malam Minggu nanti jalan yuk?" pintaku sedikit merayu.

"Boleh, Mas. Sekalian survei undangan yuk" jawabnya.

"Iya, di dekat taman kota itu ada kayaknya paling lengkap," kataku sambil mengingat kalau file laporan ada di flash disk yang kusimpan di saku jaket hitamku saat di indekos tadi.

Di layar laptop yang agak mendongak ke atas, terpantul bayangan jaket hitamku tergantung di belakang pintu kamar.

Aku berdiri hendak mengambilnya. Belum sempat berbalik, ternyata kulihat jaket itu tergantung dekat lemari baju, tepat di seberangku yg sedang berdiri di hadapan laptop. Aku jadi ingat betul tadi memang aku taruh di situ.

Iya, benar. Tadi aku taruh di situ!

Lalu apa itu yang di belakang pintu?

Jantungku berdegup kencang. Bahkan suara Nirmala yang sedang bicara di HP yang menempel telingaku mulai tak jelas kudengar. Aku mengernyitkan dahi, mencoba tenang dan duduk kembali.

Kulirik bayangan hitam di laptop itu sudah tidak ada. Bahkan untuk memastikannya aku menengok ke belakang.

Aman ....

Mungkin cuma halusinasiku saja. Hmm mungkin aku terlalu capek fokus pekerjaan selama ini.

Kuhadapkan pandangan kembali ke streaming film di laptop. Tiba-tiba listrik rumah padam. Hanya ada cahaya HP dan layar laptopku saja.

Aku baru saja mau menyambung percakapan dengan Nirmala. Tapi mulutku tak bisa bergerak. Tubuhku gemetar antara kaku dan lemas.

Tepat di atas laptop ada seonggok kepala berwajah pucat. Dia menatapku dengan mata kiri yang seperti putih telur rebus dikupas. Perlahan mulutnya yang sobek hingga ke tengah pipi menyeringai, menertawaiku. Rambutnya yang tebal, kusut dan panjang berantakan menjuntai hingga keyboard laptop.

Seketika pandanganku buram. Nafasku pendek tersengal-sengal, kembang kempis tak karuan. Kosong, aku tak bisa berpikir apa-apa. Bergerak pun tidak sanggup. Seakan tempat dan waktu berhenti di sini.

Brukkk!

Sepertinya aku tergeletak, kepalaku terantuk lantai. Kudengar sayup-sayup suara Nirmala memanggil, "Mas! Mas Dharma! Halo, Mas ...."

(Bersambung)

Ch. 2 "Menguak Sejarah"

Pagi harinya aku terbangun. Laptop dalam kondisi standby. Saat aku aktifkan, ternyata media player-ku saat itu selesai memutar film horor.

Terdengar nada lowbat dari gawaiku. Aduh, ternyata Nirmala tadi malam misscall puluhan kali, sedangkan HP-ku dalam mode auto silent di malam hari jadi tidak terdengar.

Aku coba mengingat kejadian semalam. Mengurai dengan logika. Aku sedang menyiapkan laporan mingguan tugas kantor. Lalu aku streaming melihat film sekedar untuk hiburan. Di laptop sudah jelas adalah film horor yang aku putar. Jadi mungkin saja aku berhalusinasi melihat penampakan.

Ah, bukankah orang yang sudah meninggal itu berbeda alamnya? Mengapa hantu menampakkan diri mengganggu manusia? Kurang kerjaan.

Apakah aku mulai terpengaruh film atau bacaan tak masuk akal yang aku konsumsi sebagai hiburan itu? Sebaiknya aku berhenti menonton ataupun membacanya.

Segera aku telepon Nirmala dan meminta maaf bahwa semalam ketiduran waktu dia telepon. Dia bisa mengerti, dan menyuruhku jangan terlalu memforsir pikiran pada masalah pekerjaan. Tentu saja aku masih merahasiakan tentang rumah ini, untuk kejutan di hari pernikahan nanti.

***

Aku hanya sebentar di kantor karena ada janji siang harinya Pak Asmudi dan sembilan orang anak buahnya akan datang ke rumah. Sesuai kesepakatan, mereka akan merenovasi bagian belakang rumah. Mereka tenaga profesional yang paling bisa kuandalkan. Karena rombongan mereka dari kabupaten sebelah, daripada menyewa rumah lebih baik menginap di rumahku saja.

Sementara mereka mulai bekerja, akupun kejar tayang menyelesaikan pekerjaan kantorku. Tak kusangka, mendekati jam empat sore di halaman belakang rumah terdengar ribut-ribut.

Kepada salah satu anak buah Pak Asmudi aku bertanya, "Ada apa ini ribut-ribut?"

"Ada yang kesurupan di dekat pohon asam, Pak!" jawabnya sambil menunjuk kerumunan di halaman belakang.

Segera kudekati kerumunan itu. Kulihat anak buah Pak Asmudi yang katanya kesurupan itu terbaring dengan tangan bersedekap.

Tubuhnya terbujur kaku beralaskan tanah. Matanya melotot menampakkan urat-urat merah dengan tatapan kosong. Posisi kedua bola matanya juling, tidak sejajar dan melihat ke titik arah yang berbeda. Berkali-kali lidahnya menjulur keluar, meneteskan air liur di salah satu sudut mulutnya.

Sementara teman-temannya berusaha dan berdoa menyadarkannya, Pak Asmudi mendatangiku.

"Maaf, Pak Dharma. Saya harap kejadian ini tidak mengganggu pekerjaan," katanya lirih merasa bersalah.

Aku menghargai profesionalismenya. "Bagaimana dia, tidak apa-apa kah?"

"Biar kami atasi, Pak. Silakan di dalam rumah saja."

"Ya sudah, kalau butuh apa-apa bilang saja. Kasihan mungkin dia sedang sakit," balasku menenangkannya. Namun, sebenarnya aku tak habis pikir.

Bagaimana orang bisa kesurupan?

Apakah ada kelainan psikologi?

Sedang banyak beban masalah?

Apakah hal ini ilmiah?

Pura-pura?

***

Hari ini aku tidak ke kantor, sudah kukabari kepala produksi untuk meng-handle pekerjaan. Seperti biasa, akhir tahun tidak ada proyek pemerintah hingga bulan April. Sementara produksi beton ready mix hanya untuk melayani beberapa permintaan proyek swasta. Laporan mingguan sudah aku email ke kantor pusat.

Pak Asmudi beserta anak buahnya melanjutkan pekerjaannya dengan progres yang baik. Jadi aku menyempatkan diri ke kelurahan untuk mengumpulkan administrasi kependudukan. Sekalian berkenalan karena aku warga baru di sini.

Para petugas di kelurahan sangat ramah. Mengetahui bahwa aku tinggal di rumah angker itu mereka merespon positif. Namun, sebagian ada juga yang nyinyir.

"Ah, paling seperti yang sebelum-sebelumnya, belum ada satu bulan sudah dijual lagi," tukas seorang ibu berseragam dan berkacamata.

"Itu lebih baik daripada yang akhirnya celaka?" jawab rekan di sampingnya.

"Sudah berapa kali yang celaka di situ?"

"Sampai lupa," sahut yang lainnya.

Dari bisik-bisik di kantor itu seakan aku menghadapi sebuah teka-teki. Aku hanya bisa bertanya pada diriku sendiri.

Mengapa begitu sering berpindah kepemilikan?

Apakah benar ada sebuah misteri tersembunyi di sana?

Benarkah selama ini cerita yang beredar tentang kejadian-kejadian di rumah itu nyata adanya?

Setelah keluar dari kantor kelurahan aku dikagetkan seseorang yang menepuk pundakku.

"Ayo silakan, Mas. Ngopi dulu!" desaknya.

"Terimakasih Pak Modin, kapan-kapan saya mampir lagi," balasku singkat dan bersiap menaiki motorku.

Namun, dia tak melepaskan tangannya dari pundakku. Orang tinggi hitam botak itu tersenyum kepadaku. Mata sebelah kanannya seperti terkena glaukoma dengan retina membengkak sehingga matanya terlihat seperti melotot. Pupilnya lebih dominan warna putih atau abu-abu. Dengan setengah terpaksa aku mengikutinya ke warung di bawah pohon beringin sebelah kelurahan.

Pak Modin, begitu orang-orang memanggilnya. Modin adalah istilah lain dari pamong desa. Pamong desa tidak digaji tetapi mendapat hak kelola sebidang lahan sebagai kompensasi, yang disebut tanah bengkok. Dimana tanah bengkok ini tidak dapat diperjualbelikan tapi boleh disewakan.

Siapa lagi yang lebih mengenal desa ini selain Pak Modin. Tidak ada! Bapak dan kakeknya secara turun temurun sudah pernah menjadi modin, bahkan dulu kakeknya adalah seorang kucho.

Tahun 1944 saat negeri ini masih dijajah oleh Jepang, dibentuk suatu sistem tata pemerintahan di mana setiap satu Tonarigumi (Rukun Tetangga) terdiri dari sekitar 20 rumah tangga. Setiap lima sampai enam Tonarigumi kemudian disatukan dalam satu struktur yang lebih tinggi, yang disebut Azzazyokai atau Chonaikai (Rukun Warga).

Sistem tata pemerintahan yang awalnya untuk kepentingan militer ini kemudian diadopsi untuk kegiatan administrasi kependudukan. Chonaikai itu dahulu sebenarnya ukurannya adalah satu kampung atau satu desa yang ketuanya disebut kucho (lurah), kakeknya Pak Modin dulu pernah dua kali menjadi kucho.

Jadi dia, Pak Modin adalah peluang satu-satunya untuk mendapat jawaban dari teka-teki tentang rumah yang itu. Tentu saja aku tidak ingin rumah tanggaku nanti bermasalah gara-gara tinggal di situ seperti pemilik-pemilik sebelumnya. Maka aku perhatikan dengan seksama cerita yang dia berikan.

Begini cerita yang disampaikan Pak Modin. Dahulu sebelum menjadi areal persawahan, daerah sekitar rumah itu adalah sebuah kamp militer Jepang yang dikelilingi hutan dan kebun tebu.

Dahulu ada banyak sekali romusha yang dikumpulkan secara acak oleh militer Jepang dari desa-desa lain. Rata-rata berumur 15 hingga 50 tahun, mereka diangkut dalam gerbong-gerbong kereta yang tertutup rapat hampir tanpa udara. Untuk memperkuat kedudukannya di Indonesia, pihak Jepang membutuhkan banyak tenaga romusha untuk kerja paksa membangun kubu pertahanan, lapangan udara darurat, gudang senjata, gedung bawah tanah, jalan raya, rel kereta, jembatan, dan lain-lain di berbagai daerah strategis.

Para romusha yang berasal dari daerah sini awalnya diberi janji-janji upah yang menarik dan gelar "Pahlawan Kerja" tetapi pada kenyataannya mereka dijadikan budak. Kakeknya Pak Modin sendiri yang mendaftar mereka karena perintah komandan tentara Jepang.

Apa yang mereka bangun di desa ini pertama kali adalah gudang bawah tanah, sayang sekali belum pernah terungkap keberadaannya di sisi sebelah mana. Gudang bawah tanah itu sangat dirahasiakan demi kepentingan divisi khusus tentara Kekaisaran Jepang.

Mereka yang menjadi budak romusha atau yang pada jaman Belanda disebut "Kerja Rodi", dalam keadaan memprihatinkan. Hanya terlihat seperti kulit membungkus tulang tanpa daging, begitu kurus, kering. Bagi yang meninggal saat bekerja, atau yang dibunuh karena sudah kehabisan tenaga akan dibuang bertumpuk begitu saja di suatu galian. Itupun yang membuat galian dan membuang mayat adalah tenaga romusha yang lain, bukan tentara mereka. Hingga saat ini lokasi galian pembuangan mayat-mayat itu menjadi makam desa yang ada di dekat rumahku.

Sedangkan rumah yang aku tempati itu sendiri adalah bagian dari Ianjo (Rumah Bordil Militer) yang dulunya cukup besar. Rumah itu berbentuk memanjang yang telah disekat menjadi sekitar 36 kamar dengan dua lajur, yaitu 18 kamar di sisi kiri dan 18 kamar di kanan. Rumah panjang itu lebih mirip sebuah barak tentara.

Saat melakukan penyerangan melawan pihak sekutu di banyak tempat di Asia, para tentara Jepang menjadi jauh dari keluarganya selama berbulan-bulan. Keadaan ini membuat kondisi mental mereka mengalami gangguan, terlebih mereka yang sudah memiliki keluarga dan tidak bisa menyalurkan hasrat biologisnya. Untuk memenuhi kebutuhan seksual para prajuritnya, pimpinan militer Jepang menangkap gadis-gadis lokal untuk dipaksa menjadi budak pemuas nafsu seksual para prajuritnya. Gadis-gadis itu disebut "Jugun Ianfu" atau wanita penghibur yang harus melayani puluhan tentara setiap harinya.

Celakanya, gadis-gadis yang mereka pilih adalah yang cantik dan masih muda, berusia 10 sampai 25 tahun, terutama yang belum menikah.

Cerita dari Pak Modin belum tuntas ketika Pak Asmudi menelepon karena keadaan darurat dan memaksaku segera pulang. Aku segera membayar minuman di warung itu lalu berpamitan.

Pak Modin sempat berkata, "Namanya Martini, dia tinggal di desa sebelah. Cari saja! Dia mantan Jugun Ianfu. Semoga belum kehilangan kewarasannya".

"Baik. Terima kasih infonya, Pak. Saya permisi dulu. Assalamualaikum." Aku pacu motor matic-ku, karena penasaran apa yang terjadi di rumah.

(Bersambung)

Ch. 3 "Saksi Hidup"

Melewati sawah-sawah dengan padi yang kian menunduk pertanda memasuki masa panen itu aku melihat dari kejauhan rumahku begitu ramai. Banyak warga sekitar berkerumun.

Aku segera memarkir motor dan menuju pusat keramaian. Betapa terkejutnya aku ketika melihat anak buah pak Pasmudi yang kemarin kesurupan sedang mengayun-ayunkan sebuah katana, pedang samurai Jepang berukuran sekitar 70cm. Dia terus meracau dalam bahasa jepang yang tidak aku mengerti, hanya ada satu kata yang aku ingat karena diucapkannya berulang-ulang.

Shi!

Shi, shi, shi!

Begitu teriaknya hampir setiap kali saat mengayunkan katana. Tentu saja aku tak paham artinya.

Beberapa ibu-ibu berteriak histeris karena melihat salah seorang anak buah Pak Asmudi bercucuran darah di pahanya dan seorang lagi terluka di punggungnya. Sementara orang-orang tidak ada yang berani mendekat.

Segera aku mengambil tangga kayu di samping rumah dan meringsek ke arah anak buah Pak Asmudi yang kerasukan itu. Aku hantamkan dari sampingnya.

Brakkk!!!

Tangga yang terbuat dari kayu jati itu mengenai punggungnya. Dia terjatuh, dan juga katananya. Matanya melotot, terlihat begitu marah lalu berteriak dalam bahasa Jepang hendak menyerangku!

Kali ini pak Asmudi membantuku mengarahkan ujung tangga ke arahnya sebelum dia memungut katana itu kembali. Bersama-sama kami mendorongnya.

Sekarang dia terjepit diantara ujung tangga dan pohon asam. Anak buah Pak Asmudi yang lain segera membantu, menyingkirkan katana, dan menggotong korban luka. Warga kampung juga membantu kami membawa yang terluka ke rumah sakit.

Ada tetangga yang membawa tali tambang, dibantu oleh yang lainnya mengikat orang yang kerasukan itu di batang pohon asam tadi. Dia masih teriak-teriak dan berontak.

Semua terjadi begitu cepat. Aku merasakan pikiranku kosong, blank. Aku tidak mampu berlogika, apa yang sebenarnya terjadi.

Setelah Pak RT datang dan mengendalikan keadaan, aku mengajak Pak Asmudi ke rumah sakit di mana warga membawa dua korban luka tadi. Mereka sudah dipindahkan dari UGD ke ruang perawatan. Dari penuturan mereka, ternyata katana tersebut ditemukan di bawah lantai kayu dapur.

Saat itu Rudi, anak buah Pak Asmudi yang dua kali kesurupan itu tanpa arahan tiba-tiba membongkar ubin kayu.

Saat itu Rudi, anak buah Pak Asmudi yang dua kali kesurupan itu tanpa arahan tiba-tiba membongkar ubin kayu. Ketika Kukuh dan Gito mendekatinya dan bertanya apa yang sedang Rudi lakukan, mereka melihat Rudi seperti diluar kesadarannya menggali tanah dengan cangkul seakan mencari sesuatu di bawah sana.

Bahkan dengan liar tangannya mengais dan membuat tanah berserakan di dapur itu. Lalu Rudi menemukan sebuah koper hijau dan mengambil katana dari dalam koper itu lalu tiba-tiba menyerang mereka dengan kesetanan.

"Aku akan menanggung semua biaya pengobatan ini," kataku kepada Pak Asmudi. "Untuk sementara Pak Asmudi tinggallah di rumah sakit ini merawat mereka."

***

Sesampainya di rumah ternyata sudah ada pihak kepolisian dan beberapa tokoh desa. Sedangkan Rudi yang tadinya kesurupan tampaknya sudah "dinetralkan".

Dengan terpaksa aku meminta beberapa anak buah Pak Asmudi untuk mengantarnya pulang karena memang di antara tenaga renovasi yang lainnya hanya dia yang kerasukan, bahkan dua kali.

Ditengahi oleh Pak RT, kami mengadakan rapat kecil. Pihak kepolisian dan tokoh-tokoh masyarakat menyarankan agar untuk sementara koper hijau itu aku simpan hingga pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya datang memeriksa.

Di hadapan kami koper hijau dari kain itu telah dibuka dan dikeluarkan semua isinya. Ada beberapa foto, kertas lilin, koran kliping, buku catatan, uang logam, serta tiga ikat uang kertas. Tiga ikat uang Jepang itu terdapat dua versi yaitu berbahasa Belanda dengan dengan satuan mata uang Gulden, dan bahasa Indonesia dengan satuan mata uang Roepiah.

Lalu bagaimana dengan katana?

Menurut salah satu polisi yang ada disana, katana tersebut adalah perlengkapan militer (Gunto). Karena dianggap cukup membahayakan, untuk sementara katana itu akan disimpan di kantor kepolisian. Aku sempatkan memfoto katana tersebut sebelum mereka bawa.

Sekarang tinggal empat anak buah Pak Asmudi dan aku di rumah ini. Kami sedang mengobrol ringan ketika Bu Aisyah, tetanggaku yang selama ini aku percayai memasakkan makanan untuk para tenaga itu datang membawa makan malam.

"Yang lainnya mana, Pak?" tanya Bu Aisyah kepadaku.

"Tiga orang pulang kampung, Bu. Sedangkan Pak Asmudi sedang menemani dua orang yang di rumah sakit."

"Sabar ya, Pak Dharma. Semoga kejadian-kejadian aneh cepat berlalu. Memang selama ini penghuni rumah tidak pernah ada yang betah. Sering diganggu!"

"Ibu kenal dengan Bu Martini?" tanyaku seketika teringat perkataan Pak Modin tentang Martini.

"Oh iya, Pak. Memang Bu Martini itu punya sejarah di tempat ini. Dia tinggal di desa sebelah. Rumahnya di ujung gang masjid besar itu", jawab Bu Aisyah.

***

Pagi-pagi Nirmala meneleponku, menanyakan rencana jalan-jalan malam minggu ini. Aku sadari karena kesibukan merenovasi rumah dan juga mengungkap misteri rumah ini telah mengalihkan perhatianku.

"Tentu saja sayang, nanti malam aku jemput ya," jawabku.

Sebenarnya aku ingin berbagi cerita yang kualami beberapa hari terakhir. Tapi bagaimana mungkin, ini akan merusak surprise pernikahan nanti. Jadi aku masih menyimpan rapat tentang rumah ini.

Empat orang tenaga sudah mulai bekerja memotong besi dan membuat rangka pondasi. Sedangkan aku berangkat mencari keberadaan Ibu Martini, saksi hidup sejarah kelam rumah ini. Aku membawa serta beberapa foto tua yang tertindih buku catatan di dalam koper hijau penemuan kemarin.

Setelah bertanya kepada beberapa orang akhirnya aku menemukan rumah Bu Martini. Rupanya berita kemarin membuatku sedikit terkenal hingga desa ini. Keluarga Bu Martini dengan ramah menyambutku.

"Silahkan diminum, Pak. Maaf cuma ada teh, tidak ada kopi," kata anak tertua Bu Martini.

"Terima kasih, Bu. Maaf merepotkan. Saya juga lebih suka teh kok," jawabku sambil tersenyum ramah.

Beberapa menit aku menunggu Bu Martini yang sedang melihat foto-foto yang aku bawa tadi untuk mengembalikan ingatannya.

Wanita tua itu sekarang sudah lumpuh, hanya berbaring setiap harinya. Untuk duduk bersandar pun tadi dibantu anaknya. Bu Martini sudah berusia sekitar 85 tahunan. Sebetulnya aku merasa iba dan khawatir akan membuka luka lamanya. Tapi aku tidak punya pilihan karena hanya dia saksi hidup yang ku tahu.

"Terima kasih, Nak. Rahasia yang selama ini terkubur sudah ditemukan. Sekarang ibu sedikit lega," kata Bu Martini.

Aku terdiam, tak paham sama sekali apa maksudnya. Tentu saja aku terkejut melihat foto yang dipegangnya, sebuah foto gadis remaja berwajah bule cantik dengan pakaian ala Jepang.

"Andai saja dulu aku tak secantik ini" katanya sambil memperlihatkan salah satu foto dariku tadi, mulai bercerita sambil memegangnya.

***

Martini, seorang gadis keturunan campuran Indo-Belanda dari kakeknya. Saat itu bahkan baru berusia sembilan tahun ketika Pak Lurah datang bersama dua orang berpakaian dinas tentara Jepang lengkap dengan pistol dan samurai di pinggangnya. Kepada orangtua Martini, dikatakan bahwa dia akan dijadikan penyanyi. Orangtua Martini sebetulnya tidak percaya dan berdebat dengan Pak Lurah, tetapi mereka tidak berani melawan.

Lalu tentara-tentara itu membawa Martini kepada seorang komandan bernama Harada di barak militer, yang kini sebagian menjadi rumah baruku itu.

Malam pertama di sana Martini dimandikan, dikeramasi, dibedaki dan disalini baju oleh Harada persis seperti boneka. Martini takut kepada komandan itu tapi tidak berani berteriak ataupun menangis.

(Bersambung)

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!