NovelToon NovelToon

Karuhun

(Bagian 1 : Seira dan Malik)

Aku kejang-kejang untuk yang kesekian kalinya di minggu ini, sialnya kejang ini selalu kambuh di kantor, mungkin beberapa orang menganggap aku lelucon atau bahkan ada yang menganggapku sakit jiwa, cari perhatian, terserahlah, toh kalian tidak tahu apa saja yang sudah kualami.

Sudah 19 tahun aku terbebas dari kegilaan ini, entah kenapa di umurku yang ke-30, ‘dia’ datang lagi, dengan wujud yang lebih gagah, lebih menakutkan, tinggi sekitar 180 sentimeter, membuatku harus mendongak setiap kali berhadapan dengannya, padahal saat itu ‘dia’ sedang duduk dengan keempat kakinya.

Yang lebih mengherankan, dia tidak sendiri, 'dia' berdua dengan warna yang berbeda, aku takut, aku gemetar setiap kali memandangnya, mereka hanya menatapku tidak mengatakan sepatah kata pun, tapi mereka muncul selalu di saat yang tidak tepat.

Seperti saat ini, aku sedang meeting tiba-tiba mereka datang tepat di sebrangku, aku menahannya, berusaha seolah tidak melihat mereka, aku takut tapi malu sepertinya lebih menguasaiku. Bagaimana tidak, saat ini ada sekitar delapan orang di ruang meeting ini, kami sedang membicarakan kerja sama besar antara perusahaan air mineral terbesar di negeri ini, dengan perusahaan armada yang sedang naik daun, kerjasama yang sudah dipersiapkan berbulan-bulan dan akulah ibu dari presentasi yang sedang bosku sampaikan, kalau tiba-tiba ‘kambuh’, tidak terbayang bagaimana si bos akan malu, tapi ....

“Seira sudah siapkan MOU nya, kita bisa langsung penandatangan kesepakatan lalu kerjasama akan dimulai.” Bos berbicara, dia memerintahkanku untuk menyerahkan 2 set MOU yang sudah kusiapkan dengan Map mewah berbahan beludru, “Seira, mana MOU-nya?” Bos mulai tegang melihatku masih saja terduduk tidak bergerak, tubuku kaku tidak bisa digerakkan. Aku menatapnya dengan mata yang hampir menangis, “Seira ... Seira!!!” Bos berteriak memanggilku, itu saja yang kuingat, sebelum semuanya menjadi gelap.

...

“Kali ini apalagi?” Aku bertanya setelah sadar dan sudah ada di ruangan kesehatan.

Perusahaan besar ini memang lengkap fasilitasnya, berada di gedung sendiri yang memiliki 10 lantai dimana kesepuluh lantai tersebut terdiri dari banyak divisi, divisi itu terdiri dari Accounting, Finance, Pajak, HRGA dan Payroll, Marketing dan Seller, Purchasing, IT dan terakhir divisi Entertainment yang kelihatan lebih banyak hedonnya dibanding kerja, tapi tidak dapat dipungkiri, divisi itu telah menyumbang keuntungan perusahaan sebanyak 10 persen, nilai yang cukup besar padahal tadinya hanya diperhitungkan sebagai divisi anak bawang.

“Kerjasama gagal, toh kamu juga sudah merobek kertasnya, mereka tersinggung dan pergi begitu saja.” Seperti biasa dia hanya bersikap datar menjawab pertanyaanku, padahal ini sudah yang ketiga kalinya di minggu ini aku menggagalkan banyak kerjasama di ketiga kejadian itu, rasanya lebih baik aku mengundurkan diri saja.

“Aku akan mengajukan resign, aku akan pastikan penggantiku akan lebih baik.” Aku sudah tak tahan lagi.

“Bagaimana caranya?” bosku bertanya.

“Maksudmu?”

Apa aku terdengar santai dengan bosku? Ya, bosku adalah sahabatku sendiri, kami seumuran.

Dia membangun perusahaan ini dari nol, aku ikut bekerja bersamanya di titik nol itu, makanya posisiku adalah kepala HRGA dan Payrol, aku mengepalai perekrutan, penggajian dan kerjasama perusahaan dengan pihak luar, kami lulus di universitas yang sama, bukan itu saja, kami lulus di SD, SMP dan SMA yang sama, kalau kalian fikir kami sahabat dari kecil, kalian salah, aku adalah penguntit.

“Bagaimana caranya kamu menemukan orang yang lebih baik darimu? Orang yang mampu menghindarkan perusahaan ini dari kebangkrutan, berkali-kali.

Sudah berapa banyak kerjasama yang kau minta aku batalkan karena intuisimu yang selalu tepat? Kamu menganggap sepele diriku, aku menggajimu sepadan dengan semua yang kau berikan, hanya saja saat ini kau sedang bertransisi, intuisimu dulu sangat lembut, sekarang kau lebih tegas, jadi aku tidak bisa berdiskusi lagi denganmu, kaulah yang harus mengambil setiap keputusan.” Bosku menjawab, masih dengan santai, dia membaca buku rupanya sembari menungguiku sadar.

“Kau gila! Kau bosnya, kenapa aku yang pusing ambil keputusan, pecat aku, kasih aku pesangon! Beres!” Aku kesal karena dia sangat santai, padahal ini perusahaan dia.

“Tidak.” Dia menolak untuk memecatku.

Dia berbicara dengan penuh penekanan dan tegas, aku menatapnya masih dengan nafas tersengal menahan marah, kalau boleh memilih, aku akan pastikan selalu berada di sisinya, mengikat kakinya di kakiku dan tidak membiarkan dia jauh-jauh, aku mencintainya, bahkan aku rela kerja di sini tanpa digaji hanya untuk berdekatan dengannya, sama seperti yang kulakukan bertahun-tahun lalu, mengikutinya kemana pun, sekolah dimana pun dan bergaul dilingkungan apapun agar tetap bisa bersamanya.

“Maaf, sepertinya aku tidak mampu lagi menemanimu Malik, ini akan menjadi semakin menakutkan, saat ini hanya dua makhluk itu, besok-besok mungkin seluruhnya akan terlihat, sama seperti dulu. Aku tidak bisa membuat perusahaanmu hancur, perusahaan yang kau bangun dengan keringat sendiri, perusahaan yang membuat orang tuamu akhirnya mengakui keberadaanmu, aku tak sanggup Malik.”

“Bagaimana jika kita buat kamu menghancurkan perusahaanmu? Pasti tidak akan seberat kamu mengahancurkan perusahaanku kan?” Lagi-lagi aku bingung dengan ucapannya, si jenius Malik, bahkan mengobrol dengannya saja tidak selalu mudah.

“Sudah cukup kegilaan yang aku hadapi sebulan ini, kau mau menambahnya?”

“Aku mencoba meringankan penderitaanmu, sama seperti yang selalu aku lakukan sebelum-sebelumnya.” Malik mengingatkan betapa dia juga selalu ada di sisiku, entah karena nyaman atau karena kasihan.

“Aku tidak mengerti, bisa tolong buat sederhana?” Aku memang tidak paham yang dia maksudkan.

“Kita ubah perusahaan ini menjadi perusahaanmu, kita buat Seira Adam Hanida adalah pemilik saham terbesar di perusahaan ini, lalu ketika perusahaan ini hancur, toh kamu menghancurkan perusahaanmu bukan perusahaanku, mudah kan?” Orang gila macam apa yang aku cintai ini.

“Katakanlah aku setuju, lalu apa keuntungannya untukmu?” Aku memberanikan diri bertanya, baiklah, mari kita menjadi gila bersama Malik.

“Menikahlah denganku .... “

(Bagian 2 : Seira Kecil)

Ketika itu pertamakalinya aku bertemu dia, yang wujudnya seperti kucing dengan corak loreng berwarna kuning, coklat dan hitam, sekilas seperti macan tapi dengan 3 corak dan ukuran yang mini, dia berputar-putar di kakiku.

Waktu itu umurku 11 Tahun, kelas 6 SD, kata orang di sekitarku aku anak yang pandai berempati, pemikiranku lebih dewasa dan aku ceria, tapi semuanya hilang saat makhluk itu datang, aku menjadi berubah aneh dan pendiam, kata Mamaku, aku takut kaca, setiap berkaca selalu menangis meraung-raung, aku bilang pada mama bahwa itu bukan aku, sembari menunjuk kaca.

“Kalau itu bukan kamu, lalu itu siapa?” Mama bertanya.

“Aku ga tau siapa yang di kaca, aku juga ga tau siapa aku, aku ga tau ini siapa!”

Aku menunjuk diriku sendiri dan meraung-raung bertanya aku siapa, aku tidak amnesia ataupun lupa identitas, sebenarnya yang ditanyakan diriku kecil adalah keberadaan, untuk apa aku di bumi ini, siapa aku, manusia macam apa aku, cuma ketika itu aku hanya anak umur 11 tahun dan ini adalah transisi pertamaku, dari si buta setengah menjadi si penglihat semua.

Setelah makhluk itu terlihat, segalanya terlihat, tanpa pembatas, mata ketigaku terbuka lebar, terang benderang, aku melihat kegelapan dengan jelas.

Mereka yang katanya tidak terlihat kenapa terlihat jelas olehku, anak umur 11 tahun.

Setelah itu banyak kejadian yang membuat keluargaku berantakan, seperti sekarang ini, mama yang merupakan orang tua tunggal harus bolak-balik menjemputku di sekolah karena kata guruku, aku lagi-lagi pingsan, ini sudah lima hari berturut-turut aku pingsan di sekolah.

“Kenapa?” Mama bertanya karena aku berjalan dengan aneh saat perjalanan pulang dari sekolah, aku sebentar-sebentar menoleh ke belakang.

“Itu ada yang ikutin kita.” Aku menunjuk jalanan yang kosong.

Mama hanya tersenyum lalu berkata, "Mbak Seira Takut?"

“Iya Ma, takut.”

“Kenapa takut? Memang seram?” Mama Bertanya dengan sabar.

“Iya, dia selalu bisikin aku, kenapa aku hidup, Itu bukan tanganku, ngapain nulis, Itu bukan kepala aku, ngapain belajar, udah mati aja.”

Mama menutup mulutnya, lalu bertanya lagi, “Dia ngomong gitu sama Mbak Seira?”

“Iya Ma.” Aku berbisik.

“Dia laki-laki atau perempuan?”

“Perempuan Ma, rambutnya panjang, bajunya putih.” Aku menjelaskan yang aku lihat saat ini, dia mengikuti kami sedari sekolah tadi.

“Dia berdarah?”

“Iya, mukanya ... Hancur.”

“Astagfirullah!” Mama berteriak dan menyuruhku berlari.

Ketika itu adalah siang hari, yang kata orang setan tidak ada di siang hari, tapi pada kenyataannya mereka muncul setiap saat, mencoba berkomunikasi denganku, anak kecil yang selalu ketakutan. Saat itu aku tidak mengerti kenapa aku berbeda dengan teman-temanku, siapa mereka, apa mau mereka.

“Mbak Seira, jaga adek ya, Mama mau kerja sebentar, nanti kalau udah selesai Mama bawain makanan enak.”

Begitu kami tiba dirumah Mama bersiap pergi kerja lagi, mamaku pandai memasak, karena dia harus menafkahi kami maka kepandaiannya itu dia gunakan untuk mencari nafkah.

Mama bekerja di 3 tempat dalam sehari, restoran, rumah pribadi dan tempat makan yang buka malam hari, mama biasanya pergi setelah aku dan kakakku pergi sekolah dengan membawa adikku, si kecil Seina ke tempat kerjanya.

Ketika itu umur adikku 4 tahun, anak montok yang sangat pengertian, walau umurnya masih kecil dia jarang sekali menangis seperti mengerti bahwa mama sendirian mengurus dan menafkahi kami. Karena hari ini lagi-lagi aku pulang setelah pingsan di sekolah, mama harus ijin sebentar dari tempat kerjanya, menjemputku dan membawaku pulang, Seina ditinggal di rumah denganku.

“Iya Ma.” Aku menurut

“Jadi, pintunya buka aja kalau Mbak takut.” mama terlihat sedikit khawatir.

“Iya Ma,”

Lalu mama pergi ke tempat kerjanya, aku dan adikku di dalam rumah bermain, kala itu Hanya televisi tabung hiburan kami, sementara anak lain sudah punya nitendo atau sejenisnya, maklumlah kami tidak mampu beli.

Saat sedang asik nonton aku melihat ada sesuatu yang jatuh dari luar, aku menoleh dan berteriak, “Adek!!!” Seina yang duduk di sampingku memelukku.

“Kenapa Mbak?” Dia bingung karena aku berteriak.

Aku menoleh kearah luar memastikan lagi apa yang kulihat, makhluk itu datang lagi, kucing belang 3 itu ada di depan rumah, seperti terjatuh dari genteng dan dia mengitari sesuatu tepat di depan rumahku, apa itu, dia menoleh padaku seperti meminta ijin masuk, aku menatapnya dan melarangnya masuk rumah.

“Adek disini dulu ya, mbak keluar sebentar, sebentar aja.” Seina diam, dia hanya menarik tanganku tanda tidak setuju. Aku takut, tapi kalau aku tidak keluar aku merasa akan ada hal buruk yang terjadi.

Aku menatap binatang jadi-jadian ini, sekarang kami sudah berhadapan, dia menatapku dengan mata yang tajam, aku berlutut mengambil benda yang diputari oleh binatang ini, batu berwarna hijau sebesar biji salak, aku kembali menatapnya dengan marah, lalu kubuang batu itu dan buru-buru berlari, kulihat kucing belang tiga itu berlari mengejar batunya, kututup pintu dengan kencang, lalu berteriak, “Pergi dan jangan kembali!!!”

....

Sudah mau magrib, mama belum pulang, kakakku setelah pulang sekolah langsung pergi mengaji, dia akan pulang berbarengan dengan mama, kakakku beda 7 tahun denganku, cukup jauh, seperti aku dengan adikku beda 7 tahun, dia selalu sibuk, sekolah dan mengaji, kata orang dia bukan hanya mengaji tapi ngilmu, ah ketika itu lagi-lagi aku hanya anak kecil tanpa pengetahuan yang cukup.

“De, Mbak mau mandi ya, Ade tunggu didepan pintu aja, ga boleh keluar.” aku berjalan kekamar mandi, kami tinggal dirumah kontrakan yang terdiri dari ruang tamu, kamar dan kamar mandi, kamar mandinya ada di sebelah ruang tamu, jadi begitu keluar kamar mandi aku langsung bisa melihat adikku, aku agak takut meninggalkannya sendirian, tapi yang bisa melihat meraka kan aku, jadi seharusnya dia akan baik-baik saja.

Aku mulai mengambil handuk dan meletakannya di gantungan handuk, saat aku akan membuka baju aku menoleh kebelakang, aku merasa ada yang mengawasi, tapi ketika aku menoleh tidak ada apa-apa.

Aku melanjutkan membuka baju dan mandi, saat kuguyur kepalaku, tiba2 aku melihat ada nenek-nenek memakai kebaya bewarna abu-abu bercorak bunga dan memakai kain jarik sebagai bawahannya, dengan rambut putih berantakan. Dia mencoba mendekatiku, aku terdiam, seluruh badanku kaku, perlahan-lahan dengan langkah bungkuknya dia mendekat, matanya hitam, bibirnya tersenyum menyeringai, dia mulai terkekeh, lalu berkata dengan mendayu.

“Naaaakkkkk .... ”

Aku menangis karena tidak dapat lari, badanku kaku, aku takut ma, tolong aku.

Tangan nenek itu mulai menjulur kearahku, tertawanya menjadi nyaring, dia semakin mendekat, aku melihat jarinya meraih tanganku, dingin, dingin sekali, aku gemetar, aku tidak bisa mengeluarkan suara sama sekali, hanya menangis dalam diam, dia semakin mendekat, wajahnya terlihat, bukan hanya matanya yang hitam seluruh wajahnya menghitam kulihat tangannya tidak hanya meraih tanganku, dia mulai perlahan masuk kedalam ragaku, entah kekuatan darimana, kuhentakan kaki dan badan, sesaat kemudian tubuh ini terbebas dari rasa kaku, lalu kuambil handuk dan berlari membanting pintu kamar mandi.

“Mbak, kenapa?” Lagi-lagi si bungsu bertanya, mungkin dia bingung kenapa kakaknya bersikap aneh.

“Enggak apa-apa, De,” nafasku masih tersengal-sengal. “udah yuk ke kamar,” aku buru-buru menariknya ke kamar.

Mama Pulang begitu aku selesai berpakaian dan tidak lama kakaku juga pulang, untunglah mereka datang, karena kalau aku sendiri atau hanya berdua dengan Seina, makhluk-makhluk itu akan mendatangiku.

...

Sudah berbulan-bulan aku hidup dengan mereka, aku semakin aneh, kata mama aku menjadi pribadi yang sangat baik, baik berlebihan, mama takut, karena kata Mama aku sebelumnya adalah pribadi yang bebas dan berani, kalau tidak suka akan bilang tidak, bahkan aku cenderung galak dan egois jika bersikap, bahkan ke adikku sendiri.

tapi sekarang aku berbeda, aku menjadi pribadi yang ramah dan pendiam, mama melihat aku bukanlah diriku, kadang mama takut saat aku memperhatikan anggota keluarga kami, seperti ada seringai yang disembunyikan. mama berusaha 'mengobatiku', entah dari penyakit apa, sudah beberapa ustad, haji, kiai bahkan dukun mama datangi dan ini mungkin langkah terakhirnya saat itu, sekarang kami disini.

“Namanya Seira ya? Umur berapa?” Dokter cantik itu bertanya, rambutnya sebahu.

“Iya Dok.” Aku menunduk.

“Kok kakinya begitu?” Dia menunjuk kakiku yang naik turun seperti penjahit yang sedang mengoperasikan mesinnya dengan kaki.

“Nggak apa-apa Dok.”

“Kakinya begitu kalau lagi ngerasain apa?”

“Nggak tau Dok.” aku kecil menjawab dengan polos, ketika itu aku tidak tahu mengarah kemana sebenarnya pembicaraan Dokter ini, Kata mama aku hanya perlu bertemu dengannya seminggu sekali, untuk ngobrol saja, jadi aku tidak perlu takut dengan Dokter ini, Memang dia tidak perlu ditakuti.

Dokter ini sangat cantik, tapi aku kurang suka dengan wanita di sebelahnya, dia sama cantiknya dengan dokter, tapi cara pakaiannya aneh, dia menggunakan gaun seperti noni-noni belanda jaman dulu, gaun yang sering aku lihat di televisi dipakai oleh wanita-wanita belanda, ketika itu aku berfikir bahwa wanita di samping dokter ini mungkin asistennya, tapi kenapa dia terlihat lebih tua dan hanya diam saja tidak berbicara sama sekali.

“Coba kakinya diem dulu, kasih tau ibu Dokter perasaan kamu kalau kakinya diem.”

“Nggak enak Ibu Dokter,” aku melanjutkan lagi menggerakkan kakiku setelah hanya beberapa detik terhenti atas perintah Dokter.

“Kamu ga suka ya ngobrol sama Ibu Dokter?”

“Suka bu, suka. Ibu Cantik.”

“Kalau suka, kenapa kakinya gerak-gerak gitu, itu artinya kamu gugup atau tidak nyaman.”

“Gugup?” Aku bertanya karena tidak mengerti, maklum lagi-lagi aku hanya anak kelas 6 SD.

“Gugup itu artinya ada yang kamu khawatirkan, kalau memang suka ngobrol sama Ibu Dokter, kakinya jangan gerak-gerak ya.” Dia memerintahkanku sekali lagi.

“I-iya Bu Dokter,” aku mencoba mengikuti perintahnya kembali.

“Memang apa sih yang kamu lihat selama ini? Kata Mama, Seira suka lihat hal-hal yang menakutkan ya?”

“I-iya bu Dokter.”

“Kayak apa sih?”

“Banyak.”

“Bisa jelasin ke Ibu Dokter kayak apa?”

“Ga, mereka ga suka diomongin bu, katanya ssst, jangan bilang-bilang.”

“Jangan bilang-bilang apa?”

“Bilang kalau Mereka ada.”

Lalu banyak lagi percakapan kami selanjutnya, aku tidak begitu ingat, tapi yang aku tahu ketika dulu aku berbicara dengannya ada rasa lega dan nyaman di antara semua hal yang kutakutkan berkaitan dengan 'mereka'.

Setelah hampir 1 jam aku berbicara dengan bu Dokter, mama dan aku pamit pulang, tapi sebelum pulang aku menatap sekali lagi ibu asisten Dokter, aku penasaran dengan kalungnya.

“Ibu Asisten, kalung zamrud merahnya cantik sekali, Seira pernah lihat warna hijaunya.” Aku bertanya dan menatap ke arah belakang Ibu Dokter, karena lawan bicaraku berada di sana.

“Sebentar!!!” Ibu Dokter berteriak dengan kencang, “kalung zamrud merah? siapa yang pakai?” Ibu Dokter bertanya.

“Itu, Ibu Asisten Cantik yang ada di belakang Dokter,” Aku menjawab sembari ketakutan, karena ekspresi Ibu Dokter berubah menjadi Galak.

Lalu Ibu Dokter mengambil sesuatu dari dompetnya dan menunjukan padaku, ternyata dia menunjukan foto, disana ada berderet beberapa perempuan dengan gaun yang indah-indah sama persis kayak Ibu Asisten Dokter itu.

“Yang mana yang kamu lihat?” aku ketika itu bingung kenapa aku harus menjelaskan bukankah ibu itu ada di belakang Ibu Dokter?

Aku menunjuk salah satu perempuan yang berwajah persis seperti Ibu Asisten Dokter yang mengenakan Kalung zamrud merah itu.

“Ini Foto ibu?” Aku menatap kembali ke belakang Ibu Dokter dan berbicara pada Ibu Asisten Dokter itu.

“Astagfirullah!!!” Ibu Dokter jatuh pingsan.

(TBC)

_________________________________________________________

Catatan Author :

Seira kecil adalah seorang gadis yang hidupnya sulit, ditambah dengan adanya mereka yang tak terlihat maka lengkaplah penderitaannya, pada part ini ada banyak hal nyata yang penulis sisipkan, jadi kejadiannya memang pernah terjadi dan Seira kecil memang benar ada. Tapi keseluruhan cerita adalah fiksi.

(Bagian 3 : Seira Kecil Lanjutan)

Pertemuan dengan Ibu Dokter cantik itu tidak akan pernah aku lupakan, karena setelah bertemu dengan Dokter aku merasa sedikit tenang, Ibu Dokter itu mendengarkanku tanpa bilang bahwa aku berbohong.

Kalau kemarin aku yang ke Klinik Ibu Dokter, sekarang dia yang ke rumahku, kata Mama Ibu Dokter mau ngobrol denganku.

“Seira, Ibu Dokter boleh minta tolong?”

“Iya bu, mau minta tolong apa?”

“Seira ingat wanita yang pakai kalung zamrud merah?”

“Ingat, itu.” Aku menunjuk kesamping Ibu Dokter, karena aku melihat wanita itu di sampingnya.

“Seira bisa tolong tanya ke Ibu itu, dia sekarang ada dimana?”

“Itu ada disitu.” Aku bingung karena pertanyaan Ibu Dokter aneh.

“Seira, Ibu Dokter tidak bisa melihat Ibu Asisten cantik yang Seira bilang, Mama juga ga bisa lihat.” Mama menjelaskan

“Aku langsung menunduk.” Aku mengalihkan pandanganku dari Ibu Asisten itu, aku tidak tahu kalau ternyata dia adalah 'mereka'.

“Seira takut?” Ibu Dokter bertanya.

“Maaf bu,” Aku mulai menangis, “Seira ga tau, maaf bu.” Aku menunduk, karena saat ini wajah Ibu Asisten itu terlihat mengerikan sekali, wajahnya tidak utuh, setengah wajahnya hanya tengkorak saja.

“Seira, Lihat Ibu Dokter.” Dokter itu mengarahkan wajahku padanya, “Seira abaikan siapapun selain ibu Dokter ya, lihat tangan Ibu Dokter, 1, 2, 3.” Dokter itu menjentikkan tangannya, aku merasa mengantuk sekali dan ....

Dimana ini?

Dimana aku sekarang? Ke mana bu Dokter, ke mana mama, dimana ini? Semuanya gelap, tapi di sana ada seseorang sedang membelakangiku, gaunnya, ya itu gaun Ibu Asisten Dokter, tapi dia terlihat lebih muda, rambutnya disanggul dengan tusuk konde berhiaskan bunga mawar merah, perlahan ruangan ini berubah menjadi sebuah ruangan yang sangat luas, ruangan ini seperti ruang tamu pada sebuah bangunan jaman dulu, dia terlihat sedang berbicara dengen seseorang, seorang lelaki.

“Aku tidak bisa, aku mencintaimu.” Ibu Asisten itu berkata.

“Kita dari dua dunia yang berbeda, Ayahmu akan membunuhku jika kita lari.”

“Aku tidak bisa menikah dengan lelaki itu, kami memang dari dunia yang sama, tapi aku takut,dia begitu kejam pada pribumi, dia membunuh tanpa ampun, aku takut.” Ibu asisten berkata.

Saat itu aku kecil tidak mengerti dengan situasi ini, setelah dewasa aku sadar, untuk pertama kalinya aku dibawa ke alam yang berbeda, entah oleh siapa, oleh Ibu Asisten itu, oleh Dokter, atau oleh diriku sendiri yang memang berusaha menolong Dokter.

Yang aku tau saat itu aku begitu kagum dengan kecantikan Ibu Asisten ini.

“Mina! Mereka dari bangsamu, dia jauh lebih pantas, bukan aku!” Lelaki itu membentak.

“Aku pun bangsamu! Jangan lupakan bahwa Ibuku adalah Pribumi!” setelah mengatakan itu, Ibu

Asisten berbalik, dia manatapku, wajahnya perlahan berubah, menjadi menyeramkan seperti sebelumnya, sementara semua yang ada di ruangan berputar seperti dihantam angin topan, lelaki itu menghilang.

“Ayah, aku akan membesarkan anak ini sendirian, aku tidak akan menjadi pengecut dengan berlari seperti lelaki itu.”

Aku kembali dibawa ke tempat yang berbeda, masih di bangunan yang sama, tapi saat ini posisi kami berada di sebuah kamar, sepertinya kamar Ayah dari Ibu Asisten, karena dia memanggilnya ayah.

“Jangan Pergi, lahirkan cucuku di sini, besarkan dia di sini, tapi jangan pernah bertemu dengan lelaki itu lagi.”

“Baiklah.” Ibu Asisten menurut pada ayahnya.

Setelahnya begitu banyak yang aku alami di sana sampai seseorang memanggilku.

Dan aku terbangun, “Apakah ini hanya mimpi?” Aku bergumam setelah bangun.

“Seira Cantik.” Ibu Dokter menyapaku.

“Ini dimana Bu?”

“Rumah sakit, kamu kejang dan tidak sadarkan diri beberapa hari.”

“Mina Wigburg,” Aku kembali bergumam.

“Seira Istirahat saja dulu."

“Tidak Bu Dokter, Mama mana?”

“Ini Mama Mbak,” ternyata mama ada di sofa rumah sakit ini dari tadi.

“Ma, Mbak takut.” Aku terbata

“Takut apa?”

“Mereka, Mereka memukul Ibu Mina dengan vas bunga, Ibu Mina Jatuh, kepalanya berdarah, lalu

mereka ... me-menyeret Ibu Mina ke belakang rumah, wajahnya keseret mah.” Aku menangis.

“Seira, Ibu Mina adalah Nenek Ibu Dokter, kami mencarinya ke mana-mana, karena dari cerita Kakeknya Ibu Dokter, Nenek terpisah saat Perang.” Ibu Dokter mencoba menjelaskan kejadian saat itu, setelah dewasa aku sempat mencari tahu tahun berapa itu, kemungkinan aku masuk ke tahun 1946 dimana belanda melemah, Indonesia sudah merdeka dan mencoba mempertahankan kemerdekaannya, banyak para warga belanda akhirnya di pukul mundur ketika itu, bahkan ada yang diusir dari kediamannya. Tapi itu tidak terjadi pada Ibu Mina, Ibu Mina tidak disiksa oleh pribumi karena perang.

“Ibu Mina dipukul sama Ardiman, Ibu Mina berteriak memanggil namanya saat dipukul.” Aku berteriak.

“Ardiman? Seira tidak salah lihat atau dengar?”

“Bu Dokter, tidakkah sebaiknya jangan terlalu percaya dengan anak kecil?” mama berbicara.

“Aku harus mempercayainya, ketika seseorang masuk ke alam bawah sadarnya dia akan melihat kejadian tentang dirinya, di sanalah kami para Dokter menggali masalah pasien, tapi tidak untuk anak dengan keistimewaan khusus, dia akan terombang – ambing dengan kemampuannya.”

“Tapi Dok, ini tidak masuk akal.” Mama masih mencoba menyangkal.

“Seira mengucapkan nama nenek dan kakekku dengan benar, Ibu Mina dan Bapak Ardiman adalah nenek kakekku, aku tidak pernah memberitahunya, itu bukti bahwa Seira tidak berbohong dan bisa membantu kami bu.”

“Tapi bagaimana jika dia salah dan kita menangkap orang yang salah, bukankah itu suatu malapetaka untuk Seira?!” Mama mulai meninggi.

“Aku percaya Seira,” Ibu Dokter berbalik menatapku, “lanjutkan Seira, Ibu Dokter percaya kamu.”

“Ardiman mengubur Ibu Mina di rumahnya, dibelakang rumah, Ardiman bilang begini, Mina aku akan menjaga anak kita, istirahatlah dengan tenang, jika mereka Tahu ini anakmu denganku, dia tidak akan selamat, dia akan dibunuh oleh para separatis, Pribumi sudah bangun dari tidurnya, seperti macan yang di kurung berpuluh-puluh tahun lalu dilepas dari kurungannya, mereka buas, anak kita harus selamat.” Kata Ibu, ketika aku mengucapkan kalimat tersebut aku seperti bukan anak kecil, aku seperti Ardiman, terkadang suaraku terdengar seperti lelaki dewasa.

“Seira, Ibu Dokter bermimpi tentang Ibu Mina, hampir setiap hari, Ibu Dokter tersiksa karena Ibu Mina minta tolong, Ibu Dokter fikir Ibu Mina masih hidup karena Pak Ardiman bilang Ibu Mina terpisah saat perang, Seira mau bantu Ibu Dokter cari dimana Ibu Mina dikubur? Ibu Dokter mau Menguburkan Ibu Mina dengan baik.”

“Iya bu Dokter, Seira Mau.”

...

Setelah 3 bulan kejadian tersebut, Mama akhirnya meminta Guru ngaji kakakku untuk membantuku, setelah aku bertemu dengan Ibu Mina di dunia mereka dulu, Mama bilang aku makin menakutkan, terkadang aku berbicara sendiri atau tertawa sendiri, bahkan terkadang aku menangis, ketika ditanya aku hanya menggeleng, ketika itu aku

tidak cerita ke Mama karena dia tidak percaya.

“Mbak minum air ini dulu ya, trus mbak tidur.” Mama meberiku air dari botol mineral, aneh biasanya Mama tidak memberiku air dari botol, aku menurut saja dan setelah meminumnya aku mengantuk.

Ketika terbangun aku merasa pandanganku kabur, aku merasa pusing dan ingin muntah, aku berlari kebelakang dan muntah banyak sekali.

“Mbak makan yuk.” Mama tidak bertanya kenapa aku muntah, pada saat itu aku merasa lebih ringan dan pusing.

“Ma, Ade mana?”

“Ade sama Mas Ridho main ke rumah bude, udah mbak sama Mama aja makan ya.”

“Aku mengangguk.”

Itu semua adalah

kejadian 20 tahun lalu ketika aku berumur 11 Tahun, setelah aku meminum air di botol itu aku lupa semua rupa mereka bahkan sebagian lagi aku tidak mengingat kisahnya, aku hanya ingat Ibu Mina dan Pak Ardiman, itu pun samar, seperti mimpi.

Aku kembali pada sifat awalku, riang, cerewet dan egois, tapi kata Mama aku lebih rajin solat dan mengaji. Aku tidak pernah bicara sendiri, tertawa atau menangis tanpa sebab lagi, aku kembali pada diriku yang dulu, aku menjadi murid yang berprestasi, mudah bergaul dan yang pasti aku tidak masalah saat berkaca, karena aku melihat

diriku tanpa lainnya.

....

Kegilaan ini akhirnya berakhir, aku sudah kelas 1 SMP, tentu saja bersama si tampan Malik, agak sulit masuk sekolah ini, aku bahkan harus belajar mati-matian begadang tiap malam, belum lagi biaya sekolahnya mahal, untung mama masih mengijinkan aku untuk sekolah di sini.

Ku kira setelah minum air itu, air yang membuat aku tidak mampu melihat mereka lagi, hidupku

akan lebih tenang.

Tapi aku salah, ternyata aku tidak lepas dari ‘mereka’.

Hari ini kami upacara sekolah, semua murid harus berbaris, sialnya aku adalah petugas upacara, lebih tidak beruntungnya aku juga komandan upacara, tugasku adalah merapihkan barisan, memimpin barisan dan tentu saja berdiri paling depan.

Dan aku pingsan!!!

Kalau orang fikir itu karena aku kurang makan di pagi harinya, kalian salah, aku meresa lemas setiap kali ada ‘dia’, macan belang tiga.

Seluruh makhluk tidak ada satupun yang terlihat, tapi entah kenapa si macan belang tiga berbeda, dia masih bisa kulihat, tapi tetap saja dia tidak bisa mendekatiku, dia menampakkan diri tapi entah kenapa, selalu menjaga jarak, dia mengawasiku.

Aku tidak tahan melihatnya makanya aku lemas dan pingsan.

Tentu saja hal ini membuatku jadi bahan olokan, Si Komandan tidur.

Aku hanya bisa diam, untung selalu ada Malik yang menemaniku, dia tak pernah absen ada di dekatku.

“Lagian udah tau kamu lemah, ngapain sok-sokan jadi Komandan upacara.” Malik ada di samping ranjang ruang UKS, dia yang tadi menggendongku di belakang saat aku pingsan.

“Gue malu Malik, gue mau pindah sekolah ah, sumpah gue malu, kayaknya belum cukup gue jelek, miskin dan ... sumpah gue malu Malik.” Aku mengganti posisi menjadi tengkurap.

“Yaudah pindah gih, paling beasiswamu angus.”

“Malik! Beasiswa gue disetujui? Serius lu?”

“Yup,beasiswa kamu udah turun tuh, aku nguping kemarin, katanya prestasimu yang selalu menang lomba karya ilimiah di sekolah sebelumnya dan nilai di sekolah SD cukup sebagai acuan untuk menerima beasiswa.”

“Ye intinya pokoknya beasiswa gue disetujui kan Malik?” Aku bingung kalau Malik udah ngomong, bahasanya ketinggian, dia memang selalu lebih dewasa dibanding umur sebayanya, dalam soal brfikir maupun soal bersikap.

Itu sih yang membuat aku menyadari satu hal, aku ingin selalu di dekatmu, karenamu aku merasa nyaman dan tenang.

....

“Ser, jangan deket-deket si Neneng ya.” Malik dan aku sedang makan di kelas, kami memang jarang sekali ke kantin, Malik selalu membawa makanan ke sekolah dan hebatnya makanannya selalu banyak, lumayan aku kan nggak dikasih jajan sama mama, aku tidak akan mengeluh karena, diperbolehkan sekolah di sini saja sudah bagus.

“Kenapa Si Neneng?” Aku menyendok nugget ayam, katanya dia tidak suka nugget ayam, aneh ada anak

kecil tidak suka nugget ayam, makanya aku selalu menjadi tempat sampahnya, aku akan makan apa saja yang dia tidak suka. Dia hanya makan sayur saja,

“Dia kemarin kesurupan kan?” Malik meneruskan perkataannya.

“Oh iya, trus kalau dia kesurupan nggak boleh ditemenin gitu?” Aku protes, sebagai mantan orang yang bergelut dengan dunia itu, aku merasa tersinggung.

“Bukan gitu, aku ngerasa Neneng ada ngelakuin kesalahan, makanya dia digangguin mulu.”

“Kesalahan apa gitu?”

“Lah kamu kemarin ke mana sih? Kan ada di kelas juga, masa nggak denger dia tereak-tereak apa?”

“Kan lu tau,penglihatan dan pendengaran gue lemah, makanya nggak denger, rese deh.” Aku marah.

“Udah-udah sendok lagi nuggetnya tuh.” Dia berusaha membujukku.

“Ok, jadi dia emang teriak apa?”

“Dia bilang, awas, awas kalian, awas kalau berani ke kamar mandi, awas kalian, sambil nunjuk ke sekeliling.”

“Oh ya? Serem amat ya, gue cuma liat dia kesurupan trus kan langsung dikerubungin, gue mundur lah, abis itu dia digotong rame-rame.”

“Nah makanya, dari omongannya, aku yakin, pasti si Neneng ngelakuin apa di kamar mandi.”

“Malik, kenapa lu? Biasanya yang suudzon gue, kenapa sekarang lu kayak emak gue pas belanja sayur?”

“Ya, aku cuma mau, kamu tuh lebih waspada, nggak usah terlalu deket, aku takutnya kamu kebawa dikerjain mereka, jauh-jauh ya dari Neneng.”

“Iya Malik, bawel lu.” Aku menyuapkan brokoli padanya.

Saat kami makan tiba-tiba pintu kelas di ketuk, “Malik.” Seperti biasa, kakak kelas kami mengunjungi Malik, kemarin Angel sekarang Siska si anak kepala sekolah.

“Ya kak kenapa?” Malik mendekatinya, aku hanya terdiam di tempatku, posisiku menghadap mereka.

Kulihat mereka berdua berlalu, Malik memang begitu, dia selalu menjadi populer dimana pun dia berada.

Walau katanya mereka hanya pacar, dan aku sahabat, aku lebih dekat dengan Malik di banding mereka, Malik tidak pernah memanggilku dengan sebutan lu gue, selalu kamu aku. tapi ke pacarnya dia selalu menyapa mereka dengan lu gue.

“Ser .... “ Tiba-tiba ada yang memanggilku dari belakang. Kulihat ternyata Neneng, sejak kapan

dia di sana?

“Ya Neng? Napa lu?”

“Temenin ke kamar mandi yuk.” Dia berjalan ke arahku dengan senyum yang aneh, dia menarik tanganku, anehnya aku tidak bisa mengendalikan tubuhku sehingga aku mengikutinya ke kamar mandi.

Apa Neneng hanya minta ditemani? Tapi dia tidak biasanya memintaku, aku bukan teman dekatnya.

_________________________________________

Catatan Author :

Mereka yang tak terlihat tidak selalu jahat, bahkan banyak yang baik, tapi terkadang yang baik pun bisa berubah karena melihat betapa kita yang hidup sangat membuat mereka iri.

Maka jangan pernah terpedaya oleh tipudaya sedan, eh setan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!